Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah Penciptaan Budaya Kerja

tanggung jawab; e pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: a kebijaksanaan dan administrasi; b supervisi; c kondiisi kerja; d hubungan antar pribadi; e penghargaan, status, dan keamanan. Menurut Mortimore 1993, harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka. Murphy 1985 seperti dikutip oleh Wayson, dkk. 1988 mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: 1 keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, 2 tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, 3 harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, 4 persyaratan promosi dan penjenjang-an, dan 5 pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah

1. Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah

Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilaku- kan setiap semestertahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni, peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu. Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semestertahunan, misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat mungkin dilaksanakan 30 pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar- mengajar. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa semua aktivitas sekolah harus dijadwalkan sehingga kegiatan yang dilaksanakan di sekolah maupun di dalam kelas dapat berjalan lancar. Atau dengan kata lain semua kegiatan baik kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling tumpang tindih. Pertemuan antara kepala sekolah dengan berbagai pihak, seperti komite sekolah, guru, siswa, sebagai wahana saling mengkomunikasikan ide, rencana, program, dan kegiatan sebaiknya ditata secara baik sehingga tidak saling mengganggu.

2. Penciptaan Budaya Kerja

Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang positif seperti: a. Penerapan disiplin dan tata tertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan sekolah. b. Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa c. Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa. d. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah, guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme pelayanan langsungspontan berhubungan proses 31 belajar mengajar dan kegiatan yang dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar. e. Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari oleh kebutuhan dan kejujuran. f. Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat formal maupun informal. g. Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya pengawasan melekat WASKAT terhadap seluruh personil sekolah secara intensif. h. Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru, staf dan siswa dengan menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun. Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama budaya mutu adalah “perbaiki prosesnya sebelum hasilnya jelek” Paine, Turner, Pryke, 1992. Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan Crosby, 1990. Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks pembelajaran berarti 32 perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu. Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough 1992 perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: 1 kualitas adalah pekerjaan setiap orang; 2 kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; 3 kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; 4 kualitas menuntut kerja sama yang erat; 5 kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; 6 kualitas harus didasarkan atas perencanaan strategik. Beberapa pandangan Juran yang dikutip oleh Jerome S Arcaro 2005 tentang mutu adalah: 1 meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir 2 perbaikan mutu merupakan proses berkelanjutan, bukan program sekali jalan 3 mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan dan administrator 4 pelatihan merupakan prasyarat mutu, dan 5 setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan. Manajemen mutu terpadu merupakan metode yang dapat membantu sekolah untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintah untuk memastikan apakah para professional sekolah memberikan fokus pada sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan program-program pendidikan di sekolah. Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, staf, siswa, orang tua siswa dan masyarakat. Prosesenya diawali dengan visi dan misi mutu dalam lingkungan sekolah yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan pemakai, mendorong keterlibatan total warga dalam setiap program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan di sekolah, menunjang sistem yang diperlukan oleh guru, staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan 33 dengan selalu berupaya keras membuat program pendidikan di sekolah menjadi lebih baik. Sekolah yang menerapkan maanjemen mutu terpadu akan membangun budaya dan iklim sekolah yang memungkinkan setiap orang membawa ukuran perbaikan mutu terhadap proses kerjanya yang dapat dinilai bagaimana kontribusinya dalam mengembangkan kompotensi siswa dari segi intelektual, emosional dan spiritual agar lebih siap dalam menghndapi tantangan akademik dan bisnis dimasa yang akan dating. Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro 2005 dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan pada halaman berikut. Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus berfokus pada semua pilar sekaligus. Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang tinggi untuk berprestasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah terciptanya 34 kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi. Gambar 3.1 Model Sekolah Bermutu Terpadu Sekolah yang memiliki budaya mutu, menyusun standar kinerja yang tinggi bagi guru, staf dan siswa. Guru yang berorientasi budaya mutu memiliki motivasi kerja, komitmen, dan kinerja yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang menodai komitmen terhadap mutu. Siswa yang memiliki budaya mutu memiliki motivasi belajar, komitmen dan kerajinan yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang tidak fair seperti menyontek, dan sebagainya. 35 Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah. a. Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi. b. Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling penting untuk bersekolah. c. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa. d. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa. Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah sebagai berikut. a. Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala sekolah, guru, staf administrasi, maupun siswa. b. Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah. c. Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi. d. Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah. 36 e. Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan masyarakat.

3. Peningkatan akuntabilitas