BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, dan amal sholeh yang kekal adalah sebaik baik pahala disisi tuhan mu dan sebaik-baik cita-cita QS. Al-Kahfi
18:46
0F
1
Anak adalah buah hati orang tua, anak merupakan sumber utama kesenangan dan persahabatan. Kehadiran anak membuat hidup seseorang menjadi indah dan
setelah Allah, anak adalah satu-satunya orang yang kepadanya dia menggantungkan dan mengharapkan hidupnya. Karunia anak membawa rizki, kasih sayang dan
limpahan pahala. Anak-anak yang memperoleh didikan yang baik dan terarah yang akan membuat mereka terhormat, baik dan menjadi sumber kebahagiaan. Anak
membawa sifat-sifat baik tersebut, mereka akan benar-benar merasa nikmat dalam kehidupan ini.
1F
2
. Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan ”Kullu mauludin yuladu ’alal
fitrah” , Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih fitrah
2F
3
. Anak
1
Nazri Adlany dkk, ”Al Quran dan Terjemah Indonesia, 1995, Cetakan ke 8, PT.Sari Agung, Jakarta, hal.560.
2
Muhammad Ali al-Hasyimi “Menjadi Muslim Ideal”, 1999, Mitra Pustaka,Yogyakarta, hal.127
3
Abu Sangkan, ”Berguru Kepada Allah” 2006, Yayasan Shalat Khusyu’, Jakarta Selatan, Hal.313
Universitas Sumatera Utara
merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya. Anak dengan segala
keterbatasannya tidak berdaya, sehingga orang dewasalah orang tua yang menjadi penentu pada cerah atau suramnya nasib dan masa depan anak.
Dua alasan utama mengapa anak harus dilindungi, pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat
yang secara kodrati adalah lemah, negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi setiap warganya tidak terkecuali anak, wajib memberikan perhatian
dan perlindungan bagi anak, salah satu upaya yang dapat dilakukan negara adalah membuat berbagai macam peraturan perundang undangan yang dapat menjaga hak-
hak anak sebagai warga negara dan hak-hak keperdataan lainnya serta melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi termasuk anak yang
bemasalah dengan hukum. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak Convention on
the Rights of The Child, desetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB
melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara
Indonesia. Convention on the Rights of The Child, Artikel 3 1 menyatakan, In all
actions concerning children, whether undertaken by public or private social
Universitas Sumatera Utara
walfare institutions, courts of law, administrative authorities or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.
4
Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan
menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa
baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang
sungguhnya terjadi penghancuran masa depan anak.
5
Tema besar konvensi tersebut telah ada dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Pasal 28 B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan
perlindungan terhadap anak dengan menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Sehubungan dengan itu beberapa undang-undang yang telah diberlakukan misalnya Undang-Undang
No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal. Kemudian dalam
Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UUPA, diterbitkan sebagai undang-undang payung umbrella’s law yang secara sui
generis mengatur hak-hak anak.
6
Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
7
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus
tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskan juga dalam pembukaan Begitu juga halnya perbaikan, perubahan
dan kemajuan suatu bangsa adalah bagaimana bangsa itu mampu mempersiapkan generasi mudanya untuk kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa tersebut.
4
Konvesi Hak-Hak Anak, pasal 3 1 Dalam semua tindakan yang menyangkut anak dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga
pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak akan merupakan pertimbangan utama.
5
Hadi Supeno ”Kriminalisai Anak”, 2010 , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.56
6
Muchsin, “Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif”, 2011, Jakarta, Makamah Agung RI hal.1
7
Setya Wahyudi “Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Pradilan Pidana Anak Di Indonesia”, 2011, Genta Publising, Yogyakarta, hal.1
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Dasar 1945 itu, secara singkat ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, inilah
garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pula yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha
pembaharuan hukum, termasuk pembaharuan dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.
Dalam perkembangannya, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang saat ini sedang mendapat sorotan tajam dari para ahli. Banyak kritik ditujukan
terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini sebagai sanksi pidana yang kurang disukai
8
Sistem pemasyarakatan belum membedakan secara khusus bagaimana penanganan anak dengan orang dewasa, banyak anak yang tadinya masih aktif
sekolah tetapi setelah masuk ke penjara akhirnya harus putus sekolah, sistem pembinaan belum menjadi skala prioritas, sistem pemasyarakatan masih menitik
beratkan kepada keamanan, hal ini dapat dilihat, jika petugas RUTAN atau LP . Apalagi yang menyangkut dengan anak, yang mana usia anak
adalah usia sekolah, keharusan untuk menuntut ilmu wajib belajar dan masih perlu mendapatkan perhatian dari orang tuakeluarga, masyarakat dan negara untuk
tumbuh kembangnya anak sebagai generasi penerus, penempatan di dalam Rumah Tahanan RUTAN atau Lembaga PemasyarakatanLP khusus anak bukan
merupakan solusi yang baik, malah membuat permasalahan yang lebih besar bagi pertubuhan anak dan masa depan anak, kenapa demikian?.
8
Barda Nawawi Arief “Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara”, 2010, Genta Publising, Yokyakarta, hal 1-3
Universitas Sumatera Utara
melakukan kelalaian hingga mengakibatkan penghuni lari maka akan mendapatkan sanksihukuman disiplin yang berat, sebaliknya jika program pembinaan tidak
berjalan tidaklah menjadi permasalah yang berarti. Hal ini berakibat kepada prilaku petugas menjadi kasar dan kejam agar anak menjadi takut dan tidak berupaya untuk
melarikan diri. Disamping itu bakat dan prestasi anak tidak menjadi perhatian utama,
sehingga anak tidak lagi mempunyai cita-cita, belum lagi penjara anak yang over kapasitas, banyak anak yang terserang berbagai penyakit, masih banyaknya anak
yang dicampurkan dengan orang dewasa sehingga anak banyak mendapatkan pelajaran yang negatif pengetahuan kejahatan yang lebih tinggi.
Sumber Daya Manusia SDM petugas yang tidak direkrut untuk spesial menangani anak dan ditempatkan di LP anak perekrutan yang tidak profesional,
tidak terlatih, sehingga sikap dan prilaku petugas tidak dapat dijadikan panutan yang baik bagi anak, sehingga tidak jarang anak diperlakukan dengan kasar, belum lagi
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak tidak terfasilitasi sehingga wajarlah jika anak keluar menjadi lebih berani untuk
mengulangi lagi perbuatan pelangaran hukum karena semua faktor tersebut diatas sangat mendukung.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, pemasyarakatan banyak mengalami hambatan, rintangan, tantangan dan
halangan dalam penerapan displin ilmunya. Penerapan sebagai proses dan pelaksanaannya. Tentu saja timbul pertanyaan, apakah ilmu pemasyarakatan
terus berkembang, atau tetap statis karena ketidak terbukaannya dalam
Universitas Sumatera Utara
menerima teori dan prinsip-prinsip yang baru, atau karena sidikitnya pemikir pemasyarakatan?
9
Penjara sebagai media balas dendam sudah menjadi diskusi yang panjang dalam displin hukum pidana, khususnya sub bidang panitensier
pemenjaraan. Penyederhanaan penyebutannya saat ini menjadi Lembaga Pemasyarakatan adalah cara untuk membentuk stigma positif ke hadapan
publik akan fungsi-fungsi pendidikan, pembelajaran dan pertobatan yang diagung-agungkannya. Alih-alih untuk mencapai tujuan dari fungsi-fungsi itu,
Pertanyaan tersebut diatas sebenarnya sudah dapat terjawab dari banyak pemberitan-pemberitaan yang menyoroti berbagai permasalahan di Pemasyarakatan
RUTAN dan LP, mulai masalah perlakuan yang tidak adil diskriminasi antara sesama warga binaan pemasyarakatan WBPanak didik pemasyarakatan adikpas,
masalah peredaran narkoba, masalah over kapasitas, sarana dan prasarana yang tidak mendukung, masalah SDM, masalah koordinasi kerja sama dengan instansi lain
yang kurang terjalin dengan baik, masalah kepegawaiankepemimpinan sehingga salah dalam pengambilan kebijakan dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu akan
memberikan dampak negatif terhadap WBPadikpas yang menjadi penghuni RUTANLAPAS.
Menurut Edy Ikhsan, Direktur Utama Yayasan Pusaka Indonesia yang concern menangani anak berkonflik dengan hukum dan juga dosen di Universitas
Sumatera Utara mengatakan: Dari tahun ke tahun ribuan anak-anak harus masuk dalam ruangan peradilan
formal di Indonesia dan umumnya berujung pada pemenjaraan. Padahal dalam banyak studi, pemenjaraan bakal menjadi ”sekolah” kriminal yang lebih
canggih lagi buat anak dan oleh karena itu harus dihindarkan.
9
CI. Harsono, 1995 ”Sistem Baru Pembinaan Narapidana”, Penerbita Djambatan, Jakarta, hal.3
Universitas Sumatera Utara
Penjara malah terperosok jauh menjadi wilayah yang dipenuhi dengan jurus- jurus canggih untuk melahirkan residivis-residivis baru.
10
Salah satu contoh kasus anak yang ditangani oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan PK Balai Pemasyarakatan Medan BAPAS Medan, Anak yang
berinisial T dengan kasus pertama adalah narkotika yaitu mencoba-cobaingin mengetahui menggunakanmengisap ganja, karena bernasib kurang baik akhirnya
ketahuan oleh pihak kepolisian sehingga T tertangkap dan akhirnya mendapatkan hukuman penjara setahun lebih, T dipenjara dan digabungkan dengan orang dewasa,
setelah habis masa hukuman, T bebas namun beberapa bulan kemudian T tertangkap kembali dengan kasus yang lebih sadis lagi yaitu pembunuhan supir taxi
dan lebih ironisnya lagi T mengajakmempengaruhi temannya, dua orang anak yang masih aktif sebagai pelajar SMA untuk mengikut ide jahatnya, yaitu melakukan
perampokan untuk mendapatkan uang, karena ada perlawanan dari supir taxi akhirnya korban di bunuh. Sehingga T mendapatkan hukuman untuk kedua kalinya
selama delapan tahun sepuluh bulan dan dua orang temannya tersebut masing masing dihukum lima tahun enam bulan penjara dan akhirnya kedua temannya
tersebut terpaksa pula putus sekolah sebab di penjara anak tidak ada fasilitas untuk itu. Ketika PK melakukan home visit kujungan rumah untuk mendapatkan data dan
imformasi, terungkap pernyataan orang tua, bahwa orang tua T sangat kecewa atas penempatan anaknya digabungkan dengan orang dewasa namun tidak dapat berbuat
banyak untuk anaknya karena kekuasaan lagi berbicara, orang tua T menduga T
10
Edy Ikhsan, 2010, ”Mencari Solusi Dibalik Persoalan Anak Berkomplik Dengan Hukum” Majalah Pledoi Media Komunikasi Dan Transformasi Hak Anak, Edisi IVolume I diterbitkan oleh
Yayasan Pusaka Indonsia, bekerjasama dengan WGRJ Banda Aceh, Komnas Perlindungan Anak Jakarta, LAHA Bandung, dan SCCC Surabaya yang di dukung Uni Eropa, hal.1
Universitas Sumatera Utara
belajar banyak dari orang dewasa yang sama-sama berstatus narapidana di tempat ia menjalankan hukuman yang pertama.
11
Rasa keadilan hampir mati hukum dinilai hanya keras untuk rakyat yang lemah. Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL, karena dituduh
mencuri sandal milik seorang anggota polisi semangkin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah, Hukum tak berdaya pada orang yang dekat
dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unversitas Airlangga Surabaya, M.Zaidun, ”Sanksi pada kasus
kenakalan anak adalah pembinaan oleh orang tuanya. Namun prosesnya tidak bagus, AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan
manusiawi”, tuturnya. Penempatan T di RUTANLP tidak
memberikan mamfaat yang lebih baik terhadap masa depan T malah sebaliknya, T menjadi resedivis dan semangkin meningkat kejahatannya.
12
Sandal Butut untuk Tuan Kapolri, aksi solidaritas pengumpulan sandal jepit di berbagai daerah mendapat perhatian media asing, bahkan media luar negeri
menyebut sandal jepit telah menjadi simbol baru ketidakadilan hukum di Indonesia. Selain protes dalam negeri, Polri juga disorot media asing,
Diantaranya BBC dan Aljazeera, BBC.com menurunkan judul yang mengupas kemarahan masyarakat Indonesia atas pengadilan terhadap pencurian sandal
oleh sang remaja, BBC.com menulis, ”Banyak orang yang menilai peradilan tidak adil karena para pejabat korup malah diperlakukan lembut oleh
pengadilan, sementara mereka yang tidakpunya uang dan kekuasaan bisa dijatuhi hukuman sangat berat. Di ujung laporannya, Aljazeera menulis
”Indonesia telah menempuh perjalanan luar biasa menuju demokrasi sejak menumbangkan diktator Soeharto pada tahun 1998, namun sistem peradilan
tetap menjadi titik lemah”.
13
Terkait dengan perkara pidana yang mengancam anak, dalam hal anak yang berhadapan degan hukum, menurut data Markas Besar Kepolisian RI, selama
tahun 2008 ada 811 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena beberapa masalah. Di antaranya penganiayaan, pencurian, pemerasan,
pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual. Sementara menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak yang harus menjalani
11
Kasus berdasarkan realita ini diperoleh dari Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS Medan
12
Harian Kompas terbit hari Jum’at tanggal 6 Januari 2011 hal.pertama
13
Forum Keadilan: No.36, 15 Januari 2012, hal.29
Universitas Sumatera Utara
hukuman di rumah tahananlembaga Pemasyarakatan untuk anak meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2004, penghuni rumah tahananlembaga
pemasyarakatan anak sebanyak 3.653 anak dan meningkat menjadi 4.301 anak pada tahun 2007.
14
Data laporan awal bulan Desember 2011 yang ada pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari laporan 33 Kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM se
Indonesia menyebutkan Napi Anak Negara berjumlah 87 orang, Napi Anak Sipil 8 orang dan Anak Pidana 2.094 orang, total 2.189 orang.
15
Data di KPAI, setiap tahun sekitar 150 pengaduan masyarakat, berupa pengaduan ABH, Januari hingga Agustus 2010 misalnya, dari 1.100
pengaduan masyarakat, 130 11 diantaranya pengaduan tentang ABH. Kondisi tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat
menghawatirkan karena mengambarkan bahwa sesungguhnya penaganan anak yang berhadapan dengan hukum belum sungguh-sungguh mencerminkan
perspektif perlindungan anak. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, namun keadaan belum jauh berubah anak yang berhadapan dengan hukum
selalu diselesaikan dengan penjara. Apapun alasannya, pemenjaraan dan penahanan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak karena kehidupan
penjara, selain bisa mematikan tumbuh kembang anak, penuh tindak kekerasan dan diskriminasi, menjadi media internalisasi kejahatan yang lebih
tinggi, berpotensi menimbulkan trauma psikis juga menstigmasi atau bersifat labeling kehidupan anak sepanjang ayatnya. Oleh sebab itu penjara terhadap
anak harus diakhiri. Dan itu dimulai dengan cara menata secara mendasar proses penaganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan mewujukan
Menurut KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul ”Menuju Sistem Peradilan Anak Di Indonesia” mengatakan, salah
satu persoalan perlindungan anak di Indonesia adalah tingginya angka anak yang berhadapan dengan hukum. Setiap tahun sekitar 6000 anak menjalani
hukuman di penjara atau tahanan, karena jumlah Pemasyarakatan Anak hanya 16 dari 33 Propinsi di Indonesia, maka sebagian dari mereka menjalani
hukuman di penjara dewasa.
12
Muchsin, Op,Cit, hal.3
15
http:smslap.ditjenpas.go.idpublicarlcurrentmonthly tgl.20122011
Universitas Sumatera Utara
undang-undang sistem peradilan anak yang sunguh-sunguh bersifat melindungi anak, bukan semata-mata ingin mengadili anak.
16
Kajian literatur menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, anak yang berhadapan dengan hukum selalu membutuhkan penanganan yang berbeda dengan
penanganan terhadap orang dewasa yang melanggar hukum. Hal ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa perkembangan mental dan fisik anak belum
optimal dan dengan demikian kemampuan mereka dalam bertindak dan bertangungjawab juga tidak sama dengan orang dewasa.
Harkristuti Harkrisnowo dalam kata sambutan di dalam buku ”Analisis Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Indonesia”, Sejumlah peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak,
beserta peraturan pelaksananya, sejauh ini belum diimplementasikan secara maksimal untuk perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
Para penerapan hukum pidana dan acara pidana yang menangani kasus anak di Indonesia, masih terlampau terfiksir pada falsafah pemidanaan retibutif
atau inkapasitatif, dengan mengutamakan penanganan mereka dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana diterapkan pada orang dewasa. Perkembangan
yang muncul di komunitas internasional saat ini, yang sebenarnya juga dijumpai dalam tradisi Indonesia dalam masyarakat hukum adat di masa lalu,
adalah konsep rehabilitasi atau konsep restorative justice, khususnya melalui diversi dalam sistem peradilan pidana anak.
17
Kelebihan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah mengatur siapa saja yang menangani anak yang berkomplik dengan hukum
pengaturannya lebih khusus, mulai dari penyidikan harus Penyidik Anak Pasal 41, Kejaksaan harus Jaksa Anak Pasal 53, Hakimnya juga harus Hakim Anak
Pasal 10, yang benar-benar menjiwai bagaimana kepentingan terbaik bagi anak. Namun kenyataan dilapangan justru kelebihan itu yang menjadi persoalan bahkan
menjadi permasalahan besar sebab anak yang berhadapan dengan hukum tidak
16
http:www.kpai.go.idpublikasi-mainmenu-33arikel167-menuju sistem peradilan anak di indonesia.
17
Mohammad Kemal Dermawan dkk UNICEF dan Pusat Kajian Kriminolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Indonesia, 2006-2007, ”Analisis Situasi Anak Yang Behadapan
Dengan Hukum Di Indonesia” Jakarta
Universitas Sumatera Utara
ditangani oleh Penyidik Anak, Jaksa Anak dan Hakim Anak yang menjiwai tentang anak, disamping itu undang undang tersebut juga memiliki kelemahan, tidak ada
sanksi yang mengatur, bagi mereka penegak hukum yang tidak memenuhi ketentuan daripada undang-undang tersebut, sehingga semangkin bertambah
beratlah beban yang akan dipikul oleh anak anak berhadapan dengan hukum.
B. Perumusan Masalah