Kepala Sekolah 26 Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah

(1)

KOMPETENSI KEPRIBADIAN

KEPALA SEKOLAH PENDIDIKAN

MENENGAH

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM

PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL


(2)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2007


(3)

KATA PENGANTAR

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.

Jakarta,

Direktur Tenaga Kependidikan

Surya Dharma, MPA, Ph.D NIP. 130 783 511


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR TABEL...v

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Dimensi Kompetensi...3

C. Kompetensi...3

D. Indikator Pencapaian Kompetensi...3

E. Alokasi Waktu...4

F. Skenario...5

BAB II KONSEP BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH...6

A. Pengertian Budaya dan Iklim Sekolah...6

B. Tujuan Dan Manfaat Pengembangan Budaya Sekolah...11

C. Model Pengembangan Budaya dan Iklim Sekolah...13

D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Budaya dan Iklim Sekolah...15


(5)

BAB III INDIKATOR-INDIKATOR DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DAN

IKLIM SEKOLAH...22

A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah...24

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah...26

C. Penataan Personil Sekolah...28

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah...30

BAB IV STRATEGI PENGELOLAAN KELAS DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH...42

A. Lingkungan Fisik Kelas...43

B. Penataan Ruang Kelas sebagai Sentra Belajar...48

C. Penciptaan Atmosfir Belajar...55

D. Penerapan Strategi Pembelajaran...57

E. Pemanfaatan Media dan Sumber Belajar...70

F. Penilaian Hasil Belajar...74

BAB V TATA TERTIB DAN KEDISIPLINAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH...76

A. Penyusunan Tata Tertib Sekolah...77

B. Sosialisasi Tata Tertib...79


(6)

BAB VI PENGHARGAAN DAN INSENTIFDALAM PENGEMBANGAN

BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH...83

A. Konsep Pemberian Penghargaan dan Insentif...83

B. Bentuk-Bentuk Penghargaan dan Insentif...87

C. Indikator-Indikator yang Perlu diperhatikan dalam Pemberian Penghargaan dan Insentif...87

BAB VII KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH...90

A. Membangun Moral Kerja...91

B. Kebijakan dan Prosedur...93

C. Tujuan yang Jelas dan Sasaran yang Didefinisikan dengan Baik ...95

D. Membangun Semangat Kerja yang Solid...97

E. Kepemimpinan dalam Pemberdayaan, Kemandirian dan Otonomi...98

F. Komunikasi, Inisiatif dan Fleksibilitas...99

DAFTAR RUJUKAN...117

LAMPIRAN...121

Lampiran 1 : (CONTOH)...121


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Alokasi Waktu...4

Tabel 4.1 Faktor Keberagaman Karekteristik Siswa dan Implikasi bagi

Pengelolaan Siswa...51


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja suatu organisasi ditentukan oleh suasana lingkungan kerja di dalam organisasi itu (Brookover et al., 1978; Purkey dan Smith, 1985; Hughes, 1991). Demikian juga halnya, kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan dan budaya kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset tentang budaya dan iklim di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Brookover dan kawan-kawan (1978) menyatakan bahwa kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada pencapaian prestasi akademik siswa. Lebih tegas lagi, Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau budaya dan iklim kerja sekolah. Selanjutnya Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja yang akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan demikian dapat diartikan bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses pembelajaran.

Kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif karena fungsi kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah dan pendidikan secara luas. Sebagai pengelola


(9)

institusi satuan pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan efektifitas kinerjanya.

Dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, kepala sekolah dan seluruh warga sekolah serta stakeholders harus bekerjasama dalam segala hal. Kepala Sekolah harus senantiasa membuka diri dari pengaruh guru, staf dan siswa dalam berbagai persoalan penting dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah. Dengan kata lain Kepala Sekolah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebaiknya senantiasa berorientasi pada kepuasan personal, karena prinsip ini merupakan modal dasar kepala sekolah dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif. Hal lain yang sama pentingnya adalah perlunya kepala sekolah memiliki pengetahuan kepemimpinan baik perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dalam suatu program sekolah dan pendidikan secara luas. Selain itu kepala sekolah harus dapat menunjukkan sikap kepedulian, semangat bekerja, disiplin tinggi, keteladanan dan hubungan manusiawi dalam rangka perwujudan budaya dan iklim sekolah yang kondusif.

Kepemimpinan kepala sekolah harus dapat menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif. Indikator kemampuan tersebut antara lain dapat dilihat dari beberapa kriteria kemampuan umum berikut:

 Mampu memberdayakan guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif.

 Dapat menjelaskan tugas dan pekerjaannya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

 Mampu membangun hubungan yang harmonis antara guru, siswa dan staf dalam lingkungan sekolah serta hubungan yang harmonis dengan masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah.

 Mampu menerapkan prinsip kebersamaan, bekerja sebagai tim dalam lingkungan sekolah.


(10)

Dengan perilaku kepala sekolah yang demikian sangat diyakini akan berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif. Karena itu kepala sekolah perlu memiliki kompetensi yang diperlukan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah yang produktif bagi pengembangan sekolah. Salah satu upaya dalam meningkatkan kompetensi kepala sekolah adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, disusunlah panduan pendidikan dan pelatihan atau bahan ajar ini untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan kepala sekolah.

B. Dimensi Kompetensi

Pengembangan budaya dan iklim yang kondusif dan inovatif di sekolah merupakan implikasi yang memperlihatkan dimensi kompetensi kepribadian seorang Kepala Sekolah.

C. Kompetensi

Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh kepala sekolah setelah mengikuti pelatihan ini adalah mampu menciptakan budaya dan iklim sekolah atau madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.

D. Indikator Pencapaian Kompetensi

Pada akhir pendidikan dan pelatihan ini, para kepala sekolah atau calon kepala sekolah sebagai peserta menunjukkan indikator kinerja sebagai hasil pendidikan dan pelatihan dalam hal:

1. Mampu memahami konsep budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif.


(11)

2. Mampu menjelaskan indikator-indikator pengembangan budaya dan iklim sekolah.

3. Mampu mengembangkan strategi pengelolaan kelas dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah.

4. Mampu menjelaskan pentingnya tata tertib dan kedisiplinan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah.

5. Mampu menjelaskan pentingnya penghargaan dan insentif dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah.

6. Mampu mengembangkan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah.

E. Alokasi Waktu

Tabel 1.1 Alokasi Waktu

No Mata Diklat Alokasi

Waktu 1. Konsep budaya dan iklim sekolah 6 jam 2. Indikator-indikator dalam budaya dan iklim sekolah 6 jam 3. Strategi pengelolaan kelas dalam menciptakan budaya dan

iklim sekolah 6 jam

4. Tata tertib dan kedisiplinan dalam mengembangkan budaya

dan iklim sekolah 3 jam

5. Penghargaan dan insentif dalam mengembangkan budaya

dan iklim sekolah 3 jam

6. Kepemimpinan kepala sekolah dalam mengembangkan

budaya dan iklim sekolah 6 jam


(12)

Secara tentatif dapat dikembangkan oleh fasilitator antara lain dengan urutan proses sebagai berikut :

1. Perkenalan dan pengkondisian (ice breaker).

2. Penjelasan singkat tentang dimensi kompetensi, indikator pencapaian kompetensi, dan alokasi waktu.

3. Pretes.

4. Eksplorasi pemahaman peserta. 5. Presentasi materi.

6. Diskusi kelompok.

7. Praktik (simulasi) penciptaan budaya dan iklim kondusif dan inovatif di sekolah.

8. Diskusi kelas pembahasan hasil simulasi. 9. Postes.

10. Penutup.


(13)

KONSEP BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH

Pengertian Budaya dan Iklim Sekolah 1. Budaya Sekolah

Secara etimologis pengertian budaya (culture) berasal dari kata latin colere, yang berarti membajak tanah, mengolah, memelihara ladang (Poespowardojo, 1993). Namun pengertian yang semula agraris lebih lanjut diterapkan pada hal-hal yang lebih rohani (Langeveld, 1993). Selanjutnya secara terminologis pengertian budaya menurut Montago dan Dawson (1993) merupakan way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa. Kemudian Kotter dan Heskett (1992) yang dikutip dalam The American Herritage Dictionary mendefinisikan kebudayaan secara formal, “sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia”. Selanjutnya Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”. Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud yaitu:

a. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain-lain;

b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan;

c. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah sesuatu yang abstrak tetapi tetap


(14)

memiliki dimensi yang mencolok, dapat didefinisikan dan dapat diukur berdasarkan karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994) sebagai berikut: (1) inisiatif individual, (2) toleransi terhadap tindakan beresiko, (3) arah, (4) integrasi, (5) dukungan dari manajemen, (6) kontrol, (7) identitas, (8) sistem imbalan, (9) toleransi terhadap konflik dan (10) pola-pola komunikasi.

Dalam lingkup tatanan dan pola yang menjadi karakteristik sebuah sekolah, kebudayaan memiliki dimensi yang dapat di ukur yang menjadi ciri budaya sekolah seperti:

a. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi warga atau personil sekolah, komite sekolah dan lainnya dalam berinisiatif.

b. Sejauh mana para personil sekolah dianjurkan dalam bertindak progresif, inovatif dan berani mengambil resiko.

c. Sejauh mana sekolah menciptakan dengan jelas visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan upaya mewujudkannya.

d. Sejauh mana unit-unit dalam sekolah didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

e. Tingkat sejauh mana kepala sekolah memberi informasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap personil sekolah.

f. Jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku personil sekolah. g. Sejauh mana para personil sekolah mengidentifkasi dirinya

secara keseluruhan dengan sekolah ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional.

h. Sejauh mana alokasi imbalan diberikan didasarkan atas kriteria prestasi.


(15)

i. Sejauh mana personil sekolah didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.

j. Sejauh mana komunikasi antar personil sekolah dibatasi oleh hierarki yang formal (diadopsi dari karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins).

Dari sekian karakteristik yang ada, dapat dikatakan bahwa budaya sekolah bukan hanya refleksi dari sikap para personil sekolah, namun juga merupakan cerminan kepribadian sekolah yang ditunjukan oleh perilaku individu dan kelompok dalam sebuah komunitas sekolah.

Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.

Setiap sekolah memiliki kepribadian atau karakteristik tersendiri yang diciptakan dan dipertahankan serta mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap unsur dan komponen sekolah yang merupakan budaya dan iklim suatu sekolah. Jadi peran kepala sekolah pada dasarnya harus dapat menciptakan budaya bagaimana orang belajar dan bagaimana kita bisa membantu mereka belajar.

Budaya dan iklim sekolah bukanlah suatu sistem yang lahir sebagai aturan yang logis atau tidak logis, pantas atau tidak pantas yang harus dan patut ditaati dalam lingkungan sekolah, tetapi budaya dan iklim sekolah


(16)

harus lahir dari lingkungan suasana budaya yang mendukung seseorang melaksanakan dengan penuh tanggung jawab, rela, alami dan sadar bahwa apa yang dilakukan (ketaatan itu muncul dengan sendirinya tanpa harus menunggu perintah atau dibawah tekanan) merupakan spontanitas berdasarkan kata hati karena didukung oleh iklim lingkungan yang menciptakan kesadaran kita dalam lingkungan sekolah. Misalnya budaya disiplin, budaya berprestasi dan budaya bersih

2. Iklim Sekolah

Secara konseptual, iklim lingkungan atau suasana di sekolah didefinisikan sebagai seperangkat atribut yang memberi warna atau karakter, spirit, etos, suasana batin, setiap sekolah (Fisher & Fraser, 1990; Tye, 1974). Secara operasional, sebagaimana halnya pengertian iklim pada cuaca, iklim lingkungan di sekolah dapat dilihat dari faktor seperti kurikulum, sarana, dan kepemimpinan kepala sekolah, dan lingkungan pembelajaran di kelas.

Beberapa pengertian lain mengenai iklim sekolah yang hampir memiliki makna serupa dikemukakan berikut ini. Hoy dan Miskel (1987) merumuskan pengertian iklim sekolah sebagai persepsi guru terhadap lingkungan kerja umum sekolah. De Roche (1985) mengemukakan iklim sebagai hubungan antar-personil, sosial dan faktor-faktor kultural yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah.

Selama dua dasawarsa lingkungan pembelajaran di sekolah dipandang sebagai salah satu faktor penentu keefektifan suatu sekolah (Creemer et al., 1989). Fisher dan Fraser (1990) juga menyatakan bahwa peningkatan mutu lingkungan kerja di sekolah dapat menjadikan sekolah lebih efektif dalam memberikan proses pembelajaran yang lebih baik.


(17)

Freiberg (1998) menegaskan bahwa lingkungan yang sehat di suatu sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadapan proses kegiatan belajar mengajar yang efektif. Ia memberikan argumen bahwa pembentukan lingkungan kerja sekolah yang kondusif menjadikan seluruh anggota sekolah melakukan tugas dan peran mereka secara optimal. Hasil-hasil penelitian selaras dan mendukung penegasan tersebut. Misalnya, penelitian oleh Van de Grift dan kawan-kawan (1997) di 121 sekolah menengah di Belanda menunjukkan bahwa prestasi akademik siswa untuk bidang matematika dipengaruhi oleh sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, apresiasi terhadap usaha guru, serta lingkungan pembelajaran yang terstruktur. Atwool (1999) menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran sekolah, dimana siswa mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan yang bermakna di dalam lingkungan sekolahnya, sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa, memfasilitasi siswa untuk bertingkah laku yang sopan, serta berpotensi untuk membantu siswa dalam menghadapi masalah yang dibawa dari rumah. Selanjutnya Samdal dan kawan-kawan (1999) juga telah mengidentifikasi tiga aspek lingkungan psikososial sekolah yang menentukan prestasi akademik siswa. Ketiga aspek tersebut adalah tingkat kepuasan siswa terhadap sekolah, terhadap keinginan guru, serta hubungan yang baik dengan sesama siswa. Mereka juga menyarankan bahwa intervensi sekolah yang meningkatkan rasa kepuasan sekolah akan dapat meningkatkan prestasi akademik siswa.

Hoy dan Hannum (1997) menemukan bahwa lingkungan sekolah dimana rasa kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan sarana memadai, target akademik tinggi, dan kemantapan integritas sekolah sebagai suatu institusi mendukung pencapaian prestasi akademik siswa yang lebih baik. Selain dari itu, Sweetland dan Hoy (2000) menyatakan bahwa iklim lingkungan sekolah dimana pemberdayaan guru menjadi prioritas adalah sangat esensial bagi keefektifan sekolah yang pada muaranya mempengaruhi prestasi siswa secara keseluruhan. Hasil-hasil


(18)

penelitian juga menunjukkan hubungan antara iklim lingkungan sekolah dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran. Papanastaiou (2002) menyatakan bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, iklim lingkungan sekolah memberi efek terhadap sikap siswa terhadap mata pelajaran IPA di sekolah menengah.

B. Tujuan Dan Manfaat Pengembangan Budaya Sekolah

Hasil pengembangan budaya sekolah adalah meningkatkan perilaku yang konsisten dan untuk menyampaikan kepada personil sekolah tentang bagaimana perilaku yang seharusnya dilakukan untuk membangun kepribadian mereka dalam lingkungan sekolah yang sesuai dengan iklim lingkungan yang tercipta di sekolah baik itu lingkungan fisik maupun iklim kultur yang ada.

Pemahaman bahwa budaya dan iklim sekolah mempunyai sifat yang sama, tidak berarti bahwa tidak akan terdapat sub-budaya di dalam budaya sekolah. Oleh karena itu budaya yang terbentuk dalam lingkungan sekolah yang merupakan karakteristik sekolah adalah budaya dominan atau budaya yang kuat, dianut, diatur dengan baik dan dirasakan bersama secara luas. Makin banyak personil sekolah yang menerima nilai-nilai inti, menyetujui gagasan berdasarkan kepentingannya, dan merasa sangat terikat pada nilai yang ada maka makin kuat budaya tersebut. Karena para personil sekolah memiliki pengalaman yang diterima bersama, sehingga dapat menciptakan pengertian yang sama. Hal ini bukan berarti bahwa anggota yang stabil memiliki budaya yang kuat, karena nilai inti dari budaya sekolah harus dipertahankan dan dijunjung tinggi, namun juga harus dinamis.

Untuk menciptakan budaya sekolah yang kuat dan positif perlu dibarengi dengan rasa saling percaya dan saling memiliki yang tinggi terhadap sekolah, memerlukan perasaan bersama dan intensitas nilai yang memungkinkan adanya kontrol perilaku individu dan kelompok serta memiliki satu tujuan dalam menciptakan perasaan sebagai satu keluarga. Dengan kondisi seperti ini dan


(19)

dibarengi dengan kontribusi yang besar terhadap harapan dan cita-cita individu dan kelompok sebagai wujud dan harapan sekolah yang tertuang dalam visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah ditunjang oleh iklim sekolah yang mendukung kontribusi tersebut.

Manfaat yang diperoleh dengan pengembangan budaya dan iklim sekolah yang kuat, intim, kondusif dan bertanggung jawab adalah:

1. Menjamin kualitas kerja yang lebih baik.

2. Membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal.

3. Lebih terbuka dan transparan

4. Menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi 5. Meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan

6. Jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki 7. Dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK Manfaat ini bukan hanya dirasakan dalam lingkungan sekolah tetapi dimana saja karena dibentuk oleh norma pribadi dan bukan oleh aturan yang kaku dengan berbagai hukuman jika terjadi pelanggaran yang dilakukan.

Selain beberapa manfaat diatas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah :

1. Meningkatkan kepuasan kerja 2. Pergaulan lebih akrab

3. Disiplin meningkat

4. Pengawasan fungsional bisa lebih ringan


(20)

6. Belajar dan berprestasi terus serta

7. Selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.

C. Model Pengembangan Budaya dan Iklim Sekolah

Model pengembangan budaya dan iklim sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik itu kepala sekolah, guru dan staf sekolah dan utamanya siswa itu sendiri dapat dijadikan dasar dalam upaya memperbaiki iklim sekolah. Model tersebut merupakan integrasi komponen-komponen seperti budaya sekolah, iklim organisasi, dan pranata sistem sekolah.

Komponen pengembangan budaya dan iklim sekolah secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan beberapa aspek sebagai berikut:

1. Budaya sekolah meliputi aspek-aspek: a. Nilai

b. Norma c. Perilaku

2. Lingkungan fisik sekolah meliputi: a. Keindahan

b. Keamanan c. Kenyamanan d. Ketentraman e. Kebersihan


(21)

a. Berbasis mutu

b. Kepemimpinan kepala sekolah c. Disiplin dan tata tertib

d. Penghargaan dan insentif e. Harapan untuk berprestasi f. Akses informasi

g. Evaluasi

h. Komunikasi yang intensif dan terbuka

Model berikut ini menjelaskan tentang bagaimana membangun sebuah budaya dan iklim sekolah berdasarkan unsur-unsur di atas. Model tersebut menggambarkan bahwa budaya dan iklim organisasi merupakan kumpulan nilai-nilai, norma dan perilaku yang mengontrol interaksi-personil sekolah dengan orang diluar sekolah. Budaya organisasi sekolah tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh individu-induidu yang memiliki kepentingan dengan sekolah, atau dengan kata lain budaya dan iklim sekolah merupakan hasil interaksi nilai-nilai yang dianut individu didalam dan diluar sekolah. Sekolah merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif terus-menerus untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah.


(22)

Gambar 2.1 Model dalam Membangun Budaya dan iklim Sekolah

D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Budaya dan Iklim Sekolah

Prinsip adalah ”suatu pernyataan atau suatu kebenaran yang pokok, yang memberikan suatu petunjuk kepada pemikiran atau tindakan” (Moekijat ,1990). Lebih jauh dijelaskan pengertian prinsip yakni pedoman-pedoman yang dapat membantu dalam penerapan manajemen yang harus dipergunakan secara cermat dan bijaksana.

Budaya dan iklim sekolah yang efektif akan memberikan efek positif bagi semua unsur dan personil sekolah seperti kepala sekolah, guru, staf, siswa dan

BUDAYA PEMBERDAYAAN

SEKOLAH FISIK SEKOLAHLINGKUNGAN PEMBERDAYAAN

SEKOLAH

a. Berbasis mutu b. Kepemimpinan c. Disiplin dan tata tertib d. Penghargaan dan insentif

e. Harapan berprestasi f. Akses informasi g. Evaluasi

h. Komunikasi formal dan informal

a. Nilai b. Norma c. Perilaku

a. Indah b. Aman c. Nyaman d. Tentram e. Bersih


(23)

masyarakat. Prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah sebagai berikut.

1. Berfokus Pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah

Pengembangan budaya dan iklim sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya dan iklim sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya dan iklim sekolah. 2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal

Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya dan iklim sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.

3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko

Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.

4. Memiliki Strategi yang Jelas

Pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.


(24)

5. Berorientasi Kinerja

Pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah. 6. Sistem Evaluasi yang Jelas

Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya dan iklim sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.

7. Memiliki Komitmen yang Kuat

Komitemen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya dan iklim sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik. 8. Keputusan Berdasarkan Konsensus

Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.

9. Sistem Imbalan yang Jelas

Pengembangan budaya dan iklim sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya dan iklim sekolah.


(25)

10. Evaluasi Diri

Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya dan iklim sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya dan iklim sekolah.

E. Asas-Asas Pengembangan Budaya dan Iklim Sekolah

Definisi budaya dan iklim sekolah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan sebuah pola asumsi dasar dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah efektif, sehingga unsur dan prinsip-prinsipnya dianggap valid untuk dilaksanakan secara terus menerus serta diterapkan bukan hanya dianggap sebagai strategi tetapi lebih condong dipandang sebagai budaya. Oleh karena itu peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di sekolah harus senantiasa dibarengi dengan pengembangan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dengan menerapkan nilai-nilai dasar sebagai asas kehidupan sekolah.

Secara umum asas-asas pengembangan budaya dan iklim sekolah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kerjasama tim (team work)

Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.


(26)

2. Kemampuan

Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.

3. Keinginan

Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.

4. Kegembiraan (happiness)

Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.

5. Hormat (respect)

Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena


(27)

perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya. 6. Jujur (honesty)

Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang baik.

7. Disiplin (discipline)

Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim


(28)

lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.

8. Empati (empathy)

Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya dan iklim sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami. 9. Pengetahuan dan Kesopanan

Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.


(29)

BAB III

INDIKATOR-INDIKATOR DALAM

PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH

Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan. Demikian juga halnya, kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset tentang iklim kerja di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Ditegaskan bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada pencapaian prestasi akademik siswa. Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah. Lebih lanjut Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.

Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh lingkungan sekolah termasuk didalamnya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di


(30)

sekolah (kantor guru dan staf tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan pembelajaran.

Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim yang kondusif ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar tercapai peningkatan prestasi kerja (Davis dan Newstrom, 1985). Pandangan ini mengindikasikan kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja (Davis dan Newstrom, 1985).

Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama dikemukakan oleh Wijaya (2005), yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan dengan pihak lainnya. Sehubungan dengan itu maka budaya dan iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1) iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim parternal, dan (6) iklim tertutup (Halpin & B Croft dalam Burhanunudin, 1994). Selain itu, iklim sekolah yang kondusif mendorong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.


(31)

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dikemukakan berikut ini.

A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah 1. Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah

Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan sehingga siswa merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penampilan fisik sekolah selalu bersih, rapi, indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

a Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sedemikian rupa sehingga memberi kesan asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup.

b Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan perilaku membuang sampah pada tempatnya.

c Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum, kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggris (English area).

d Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (a) berdoa sebelum pelajaran dimulai; (b) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan membalas salam setiap bertemu; (c) mengadakan pengajian secara rutin; (d) shalat berjamaah pada waktu shalat duhur; dan (e) terdapat juga sekolah yang


(32)

mengadakan “kultum” setiap hari dan menugaskan siswa berceramah sekali seminggu.

2. Penataan Ruang Kelas

Penataan ruang kelas ditujukan untuk memperoleh kondisi kelas yang menyenangkan sehingga tercipta suasana yang mendorong siswa lebih tenang belajar. Penggunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana menyenangkan dan memberi efek penente-raman emosi, baik pada saat siswa belajar di kelas maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas.

3. Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class)

Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pembelajaran di mana kelas-kelas tertentu ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini, ruang-ruang kelas tertentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan karaketeristik pembel-ajaran mata pelpembel-ajaran tertentu.

4. Penggunaan Poster Afirmasi

Poster-poster afirmasi, yaitu poster yang berisi pesan-pesan positif digunakan dan dipajang di berbagai tempat strategis yang mudah dan dapat selalu dilihat oleh siswa. Poster afirmasi ini dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan pesan-pesan spiritual kepada siswa dan warga sekolah.


(33)

Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah pengadaan dan penempatan poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belaka.

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah

1. Penciptaan Keamanan di Lingkungan Sekolah

Sekolah yang efektif perlu memperhatikan keamanan sekitar. Seko-lah terbebas dari gangguan keamanan baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Untuk menjamin keamanan sekolah maka harus didukung adanya tata tertib sekolah yang menjadi acuan dari semua warga sekolah. Tata tertib sekolah dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung oleh seluruh penyelenggara sekolah. Karena itu kepala sekolah, guru, dan staf harus menjadi model dan teladan untuk penegakan tata tertib dan disiplin. 2. Penciptaan Relasi Kekeluargaan dan Kebersamaan

Sekolah menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan antara kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, dan orangtua, sehingga satu sama lain saling berbagi dan memberi bantuan. Sekolah membangun budaya setara di kalangan warga sekolah. Iklim interaksi antar warga sekolah dibangun atas dasar prinsip ”I Thou Relationship” bukan hubungan yang bersifat ”I-it Relationship”.

Dalam hubungan dengan ciri ”I Thou Relationship”, setiap individu memandang dan memperlakukan individu lainnya sebagai subjek, pribadi yang patut dihargai, dihormati, dan memiliki kebutuhan dan kewenangan sendiri untuk menentukan keputusan dan pilihannya sendiri.

Budaya dan iklim sekolah yang bercirikan model hubungan seperti ini akan dapat membangun rasa kebersamaan dan dapat memicu


(34)

berkembangnya rasa percaya diri dan kreativitas semua warga sekolah, termasuk semua siswa.

Hubungan kekeluargaan ini dapat digambarkan sebagai berikut: a. Orang tua siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti

pembuatan tata tertib, mengontrol perkembangan belajar anaknya, penegakan kedisiplinan di sekolah, pertemuan berkala antara orangtua dan pihak sekolah, memberikan sumbangan dalam bentuk materi.

b. Prosedur untuk melibatkan orang tua disampaikan secara jelas. Orangtua siswa diberi kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan. Orangtua dan masayarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis di sekolah.

c. Sekolah senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat melalui wadah Komite Sekolah. Keterlibatan komite sekolah secara nyata ditemukan pada semua sekolah dalam berbagai aspek dan kegiatan, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan keamanan sekolah, pengadaan sarana sekolah, ikut serta memutuskan sanksi terhadap pelanggaran di sekolah, mendorong dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi dalam pengembangan sekolah, dan memberdayakan orang tua siswa yang memiliki kemampuan finansil atau peran penting di lembaga pemerintah dan swasta dalam berbagai kegiatan sekolah,

d. Memaksimalkan buku penghubung sebagai alat pengontrol kemajuan siswa sekaligus wadah menjalin komunikasi dengan orang tua.


(35)

e. Pelibatan tokoh masyarakat. Sebaliknya dalam hubungan yang dicirikan dengan ”I-it Relationship”, individu tertentu, katakanlah guru tertentu, memandang individu lain (katakanlah siswa) sebagai objek, perlu dituntun, tidak berhak untuk menyatakan kebutuhan dan kepentingannya, dan dapat diperlakukan sesuai kemauan dan determinasi sang guru. Ciri hubungan seperti ini akan mematikan kretivitas dan rasa percaya diri sisiwa, dan cenderung mengembangkan sikap asosial, bahkan anti sosial, pada diri siswa.

C. Penataan Personil Sekolah

1. Pemberian Ganjaran Positif bagi Karya Terbaik Siswa

Karya-karya cemerlang siswa dipajang di kelas atau ruang kepala sekolah dan diberi ganjaran positif. Ganjaran hendaknya diberikan sesegara mungkin dan diarahkan untuk memberi rasa kebanggaaan dan untuk mempertahankan motivasi siswa yang diberi ganjaran serta menstimulasi siswa lainnya untuk menghasilkan prestasi yang sama.

Ganjaran juga dibutuhkan untuk mempertahankan motivasi dan gairah berprestasi di kalangan siswa. Ganjaran akan efektif jika diberikan sesegara mungkin dan dilakukan secara konsisten pada setiap siswa yang menunjukkan prestasi.

2. Pengembangan Rasa Memiliki Terhadap Sekolah

Sekolah menciptakan rasa memiliki sehingga guru, staf administrasi dan siswa menunjukkan rasa bangga terhadap sekolahnya. Setiap warga sekolah merasa bertanggung jawab untuk menjaga kondusivitas lingkungan sekolah. Ini bisa dicapai, antara lain dengan memberi tanggung jawab pengelolaan dan perawatan wilayah tertentu kepada kelompok kelas atau ruang tertentu.


(36)

3. Pemberian Jaminan Atas Kemaslahatan Siswa

Kemaslahatan siswa merupakan kriteria penting yang digunakan dalam pembuatan keputusan tentang mereka. Setiap keputusan yang dibuat di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan kondisi khusus siswa. Keputusan yang dibuat hendaknya juga dapat memenuhi prinsip keadilan dan kesetaraan di kalangan siswa, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, ras, etnis, kelas sosial, agama, kondisi fisik, ataupun varian-varian latar siswa lainnya.

4. Akseptabilitas Guru Terhadap Metode Pembelajaran Terbaru Guru bersedia mengubah metode-metode mengajar, bila metode yang lebih baik diperkenalkan kepadanya. Berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif telah ditawarkan dan disosialisasikan melalui berbagai media, seperti buku, internet, dan pelatihan. Penerapan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif dan telah teruji perlu menjadi bagian yang mencoraki iklim pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru perlu mengadopsi dan mencoba menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran tersebut untuk lebih mengefektifkan proses pembelajarannya.

5. Harapan yang Tinggi Untuk Berprestasi

Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990) dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi.

Hal ini sejalan dengan teori motivasi-iklim baik dari Herzberg (Hersey dan Blanchard, 1992). Dijelaskan bahwa faktor-faktor motivasi-iklim baik, yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, yang meliputi: (a) prestasi; (b) pengakuan akan keberhasilan; (c) pekerjaan yang menantang; (d) meningkatnya


(37)

tanggung jawab; (e) pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: (a) kebijaksanaan dan administrasi; (b) supervisi; (c) kondiisi kerja; (d) hubungan antar pribadi; (e) penghargaan, status, dan keamanan.

Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka.

Murphy (1985) seperti dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi dan penjenjang-an, dan (5) pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah

1. Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah

Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilaku-kan setiap semester/tahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni, peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu. Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semester/tahunan, misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat mungkin dilaksanakan


(38)

pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar-mengajar.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa semua aktivitas sekolah harus dijadwalkan sehingga kegiatan yang dilaksanakan di sekolah maupun di dalam kelas dapat berjalan lancar. Atau dengan kata lain semua kegiatan baik kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling tumpang tindih.

Pertemuan antara kepala sekolah dengan berbagai pihak, seperti komite sekolah, guru, siswa, sebagai wahana saling mengkomunikasikan ide, rencana, program, dan kegiatan sebaiknya ditata secara baik sehingga tidak saling mengganggu.

2. Penciptaan Budaya Kerja

Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang positif seperti:

a. Penerapan disiplin dan tata tertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan sekolah.

b. Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa

c. Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa.

d. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah, guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme pelayanan langsung/spontan berhubungan proses


(39)

belajar mengajar dan kegiatan yang dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar.

e. Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari oleh kebutuhan dan kejujuran.

f. Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat formal maupun informal.

g. Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya pengawasan melekat (WASKAT) terhadap seluruh personil sekolah secara intensif. h. Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru,

staf dan siswa dengan menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun.

Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama budaya mutu adalah “perbaiki prosesnya sebelum hasilnya jelek” (Paine, Turner, Pryke, 1992). Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan (Crosby, 1990).

Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks pembelajaran berarti


(40)

perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu. Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough (1992) perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: (1) kualitas adalah pekerjaan setiap orang; (2) kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; (3) kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; (4) kualitas menuntut kerja sama yang erat; (5) kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; (6) kualitas harus didasarkan atas perencanaan strategik.

Beberapa pandangan Juran yang dikutip oleh Jerome S Arcaro (2005) tentang mutu adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir (2) perbaikan mutu merupakan proses berkelanjutan, bukan program sekali jalan (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan dan administrator (4) pelatihan merupakan prasyarat mutu, dan (5) setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.

Manajemen mutu terpadu merupakan metode yang dapat membantu sekolah untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintah untuk memastikan apakah para professional sekolah memberikan fokus pada sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan program-program pendidikan di sekolah.

Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, staf, siswa, orang tua siswa dan masyarakat. Prosesenya diawali dengan visi dan misi mutu dalam lingkungan sekolah yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan pemakai, mendorong keterlibatan total warga dalam setiap program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan di sekolah, menunjang sistem yang diperlukan oleh guru, staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan


(41)

dengan selalu berupaya keras membuat program pendidikan di sekolah menjadi lebih baik.

Sekolah yang menerapkan maanjemen mutu terpadu akan membangun budaya dan iklim sekolah yang memungkinkan setiap orang membawa ukuran perbaikan mutu terhadap proses kerjanya yang dapat dinilai bagaimana kontribusinya dalam mengembangkan kompotensi siswa dari segi intelektual, emosional dan spiritual agar lebih siap dalam menghndapi tantangan akademik dan bisnis dimasa yang akan dating.

Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro (2005) dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan pada halaman berikut.

Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus berfokus pada semua pilar sekaligus.

Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang tinggi untuk berprestasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah terciptanya


(42)

kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi.

Gambar 3.1 Model Sekolah Bermutu Terpadu

Sekolah yang memiliki budaya mutu, menyusun standar kinerja yang tinggi bagi guru, staf dan siswa. Guru yang berorientasi budaya mutu memiliki motivasi kerja, komitmen, dan kinerja yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang menodai komitmen terhadap mutu. Siswa yang memiliki budaya mutu memiliki motivasi belajar, komitmen dan kerajinan yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang tidak fair seperti menyontek, dan sebagainya.


(43)

Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah.

a. Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.

b. Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling penting untuk bersekolah.

c. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.

d. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.

Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah sebagai berikut.

a. Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala sekolah, guru, staf administrasi, maupun siswa.

b. Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah.

c. Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.

d. Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.


(44)

e. Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).

3. Peningkatan akuntabilitas

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penciptaan budaya akuntabilitas di sekolah sebagai berikut:

a. Setiap staf dan guru agar menyusun laporan akuntabilitas secara periodik setiap triwulan

b. Pemanfaatan sumber dana baik yang bersumber dari APBN maupun APBD ataupun seumber lain dilakukan dengan berlandaskan kepada prinsip efektivitas dan efisiensi, serta berorientasi kepada hasil (output) dan manfaat (outcomes) dari setiap program yang diselenggarakan di sekolah

c. Setiap orang yang melakukan perjalanan dinas baik ke daerah maupun ke luar negeri wajib melaporkan hasil perjalanan Dinasnya kepada bendahara atau kepala sekolah

Berikut ini dikemukakan contoh-contoh penerapan indikator budaya dan iklim sekolah pada salah satu sekolah.

Contoh Budaya dan iklim Sekolah Bakti Mulya 400

Visi : Menjadi pusat pengembangan pendidikan yang melahirkan kader pemimpin dan intelektual muslim dengan wawasan luas serta tanggap terhadap lingkungan dan mampu bersaing di era globalisasi sehingga mampu memperbaiki kualitas bangsa Indonesia


(45)

Misi: Dikembangkan dari visi, kemudian diuraikan dalam beberapa misi sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pendidikan umum yang bernafaskan Islam. 2. Menyelenggarakan pendidikan yang menumbuhkembangkan

potensi siswa untuk menjadi manusia seutuhnya.

3. Menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten/mampu dan terampil.

4. Menghasilkan sumber daya manusia yang berguna bagi dirinya, nusa, bangsa dan negara

5. Menghasilkan lembaga pendidikan yang memiliki predikat sekolah unggul.

Budaya Sekolah:

Untuk merealisasikan visi, misi pendidikan serta sifat-sifat umum siswa Bakti Mulya 400, maka pembinaan siswa dilakukan melalui proses pembinaan sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah yang diarahkan kepada terwujudnya budaya sekolah Bakti Mulya 400. Pembiasaan dan tata prilaku dimaksudkan sebagai Budaya Sekolah Bakti Mulya 400 adalah sebagai berikut:

 Kegiatan sekolah dilaksanakan pagi hari dengan 5 hari belajar dalam seminggu.

 Setiap pagi siswa dilepas pergi ke sekolah oleh kedua orang tua dengan iringan salam dan do’a.

 Setibanya di sekolah saat bertemu dengan guru maupun teman berjabat tangan dan memberi salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Demikian halnya bila menerima


(46)

salam maka segera menjawab salam “Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.

 Pada pagi hari membaca “Ikrar” dalam bahasa Arab dan terjemahannya bersama dengan guru, dan juga dilakukan dalam setiap kesempatan suatu acara resmi sekolah.

 Dengan bimbingan guru yang mengajar pada jam pertama, siswa melafalkan surat “Al Fatihah” dan “Do’a” sebelum pelajaran dimulai, dan setelah jam pelajaran terakhir membaca surat “Al Ashr” dipimpin guru yang mengajar pada jam terakhir.

 Membiasakan menulis dan mengucapkan “Basmallah” setiap memulai pekerjaan dan atau “Hamdallah” setelah selesai melakukan pekerjaan.

 Melafalkan dan membiasakan mengamalkan 10 do’a amaliah harian, diantaranya do’a keluar rumah, mengawali dan mengakhiri pekerjaan, do’a untuk kedua orang tua, minta tambah ilmu, sebelum tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi/wc, do’a bercermin, masuk dan keluar masjid

 Melakukan 11 amalan yang tercermin dalam “Birrulwalidain” yakni: 1. Berbakti kepada orang tua

2. Ikhlas beramal 3. Rajin beramal

4. Ramah dalam bergaul

5. Ulet dalam mencapai cita-cita 6. Logis dalam berpikir


(47)

8. Amanah, dapat dipercaya 9. Lemah lembut dalam tutur kata 10. Istiqomah, teguh dalam keyakinan

11. Nadzafah, bersih diri, pakaian dan lingkungan.

 Membiasakan menulis tanggal, bulan dan tahun hijriah di samping tanggal, bulan dan tahun masehi.

 Membiasakan mengucap kalimat-kalimat thayyibah dan dzikir dalam rangka mendekatkan diri dan mengagungkan Asma Allah SWT.  Membiasakan melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan

Kamis.

 Membiasakan memakmurkan Mushalla dengan kegiatan keagamaan dan shalat Dzuhur/Jumat.

 Melaksanakan pesantren kilat setiap awal Bulan Ramadhan.

 Melaksanakan khataman pelajaran Al Quran, bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang SD, SLTP, dan SMU.  Mengikuti pemantapan pelajaran Al Quran dengan metode Iqra,

atau yang lainnya.

 Menyelenggarakan latihan manasik haji, mejelang datangnya Hari Raya Idul Adha.

 Memberangkatkan ibadah haji bagi guru/karyawan sesuai dengan kemampuan keuangan Yayasan BKSP Bakti Mulya 400.

 Menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, Nasional dan bakti sosial kemasyarakatan (seperti donor darah, khitanan masal, santunan anak yatim, pembagian sembako, pemberian beasiswa).


(48)

 Menjalin kerja sama yang harmonis dengan orangtua/wali siswa.  Mengenakan pakaian seragam, untuk siswa setiap hari sesuai

jadwal.

Dengan pelaksanaan budaya tersebut, diharapkan siswa/siswi Bakti Mulya 400 memiliki sifat-sifat umum, sebagai berikut :

 Bertaqwa kepada Allah SWT, serta aktif menjalankan ibadah dan amaliah.

 Setiap gerak, langkah dan tindakan di manapun berada dan dalam suasana yang bagaimanapun semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dengan senantiasa dijiwai ajaran Agama Islam.

 Berbudi luhur dan berakhlak mulia.  Sehat jasmani dan rohani.

 Memiliki pengetahuan dan keterampilan.  Kreatif dan bertanggung jawab.

 Berpengetahuan tinggi dan cerdas.  Demokratis dan penuh tenggang rasa.

 Berjiwa gotong royong, mencintai bangsa dan sesamanya.  Disiplin, cinta kebersihan dan keindahan alam sekitar.  Berjiwa pejuang, rendah hati dan berpola hidup sederhana.

 Cukup tanggap dan peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya.


(49)

STRATEGI PENGELOLAAN KELAS DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH

Pengelolaan kelas dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana dan kondisi belajar di dalam kelas agar menjadi kondusif dan menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai dengan kemampuan. Dengan kata lain pengelolaan kelas merupakan usaha dalam mengatur segala hal dalam proses pembelajaran, seperti lingkungan fisik dan sistem pembelajaran di kelas.

Pembelajaran yang efektif membutuhkan kondisi kelas yang kondusif. Kelas yang kondusif adalah lingkungan belajar yang mendorong terjadinya proses belajar yang intensif dan efektif. Strategi belajar apapun yang ditempuh guru akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung dengan iklim dan kondisi kelas yang kondusif. Oleh karena itu guru perlu menata dan mengelola lingkungan belajar di kelas sedemikian rupa sehingga menyenangkan, aman, dan menstimulasi setiap anak agar terlibat secara maksimal dalam proses pembelajaran.

Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar anak mampu melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan pilihan-pilihan akan mendorong anak untuk terlibat secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar, dan karena itu, akan dapat memunculkan kegiatan-kegiatan yang kreatif-produktif. ltulah sebabnya, mengapa setiap anak perlu diberi kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukannya.

Pengelolaan kelas yang baik, dapat dilakukan dengan enam cara sebagai berikut; (1) penciptaan lingkungan fisik kelas yang kondusif (2) penataan ruang belajar sebagai sentra belajar (3) penciptaan atmosfir belajar yang kondusif, (4)


(50)

penetapan strategi pembelajaran dan (5) pemanfaatan media dan sumber belajar, dan (6) penilaian hasil belajar.

Untuk lebih jelasnya ke enam cara tersebut di atas akan dijelaskan dalam uraian berikut.

A. Lingkungan Fisik Kelas

Lingkungan fisik di kelas meliputi pengaturan ruang belajar yang didesain sedemikian rupa sehingga tercipta kondisi kelas yang menyenagkan dan dapat menumbuhkan semangat dan keinginan untuk belajar dengan baik seperti: pengaturan meja, kursi, lemari, gambar-gambar afirmasi, pajangan hasil karya siswa yang berprestasi, alat-alat peraga, media pembelajaran dan jika perlu di iringi dengan nuansa musik yang sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan atau nuansa musik yang dapat membangun gairah belajar siswa. Disain ruang kelas yang baik dimaksudkan untuk menanamkan, menumbuhkan, dan memperkuat rasa keberagamaan dan perilaku-perilaku spritual siswa. Dengan ruang kelas yang baik, para siswa dapat berkomunikasi secara bebas, saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Di samping itu, dengan ruang kelas yang tertata dengan baik, guru akan leluasa memberikan perhatian yang maksimal terhadap setiap aktivitas siswa.

1. Pengaturan meja-kursi

Susunan meja-kursi hendaknya memungkinkan siswa-siswa dapat saling dan memberi keluasaan untuk terjadinya mobilitas pergerakan untuk melakukan aktivitas belajar. Meja-kursi juga hendaknya dapat digerakkan, dipindahkan, dan disusun secara fleksibel. Beri keleluasaan siswa mengatur sendiri atau memilih meja-kursinya masing-masing, walaupun mungkin akan tampak acak-acakan dan tidak beraturan. Prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam pengaturan meja-kursi adalah tatanan mana yang dapat menstimulasi dan mempertahakan tingkat


(51)

keterlibatan belajar yang tinggi. Selain itu juga posisi tempat duduk siswa sebaiknya tidak tetap pada posisi tertentu, akan lebih baik jika posisi tempat duduk siswa dirubah setiap saat agar interaksi diantara siswa dalam kelas lebih terasa dan hal ini akan menumbuhkan sosialisasi diantara mereka serta mengatasi kebosanan siswa dengan posisi tempat duduk yang tetap.

Berikut dikemukakan beberapa bentuk penataan meja-kursi yang dapat dipilih oleh guru guna meningkatkan keterlibatan dan interaksi antar siswa dalam proses pembelajaran.

a. Model huruf U

Model susunan meja-kursi model U dapat dipilih untuk berbagai tujuan. Dalam model ini, para siswa memiliki alas untuk menulis dan membaca, dapat melihat guru atau media visual dengan mudah, dan memungkinkan mereka bisa saling berhadapan langsung. Susunan model ini juga memudahkan untuk membagi bahan pelajaran kepada siswa secara cepat, dimana guru dapat masuk ke dalam huruf U dan berjalan ke berbagai arah.

Dalam menyusun meja-kursi model U, sediakan ruangan yang cukup antara satu tempat duduk dengan yang lainnya sehingga kelompok kecil siswa yang terdiri atas tiga orang atau lebih dapat keluar-masuk dari tempatnya dengan mudah.

Gambar 4.1 Model Huruf U


(52)

b. Model Corak Tim

Pada model ini, meja-meja dikelompokkan setengah lingkaran atau oblong di ruang tengah kelas agar memungkinkan guru melakukan interaksi dengan setiap tim (kelompok siswa) dapat meletakkan kursi-kursi mengelilingi meja-meja guna menciptakan suasana yang akrab. Siswa juga dapat memutar kursi melingkar menghadap ke depan ruang kelas untuk melihat guru atau papan tulis. c. Model Meja Konferensi

Model ini cocok jika meja relatif persegi panjang. Susunan ini mengurangi dominasi pengajar dan meningkatkan keterlibatan siswa.

d. Model Lingkaran

Dalam model ini, tempat duduk siswa disusun dalam bentuk lingkaran sehingga mereka dapat berinteraksi berhadap-hadapan secara langsung. Model lingkaran seperti ini cocok untuk diskusi kelompok penuh. Sediakan ruangan yang cukup, sehingga guru dapat menyuruh siswa menyusun kursi-kursi mereka secara cepat dalam berbagai susunan kelompok kecil. Jika mereka ingin menulis, mereka dapat menghadap ke meja masing-masing, namun jika mereka berdiskusi, mereka dapat Gambar 4.2

Model Corak Tim

Gambar 4.3 Model Meja Konferensi

Gambar 4.4 Model Lingkaran


(53)

Gambar 4.5 Model Fishbowl

Gambar 4.7 Model Workstation

memutar kursi untuk berhadap-hadapan satu sama lain.

e. Model Fishbowl

Susunan ini memungkinkan guru melakukan kegiatan diskusi untuk menyusun permainan peran, berdebat, atau mengobservasi aktivitas kelompok. Susunan yang paling khusus terdiri atas dua konsentrasi lingkaran kursi. Guru juga dapat meletakkan meja pertemuan di tengah-tengah, dikelilingi oleh kursi-kursi pada sisi luar.

f. Model Breakout groupings

Jika kelas cukup besar atau jika ruangan memungkinkan, letakkan meja-meja dan kursi di mana kelompok-kelompok kecil siswa dapat melakukan aktivitas belajar yang didasarkan pada tugas tim. Tempatkan susunan pecahan-pecahan kelompok saling berjauhan sehingga tim-tim itu tidak saling mengganggu. Tetapi hindarkan penempatan ruangan kelompok-kelompok kecil terlalu jauh dari ruang kelas utama sehingga hubungan di antara mereka dapat tetap terjaga.

g. Model Workstation

Susunan ini tepat untuk lingkungan tipe laboratorium, dimana setiap siswa duduk secara berpasangan pada meja tertentu untuk mengerjakan suatu tugas (seperti mengoperasikan komputer, mesin, melakukan kerja laboral, dsb) sesaat setelah dimenostrasikan. Meja diatur sedemikian rupa, Gambar 4.6


(54)

sehingga siswa dapat bekerja secara berpasangan sebagai partner belajar. Susunan seperti ini tepat digunakan bila pokok bahasan melibatkan tugas mandiri (seat work) sekaligus tugas kelompok kecil. Beberapa hal yang perlu diperhatikan berikut ini dalam menerapkan model ini.

 Pengaturan meja-kursi sebaiknya dapat digerakkan, dipin-dahkan, dan disusun secara fleksibel.

 Memberikan keleluasaan siswa mengatur sendiri atau memilih meja-kursinya masing-masing, walaupun mungkin akan tampak acak-acakan dan tidak beraturan.

 Susunan meja-kursi yang baik adalah yang memungkinkan siswa dapat saling berinteraksi dan memberi keluasaan untuk terjadinya mobilitas pergerakan untuk melakukan aktivitas belajar. Prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam pengaturan meja-kursi adalah tatanan mana yang dapat menstimulasi dan mempertahakan tingkat keterlibatan belajar yang tinggi.

2. Pemajangan gambar dan warna

Pemajangan gambar dan pemilihan warna perlu saran-saran berikut: a. Siswa perlu dilibatkan dalam pengadaan dan penataan

pajangan-pajangan yang dibutuhkan dalam kelas. Siswa, misalnya, dapat diminta membuat gambar, poster, motto, puisi, atau petikan ayat, hadis, dan pesan tokoh tertentu, untuk dipilih dan dipajang dalam kelas.

b. Guna menghindari kejenuhan terhadap gambar dan isi poster afirmasi yang sama, guru perlu secara priodik mengganti gambar-gambar atau poster-poster tersebut.


(55)

c. Guna mengoptimalkan penataan ruang, maka hasil-hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam proses pembelajaran karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah. Di samping itu itu, karya-karya terpilih siswa yang dipajang dapat berfungsi sebagai reward dan praise yang dapat memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain.

3. Pemanfaatan musik

Kehadiran suara musik lembut di kelas juga diyakini dapat memper-kuat daya tahan dan konsentrasi belajar siswa. Disamping itu, belajar sambil mendengar musik dapat menciptakan suasana menyenangkan dan rasa betah tinggal di kelas. Oleh karena itu, jika dana memungkinkan, di setiap kelas dapat disediakan radio tape untuk memutar dan memperdengarkan musik-musik lembut, khususnya saat siswa mengerja-kan tugas-tugas yang menuntut konsentrasi dan daya pikir yang tinggi. Akan lebih baik, jika di kelas telah dipersiapkan dengan sound-system yang baik. Secara umum, semua pilihan musik untuk menopang aktivitas pembelajaran di kelas adalah jenis musik instrumentalia. Hanya pada saat jeda atau untuk maksud memberi efek khusus dapat dipilih musik yang berisi lirik lagu. Dan jika harus menggunakan musik dengan lirik, pilihlah yang mengandung pesan positif.

B. Penataan Ruang Kelas sebagai Sentra Belajar

Sentra belajar merupakan area khusus di ruang kelas untuk menata materi, perlengkapan, peralatan, dan karya siswa yang terkait dengan pokok


(56)

bahasan, keterampilan atau kegiatan tertentu. Sentra belajar bisa berlokasi di atas meja, rak buku, sudut ruang, atau bahkan di kolong meja. Sentra belajar bisa bersifat permanen atau hanya terkait dengan kegiatan atau bidang pembelajaran tertentu, misalnya sentra penerbitan, sentra pembelajaran matematika, kafe baca, dsb. Sentra belajar juga bisa bersifat fleksibel dan sementara (ditata untuk keperluan tema atau unit tertentu yang dipelajari).

Di samping itu, pelibatan siswa tersebut juga membantu membangun keterampilan “perawatan rumah” yang dipelukan untuk mempertahankan suasana kelas yang aktif dan berorientasi pada siswa. Untuk masud tersebut, guru dapat mendorong siswa untuk memiliki dan mengemukakan beberapa pilihan dalam menyusun aturan dasar bagi kegiatan berbasis-sentra mereka.

Beberapa praktik yang baik dalam menata sentra-sentra belajar (good practice) dikemukakan berikut ini:

 Dalam menata kelas menjadi sentra belajar, sejumlah guru bidang studi melibatkan siswa terutama dalam perencanaan dan pengadaan sumber-sumber belajar yang diperlukan. Pelibatan siswa dalam merancang ruang kelas menjadi sentra-sentra belajar dapat membangun rasa kebanggaan dan kebersamaan di kalangan siswa.

 Sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini, ruang-ruang kelas tertentu ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan karaketeristik pembel-ajaran mata pelpembel-ajaran tertentu.


(57)

Penggunaan sistem moving-class seperti itu memiliki beberapa keuntungan, sebagai berikut:

 Atmosfir dan tatanan kelas dapat memperlancar aktivitas dan proses pembelajaran. Semua elemen dalam kelas menjadi semacam reinforcer (penguat) dan stimulator untuk membangkitkan gairah dan aktivitas belajar terhadap mata pelajaran tertentu.

 Memungkinkan penggunaan sarana, fasilitas, serta berbagai media dan peralatan belajar secara lebih efisien. Media dan peralatan pembelajaran Sains, misalnya, tidak perlu ada di semua kelas, semua kebutuhan pembelajaran mata pelajaran tersebut cukup ditempatkan dan ditata khusus pada kelas tertentu. Demikian pula kebutuhan media dan alat bantu belajar pada mata-mata pelajaran lainnya ditata khusus pada kelas-kelas tersendiri.

 Setiap hari, siswa dapat menikmati dan mengalami proses belajar pada tempat dan lingkungan belajar yang bervariasi. Mobilitas gerak seperti Ini dapat menghindarkan siswa dari kejenuhan akibat tata ruang kelas yang monoton.

 Pergerakan-pergerakan yang dialami siswa saat perpindahan kelas memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih aktif dan hidup di kalangan siswa. Ini dapat menstimulasi dan mengembangkan sikap-sikap empati, kerjasama, kepedulian, dan berbagai sikap-sikap prososial siswa lainnya.

1. Pengelolaan Aktivitas Belajar Siswa

Biasanya, pengelolaan aktivitas belajar siswa dilakukan dalam be-ragam bentuk seperti individual, berpasangan, kelompok kecil, atau klasikal. Beberapa pertimbangan perIu diperhitungkan sewaktu melakukan pengelolaan siswa. Antara lain jenis kegiatan, tujuan kegiatan, keterlibatan siswa, waktu belajar, dan ketersediaan sarana/prasarana. Hal yang sangat


(1)

pembelajaran pembelajaran dalam menciptakan budaya belajar

- Pemilihan strategi yang bervariasi

- Dsb.

Hubungan sosial dengan siswa

- Cara guru

berkomunikasi dengan siswa

- Teknik pengaturan kelas yang memudahkan berkomunikasi - Dsb

Budaya kelas - Penanaman budaya prestasi pada siswa

- Dsb.

Supervisor: (Nama dan tandatangan)


(2)

Lampiran 2 : Bahan Diskusi dan Penugasan A. Bahan Diskusi dan Tugas (materi BAB II) :

1. Rumuskan ulang gtdengan kata-kata Anda sendiri mengenai pengertian budaya dan iklim sekolah. Diskusikan dengan teman-teman dalam kelompok Anda dan rumuskan pendapat kelompok mengenai pengertian budaya dan iklim sekolah.

2. Gambarkan budaya dan iklim sekolah Anda dalam bentuk kata-kata yang positif maupun negatif. Kata-kata positif seperti: sejuk dan kata-kata negatif seperti otoriter, dsb.

3. Berlatihlah mengisi skala sikap sebagai mana dicontohkan pada instrumen skala sikap terhadap budaya dan iklim sekolah.

Contoh Skala Sikap terhadap Budaya dan iklim Sekolah :

Petunjuk: Beri tanda silang (X) pada kolom yang paling mendekati kata yang menjelaskan apa yang Anda rasakan tentang budaya sekolah Anda

1 Hangat Dingin

2 Otokratis Demokratis

3 Bersahabat Tidak bersahabat

4 Kreatif Tidak kreatif

5 Tertutup Terbuka

6 Tidak Ramah Ramah

7 Mendukung Tidak mendukung

8 Manusiawi Tidak manusiawi

9 Aman Tidak aman

10 Memotivasi Tidak memotivasi

11 Kaku Fleksibel

12 Tidak

menyenangkan

Menyenangkan

13 Menggairahkan Tidak

menggairahkan

14 Tidak sehat Sehat


(3)

16 Aktif Pasif

17 Komunikatif Tidak Komunikatif

18 Buruk Baik

19 Bersemangat Tidak

bersemangat

20 Monoton Dinamis

21 Mendorong Tidak mendorong

22 Tidak Pengertian Pengertian

23 Peduli Tidak peduli

24 Sabar Tidak sabar

25 Sedih Senang

Petunjuk perhitungan skor:

1. Rentang skala dari 1 sampai 7 untuk pernyataan dari negatif ke positif yang berlaku untuk pernyataan-pernyataan nomor 2, 5, 6, 11, 12, 14, 18, 20, 22, dan 25)

2. Rentang skala dari 7 ke 1 untuk pernyataan dari positif ke negatif yang berlaku untuk pernyataan-pernyataan nomor 1, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 19, 21, 23, dan 24.

3. Semakin tinggi skor individu, semakin positif sikap yang dimiliki terhadap kultur sekolah.

B. Tugas materi BAB III.

Rumuskan upaya-upaya yang perlu dilakukan di sekolah Anda berkaitan dengan penciptaan budaya dan iklim sekolah menurut empat komponen yang telah dikemukakan: (1) penciptaan lingkungan fisik sekolah, (2) penciptaan lingkungan sosial sekolah, (3) penciptaan lingkungan personil sekolah, dan (4) penciptaan lingkungan kerja sekolah. Gunakan format berikut untuk membantu Anda bekerja.

No Masalah Upaya yang Perlu dilakukan


(4)

sekolah:  ……… ……  ……… ……  Dst.  ……… …  ……… …  Dst. 2. Penataan lingkungan sosial

sekolah:  ……… ……  ……… ……  Dst.  ……… …  ……… …  Dst. 3. Penataan personil sekolah:

 ……… ……  ……… ……  Dst.  ……… …  ……… …  Dst. 4. Penataan lingkungan kerja

sekolah:  ……… ……  ……… ……  Dst.  ……… …  ……… …  Dst.


(5)

Diskusikan dengan kelompok Anda mengenai berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kelas dalam menciptakan budaya dan iklim yang inovatif dan kondusif. Kemukakan berbagai alternatif untuk mengatasi masalah tersebut beserta pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung dalam mengatasi masalah tersebut. Pihak yang bertanggung jawab dapat dipilih di antara guru, kepala sekolah, siswa, komite sekolah, orangtua, dan sebagainya.

D. Tugas Studi Kasus materi BAB V.

Kajilah kasus tata tertib sekolah Anda atau sekolah lain. Analisis kemungkinan factor pendukung dan penghambat dalam penegakan tata tertib tersebut. Berikan saran untuk mengatasi hambatan tersebut. Diskusikan rumusan Anda dalam kelompok yang dibentuk untuk itu.

E. Tugas materi BAB VI

Diskusikan dengan peserta lain dalam kelompok-kelompok kecil mengenai bentuk-bentuk penghargaan dan intensif yang dapat merangsang kinerja guru, staf dan siswa. Presentasekan hasil diskusi kelompok di depan kelas untuk menyepakati bentuk-bentuk penghargaan dan insentif yang produktif.

F. Tugas materi BAB VII

Dari uraian tersebut daftarlah poin-poin tindakan yang perlu mencirikan kepemimpinan kepala sekolah dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang inovatif dan kondusif. Diskusikan dalam kelompok untuk membuat prioritas tindakan yang paling penting. Hasil diskusi kelompok hendaknya disepakati secara bersama di kelas untuk menyimpulkan tindakan-tindakan kepemimpinan kepala sekolah yang paling utama dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang inovatif dan kondusif.


(6)