Sumbangan katekese bagi warga Kebatinan Pangestu yang beragama Katolik.
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Sumbangan Katekese bagi Warga Kebatinan Pangestu Yang Beragama Katolik”. Judul tersebut dipilih berdasarkan
kenyataan penulis selama bergabung menjadi warga Kebatinan Pangestu, menjumpai beberapa penghayatan iman Kebatinan Pangestu yang tidak sesuai dengan penghayatan iman Kristiani. Tradisi yang turun-temurun dari keluarga telah mengajarkan paham Kebatinan Pangestu walaupun identitas mereka beragama Katolik. Hal ini dapat memicu jarak dan bahkan persoalan Gereja terhadap budaya tempat Injil ditanam. Untuk itu saudara Katolik di Pangestu perlu semakin mempunyai pemahaman, pengetahuan yang mendalam dari iman Katolik.
Penulis memahami bahwa Pangestu sama-sama mengajarkan kebaikan demi tercapainya Kerajaan Allah. Persoalan skripsi ini adalah bagaimana menemukan perjumpaan makna antara ajaran Pangestu dengan ajaran Kristiani Katolik, sehingga Pangestu dapat dihayati dalam rangka hidup rohani Kristiani Katolik. Suatu upaya perjumpaan yang akan melahirkan pemahaman baru yaitu melalui katekese yang diberikan bagi saudara Katolik di Pangestu.
Dengan adanya katekese bagi paguyuban Pangestu diharapkan terjadi komunikasi iman antara Injil dan budaya setempat, antara iman Katolik dengan iman Pangestu, sehingga akan melahirkan pemahan baru bagi saudara Pangestu yang sesuai dengan hidup penghayatan rohani Kristiani Katolik.
(2)
ABSTRACT
This study entitled “Catechism Contribution for Members of Kebatinan Pangestu who are Catholics”. This title was chosen based on the
writer’ experience when affiliated the Kebatinan Pangestu. The writer found some of their faith are not in accordance with the Catholic faith. Their tradition inherited from their family has taught the teaching of Kebatinan Pangestu although they are Catholics. This problem has made them far away from the Catholic community, and even has made some problems with the culture where the Gospel has been proclaimed. Therefore they need to more understand the teaching of the Catholic Church.
The writer understands well that Pangestu also teaches all good things as well as Catholic teaching. The problem of this study is how to find the meeting point between Pangestu and Catholics. So that Pangestu can be lived out in Catholic context. One of the effort is to give catechism to them.
Regarding to that solution, Pangestu is expected to combine both of their religion and tradition, between Catholic and Pangestu faith. Its aim is to create new understanding of Pangestu people to accustom with Catholic gospel.
(3)
SUMBANGAN KATEKESE BAGI WARGA KEBATINAN PANGESTU YANG BERAGAMA KATOLIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Y. Bambang Haryanto NIM: 081124052
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
(4)
(5)
(6)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk yang tercinta Ayahku, Ibuku, Adikku,
sahabat-sahabatku di IPPAK angkatan 2008, saudaraku di paguyuban Kebatinan Pangestu
Yogyakarta, saudaraku di lingkungan St. Damianus Demen dan Paroki
(7)
MOTTO
”Berbahagialah orang yang bertahan dalam percobaan, sebab apabila ia sudah
tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada
barangsiapa yang mengasihi Dia”.
(8)
(9)
(10)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Sumbangan Katekese bagi Warga Kebatinan Pangestu Yang Beragama Katolik”. Judul tersebut dipilih berdasarkan
kenyataan penulis selama bergabung menjadi warga Kebatinan Pangestu, menjumpai beberapa penghayatan iman Kebatinan Pangestu yang tidak sesuai dengan penghayatan iman Kristiani. Tradisi yang turun-temurun dari keluarga telah mengajarkan paham Kebatinan Pangestu walaupun identitas mereka beragama Katolik. Hal ini dapat memicu jarak dan bahkan persoalan Gereja terhadap budaya tempat Injil ditanam. Untuk itu saudara Katolik di Pangestu perlu semakin mempunyai pemahaman, pengetahuan yang mendalam dari iman Katolik.
Penulis memahami bahwa Pangestu sama-sama mengajarkan kebaikan demi tercapainya Kerajaan Allah. Persoalan skripsi ini adalah bagaimana menemukan perjumpaan makna antara ajaran Pangestu dengan ajaran Kristiani Katolik, sehingga Pangestu dapat dihayati dalam rangka hidup rohani Kristiani Katolik. Suatu upaya perjumpaan yang akan melahirkan pemahaman baru yaitu melalui katekese yang diberikan bagi saudara Katolik di Pangestu.
Dengan adanya katekese bagi paguyuban Pangestu diharapkan terjadi komunikasi iman antara Injil dan budaya setempat, antara iman Katolik dengan iman Pangestu, sehingga akan melahirkan pemahan baru bagi saudara Pangestu yang sesuai dengan hidup penghayatan rohani Kristiani Katolik.
(11)
ABSTRACT
This study entitled “Catechism Contribution for Members of Kebatinan Pangestu who are Catholics”. This title was chosen based on the
writer’ experience when affiliated the Kebatinan Pangestu. The writer found some of their faith are not in accordance with the Catholic faith. Their tradition inherited from their family has taught the teaching of Kebatinan Pangestu although they are Catholics. This problem has made them far away from the Catholic community, and even has made some problems with the culture where the Gospel has been proclaimed. Therefore they need to more understand the teaching of the Catholic Church.
The writer understands well that Pangestu also teaches all good things as well as Catholic teaching. The problem of this study is how to find the meeting point between Pangestu and Catholics. So that Pangestu can be lived out in Catholic context. One of the effort is to give catechism to them.
Regarding to that solution, Pangestu is expected to combine both of their religion and tradition, between Catholic and Pangestu faith. Its aim is to create new understanding of Pangestu people to accustom with Catholic gospel.
(12)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Bapa, atas segala
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
“SUMBANGAN KATEKESE BAGI WARGA KEBATINAN PANGESTU
YANG BERAGAMA KATOLIK”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa
adanya dukungan, kerjasama dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan tulus
hati pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Romo Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., yang banyak memberi masukan dan
mendampingi penulis dengan sabar selaku dosen utama dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Romo Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed selaku dosen
pembimbing akademik, atas segala perhatian dan kebaikan hatinya untuk
bersedia menjadi dosen kedua penguji skripsi ini.
3. Bapak Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen penguji ketiga
yang juga selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk
segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
(13)
(14)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Metode Penulisan... 6
E. Manfaat Penulisan ... 7
F. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. AJARAN KEBATINAN PANGESTU ... 10
A. Kebatinan dan Aliran Pangestu ... 10
1. Kebatinan pada Umumnya ... 11
a. Pengertian Kebatinan ... 11
b. Mistik Kebatinan ... 14
c. Ciri-ciri Kebatinan ... 15
d. Penggolongan Kebatinan ... 18
2. Kebatinan Aliran Pangestu ... 19
B. Ajaran tentang Wahyu dan Iman dalam Kebatinan Pangestu ... 20
(15)
2. Iman dalam Pangestu ... 21
C. Ajaran tentang Allah ... 25
D. Ajaran Penciptaan ... 27
1. Penjadian Empat Anasir sebagai Bahan Dasar Penciptaan ... 28
2. Penciptaan Semesta Alam ... 28
3. Penciptaan Manusia ... 29
E. Ajaran Keselamatan ... 32
1. Keselamatan Sejati Kepada Tuhan ... 33
2. Sarana untuk Mencapai Keselamatan... 34
a. Keterbukaan kepada Suksma Sejati ... 34
b. Mengatur Angan-Angan, Nafsu-Nafsu dan Perasaan-Perasaan .. 36
c. Bersatu Luluh dengan Suksma Sejati dan Suksma Kawekas ... 38
F. Ajaran Penghayatan Pangestu dalam Kehidupan ... 39
1. Distansi ... 39
a. Rilo ... 40
b. Narimo ... 40
c. Sabar ... 41
2. Konsentrasi ... 42
a. Tapa ... 42
b. Pamudaran ... 43
3. Representasi ... 44
G. Ajaran Akhir Zaman ... 44
1. Kiamat Dunia Kecil ... 45
2. Kelahiran Kembali (Reinkarnasi) ... 45
3. Kiamat Dunia Besar ... 46
H. Rangkuman Ajaran Kebatinan Pangestu ... 47
BAB III. AJARAN TENTANG IMAN KATOLIK ... 51
A. Ajaran Tentang Wahyu dan Iman dalam Kristiani ... 51
1. Paham Wahyu Kristiani ... 52
a. Pengertian Wahyu Kristiani ... 52
(16)
2. Paham Iman Kristiani ... 54
a. Paham Iman menurut Alkitab ... 54
b. Paham Iman menurut Magisterium Gereja ... 56
3. Terbentuknya Gereja Berkat Perwahyuan Roh Kudus Oleh Kristus Yang Mulia ... 57
4. Pedoman Iman Kristiani sebagai Penjamin Wahyu Allah ... 58
a. Tradisi ... 58
b. Kitab Suci ... 59
c. Ajaran Magisterium ... 59
B. Ajaran Tentang Allah ... 60
1. Paham Allah dalam Perjanjian Lama ... 60
2. Paham Allah dalam Perjanjian Baru ... 61
3. Allah Tritunggal dalam Umat Kristiani ... 63
C. Ajaran Tentang Penciptaan ... 65
1. Penciptaan dalam Kitab Suci ... 65
2. Tujuan Penciptaan ... 66
3. Hakekat Manusia ... 67
D. Ajaran Tentang Keselamatan ... 68
1. Paham Keselamatan dalam Perjanjian Lama ... 69
2. Paham Keselamatan dalam Perjanjian Baru ... 70
3. Dosa Sebagai Penghalang Keselamatan ... 71
4. Penebuasan Sebagai Pemulihan Keselamatan ... 72
5. Keselamatan Pada Masa Kini ... 74
6. Keselamatan Mencapai Kepenuhannya pada Akhir Zaman ... 74
E. Ajaran Penghayatan Iman Katolik dalam Kehidupan ... 75
1. Dasar Penghayatan Iman Katolik ada di dalam Yesus Kristus ... 75
a. Sabda dan Karya dalam kehidupan Yesus sebagai dasar ajaran .. 75
1). Ajaran Dasar dari Yesus ... 76
2). Ajaran Perumpamaan dari Yesus ... 77
3). Mujizat Yesus ... 78
(17)
2. Sikap Penghayatan Ajaran Iman Kristiani dalam Kehidupan Nyata 79
a. Cinta Kasih kepada Sesama ... 79
b. Ketabahan sebagai Ketaatan Iman ... 80
c. Hidup dalam Penuh Pengharapan ... 81
F. Ajaran Akhir Zaman ... 82
1. Kematian ... 82
2. Surga ... 83
3. Neraka ... 84
4. Api Pencucian ... 84
5. Penghakiman Terakhir ... 85
6. Harapan akan Langit Baru dan Bumi Yang Baru ... 86
G. Rangkuman Ajaran Kristiani Katolik ... 86
BAB IV. PERJUMPAAN ANTARA AJARAN KEBATINAN PANGESTU DENGAN AJARAN IMAN KRISTIANI MELALUI SUMBANGAN KATEKESE ... 90
A. Menemukan titik temu ajaran kebatinan dengan ajaran Kristiani ... 90
1. Pandangan Gereja Terhadap Ajaran Non Kristiani Menurut Konsili Vatikan II ... 90
a. Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja... 91
b. Nostra Aetate, Deklarasi Mengenai Hubungan Gereja Dengan Agama Non Kristiani ... 91
c. Ad Gentes, Dekrit Tentang Kegiatan Misionaris Gereja ... 92
d. Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Mengenai Gereja dalam Dunia Modern ... 93
2. Perbandingan Ajaran Kebatinan Pangestu Dengan Ajaran Kristiani ... 95
a. Ajaran Wahyu dan Iman ... 95
b. Ajaran tentang Tuhan ... 96
c. Ajaran Penciptaan ... 97
d. Keselamatan Manusia ... 98
e. Ajaran Penghayatan Iman dalam Kehidupan Nyata ... 100
(18)
3. Pemahaman Kebatinan Pangestu Dalam Rangka Hidup Rohani
Kristiani ... 102
a. Pemahaman Manunggaling Kawula Gusti ... 103
b. Pemahaman Tentang Gustining Jagad Cilik dan Gustining Jagad Gedhe ... 104
c. Pemahaman Tentang Sang Guru Sejati ... 105
d. Pertobatan Syarat Bersatu dengan Sang Guru Sejati ... 106
e. Hidup Selalu Berwawan-Sabda dengan Sang Guru Sejati ... 107
B. Sumbangan Program Katekese Dalam Paguyuban Kebatinan Pangestu sebagai wujud Perjumpaan Iman Kristiani dengan Iman Kebatinan Pangestu ... 108
1. Usaha Berkatekese ... 108
a. Pengertian Katekese ... 108
b. Tujuan Katekese ... 109
c. Isi Katekese ... 111
d. Unsur-unsur dalam Katekese ... 112
1). Pengalaman Hidup Peserta ... 112
2). Komunikasi Iman dalam Kitab Suci ... 113
3). Komunikasi dengan Tradisi Kristiani... 113
4). Arah Keterlibatan Baru ... 114
e. Pemilihan Model Pengalaman Hidup sebagai Model Katekese .. 114
2. Sumbangan Program Katekese Bagi Warga Kebatinan Pangestu ... 117
a. Latar Belakang Penyusunan Program ... 118
b. Tujuan Program ... 119
c. Usulan-Usulan Tema Katekese ... 120
d. Matrik Program Katekese ... 122
3. Contoh Persiapan Katekese ... 124
BAB V. PENUTUP ... 137
A. Kesimpulan ... 137
B. Saran ... 141
DAFTAR PUSTAKA ... 142
(19)
Lampiran 1: Gambar Lambang Pangestu... (1) Lampiran 2: teks lagu “Dalam Yesus” ... (2) Lampiran 3: teks lagu “Seperti Rusa Rindu Sungai-Mu” ... (3)
(20)
DAFTAR SINGKATAN A. SINGKATAN KITAB SUCI
KS : Kitab Suci Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini
mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab
Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
AG : Ad Gentes, Dekrit Tentang Kegiatan Misionaris Gereja,
7 Desember 1965.
CT : Catechese Trandendae, Ajaran Apostolik Paus Yohanes
Paulus II tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.
DCG : Directorium Catechisthicum General, Direktorium
Kateketik Umum yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci
para Klerus, 11 April 1971.
DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II
tentang Wahyu Ilahi, 18 nopember 1965.
GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II
tentang Gereja Dewasa Ini, 7 Desember 1965.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II
tentang Gereja, 21 November 1964.
NA : Nostra Aetate, Deklarasi Mengenai Hubungan Gereja
(21)
C. SINGKATAN LAIN
Art : Artikel
Bdk : Bandingkan
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
KKGK : Kopendium Katekismus Gereja Katolik
No : Nomor
(22)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam suatu kisah mitologi Jawa, dikisahkan dalam cerita Mahabharata,
suatu gambaran kehidupan. Gambaran kehidupan itu dapat dilihat sebagai
peperangan antara kuasa-kuasa keteraturan dan kuasa-kuasa kekacauan.
Gambaran Pandawa adalah Lima orang bersaudara yang berjuang menegakkan
kesalehan, keadilan, sikap tanpa pamrih. Sedangkan Kurawa adalah gambaran
keangkuhan, kesombongan, keserakahan, hawa nafsu dan pengagungan diri. Bila
Kurawa berkuasa maka kehidupan di dunia ini akan tidak teratur dan adil. Dalam
perang Bharata Yudha, Kurawa akan dilawan oleh Pandawa, bila Pandawa
menang maka kehidupan di bumi ditandai oleh suasana tentram, adil makmur dan
harmonis. Perang terakhir dan besar-besaran dengan Pandawa mengalahkan
Kurawa, maka keteraturan mengalahkan kekacauan (Mulder, 1983: 14).
Dalam mistik Jawa dikenal model jagad gedhe (kosmos) yaitu alam
semesta dan jagad cilik (mikrokosmos) yaitu manusia. Sedangkan kuasa-kuasa
kekacauan dilambangkan oleh segi lahir (segi luar badani) yang mengikat manusia
kepada dunia. Sementara segi batin menghubungkan dengan makna terdalam dari
alam semesta, moralitas dan keteraturan. Dalam upaya-upaya mistiknya, manusia
harus dapat mengatasi segi badani itu, seperti emosi, naluri dan nafsu
keduniaannya, agar batin manusia dapat bersatu kembali dengan asal muasal
(23)
adalah segi batin yang harus ditegakkan. Keteraturan berarti pernyataan rasa
keselarasan dan keserasian dengan tujuan alam semesta (kosmos), dan dalam arti
terdalam terjadi kemanunggalan, kesatuan, persatuan dari segala-galanya,
pencipta dengan yang diciptakan, kawula dengan Gusti, sangkan-paran (asal dan
semua tujuan diciptakan). Dalam hal ini mistik Jawa dikenal dengan nama
Kebatinan, prinsip kesatuan terdalam ini adalah Tuhan, Sang Hyang Kawekas,
Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Esa. Kesatuan terdalam dengan Tuhan
merupakan kewajiban moral dan tujuan pokok dari paraktek Kebatinan. Praktek
Kebatinan bertujuan tercapainya tatanan dan keteraturan alam semesta (kosmos).
Kebatinan pada umumnya menunjuk kepada segala usaha dan gerakan
untuk memberdayakan batin manusia. Manusia adalah makluk lahir-batin,
merupakan cita-cita manusia bila terjadi keseimbangan antara daya batin dan daya
lahir. Akan tetapi di dunia moderen yang serba canggih ini, manusia cenderung
mencari akan hal lahir, akan sensasi dan emosi, akan pangkat dan kehormatan.
Hal semacam ini seringkali mengancam nilai-nilai batin dari manusia. Ajaran
Kebatinan adalah pernyataan Allah yang hadir dalam hati manusia dengan
pencapaian ketenangan dan ketentraman hidup. Disana terdapat kenyataan yang
mutlak, bahwa setiap manusia akan mengarahkan dirinya kepada Sang Pencipta.
Awal mula gerakan Kebatinan merupakan tanda protes dan kritik terhadap zaman,
sebagai jawaban atas berbagai hal seperti: kekhawatiran jangan-jangan dilanda
arus asing yang mengindahkan nilai keaslian, intelektualisme dilawan dengan
perasaan, materialisme dilawan dengan kerohanian. Suatu gejala yang menarik
(24)
jumlah yang besar, terutama di pulau Jawa. Sejak tahun 1945 ratusan aliran
Kebatinan telah lahir, dengan memakai bermacam-macam nama serta membawa
ciri khas masing-masing (Rahmat, 1973: 125).
Ajaran Kebatinan merupakan warisan leluhur di tanah Indonesia ini
sebelum masuknya agama Kristen, Islam, Hindu, Budha. Kebatinan memberikan
kontribusi bagi kehidupan hingga sekarang dalam menata hidup, sebagai perantara
komunikasi manusia kepada yang transenden yaitu Allah Sang Pencipta.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mertodipuro (1967: 13). Kebatinan adalah cara
ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di Indonesia, Kebatinan, apapun
namanya: tassawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi, dan mistik adalah gejala umum.
Kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Maka itulah
selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka
Kebatinan akan tetap di Indonesia, baik didalam agama atau di luarnya. Kebatinan
seringkali dianggap intisari “kejawen”, gaya hidup orang Jawa adalah Kebatinan (Suwarno, 2005: 79).
Dari berbagai aliran Kebatinan yang terdapat di Indonesia, ada lima aliran
Kebatinan yang dipandang sebagai mewakili segala aliran yang ada. Aliran
Kebatinan itu adalah: Paguyuban Sumarah, Paguyuban Sapta Darma, Paguyuban
Bratakesawa, Paguyuban Paryosurodipuro, dan Paguyuban Pangestu. Penulis
membatasi dalam satu aliran saja, yaitu aliran Kebatinan Pangestu. Sikap hidup
orang Jawa kejawen telah banyak diaktualisasikan di dalam aliran Kebatinan dan
sastra jawa. Aliran Pangestu dipandang ada pengaruhnya di antara orang-orang
(25)
Pangestu dipandang mencerminkan salah satu sikap hidup orang Jawa (Iman,
2005: 64). Pangestu singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal yang artinya
“persatuan untuk dapat bertunggal”. Raden Soenarto Mertowardojo merupakan tokoh yang tidak terlepas dari sejarah kelahiran dan perkembangan aliran
Pangestu. Secara umum R. Soenarto dapat disebut sebagai pendiri Kebatinan
Pangestu. Pangestu didirikan pada tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta. Pangestu
bertujuan dan bercita-cita hidup bertunggal dengan semua golongan dengan tidak
membeda-bedakan jenis bangsa, derajat dan agama. Penegasan pengajaran
terdapat dalam buku “Sasangka Jati” (Jiwa Sejati). Pangestu tidak mengajarkan hal yang aneh-aneh seperti ilmu ramal meramal, ilmu sihir, ilmu arwah, klenik
dan sebagainya. Aliran Kebatinan Pangestu lebih kekancah bimbingan dan
pengolahan jiwa (Solarso, 1987: 32). D.I.Yogyakarta menurut data Paguyuban
Pangestu periode tahun 2010-2015 ada enam cabang paguyuban yang tersebar
masing-masing di Wates Kulon Progo, Bantul, Sleman dan kota Yogyakarta.
Penulis memberi perhatian dalam hal ini, karena selama penulis bergabung
menjadi warga Kebatinan Pangestu, menjumpai beberapa penghayatan iman
Kebatinan Pangestu yang tidak sesuai dengan penghayatan iman Kristiani. Tradisi
yang turun temurun dari keluarga telah mengajarkan paham Kebatinan Pangestu
walaupun identitas mereka beragama Katolik. Hal ini merupakan persoalan Gereja
terhadap budaya tempat Injil ditanam. Untuk itu saudara Katolik di Pangestu perlu
semakin mempunyai pemahaman, pengetahuan yang mendalam dari iman
(26)
ajaran iman Kristiani. Pemahaman dan pemaknaan ajaran Pangestu haruslah
dalam terang iman Kristiani.
Seberapa besarkah ajaran Kebatinan Pangestu berperan dalam kehidupan
ini? Bagaimana perjumpaan kedua ajaran tersebut? Bagaimanakah pemahaman
Kebatinan Pangestu agar dapat dihayati dalam rangka hidup rohani Kristiani
Katolik? Bagaimana proses berkatekese yang sesuai bagi warga Kebatinan
Pangestu?
Bersama pemikiran-pemikiran dari para tokoh-tokoh Kristiani dan
pemikiran dalam ajaran Kebatinan Pangestu, penulis akan mengajak untuk
memahami dan memaknai Kebatinan Pangestu dalam terang ajaran Kristiani.
Penulis akan mengajak menemukan perjumpaan dan titik temu makna yang tepat
atas ajaran Kebatinan Pangestu dalam rangka hidup rohani Kristiani dengan
menyumbangkan katekese yang tepat bagi warga Kebatinan Pangestu yang
beragama Katolik. Untuk itu penulis memberi judul karya tulis ini sebagai berikut:
“Sumbangan Katekese Bagi Warga Kebatinan Pangestu Yang Beragama Katolik”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah-masalah yang akan dibahas dalam
skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ajaran Kebatinan Pangestu.
(27)
3. Bagaimanakah pemahaman Kebatinan Pangestu agar dapat dihayati dalam
rangka hidup rohani Kristiani Katolik.
4. Bagaimanakah pelaksanaan katekese yang sesuai dalam warga Kebatinan
Pangestu.
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Memaparkan serta memahami ajaranKebatinanPangestu.
2. Memaparkan ajaran kristiani.
3. Menemukan pemahaman Kebatinan Pangestu dalam rangka hidup rohani
Kristiani Katolik.
4. Mewujudkan katekese bagi warga Kebatinan Pangestu yang beragama katolik
agar memaknai ajaran sesuai dengan terang Kristiani.
D. METODE PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif,
dengan memanfaatkan studi pustaka yang didalamnya memaparkan dan
menguraikan tentang ajaran Kebatinan Pangestu, ajaran iman Kristiani, serta
menemukan perjumpaan dan memaknai ajaran Kebatinan Pangestu dalam terang
ajaran Kristiani dalam rangka hidup rohani Katolik. Serta menemukan tema-tema
(28)
E. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penyusunan skripsi ini secara lebih rinci dapat penulis uraikan
sebagai berikut:
1. Dapat lebih memperluas serta memperdalam wawasan pengetahuan tentang
ajaran Kebatinan. Ajaran Kebatinan adalah sebuah kebudayaan warisan
leluhur bangsa Indonesia yang patut kita gali dengan lebih dalam dengan
menemukan nilai-nilai kearifan lokalnya akan membantu bangsa ini dalam
mencari iman kepada Tuhan.
2. Menemukan makna dan titik temu ajaran Kebatinan Pangestu dalam rangka
penghayatan hidup rohani Kristiani Katolik.
3. Menemukan sebuah katekese yang tepat bagi penganut Kebatinan Pangestu
yang beragama Katolik, sehingga iman umat Katolik yang tergabung dalam
Kebatinan Pangestu tetap berpegang dalam terang ajaran iman Kristiani.
F. SISTIMATIKA PENULISAN
Skripsi ini mengambil judul “Sumbangan Katekese Bagi Warga
Kebatinan Pangestu Yang Beragama Katolik” skripsi ini akan diuraikan dalam 5 bab:
Bab I. PENDAHULUAN
Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan,
perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan
(29)
BAB II. AJARAN KEBATINAN PANGESTU
Bab ini menjelaskan ajaran Kebatinan pada umumnya, pada bagian ini
dimaksudkan membantu memahami awal ajaran Kebatinan kemudian mendalami
salah satu aliran Kebatinan yaitu aliran Kebatinan Pangestu. Dalam aliran
Pangestu akan dipaparkan ajaran-ajaran pokok seperti: ajaran wahyu dan iman,
ajaran tentang Allah, ajaran tentang penciptaan, ajaran keselamatan, ajaran
penghayatan Pangestu dalam hidup nyata dan yang terakhir ajaran tentang akhir
zaman.
BAB III. AJARAN IMAN KRISTIANI
Bab ini menjelaskan tentang pemaparan ajaran dalam Kristiani Katolik,
bagian ini akan menghantar kita lebih lanjut tentang pemahaman ajaran Kristiani
Katolik. Pada bagian pertama pembahasan, akan dipaparkan wahyu dan iman
Kristiani, Ajaran penciptaan dalam Kristiani, keselamatan, sikap Kristiani dalam
penghayatan hidup nyata dan ajaran akhir zaman.
BAB IV. PERJUMPAAN ANTARA AJARAN KEBATINAN PANGESTU DENGAN AJARAN IMAN KRISTIANI MELALUI SUMBANGAN KATEKESE
Dalam bab ini akan dipaparkan pandangan kristiani tentang Kebatinan dan
menemukan titik temu dalam kedua ajaran. Dalam bab ini dialog kedua pihak
antara iman Kristiani dengan KebatinanPangestu akan menemukan makna yang
(30)
dalam Kebatinan Pangestu diharapkan mampu meneguhkan iman Kristiani dan
memberikan penerangan iman Kristiani, pemahaman baru bagi warga Pangestu
yang beragama Katolik.
BAB V. PENUTUP
Dalam penutup ini memuat kesimpulan dan saran dari penulis skripsi
dalam mempelajari, memaknai dan mendalami perjumpaan ajaran Kristiani
(31)
BAB II
AJARAN KEBATINAN PANGESTU
Bagian ini menyajikan bagaimana ajaran iman dalam Kebatinan Pangestu.
Menurut Harun Hadiwijono (1970: 9) Pangestu adalah aliran Kebatinan yang
pandangannya dipengaruhi oleh ajaran Kristiani. Bagian pertama bab ini akan
menjelaskan arti Kebatinan, mistik Kebatinan, ciri-ciri Kebatinan pada umumnya
dan secara khusus akan dikenalkan dengan Kebatinan aliran Pangestu. Kemudian
bagian selanjutnya akan disajikan ajaran-ajaran pokok dalam Kebatinan aliran
Pangestu, seperti: ajaran wahyu dan iman, ajaran tentang Allah, ajaran tentang
penciptaan, ajaran keselamatan, ajaran penghayatan Pangestu dalam hidup nyata
dan yang terakhir ajaran tentang akhir zaman.
A. Kebatinan dan Aliran Pangestu
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pandangan pengetahuan
umum tentang Kebatinan. Karena tidak semua paguyuban-paguyuban dalam
Kebatinan bisa dikatakan sebagai sebuah paguyuban Kebatinan yang sebenannya.
Maka dari itu akan dibahas pengertian Kebatinan, ciri-ciri dalam Kebatinan, dan
penggolongan dalam Kebatinan. Kemudian bagian kedua akan dibahas tentang
(32)
1. Kebatinan pada Umumnya
Sebelum masuk kedalam aliran Kebatinan sendiri, perlu dibahas
pengetahuan umum yang terdapat dalam Kebatinan. Dengan demikian pengertian
tentang Kebatinan akan menjadi jelas dan tidak akan di salah artikan dengan
hal-hal yang negatif.
a. Pengertian Kebatinan
Dalam jiwa manusia ada kecenderungan kerinduan akan Tuhan, dari dalam
diri manusia timbullah pertanyaan mengenai Tuhan. Pertanyaan asasi dalam setiap
manusia itu mencapai jawabannya bukan dari diri manusia sendiri, melainkan
mendengarkan dari Tuhan yang mewahyukan Diri. Disinilah peranan batin
manusia sangat diandalkan dalam merasakan wahyu dari Tuhan. Kata Kebatinan
akar katanya batin, berasal dari lafaz bahasa Arab, artinya yang di dalam hati,
yang tersembunyi dan misterius. Batin dipakai untuk menunjukkan sifat, dengan
sifat batin itu manusia merasa dirinya lepas dari segala yang semu. Batin juga
dipergunakan sebagai sifat keunggulan terhadap perbuatan lahir (Suwarno, 2005:
84). Kebatinan ialah suatu ilmu yang menuju ke arah penjelasan tugas hidup
dengan sebaik-baiknya, menuju kepada kesempurnaan. Kebatinan adalah ilmu
kesempurnaan yang mengajarkan bagaimana caranya. Batin adalah keadaan yang
abstrak, tidak nyata, yang tidak ditangkap dengan panca indra (Sarwedi, 1965:9).
Kita bertolak dari definisi Kebatinan seperti yang dirumuskan pada konggres
Kebatinan II (1956), sebagai berikut: “Kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna mencapai
(33)
kesempurnaan hidup”. Konsep yang hampir sama dalam definisi Kebatinan lainya disampaikan oleh tokoh Kebatinan Soesilo sebagai berikut:“Kebatinan adalah bentuk usaha untuk mewujudkan dan menghayati nilai dan kenyataan rohani
dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada penemuan
kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur dan kesempurnaan hidup”
(Rahmat, 1973:188).
Kebatinan menegaskan bahwa satu-satunya sumber untuk pengakuan
Tuhan adalah pengalaman batin manusia sendiri. Kebatinan sebagai pangkal
perkembangan manusia, berasaskan budi luhur dan kesempurnaan hidup. Praktek
Kebatinan adalah usaha untuk berkomunikasi dengan realitas asali. Sebagai
cabang pengetahuan, Kebatinan mempelajari tempat manusia dalam dunia
kosmos. Itu didasarkan atas adanya kesatuan yang hakiki diantara segala yang ada
di semesta alam ini. Kebatinan melihat eksistensi manusia dalam susunan
kosmologis, membuat hidup ini menjadi pengalaman religius dan berpartisipasi
dalam kemanunggalan kehidupan (Mulder, 1983: 22).
Paham dasar Kebatinan mengatakan bahwa manusia terdiri dari sifat lahir
dan sifat batin, kedua aspek ini saling berhubungan. Setiap yang ada berkewajiban
moral untuk menciptakan harmoni antara aspek-aspek lahir dan aspek-aspek batin
dari hidup ini. Dalam arti yang batin mengendalikan/menguasai yang lahir,
dengan demikian hidup di dunia akan menjadi harmonis dan terkoordinasi dengan
prinsip kesatuan asali kehidupan. Karena alasan ini masyarakat diatur agar dapat
seimbang melalui tatakrama yang mengatur tingkah laku interpersonal, adat
(34)
hubungan formal antar masyarakat dengan alam adiduniawi. Sedangkan naluri
dan emosi manusia diatur oleh aturan moral yang dikenakan atas tingkah laku
perorangan yang menekankan narimo, sabar, waspada-eling, andapasor dan
prasaja. Semuanya itu penting bagi keseimbangan manusia dan bagi
mempertahankan keseimbangan dengan Ada atau Hidup. Barang siapa yang hidup
harmonis dengan alam, dan masyarkat dengan sendirinya ia harmonis dengan
Kehidupan. Pelanggaran atas harmoni itu, gangguan atas tatanan dianggap
merupakan kesalahan dan hakekatnya merupakan dosa (Mulder, 1983: 23).
Jalan yang dilalui orang Jawa menyelami realitas asali/kehidupan adalah
dengan rasa yang peka dan terlatih (rasa batin yang intuitif). Hakekat realitas
ditangkap oleh rasa dan dibeberkan dalam batin yang tenang. Dengan mengatasi
rintangan dan memelihara keharmonisan manusia akan sungguh-sungguh dapat
memahami langsung tentang rahasia kehidupan. Praktek Kebatinan adalah usaha
perseorangan yang ingin manunggal kembali dengan asal usulnya, berniat
mengalami tersingkapnya rahasia kehidupan atau membebaskan dari ikatan-ikatan
duniawi.
Aliran Kebatinan mempunyai “Ajaran” sendiri yang disebut piwulang, wewarah atau tuntunan. Ajaran itu berasal dari penerangan batin sang guru atau panuntun yang menjadi pendiri atau pendasar aliran itu. Tidak hanya guru atau
panuntun yang dapat mengalami terang batin, tetapi juga setiap warga atau murid,
tentu saja pada tahap permulaan dengan bimbingan guru atau panuntun dapat
mengalaminya sesuai dengan usaha dan anugrah Tuhan. Dalam hal ini disebut
(35)
“perantara”. “terang batin” itu disebut dengan aneka nama: ilham, pituduh,
wangsit, wedharan, wahyu (Banawiratma, 1986: 63).
Ajaran dalam Kebatinan sering disebut ngelmu atau ngelmu batin, yang
dibedakan kawruh atau ngelmu lahir. Ngelmu batin adalah pengetahuan yang
berasal dari penerangan batin dan harus dipahami terutama dengan jalan olah rasa,
yang biasanya juga disertai laku (tapa, mati raga). Yang terpenting bagi para
penganut Kebatinan bukanlah bentuk dan rumusan “ajaran”, melainkan penghayatan batin akan isi ajaran itu, yang diusahakan dialami dan dilaksanakan
dalam kehidupan pribadinya. Kebatinan bertujuan mencari kebenaran, maka
kebenaran dimengerti sebagai kasunyatan “kebenaran ” yang dihayati dialami, dilaksanakan dan terbukti dalam kehidupan. Kebenaran macam inilah yang
menjadi pokok pembicaraan dalam sarasehan, bawa rasa (semacam sharring)
bila para warga Kebatinan berkumpul, entah dalam pertemuan organisasi, entah
dalam pertemuan pribadi antara murid dan guru ataupun sesama murid
(Banawiratma, 1986: 63).
b. Mistik Kebatinan
Segala sesuatu yang hidup adalah satu dan tunggal. Manusia dipandang
sebagai percikan dari zat hidup yang meliputi segala sesuatu, manusia mempunyai
dua segi lahir dan batin. Melalui segi batin, manusia dapat mencapai persatuan
dengan Zat Hidup. Untuk mencapai kesatuan dengan zat hidup, manusia harus
mengatasi segi-segi badaniah. Kebatinan merupakan mistik murni yang membuka
(36)
pada dasarnya Kebatinan itu mistik. Konsep mistik dalam aliran Kebatinan,
sebagaimana halnya mistisisme agama, intinya menekankan hubungan langsung
antara manusia dengan Tuhan, manusia sebagai pihak yang aktif berupaya untuk
dekat dengan Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan, yang sering disebut dengan
Manunggaling Kawula Gusti (Suwarno, 2005: 88).
c. Ciri-ciri Kebatinan
Dalam Kebatinan ada sifat dan ciri yang khas. Pada umumnya sifat-sifat
itu terdapat pada segala jenis aliran Kebatinan, meskipun tidak semua unsur sama.
Sebagai nilai, sebuah sifat dianggap hanya terdapat dalam lingkungan Kebatinan
sendiri. Bersama-sama akan dibahas sifat-sifat atau ciri-ciri dari Kebatinan yang
sebagai berikut:
1) Sifat pertama “Batin”
Kata batin mempunyai arti di dalam diri manusia. Kata tersebut berasal
dari kata arab, mempunyai arti: perut, rasa mendalam, tersembunyi rohani, asasi.
Dalam ilmu jiwa, batin dipergunakan sebagai sifat keunggulan terhadap perbuatan
lahiriah, peraturan dan hukum yang dilahirkan dari luar oleh pendapat umum.
Penilaian duniawi seringkali mementingkan kedudukan dan peranan manusia
yang tidak sebenarnya: gelar, pangkat, harta benda, kekuasaan. Dari semua itu
diremehkan oleh orang Kebatinan, ia berusaha menembus dinding alam
pancaindra untuk bersemayam pada asas terlahir dari kepribadiannya: yaitu Roh
(37)
2) Sifat kedua “Rasa”
Rasa adalah pengalaman rohani yang bersifat subjektif. Sifat “Rasa” tersebut merupakan reaksi terhadap gejala modernisasi yang mau menekankan
otak sebagai pengganti hati dan akal sebagai pengganti rasa, kegiatan lahiriah
sebagai pengganti pengalaman batin. Melawan itu diadakan latihan-latihan yang
menyiapkan manusia untuk menerima wahyu sendiri, mendengar suara didalam
hati, melukiskan hal yang membuat rasa tenteram dan puas (Rahmat, 1973: 129).
3) Sifat ketiga “Asli”
Sifat keaslian merupakan ciri khas Kebatinan. Sifat “asli” dalam ilmu Kebatinan merupakan reaksi terhadap gejala keterasingan manusia dalam dirinya
sendiri. Gerakan Kebatinan timbul sebagai gerakan yang mau
memperkembangkan kepribadian “asli”. Sifat asli ini juga merupakan reaksi
terhadap gejala yang cenderung mengabaikan keaslian budaya daerah. Dan
lingkungan universal “asli” merupakan reaksi terhadap gejala internalisasi
kebudayaan. Kebatinan di Indonesia mau menekankan dan mempertahankan gaya
hidup dan kesopanan Timur (Adimassana, 1986:13).
4) Sifat keempat “hubungan erat antar anggota”
Sifat hubungan erat antar warga yaitu mempererat dan mempersatukan
mereka yang tergabung dalam suatu aliran Kebatinan adalah kesamaan pandangan
hidup diantara mereka. Kesamaan tersebut di peroleh melalui “Jumbuhing Kawula Gusti”, yaitu kesatuan tiap-tiap anggota dengan Dia yang disembah, kepada jiwa perorangan melebur diri. Dengan demikian Kebatinan menyediakan pemenuhan
(38)
bagi kebutuhan untuk bersatu sama lain. Masyarakat yang terbentuk adalah
masyarakat yang berpola gotong royong dan kekeluargaan (Rahmat, 1973: 136).
5) Sifat kelima “akhlak sosial”
Dalam situasi sosial masyarakat kita kita banyak mendengar berita tentang
krisis sosial, kemrosotan akhlak, kerusuhan dimana-mana, kasus korupsi yang
merajalela. Bisa dikatakan bahwa dalam kaidah moral, masyarakat dewasa ini
tidak mengenakan tubuh “Kebatinan”. Oleh sebab itu agar manusia kembali pada
langkah kesusilaan asli dengan semboyan jawa “budi luhur dan sepi ing pamrih”. Dengan ungkapan lebih positif dikatakan bahwa “membangun masyarakat ialah
membangun diri sendiri, dan membangun diri sendiri adalah membangun
masyarakat”. Kesadaran semacam itu disebut sebagai “rasa bersatu” dengan
masyarakat. Jadi dalam masyarakat tidak ada rasa individualistis, sehingga yang
ada adalah “rasa sama”, rasa bersatu dengan masyarakat bisa tercapai bila
tiap-tiap individu mempunayai “rasa sama”. Rasa sama itu menimbulkan rasa enak
dalam gerak hidup sosial manusia (Adimassana, 1986: 39).
6) Sifat keenam “gaib”
Kebatinan memiliki kekuatan yang dihasilkan dari alam dan memberikan
gabungan aura positif terhadap orang yang mengalaminya. Maka didalam
Kebatinan umumnya terdapat kepercayaan pada daya-daya “gaib” yang suprarasional. Daya gaib itu ada dua macam, yaitu magi hitam dan magi putih.
Menurut Wangsanegoro, Kebatinan tidak termasuk sebagai magi hitam, karena
Kebatinan tidak menggunakan “klenik”. Yang dimaksud klenik adalah adanya praktek-praktek sesat yang dijiwai oleh nafsu setan. Ciri-ciri gejala “klenik”
(39)
adalah adanya praktek-praktek yang melanggar norma-norma agama, Kebatinan,
kerohanian, kejiwaan, norma susila dan hukum (Adimassana, 1973: 14).
d. Penggolongan Kebatinan
Dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Adimassana (1986: 22-23),
aliran-aliran Kebatinan memperkenalkan dengan nama “kepercayaan”. Dalam nama tersebut badan konggres Kebatinan Indonesia merumuskan tiga unsur, yaitu:
Kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian.
Kebatinan mengandaikan adanya ruang hidup dalam diri manusia yang
bersifat kekal. Seluruh alam kodrat dengan segala daya tenaganya hadir secara
imanen di dalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara bentuk. Bila
manusia mengaktifkan daya batinnya dengan segala rasa atau semedi, dia
membebaskan diri dari prasangka tentang keanekaan bentuk. Melalui kontak alam
gaib manusia menyadari diri sebagai satu dalam semua dan semua dalam satu:
corak Kebatinan adalah kosmosentris; terwujud dalam sakti, astrologi, okultisme
dan ramalan zaman depan.
Kejiwaan mengajarkan psikoteknik, melalui jiwa manusia menyadari diri
sebagai yang ada dan bebas mutlak yang tidak tergantung pada apa saja yang di
luarnya. Manusia dibimbing untuk mengatasi batas-batas hukum alam dan logika
untuk menuju realisasi jiwa sendiri, yang penuh rahasia, daya gaib. Di dalam
kebebasan ini manusia mengalami kemuliaan dan kebahagia. Kejiwaan juga
diartikan sebagai usaha untuk membebaskan jiwa dari belenggu keakuan dan
(40)
Kejiwaan itu berkembang, baik dalam faham pantheis, maupun dalam keyakinan
monotheis.
Kerohanian memperhatikan jalan, melalui mana roh manusia dapat bersatu
dengan Roh Tuhan. Terdapat kerohanian monistis, menurut mana roh insani yang
dianggap mengalir dari Tuhan. Terdapat pula kerohanian theosentris, dimana roh
insani tercipta merasa dipersatukan dengan Tuhan pencipta tanpa kehilangan
kepribadianya sendiri, entah melalui jalan budi atau gnosis, entah melalui cinta,
bhakti atau tawakkul.
2. Kebatinan Aliran Pangestu
Pangestu singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal yang artinya Persatuan
untuk dapat bertunggal. Tunggal itu dapat ditafsirkan secara horisintal maupun
vertikal melalui kesatuan (solidaritas) dengan golongan-golongan masyarakat,
maupun kesatuan dengan Tuhan. Ajaran Pangestu didirikan tanggal 20 Mei 1949
di Surakarta. Tetapi ajaran Pangestu diwahyukan pada tanggal 14 Febuari 1932
kepada R. Soenarto Mertowerdojo di rumah Widuran Surakarta (Dejong, 1976:
16). Ketika ia sedang duduk di serambi muka rumahnya, tiba-tiba seperti ada yang
bersabda tetapi tidak didengar melalui telinga, melainkan langsung dari hati R.
Sunarto, seperti kalimat berikut “Ketahuhilah yang dinamakan ilmu sejati ialah
petunjuk nyata, yaitu petunjuk jalan yang benar, jalan yang sampai pada asal mula
hidup” (Suwarno, 2005: 291).
Semua wahyu yang diterima oleh R. Soenarto dicatat dan dihimpun oleh
(41)
selama berbulan-bulan dan dihimpunnya menjadi Serat (Kitab) Sasangka Jati
(Jiwa Sejati).
B. Ajaran tentang Wahyu dan Iman dalam Kebatinan Pangestu
Dalam Kebatinan Jawa khususnya hal “wahyu pribadi” dengan aneka wujudnya merupakan salah satu pokok penting yang banyak digumuli. Sumber
ajaran yang disebut “piwulang” berasal dari penerangan batin guru yang menjadi pendiri aliran, yang didapatkannya melalui wahyu langsung dari Tuhan. Bagian
pertama, penulis akan membahas wahyu dari Tuhan dalam Pangestu yang dikenal
dengan wahyu Sasangka Jati dan bagian kedua akan membahas iman sebagai
jawaban untuk mendekat kepada Tuhan dengan syarat menjalankan ajaran dalam
kitab Sasangka Jati.
1. Wahyu Sasangka Jati dalam Pangestu
Dalam berbagai aliran Kebatinan dikenal beberapa wahyu sesuai dengan
pemberian nama alirannya masing-masing. Kebatinan Pangestu memberi
wahyunya dengan nama “Wahyu Sasangka Jati”. Telah dikisahkan bahwa penerima wahyu pertama adalah R. Soenarto.
Semua wahyu yang diterima oleh R. Soenarto dicatat dan dihimpun oleh
R. Tumenggung Harjoprakosa dan R. Sumodiharjo. Sabda yang diwahyukan
selama berbulan-bulan dan dihimpunnya menjadi Kitab Sasangka Jati (Jiwa
Sejati). Menurut Harjoprakosa, kitab Sasangka Jati harus dibedakan dengan
(42)
dengan Wahyu Kristus atau Wahyu Ilahi. Dalam ajaran Kebatinan Pangestu,
Wahyu adalah suatu hal yang diberikan oleh yang Maha Esa kepada manusia
terpilih, setelah melampaui ujian-ujian yang berat. Wahyu tidak memiliki sebuah
wujud. Datangnya wahyu tidak sekaligus tiba-tiba, namun secara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit, yang berati bahwa derajat Sasangka Jati itu didekati
selangkah demi selangkah melalui waktu yang lama. Wahyu ada dan tumbuh
dalam jiwa manusia terpilih. Wahyu itu anugrah bagi derajat kejiwaannya yang
tinggi. Wahyu tidak berbentuk atau berupa apa-apa. Wahyu merupakan suatu
derajat kejiwaan, pepadang (terang), Suksma Sejati, kesadaran hidup. Sebenarnya
tidak ditentukan siapa yang bisa menerima wahyu Sasangka Jati, yang
menentukan adalah cara atau jalan untuk mendapatkan wahyu yang terdapat
dalam kitab Sasangka Jati (Hardjoprakoso, 2010: 7-8).
2. Iman dalam Pangestu
Iman dalam ajaran Kebatinan Pangestu dirumuskan dengan gambaran
bahwa seorang beriman bersedia mendekati Tuhan dengan jalan menerima dan
melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati yang yang terkandung dalam kitab
Sasangka Jati. Terbentuknya iman karena manusia menanggapi wahyu Sasangka
Jati dengan mengimani dan melaksanakannya.
Ajaran Sang Guru Sejati yang terkandung dalam kitab Sasangka Jati
adalah sebagai berikut: (a) Hasta Sila, (b) Paliwara (larangan-larangan), (c)
Gumelaring Dumadi (terbentangnya alam semesta), (d) Tunggal Sabda (satu
(43)
tujuan), (h) Panembahan (pemujaan). Yang akan dipaparkan secara singkat
sebagai berikut (Suwarno, 2005: 297-300):
a. Hasta Sila
Ajaran hasta sila atau panembahan batin delapan sila, sebagai jalan untuk
kembali bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, dibagi menjadi dua bagian, yakni
Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila adalah panembahan hati dan cipta kepada Tuhan
Yang Maha Tunggal. Tri Sila terdiri atas: sadar (Eling), percaya (Piandel), dan
taat (Mituhu). Panca sila atau lima watak utama, terdiri dari: rela, narima,
jujur,sabar, dan budi luhur. b. Paliwara
Paliwara adalah pokok larangan Tuhan kepada manusia. Pokok larangan
ada lima macam, yaitu:
1) Jangan menyembah selain kepada Allah.
2) Berhati-hatilah dalam hal syahwat.
3) Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya
badan jasmani.
4) Taatilah undang-undang negara dan peraturannya.
5) Jangan berselisih.
c. Gumelaring Dumadi
Gumelaring Dumadi berisi penjelasan tentang terjadinya dunia besar atau
(44)
seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, para dewa dan makluk halus seperti
jin, setan.
d. Tunggal Sabda
Tunggal Sabda mengandung arti bahwa baik Kitab Suci Al-quran, maupun
Kitab Suci Injil, demikian juga kitab Sasangka Jati, ketiga-tiganya merupakan
sabda tunggal atau tunggal sabda, dalam arti sama-sama sabda dari Tuhan Allah.
Islam dan Kristen adalah agama besar, keduanya mempunyai nabi dan rasul, yaitu
Nabi Muhammad dan Nabi Isa. Sementara itu Pangestu menyatakan diri bukan
agama dan tidak akan mendirikan agama baru. Pangestu juga tidak mempunyai
nabi dan rasul yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Sementara R. Sunarto
sendiri mengaku hanya sebagai “siswa” Suksma Sejati dan menyebut dirinya
hanya sebagai warana (perantara ) sabda.
e. Jalan Rahayu
Jalan rahayu berarti jalan selamat, yaitu jalan utama untuk mencapai makna
petunjuk dalam hasta sila, terdiri dari lima ajaran sebagai berikut:
1) Pahugeran Tuhan kepada hamba, sebagai dasar kepercayaan.
2) Panembahan sebagai sarana untuk memperkuat kebaktian kepada Tuhan.
3) Budi darma sebagai wujud kasih sayang kepada hidup.
4) Mengekang hawa nafsu.
(45)
f. Sangkan Paran
Sangkan Paran mengandung arti dari mana asal mulanya dan kemana
tujuanya. Sangkan paraning ngaurip, mengandung arti dari mana asalnya dan
kemana tujuan hidupnya. Sangkan paran berisi lima ajaran sebagai berikut:
1) Kembalinya jiwa ke asal mulanya, jika tiba saatnya hamba dipanggil ke
hadirat Tuhan.
2) Sebab-sebab yang merintangi kembalinya jiwa ke asal mulanya, karena
melanggar larangan Tuhan.
3) Pahala dan pidana Tuhan
4) Datangnya pembalasan dan pidana Tuhan.
5) Datangnya pembalasan bagi perbuatan buruk yang belum dibebaskan melalui
pertobatan.
g. Panembahan Tiga Tingkat
1) Panembah raga kepada Roh suci adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang
masih muda. Pada tingkatan ini Roh suci berupaya menundukkan empat
nafsu, yakni: lawwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah.
2) Panembah Roh suci kepada Suksma Sejati, adalah tingkatan penembah bagi
jiwa yang telah dewasa, karena roh suci telah berhasil menundukkan hawa
nafsunya. Pada tingkatan ini Roh Suci berupaya taat kepada suksma sejati.
3) Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas adalah tingkatan
panembah bagi jiwa yang telah luhur budinya. Panembah pada tingkat ini
(46)
Melalui penyucian jiwa, penjernihan batin, lewat olah rasa, maka di
sanalah wahyu mendapat tempatnya. Iman merupakan sebuah pertemuan atau
perjumpaan manusia kepada Allah dan manusia memberikan diri kepada Allah
sepenuhnya dengan menjalankan ajaran yang menjadi syarat untuk menjadi siswa
Sang Guru Sejati. Selain itu Pangestu juga terbuka untuk belajar sari-sari
kehidupan dari sastra jawa, seperti kisah Dewa Ruci dalam buku pegangan wajib
Pangestu, digunakan untuk penggambaran kehidupan manusia (Soemantri, 2011:
22).
C. Ajaran tentang Allah
Para anggota Kebatinan Pangestu yakin bahwa hanya ada satu Tuhan yang
wajib disembah hal ini dinyatakan dalam kitab Sasangka Jati: “Sesungguhnya Tuhan yang wajib disembah itu hanya satu, tidak ada Tuhan Yang wajib disembah
kecuali Allah, dan Allah itu tempat sesembahan yang sejati” (Soenarto, 2014: 96).
Tuhan adalah kekal, tidak mengalami perubahan, tidak hidup tidak mati.
Berdiam-Nya Allah ialah di dasar hidup. Hidup itu kekal di situlah Allah berdiam.
Kediaman Tuhan di dasar hidup, di hati sanubari para hamba yang digambarkan
sebagai bayangan matahari yang kelihatan di dalam tempayan-tempayan air yang
diletakkan di halaman rumah. Di setiap tempayan itu nampak ada satu matahari,
walaupun sesungguhnya matahari tidak berada di dalam masing-masing tempayan
itu, dan matahari sebenarnya tetap satu (Solarso, 1987: 44). Tuhan yang mutlak
(47)
ke-tri-tunggalan. Bahwa Allah Yang Esa itu disebut Tri Purusha, yang selanjutnya
paham Allah dalam Tri Purusha akan diterangkan sebagai keadaan satu yang
bersifat tiga, seperti yang diterangkan dibawah ini:
1. Suksma Kawekas (Tuhan Yang Sejati), dalam bahasa Arabnya Allah Ta’Ala.
2. Suksma Sejati (Pemimpin Sejati: Panuntun Sejati-Guru Sejati) Utusan Tuhan.
3. Roh Suci (Manusia Sejati), ialah jiwa Manusia yang sejati.
Allah Yang Maha Esa adalah satu di dalam hakekatnya, tapi menampakkan diri
dalam tiga aspek. Ketiga aspek itu adalah Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan
Roh Suci. Suksma berarti yang membawa hidup, atau yang membuat hidup, yang
menyebabkan kita merasa hidup (Harun, 1970: 55-56).
Suksma kawekas telah bertahta sebelum apa-apa berbentuk dan berwujud.
Ia dipandang sebagai asal mula kesadaran hidup yang tidak terbatas, tenang
tenteram dan tidak bergerak. Suksma Kawekas adalah suksma yang mulia dan
yang tertinggi dalam hidup, hidup dalam keadaaan yang tenang dan statis. Ia
disamakan dengan air lautan yang tenang tanpa gelombang.
Suksma Sejati adalah panutan sejati atau pemberi hidup yang sejati. Dalam
hal ini keadaan hidup yang dinamis, hidup yang sudah memiliki aktivitas,
digambarkan sebagai air lautan yang bergerak , dimana ada gelombang. Ia adalah
kesadaran hidup yang dinamis. Ia adalah utusan yang sejati yang disebut Nur
Muhamad atau cahaya Allah yang selanjutnya dikatakan bahwa Nur Muhamad
ialah yang juga disebut Kristus dalam agama Kristen atau yang disebut Sang
Putra/Sang Anak. Karena kesadaran Agung ini bernuansa kasih sayang, maka
(48)
kepada Suksma Sejati, seperti seorang ayah melimpahkan semua kasihnya kepada
anaknya. Meminjam perimbangan ini maka Suksma Kawekas adalah Sang Rama
dan Suksma Sejati yang disebut Sang Putra (Soemantri, 2011 : 8).
Suksma Sejati dapat disebut sebagai Tuhan yang tersingkap. Keadaan Tuhan yang
terselubung tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia, karena
setinggi-tingginya manusia hanya dapat mempunyai pengetahuan mistis.
Mengenai Roh Suci dikatakan bahwa Ia adalah jiwa manusia atau manusia
sejati dan hakekat manusia. Bila Suksma Kawekas digambarkan samodra yang
tenang, Suksma Sejati digambarkan samodra yang bergelombang, maka Roh Suci
ialah titik-titik air yang menguap yang melepaskan diri dari samodra, ini kecil dan
terbatas bila dibanding dengan samodra, namun sama-sama air (Harun, 1970:
55-57).
D. Ajaran Penciptaan
Kitab Sasangka Jati menerangkan penjadian semesta alam dan segala
isinya dibuka dengan penegasan bahwa sebelum apa-apa ada, Tuhan telah bertahta
dengan Sukma Sejati, yaitu di dalam keadaan yang sejati, ialah istana Tuhan atau
dasar hidup. Tuhan telah ada sebelum sesuatu ada. Sebelum buana tercipta, Tuhan
mempunyai karsa menurunkan Roh suci ialah sinar Tuhan sendiri (Soenarto,
2014: 41). Proses penciptaan dimulai dengan pembuatan bahan dasar yang disebut
(49)
1. Penjadian Empat Anasir sebagai Bahan Dasar Penciptaan
Anasir dalam Pangestu tidak bisa dipandang sebagai semata-mata ilmu
kimia. Yang lebih dahulu diciptakan Tuhan ialah keempat anasir: udara , air , api
dan tanah. Keempat anasir berbentuk halus sekali. Terjadinya keempat anasir
berasal dari kekuasaan Tuhan, oleh sebab itu dapat diumpamakan dengan pelita
dan asapnya (Soenarto, 2014: 41). Atas kehendak Suksma Kawekas yang
disabdakan oleh Suksma Sejati maka terjadilah unsur-unsur (Soemantri, 2011:
10). Gambaran ini harus diartikan sejajar mengingat Suksma Sejati adalah sang
sabda yang berasal dari Suksma Kawekas dan menjadi pemegang kekuasaan
sehingga terjadilah keempat anasir itu. Sumber kekuasaan itu berasal dari Tuhan
sendiri yang digambarkan sebagai nyala pelita, sedangkan asapnya yang berasal
dari pelita itu adalah keempat anasirnya. Penjadian anasir-anasir terjadi dalam
kekuasaan Tri Purusha, konsep penciptaan itu sebagai proses emanasi (Soewarno,
2005: 312).
2. Penciptaan Semesta Alam
Adapun sebab perlunya alam semesta dijadikan ialah Tuhan mempunyai
kehendak untuk menurunkan Roh Suci, yaitu cahaya Tuhan. Tetapi kehendak itu
terhenti karena belum ada wadahnya dan tempatnya. Oleh sebab itu Tuhan lalu
membuat alam semesta. Dengan kata lain dijadikan semesta alam ini supaya Roh
Suci dapat diturunkan (Soenarto, 2014: 42).
Penjadian alam semesta sebagai berikut, mula-mula unsur tanah itu halus
(50)
seperti kabut, kemudian bergerak turun jatuh di air. Lumpur cair tadi makin
banyak dan mengembang di atas air. Panas yang timbul dari api baik yang berada
dilapisan atas dan dilapisan bawah mempengaruhi lapisan air itu. Begitu juga
unsur hawa ikut mempengaruhi air tersebut. Terkumpulnya daya dari keempat
anasir tadi menyebabkan bergeraknya air. Makin lama gerakan air itu makin
hebat, sehingga menggelora sangat dasyat. Oleh geraknya air ini, lumpur yang
mengapung di atas air itu seperti diputar diatas nyiru. Lama kelamaan
terkumpulah menjadi satu. Oleh karena panasnya api, lumpur yang telah
terkumpul tadi lama kelamaan menjadi kering. Sementara menggelorannya air
tidaklah berhenti-henti, oleh karena kekeuasaan Tuhan. Seolah-olah sudah
direncanakan lumpur tadi mengeras lama kelamaan berbentuk semesta raya
(Sularso, 1987: 59).
3. Penciptaan Manusia
Penjadian manusia setelah dunia besar ini terbentuk. Mula-mula Tuhan
menjadikan seorang laki-laki, dialah yang akan menurunkan benih atau menjadi
sarana turunnya Roh Suci. Kemudian Tuhan menjadikan perempuan yang menjadi
sarana untuk memberi tempat turunnya Roh suci. Semua itu terjadi dalam
kekuasaan Tuhan. Sehingga sampai kini turunnya Roh Suci melalui laki-laki dan
perempuan (Soenarto, 2014: 45).
Adapun terjadinya manusia itu adalah dari cahaya kesatuan Tri Phurusa:
Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci. Yang diberi pakaian dari anasir
(51)
dasar kasar dan halus. Manusia mempunya empat anasir yang sama seperti dunia
besar (makrokosmos), maka manusia dapat disebut dunia kecil (mikrokosmos).
Dunia besar dan kecil dapat saling menguasai dan mempengaruhi (Soenarto,
2014: 44).
Susunan manusia adalah sebagai berikut, manusia mempunyai badan
rangkap. Pertama: badan jasmani kasar atau tubuh yang dapat dilihat dengan
mata, yang terjadi dari keempat anasir. Kedua: badan halus/badan Rohani atau
suksma yang tidak kelihatan, yang terjadinya dari cahaya kesatuan Tri Purusha: Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci. Badan kasar dapat hidup bergerak
dan bekerja karena dihidupkan oleh Roh yang memakai pakaian badan kasar.
Badan jasmani dan badan halus tersebut diperlengkapi dengan perkakas hidup
sendiri-sendiri. Perkakas badan jasmani adalah alat-alat badan jasmani, yaitu
panca indera: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, perasa.
Perkakas badan halus adalah alat-alat badan rohani (jiwa), ialah
angen-angen, nafsu dan perasaan. Tugas angen-angen ialah menangkap segala sesuatu
yang ada dalam dunia besar ini kedalam otak, melalui pintu gerbang panca indera.
Angen-angen terjadi dari bayangan Tri Purusha. Kerja angen-angen terdiri dari
tiga segi: pikir (cipta), kekutannya disebut Pangaribawa. Nalar (pikiran),
kekutannya disebut Prabawa. Pangerti atau akal budi kekuatannya disebut
Kemayan. Bayangan Tri Purusha dalam angen-angen sebagai berikut: pikir (cipta)
adalah sebagai pantulan Roh Suci. Nalar (pikiran) adalah sebagai pantulan
(52)
adalah sebagai pantulan suksma kawekas, yang mempunyai fungsi merangkum,
mengerti, mengawasi dan menyadari (Harun, 1970: 64).
Nafsu: terdiri dari empat macam: lauwamah, amarah, sufiah dan
mutmainah, yang terjadi dari cahaya empat anasir. Nafsu empat macam itu adalah
daya yang timbul oleh gerak nafsu keinginan yang mendorong untuk berbuat,
yang menjelma menjadi kehendak untuk mencapai keinginan atau mencapai
kebutuhan. Nafsu Lauwamah, terjadi dari unsur tanah/bumi, dan berada dalam
daging manusia. Lauwamah merupakan dorongan egoisme, keselamatan diri dan
enggan memulai gerak-gerik, mencari enaknya saja, puas diri, nafsu syahwat.
Wataknya: nista, tamak, loba, malas, tidak tau membalas budi dan sebagainya.
Namun jika sudah mau tunduk, dapat menjadi dasar keteguhan. Nafsu Amarah,
terjadi dari unsur api, dan bertempat merata di dalam darah diseluruh tubuh
manusia. Wataknya: keras, lekas naik darah, pemarah, suka uring-uringan.
Amarah menjadi saudara nafsu yang lain untuk berbuat buruk atau baik. Sebab
itu ia berpengaruh bagi kekuatan saudara-saudara yang lain, untuk mencapai apa
yang mereka inginkan. Nafsu Sufiah (kehendak), terjadi dari unsur air, wujud
kasarnya berada dalam sumsung. Wujud halusnya menjadi kehendak. Sufiah itu
menimbulkan keinginan, cinta asmara atau rasa tertarik kepada yang indah. Nafsu
Mutmainah, terjadi unsur hawa, berada dalam nafas (udara). Wataknya: terang
suci, bakti, belas kasihan. Nafsu mutmainah adalah dorongan kearah
perikemanusiaan, sosial, suprasosial dan cinta kepada sesama makluk (Suwarno,
(53)
Perasaan merupakan hasil saling mempengaruhi (interaksi) antara
angan-angan dengan nafsu. Bila angan-angan-angan-angan dan nafsu selaras, maka perasaan menjadi
positif, yaitu menerima senang dan puas. Bila tidak selaras, perasaan menjadi
negatif, menolak, sedih. Fungsi tertinggi dari perasaan adalah taat kepada Tri
Purusha. Diantara badan halus dan alam sejati ada pintu yang disebut Rasha Jati.
Melalui pintu ini Tuhan memancarkan pepadang dan tuntunan-Nya. Rasha Jati
adalah iklim jiwa bersih, murni, terang benderang. Jika angan-angan selalu
ditunjukkan ke dunia luar, Rasha Jati akan selalu tertutup, dalam keadaan
demikian hati manusia menjadi gelap dan tidak suci. Hendaknya manusia
mengarahkan angan-angannya ke alam sejati agar pintu Rasha Jati terbuka. Alam
Sejati tempat bertahta Tri Purusha adalah Kerajaan Allah yang berada di hati
sanubari manusia suci. Keadaan Tri Purusha dalam hati sanubari tidak
memerlukan tempat khusus, tidak terasa, tidak terlihat, tidak teraba. Di ibaratkan
bayang-bayang matahari di dalam air yang tidak memerlukan tempat tersendiri
seolah-olah bersatu dengan airnya. Demikian pula Tuhan meliputi alam semesta
dan seisinya (Soemantri, 2011: 19).
E. Ajaran keselamatan
Pada waktu menjadi manusia Roh Suci diselubungi oleh empat unsur
(badan jasmani). Dalam badan jasmani hubungan antara Roh Suci, Suksma Sejati,
Suksma Kawekas tidak dapat dipisahkan. Tri Puruhsa memang benar-benar
berada dalam jiwa manusia dan tidak terikat oleh badan jasmani. Hanya saja oleh
(54)
itu, maka suasana yang terang, penuh damai dan kebahagiaan, yang mula-mula
dirasakan Roh Suci itu musnah. Perasaan manusia diliputi gelap gulita. Kesadaran
Tri Purusa: Suksma Kawekas, Suksma Sejati, Roh Suci dalam diri manusia
menjadi terpendam. Manusia hidup dalam rasa ketidak damaian, namun Tuhan
yang maha luhur memberikan jalan kebenaran melalui utusan-Nya, kepada
manusia supaya menikmati kemuliaan sejati semasa di dunia sampai akhirat.
Dengan kata lain agar manusia bersatu dengan Tuhan. Oleh karena itu arti dasar
keselamatan hidup manusia di dunia harus dicari dalam hakikat arti “nunggal laras dengan sifat-sifat dan persatuan luluh hidup manusia dengan Tuhan”
(Soenarto, 2013: 12).
Ajaran Kebatinan Pangestu mengajarkan keselamatan/kedamaian sejati
adalah kepada Tuhan dan sarana mencapai keselamatan dengan menerima suksma
sejati, mengatur angan-angan, nafsu, perasaan serta bersatu dengan Suksma Sejati
dan Suksma Kawekas.
1. Keselamatan Sejati kepada Tuhan
Tuhan yang bertahta dipusat hati manusia, bertahta di kerajaan kedamaian
abadi. Di dalam kerajaan tersebut Tuhan hidup dalam kenikmatan sejati: damai
yang tak berubah, bahagia, mulia, kudus. Kerajaan tersebut bukanlah keadaan
suatu tempat dimana masih ada rasa suka duka, tetapi suatu keadaan yang tidak
lagi oleh rasa-merasa, suka-duka, hidup-mati, yang tinggal hanyalah kedamaian
abadi yang tak ada bandingannya. Jadi kedamaian sejati adalah nikmat rasa damai
(55)
kedamaian abdi Tuhan, sejauh hidupnya suci di bawah pimpinan dan bimbingan
Sang Guru Sejati (Suksma Sejati) tanpa itu tidak mungkin.
2. Sarana untuk Mencapai Keselamatan
Tidak begitu mudah bagi manusia untuk memperoleh keselamatan hidup
di dunia. Manusia harus dapat manunggal-laras dengan sifat-sifat Tuhan.
Kesulitan manusia dalam bertunggal dengan Tuhan karena manusia telah
mengenakan selubung empat unsur (udara, air, api, tanah) yang memancarkan
empat nafsu (lauwamah, amarah, sufiah dan mutmainah) bila tidak terarah akan
menghambat jalan menuju kekudusan. Tiga nafsu (lauwamah, amarah, sufiah)
yang tidak mudah diatur oleh sang “Aku” agar selaras dengan kehendak Tuhan. Juga karena roh jahat dalam diri manusia yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat kenikmatan dunia yang akhirnya membuahkan dosa.
Tetapi bagaimanapun juga usaha dari manusia adalah yang paling
menentukan, dalam Pangestu sarana dan jalan memperoleh kedamaian akan
dijabarkan dibawah ini:
a. Keterbukaan pada Suksma Sejati
Agar mempermudah dalam mencapai kedamaian, manusia harus percaya,
memahami dan memaknai akan syahadat dasar Tri Sila yang telah disanggupi
sebagai pedoman hidup. Dan bunyi syahadat tersebut:
Suksma Kawekas adalah tetap pujaan hamba yang sejati, dan Suksma
Sejati adalah tetap utusan suksma kawekas yang sejati ialah pemimpin dan
guru hamba yang sejati. Hanya suksma kawekas pribadi yang menguasai semua alam seisinya, hanya Suksma Sejati pribadi yang menuntun para
(56)
hamba semua. Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, berada ditangan Suksma Sejati dan hamba semua berada di dalam kekuasaan
Suksma Sejati (Soenarto, 2014: 119).
Demikian manusia harus percaya sadar dan menyembah kepada Tri
Purusha. Percaya kepada-Nya merupakan sarana menerima daya kekuatan serta
sarana menaati segala perintah dan petunjuk-Nya. Syahadat dasar ini dilakukan
dengan sadar, percaya, taat yang dihayati dengan sungguh-sungguh. Sadar, akan
menghasilkan kebikjaksanaan yang dapat dipergunakan manusia untuk
membersihkan diri. Percaya, akan menghasilkan untuk mengendalikan
angan-angan, guna menghilangkan rasa benci, iri, sakit hati, putus asa dan rasa negatif
lainnya. Taat, akan menghasilkan keterarahan kehendak Suksma Kawekas dan
Suksma Sejati sehingga cita-cita bersatu dengan Suksma Sejati tercapai.
Bila manusia hatinya belum bersih dan masih diombang-ambingkan oleh
nafsu-nafsunya, maka manusia tidak dapat merasakan pimpinan Suksma Sejati
dalam dirinya. Hati manusia penuh dengan segala semak kedosaan yang
mengotori hati dan memadamkan iman. Semak-semak kedosaan itu harus
dibersihkan. Sebelum hati dibersihkan, manusia tidak akan mampu menerima
pepadang dari Suksma Sejati, yang adalah sabda Tuhan (Suksma Kawekas)
sendiri. Untuk tobat dan pembersihan hati dapat dipelajari dalam ajaran Suksma
Sejati yang tercantum dalam serat Hasta Sila dan serat Paliwara. Sebagai
pelaksanaanya adalah dalam ajaran Jalan Rahayu. Pada intinya disamping
berprasetya pada Tuhan bahwa tidak akan berbuat dosa lagi, manusia harus dapat:
1) Narimo menerima segala percobaan hidup yang telah menimpanya dan
(57)
2) Melaksanakan budi darma, didasarkan pada rasa belas kasih tanpa pamrih.
3) Pasrah penuh kepercayaan kepada sang juru penebus dosa (suksma sejati)
dengan melaksanakan panca sila (rila, narimo, temen, sabar, budiluhur).
4) Mohon pengampunan dan kekuatan kepada Tuhan, baik kalau dijalani dengan
tapa brata yang ikhlas.
Dengan jalan yang dilandasi syahadat dasar dan sikap pertobatan dalam
petunjuk serat Sasangka Jati tersebut, manusia akan mengalami kehadiran Suksma
Sejati di pusat hatinya dalam kesatuan dengan Suksma Kawekas dan Roh Suci,
manusia merasa dekat dan bersatu dengan Suksma Sejati di pusat hatinya.
Bila hidup manusia telah berada dalam bimbingan Suksma Sejati maka
manusia menerima pepadang dari Suksma Sejati yang menimbulkan rasa damai
tentram, bahagia yang dapat menyapu segala kekhawatiran, kesusahan, dan hidup
manusia menjadi terang, cipta nalar pangerti tidak sesat, kalau tertimpa
penderitaan tidak mudah bingung dan berkeluh kesah. Dengan rasa bakti, rasa
jatuh cinta, rasa dekat dan rasa bersatu dengan Suksma Sejati yang terlaksana
dalam menyembah dengan sepenuh hati dan tindak cinta kasih kepada sesama
didasari tapa brata secukupnya, manusia menemukan bersatunya dengan Suksma
Sejati yang bertahta di Rasha Jati (pusat hatinya) (Warnabinarja, 1977: 29).
b. Mengatur Angan-Angan, Nafsu-Nafsu dan Perasaan-Perasaan
Angan-angan, nafsu-nafsu dan perasaaan adalah tiga hal yang harus
dikendalikan oleh manusia agar berjalan seimbang dan selaras. Yang dapat
(58)
selalu berhubungan dengan Suksma Sejati agar selalu menerima kekuasaan dan
kebijaksanaan. Keseimbangan antara angan-angan dan perasaan menyebabkan
jiwa manusia menjadi tenang dan tenteram, pikiran terang, hati menjadi ringan,
lega dan bahagia, keinginan tidak timbul bagaikan cendana dimusim hujan.
Kenyataan memang tidak mudah menyelaraskan angan-angan, nafsu-nafsu dan
perasaan-perasaan. Hal ini disebabkan karena kekurangan kepercayaan kepada
Suksma Kawekas melalui suksma sejati dalam hati manusia, juga karena manusia
tunduk kepada nafsu duniawinya. Oleh karena itu sebagai keseimbangan, manusia
harus melatih diri dengan melaksanakan pedoman Hasta Sila, yang
pelaksanaannya melalui Jalan Rahayu, panembah dengan memperhatikan
Paliwara. Setiap hari manusia harus sanggup melatih diri, jujur, melihat
kekurangan diri apa yang dimaksud dalam Hasta Sila. Juga setiap hari manusia
harus rajin menjalankan panembahan yang berati menggiatkan Tri Sila
(Warnabinarja, 1977: 30).
Bagaimana ketiga faktor (angan-angan, nafsu, perasaan) bekerjasama,
nafsu-nafsu adalah salah satu unsur dalam jiwa manusia. Nafsu yang
dimaksudkan: lauwamah, amarah, sufiah dan mutmainah. Nafsu-nafsu ini dapat
dikatakan sebagai pendorong kekuatan angan-angan dan perasaan. Lebih
jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut: misal ada keinginan (dari sufiah),
getaran keinginan itu dihubungkan dengan angan-angan sehingga manusia
mempunyai gambaran tertentu tentang apa yang diinginkannya, kemudian
getaran apa yang diinginkan sampai pada perasaan, sehingga manusia merasa
(59)
menimbulkan pergolakan dalam angan-angan antara cipta-nalar-pangerti, dari
situ timbulah pengertian yang jelas tentang yang diinginkan, pengertian yang jelas
itu lalu menggerakkan kembali nafsu keinginan supaya lebih giat mendorongnya,
oleh dorongan lebih giat tersebut angan-angan memerintahkan alat-alat pelaksana
(panca indera) untuk mencapai keinginan tersebut. Apa bila keinginan tercapai
perasaan akan merasa positif, apa bila tidak akan merasa ngatif. Untuk dapat
mengekang dan menundukkan angan-angan manusia harus menyerahkan
kesadaran kepada Suksma Sejati.
Cara mudah dalam perasaan positif adalah melaksanakan tapa brata dan
budi darma tertuju kepada perasaan positif dengan selalu membiasakan diri selalu
bergembira dan menjalankan banyak hal untuk keperluan sesama manusia.
Lebih-lebih tentang dirinya sendiri, tidak boleh merasa dengan pedih hati, rendah diri,
karena hal itu berati kurang percaya terhadap keadilan Tuhan. Perasaan positif
adalah syarat mutlak untuk bersatu dengan Suksma Sejati.
c. Bersatu luluh dengan Suksma Sejati dan Suksma Kawekas
Dalam mencapai persatuan luluh manusia harus menyadari bahwa dirinya
terbelenggu oleh keduniaan yang menjadi penyekat persatuan luluh. Belenggu
tersebut akibat dari aktivitas cipta dan angan-angan yang selalu berubah-ubah
sehingga menimbulkan kelekatan pada kebendaan fana menyebabkan timbulnya
rasa seneng sedih, marah bingung, kesal, keluh kesah kecewa. Demikian juga
kalau nafsu-nafsu kemauan keinginan tidak ditaklukkan akan menimbulkan
(60)
membebaskan diri dari belenggu kebendaan dan kefanaan dunia sehingga manusia
sampai kepada “pamudaran” yang merupakan kunci untuk dapat bersatu luluh
dengan Tuhan melalui suksma sejati. Cara ini dapat dilakukan dengan
menjalankan perintah sesuai dengan sifat-sifat dari Tuhan sendiri yaitu dengan
melaksanakan “Jalan Rahayu” (Warnabinarja, 1977:32).
F. Ajaran Penghayatan Pangestu dalam Kehidupan
Sikap hidup Pangestu bertalian erat dengan pandangannya terhadap dunia
material yang dapat disentuh oleh panca indera. Dalam mensikapi hidup ada tiga
unsur utama yaitu: distansi, konsentrasi dan representasi. Manusia mengambil
distansi (jarak) terhadap dunia (jagad gedhe). Kemudian diadakan konsentrasi
terhadap dirinya sendiri, inipun semacam distansi terhadap badannya sendiri
(jagad cilik). Hasil dari distansi dan konsentrasi adalah representasi. Melepaskan
ikatan dunia material dan batin yang dimurnikan, maka orang menjalankan
kehidupannya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia (Dejong, 1975: 15).
1. Distansi
Tiga macam sifat manusia yang dapat diambil distansi terhadap dunia yang
pertama, rela (rila) menyerahkan segala miliknya, yang kedua menerima (narima)
dengan riang hati segala sesuatu yang menimpa dirinya, dan yang ketiga hidup
dengan sabar dan toleransi (sabar). Dalam tiga pengertian inilah terwujud distansi
(61)
a. Rila
Rila merupakan langkah pertama pada jalan hidup yang sempurna. Lambat
laun orang harus menyerahkan segala miliknya, kemampuan, dan hasil kerja
dengan keiklasan hati.
Sesungguhnya yang disebut rila itu adalah keikhlasan hati dengan rasa
bahagia dalam hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dan semua buah
pekerjaannya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, karena mengingat bahwa
semuanya itu ada dalam kekuasaan Tuhan maka dari itu harus tiada suatu apapun
membekas didalam hati. Orang yang mempunyai watak rela tidak patut
mengharapkan buah jerih payahnya, tidak patut bersusah hati dan berkeluh kesah
tentang semua penderitaan dan kesengsaraan. Orang yang rela tidak
menginginkan sanjungan puji dan kemashuran. Tidak iri hati, serta tidak lekat
kepada semua benda yang dapat dirusak, tetapi bukan orang yang melalaikan
kewajiban (Soenarto, 2014: 12).
Barangsiapa yang menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, akan berdoa
juga denga cara lain. Berdoa agar dapat dibebaskan dari duka itu tak ada artinya,
manusia harus menyerahkan segala segala keinginannya dan menyerahkan dirinya
tanpa keinginan dan kemauan sedikitpun kepada Yang Maha Kuasa.
b. Narima
Narima artinya merasa puas dengan nasibnya, tidak memberontak,
menerima dengan rasa terima kasih. Sikap rila mengarahkan perhatian kepada
segala sesuatu yang telah kita capai dengan daya upaya sendiri, sedangkan narima
(62)
kita, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat kewajiban yang ditanggung
oleh manusia. Dengan demikian manusia harus menerima kenyataan yang terjadi
dalam kehidupannya. Sikap narima itu adalah sesuatu harta yang tak
habis-habisnya, oleh karena itu barangsiapa yang berhasrat mendapat kekayaan, carilah
di dalam sifat narima. Bahagialah orang yang memiliki watak narima itu dalam
hidupnya, karena ia unggul terhadap keadaan tidak kekal (Soenarto, 2014: 13).
Narima berati ketenangan hati dalam menerima segala sesuatu dari dunia
luar, harta benda, kedudukan sosial, nasib malang dan untung. Narima tidak
menyelamatkan orang dari mara bahaya yang dapat menimpanya melainkan
merupakan suatu perisai terhadap penderitaan. Sebab musabab lahiriah hendaklah
diterima seperti apa adanya. Narima adalah sikap perbaikan dalam diri manusia,
bagaimana menerima menghayati segala yang terjadi dalam kehidupan (Dejong,
1975:19).
c. Sabar
Hanya orang yang menjalankan rila dan narima akan menjadi sabar.
Seorang yang dengan rela hati menyerahkan diri dan yang menerima dengan
senang hati sudah bersikap sabar. Kesabaran merupakan kelapangan dada yang
dapat merangkul segala pertentangan. Kesabaran itu laksana samudra yang tidak
bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai yang bermuara padanya. Maka
kesabaran jangan disamakan dengan semacam kemalasan batin yang hanya
menopang dagu secara pasif. Dalam Pangestu kesabaran diartikan sebagai sikap
pengekangan diri yang paling tinggi. Barangsiapa sabar, tidak tergoncangkan dan
(1)
143
Kongregasi Suci Para Klerus. (1971). Derectorium catechisticum Generale. (J.S. Setyokarjana, Penerjemah). Yogyakarta: Puskat.
Lalu, Yosef. (2005). Katekese Umat.Jakarta: KWI.
Lembaga Biblika Indonesia. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.
Mulder, Niels. (1983). Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Mertoatmodjo. (1990). Olah Rasa. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
Michel, Thomas. (2001). Pokok-Pokok Iman Kristiani. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Rausch, Thomas P. (2001). Katolisisme. Yogyakarta: Kanisius.
Rukiyanto, Bernadus A. (2012). Katekese Di Tengah Arus Globalisasi. Dalam B. A. Rukiyanto (ed.). Pewartaan Di Zaman Global (hal: 61). Yogyakarta: Kanisius.
Prasetyo, L. (1999). Panduan Untuk Calon Baptis Dewasa. Yogyakarta: Kanisius. Papo, Yakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah.
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia II. (1981). Rumus katekese umat yang dihasilkan PPKKI II. Dalam Th. Huber (Ed). Katekese umat: Hasil Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia II (hl. 15-23). Yogyakarta: Kanisius.
Rahmat Subagyo. (1973). Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan Dan Agama. Majalah Spektrum 3.
Sarwedi Sosrosudigdo. (1965). Fungsi Dan Arti Kebatinan Untuk Pribadi Dan Revolusi. Jakarta: Balai Pustaka.
Soenarto Mertowardojo. (2013). Olah Rasa Di Dalam Rasa. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
_____________. 2014. Sasangka Jati. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
Suwarno Imam S. (2005). Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soemantri Hardjoprakoso.(2011). Arsip Sarjana Budi Santosa. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
Sularso Sopater. (1987). Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sumarno Ds, M. S.J. (2011). Program Pengalaman Lapangan Agama Katolik Paroki. Diktat kuliah semester VI IPPAK USD.
Telaumbanua, Marinus.(1999). Ilmu Kateketik-Hakikat, Metode dan Peserta Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor.
Warnabinarja, Is. (1977). “Kedamaian Menurut Pangestu”. Dalam Sumbangan Kebatinan (V/10): 29-32. Yogyakarta: Seri Kolosani.
Yohanes Paulus II. (1969). Ad Gentes (Tentang Kegiatan Misi Gereja). Ende-Flores: Nusa Indah.
_____________.(1990). Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja). (Penyelenggaraan Katekese). (R. Hardawiryana, penterjemah). Jakarta: Dokpen KWI.
_____________. (1990). Dei Verbum (Konstitusi Tentang Wahyu Ilahi). (R. Hardawiryana, penterjemah). Jakarta: Dokpen KWI.
(2)
144
_____________. (1991). Nostra Aetate (Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani). (R. Hardawiryana, penterjemah). Jakarta: Dokpen KWI.
_____________. (1992). Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese). (R. Hardawiryana, penterjemah). Jakarta: Dokpen KWI
_____________. (1992). Gaudium Et Spes (Konstitusi Pastoral Tentang Tugas Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini). (R. Hardawiryana, penterjemah). Jakarta: Dokpen KWI.
(3)
145
(4)
Lampiran: 1
LAMBANG PANGESTU (Paguyuban Ngestitunggal)
Pangestu berlambang sepasang bunga, yang terdiri dari setangkai bunga Mawar berwarna merah jambu berduri satu dan setangkai bunga Kamboja berwarna putih
dengan garis kuning emas pada tepi kelopaknya. Lambang sepasang bunga tersebut dengan latar belakang berwarna ungu.
Bunga Mawar : Melambangkan tugas ke luar yaitu melaksanakan tugas hidup bermasyarakat, duri tangkai bunga mawar tersebut melambangkan bahwa bagaimanapun sukses / berhasilnya tugas hidup ke luar tersebut dilaksanakan
selalu ada cela atau kekurangannya.
Bunga Kamboja : Melambangkan tugas ke dalam, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa harus dengan bekal kesucian lahir dan batin.
Latar belakang warna Ungu : Melambangkan ‘bangunnya jiwa’ dari kondisi tertidur / pasif menjadi sadar dan aktif.
(5)
Lampiran: 2
Dalam Yesus
Dalam Yesus kita bersaudara
Dalam Yesus kita bersaudara
Dalam Yesus kita bersaudara sekarang dan selamanya
Dalam Yesus kita beraudara
Dalam Yesus ada cinta kasih
Dalam Yesus cinta kasih
Dalam Yesus ada cinta kasih sekarang dan selamanya
(6)
Lampiran: 3
SEPERTI RUSA RINDU SUNGAI-MU
Seperti rusa rindu sungai-Mu Jiwaku rindu Engkau Kaulah Tuhan hasrat hatiku
Ku rindu menyembah-Mu
Kaulah kekuatanku dan perisaiku Kepadamu rohku berserah Kaulah Tuhan hasrat hatiku
Ku rindu menyembah-Mu
Reff Yesus..Yesus Kau berarti bagiku
Yesus..Yesus Kau segalanya bagiku
Kau segalanya bagiku Kau segalanya... bagiku