Penerapan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest Of The Child) Dalam Upaya Menjauhkan Anak Dari Pidana Penjara

(1)

PENERAPAN ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK (THE BEST INTEREST OF THE CHILD)

DALAM UPAYA MENJAUHKAN ANAK DARI PIDANA PENJARA (STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

OLEH :

SAIFUL AZHAR

107005100/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK (THE BEST INTEREST OF THE CHILD)

DALAM UPAYA MENJAUHKAN ANAK DARI PIDANA PENJARA (STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Pogram Studi Imu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SAIFUL AZHAR

107005100/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENERAPAN ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK (THE BEST INTEREST OF THE CHILD)

DALAM UPAYA MENJAUHKAN ANAK DARI PIDANA PENJARA (STUDI DI KOTA MEDAN)

Nama Mahasiswa: SAIFUL AZHAR Nomor Pokok : 107005100

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. M.Hamdan, SH, M.Hum) K e t u a

(Dr. Marlina, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan SH, MH, DFM) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Magister Ilmu Hukum D e k a n


(4)

Tanggal Lulus : 30 Juli 2012













” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ” (Q.S : Ar-Rahman, 55:13)





























Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan

Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.S: AlQashash, 28-56)













































































Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu

kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau


(5)

enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

(Q.S: An.Nisa’ , 4-135)

Teruntuk :

Diriku,

Keluargaku &

Saudara-saudaraku

Telah diuji pada

Tanggal 30 Juli 2012___________________________________________________


(6)

Ketua : Dr. M.Hamdan, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Marlina, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan SH, MH, DFM 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS


(7)

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

PERANAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN (PK) DALAM MELAKUKAN MEDIASI

TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (STUDI PADA BAPAS MEDAN )

OLEH :

SRI NOVENI SIRAIT

NIM : 107005103

Pasca Sarjana

Ilmu Hukum


(8)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(9)

ABSTRAK

Dua alasan utama mengapa anak harus dilindungi, pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang secara kodrati adalah lemah, negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi setiap warganya tidak terkecuali anak, wajib memberikan perhatian dan perlindungan bagi anak.Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), desetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Asas kepentingan terbaik bagi anak ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis-empiris. Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, namun penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder. Pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Analisa data tersebut dilakukan secara kualitatif dengan melakukan analisa deskriftif.

Penerapan Asas ini dengan maksud untuk berupaya mejauhkan anak dari pidana penjara dengan solusi pendekatan pada keadilan restoratif melalui diversi (pengalihan) dari formal menjadi non formal, agar anak terhindar dari stigma (label jahat) dan menghindari efek negatif proses peradilan terhadap anak.

Disarankan Perlu adanya peninjauan kembali dalam pengaturan konsep pada setiap ketentuan/peraturan yang ada terkait dengan penanganan ABH dengan berdasarkan asas kepetingan terbaik bagi anak sehingga dalam setiap jenjang sistem (sub sistem) peradilan pidana anak mengedepankan (menjadikan hal yang utama) kepetingan terbaik bagi anak. Didalam penerapan asas kepetingan terbaik bagi anak, perlu dilakukan pembekalan pengetahuan sebelumnya dan atau pelatihan-pelatihan dalam kepada para penegak hukum dan sosialisasi pada masyarakat agar pemahaman menjadi baik. Perlu adanya peradilan khusus anak terpisah dengan peradilan umum dan dihapusnya pidana penjara bagi ABH. Negara (Pemerintah) dalam penempatan aparat penegak hukum (SDM) dalam penanganan ABH harus yang benar-benar sudah dipersiapkan, jiwanya prilakunya, skilnya dan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

Kata Kunci : Asas Kepentingan terbaik bagi anak, dan menjauhkan anak dari pidana penjara.


(10)

ABSTRACT

Two main reasons of why children must be protected are that, first, children are our next generations and the future of our nation; and second, naturally, children belong to the weak community group. Thus, the nation, as the holder of authority to guard and protect its citizens including children, is required to pay attention to and provide protection for the children. Convention of the Rights of the Child approved by the UN General Assembly on November 20, 1989 and has been ratified by Indonesia, as a member of the United Nations, through the Presidential Decree No.36/1990. So, the UN Convention has become the Indonesian law binding all of the citizens of Indonesia. The best principle of interest for these children reminds all of the child protection organizers that considerations taken in making the policy/decision must concern the future of the children, not by the standard of adults or, moreover, based on the interests of adults.

The data for this normative juridical study with empirical juridical approach included primary and secondary data but this study very much focused on the secondary data obtained through literatures or documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed through descriptive analysis.

The application of this principle is intended to distance the children from imprisonment by the applying restorative justice approach through the diversion of process from formal into informal one and preventing the negative effect of the judicial process that the children are avoided from the stigma of bad label.

It is suggested that the regulation of concept of each regulation related to the handling of children in conflict needs to be reviewed based on the principle of the best for the children that in every level of sub-system of child criminal justice what is the best for the children is prioritized. In applying the principle of the best for children, the law enforcement officers especially the officials/superiors/leaders need to be provided with knowledge and trainings to make them have a strong willingness to handle the children in conflict correctly and to publicly socialize it that the community members can have a better understanding. Special juvenile justice needs to be separated from public court and imprisonment for children needs to be abolished. In assigning law enforcement officers to handle the children in conflict, the government should have carefully prepared their soul, behavior, and skill and provided the facilities and infrastructures they need.


(11)

KATA PENGANTAR









Assalaamua’alaikum Warahmatullaahi Wabarokatuh

Segala puji dan syukur penulis aturkan atas kehadirat Allah SWT, semoga rahmat, karunia, dan hidayahnya selalu menyertai kita dalam melangkah di bumi ini. Tidak lupa pula shalawat seiring salam tercurahkan kepada Nabi Besar junjungan umat manusia Nabi Muhammad SAW, Kecerdasan dan keluasan sari tauladannya mencakup semua aspek hidup dan kehidupan, hingga mampu membawa ummatnya hijrah dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang penuh pengetahuan.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dengan ridho Allah SWT dapat merampungkan penulisan tesis ini dan tepat pada waktunya, yang berjudul ”Penerapan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest Of The Child) Dalam Upaya Menjauhkan Anak Dari Pidana Penjara” . Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari tidak terlepas dari adanya bantuan, motivasi serta bimbingan, maupun do’a dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis hendak menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Kedua orang tua kandung (Alm.Ibunda Chairiah dan Ayahanda Sa’ari) yang telah banyak berkorban, membimbing, memberikan kasih sayang dari buaian hingga sekarang ini terus dirasakan dan selalu berharap dan do’a Kepada Allah SWT agar penulis / anaknya menjadi anak yang selalu


(12)

berhasil dan bermanfaat bagi orang lain, berkat do’a dan restu mereka jualah penulis dapat mengikuti pendidikan formal sampai kejenjang magister.

2. Kepada Istri tercinta (Mahfuzah, S.Ag) dan Anak-anak yang soleh dan sholehah (Muhammad Hayatul Jauza’, Hayati Halwa Tamara dan Hayati Qanitah) yang selalu memberi semangat dan dorongan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini tepat waktu.

3. Kepada Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Program dari BPSDM Kementerian Hukum Dan HAM RI dengan kerjasamanya kepada Universitas Sumatera Utara melalui berbagai program untuk peningkatan SDM di jajaran Kementerian Hukum dan HAM, biaya dan berbagai fasilitas yang diberikan sehingga mengantarkan penulis sebagai salah seorang mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara hingga selesai dan memperoleh gelar Magister Hukum. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr.M.Hamdan, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan sangat arif dan bijaksana, Demikian pula kepada Ibu Dr.Marlina, SH, M.Hum, dengan penuh rasa keibuan, keihklasan dan penuh kesabaran, memberikan bimbingan tentang tesis yang baik dan motivasi agar dapat menyelesaikan tepat waktu. Begitu pula dengan Bapak Syafruddin S, Hasibuan, SH, MH, DFM dengan sangat teliti memeriksa kalimat perkalimat, banyak pula masukan dan arahan yang berguna agar


(13)

penulisan tesis menjadi baik. Penulis mengucapkan ribuan terimakasih dan berdo’a agar Bapak dan Ibu pembimbing dengan segera memperoleh gelar sebagai guru besar (Profesor) dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

Rasa terima kasih tidak lupa pula kami sampaikan secara tulus kepada Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH MS dan Dr. Mahmud, SH, M.Hum sebagai komisi penguji yang tetap berkenan hadir dan penuh tanggungjawab pada setiap tahapan untuk melakukan pengujian tesis ini, dengan pertanyaan yang sifatnya sangat membangun untuk kesempurnaan tesis, disamping itu juga masukan dan arahan sangat konstruktif serta memperkaya isi materi tesis ini, semoga pengetahuan yang diberikan menjadi amal ibadah. Semoga dengan mudah dan Ridho Allah SWT mendapatkan gelar Profesor (guru besar).

Pada kesempatan ini juga penulis sampaikan kepada para dosen (pengajar) yang telah memberikan materi pelajaran kepada kami kelas khusus Hukum dan HAM yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu namanya, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat buat kami dan menjadi amal ibadah yang terus mengalir pahalanya buat para dosen pengajar tersebut, sebagai bekal hidup hingga diakhirat nanti. Juga tidak lupa kami sampaikan ribuan terima kasih kami kepada staf/karyawan di Biro Pasca Sarjana Fakultas Hukum yang sangat rendah hati dan penuh kesabaran memberikan pelayanan dengan rasa kekeluargaan terhadap kami dari awal masuk pendaftaran hingga sampai selesai masa perkuliyahan, semoga selalu dalam perlindungan Allah SWT.


(14)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr. Mahmul Siregar,SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa kelas khusus Hukum dan HAM di Magister ilmu hukum, khususnya kepada Sdr Khaidir, Sdr. Nanang SP, Sdr. Sayuti, Sdr. Imam, Sdr Boby, Sdr.Sulaiman, Sdr.Erbet, Sdr.Romi, Sdri. Asmawati, Sdri. Juliani, Sdri. Novi, Sdri. Peristiwa, Sdri.Syamsinar dan teman yang lainnya yang senantiasa rasa setia kawan/rasa persaudaraan untuk saling memberi semangat satu dengan lainnya sehingga menjadi kenangan tersendiri semasa proses perkuliahan.


(15)

Tidak lupa pula kepada pihak-pihak yang mendukung dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi, yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu namanya yaitu Kepala dan pegawai/karyawan, di BAPAS Klas I Medan, Pengadilan Negeri Medan, LAPAS Anak Medan dan LAPAS Wanita Medan.

Akhirul Kalam, sekali lagi penulis mengucapkan ribuan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang penulis sebutkan maupun yang tidak disebutkan namanya dalam tesis ini, namun telah berjasa memberikan kontribusinya, atas terselesaikannya tesis ini. Semoga mendapatkan balasan dan ridha dari Allah SWT. Dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Amin ya Rabbal ’Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Medan, Juli 2012

SAIFUL AZHAR NIM. 107005100


(16)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : SAIFUL AZHAR

Tempat/Tgl.Lahir : Medan, 23 Maret 1969

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Instansi : Kementerian Hukum dan HAM RI Wilayah Sumatera Utara

Unit : BAPAS Klas I Medan

Jabatan Fungsional : Pembimbing Kemasyarakatan (PK)

Alamat : Jl.Selamat I No.1 Lk.11 Kel.Rengas Pulau Kec.Medan Marelan, Sumut

No. Hand Phone : 0813 7051 5574

Social Media : saifulazhar69@yahoo.com

Riwayat Pendidikan : 1. SD Neg.060953, Medan (Tahun 1982)

2. SMP Swasta DR.WAHIDIN S.H, Medan (Tahun 1985) 3. SMA Neg. Labuhan, Medan (Tahun 1988)

4. D3 APP - APIPSU (Manajemen Perusahaan) Medan 1989 - 1992

5. S1 Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Ilmu Hukum, Medan 2000 - 2003

6. S2 Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ),

Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta 2007 - 2009 7. S2 Universitas Sumatera Utara (USU), Hukum Pidana Medan, 2010 - 2012


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Mamfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Landasan Konsepsional ... 26

G. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis Penelitian ... 29

2. Sumber Data ... 29

3. Teknik Pengumpulan Data ... 29

4. Analisa Data ... 31

BAB II : PENGATURAN KONSEP ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK (THE BEST INTREST OF THE CHILD) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK ... 32

A.Asas Hukum dan Norma Hukum... 32

B.Sejarah Singkat Hak Anak ... 33

C.Pengaturan Tentang Hak Anak Internasional ... 35

D.Pengaturan Hak Anak Dalam Perundangan Nasional ... 41

BAB III : PENERAPAN ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK DALAM UPAYA MENJAUHKAN ANAK DARI PENJARA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK ... 61

A.Penerapan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak ... 61

B.Pemidanaan Sebagai Upaya Terakhir ... 72


(18)

D.Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak ... 86

E.Studi Kasus ... 88

BAB IV : KENDALA KENDALA PENERAPAN ASAS DALAM UPAYA MENJAUHKAN ANAK DARI PENJARA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK ... 100

A. Kepolisian ... 100

B. Kejaksaan ... 103

C. Pengadilan... 105

D. Lembaga Pemasyarakatan... 111

E. Masyarakat ... ... 118

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

A.Kesimpulan ... 121

B.Saran ... 123


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL I : Perbandingan Jenis Perkara Tindak Pidana Pencurian

Dengan Selain Jenis Pencurian 2009 s/d Juni 2012 ... 58 TABEL II : Data Hakim Anak Yang Terdaftar di Kepegawaian PN Medan Yang Memiliki Sertifikat Sebagai Hakim Anak ... 105 TABEL III : Putusan Hakim Terhadap Perkara Anak Tahun 2011 ... 108 TABEL IV : Banyaknya Perkara Pidana Yang Disidangkan

Tahun 2010, 2011 S/D Juni 2012 ... 110 TABEL V : Kondisi Penghuni LP Anak Medan Berdasar Usia

Kurang dari 18 Tahun dan Lebih dari 18 Tahun ... 113 TABEL VI : Keadaan Pegawai LAPAS Klas II Anak Medan

Kondisi Bulan Juni Tahun 2010 ... 115 TABEL VII : Kondisi Penghuni LAPAS WANITA Medan


(20)

DAFTAR BAGAN

Halaman BAGAN I : Alur Fikir... 18 BAGAN II : Sistem Peradilan Pidana Anak Berdasar

Undang Undang No. 3 Tahun 1997 ... 75 BAGAN III : Kesesuaian Ide Diversi Dengan Politik Nasional


(21)

DAFTAR SINGKATAN

1.ABH = Anak Berhadapan dengan Hukum 2.Adikpas = Anak didik pemasyarakatan 3.BAPAS = Balai Pemasyarakatan

4.CRC = Convention on the Right of the Child 5.DHA = Deklarasi Hak Anak

6.HAM = Hak Asasi Manusia

7.KPA = Komnas Perlindungan Anak

8.KPAI = Komisi Perlindungan Anak Indonesia 9.KHA = Konvensi Hak Anak

10.KHN = Komisi Hukum Nasional

11.Kasipidum = Kepala Seksi Pidana Umum 12.Kajari = Kepala Kejaksaan Negeri

13.LITMAS = Penelitian Kemasyarakatan 14.L P = Lembaga Pemasyarakatan 15.LSM = Lembaga Sosial Masyarakat

16.Lembaga PAPA = Lembaga Pemulihan Ahklak dan Pendidikan Anak 17.PBB = Perserikatan Bangsa Bangsa

18.PKBM = Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat 19.PK = Pembimbing Kemasyarakatan

20.Polda = Polisi Daerah 21.Polsek = Polisi Sektor


(22)

22.PPA = Pelayanan Perempuan dan Anak 23.RJ = Restorative Justice

24.RUTAN = Rumah Tahanan 25.SDM = Sumber Daya Manusia 26.SKB = Surat Keputusan Bersama 27.USU = Universitas Sumatera Utara

28.UUPA = Undang Undang Perlindungan Anak 29.WBP = Warga Binaan Pemasyarakatan


(23)

H. Jadwal Penelitian

Untuk dapat melaksanakan penelitian secara terarah dan sistimatik, maka ditetapkan jadwal pelaksanaan penelitian. Penelitian ini direncanakan selesai dengan alokasi waktu sebagai berikut :

No Keterangan Bulan Maret April Mei Juni Juli Minggu 1 4 1-4 1-4 2 4 1 Pengajuan Proposal ...

Seminar Proposal... Pelaksanaan Penelitian... Pengolahan data... Seminar Hasil... Penulisan Tesis ...

V

2 V

3 V V

4

5 V


(24)

ABSTRAK

Dua alasan utama mengapa anak harus dilindungi, pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang secara kodrati adalah lemah, negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi setiap warganya tidak terkecuali anak, wajib memberikan perhatian dan perlindungan bagi anak.Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child), desetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Asas kepentingan terbaik bagi anak ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis-empiris. Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, namun penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder. Pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Analisa data tersebut dilakukan secara kualitatif dengan melakukan analisa deskriftif.

Penerapan Asas ini dengan maksud untuk berupaya mejauhkan anak dari pidana penjara dengan solusi pendekatan pada keadilan restoratif melalui diversi (pengalihan) dari formal menjadi non formal, agar anak terhindar dari stigma (label jahat) dan menghindari efek negatif proses peradilan terhadap anak.

Disarankan Perlu adanya peninjauan kembali dalam pengaturan konsep pada setiap ketentuan/peraturan yang ada terkait dengan penanganan ABH dengan berdasarkan asas kepetingan terbaik bagi anak sehingga dalam setiap jenjang sistem (sub sistem) peradilan pidana anak mengedepankan (menjadikan hal yang utama) kepetingan terbaik bagi anak. Didalam penerapan asas kepetingan terbaik bagi anak, perlu dilakukan pembekalan pengetahuan sebelumnya dan atau pelatihan-pelatihan dalam kepada para penegak hukum dan sosialisasi pada masyarakat agar pemahaman menjadi baik. Perlu adanya peradilan khusus anak terpisah dengan peradilan umum dan dihapusnya pidana penjara bagi ABH. Negara (Pemerintah) dalam penempatan aparat penegak hukum (SDM) dalam penanganan ABH harus yang benar-benar sudah dipersiapkan, jiwanya prilakunya, skilnya dan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

Kata Kunci : Asas Kepentingan terbaik bagi anak, dan menjauhkan anak dari pidana penjara.


(25)

ABSTRACT

Two main reasons of why children must be protected are that, first, children are our next generations and the future of our nation; and second, naturally, children belong to the weak community group. Thus, the nation, as the holder of authority to guard and protect its citizens including children, is required to pay attention to and provide protection for the children. Convention of the Rights of the Child approved by the UN General Assembly on November 20, 1989 and has been ratified by Indonesia, as a member of the United Nations, through the Presidential Decree No.36/1990. So, the UN Convention has become the Indonesian law binding all of the citizens of Indonesia. The best principle of interest for these children reminds all of the child protection organizers that considerations taken in making the policy/decision must concern the future of the children, not by the standard of adults or, moreover, based on the interests of adults.

The data for this normative juridical study with empirical juridical approach included primary and secondary data but this study very much focused on the secondary data obtained through literatures or documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed through descriptive analysis.

The application of this principle is intended to distance the children from imprisonment by the applying restorative justice approach through the diversion of process from formal into informal one and preventing the negative effect of the judicial process that the children are avoided from the stigma of bad label.

It is suggested that the regulation of concept of each regulation related to the handling of children in conflict needs to be reviewed based on the principle of the best for the children that in every level of sub-system of child criminal justice what is the best for the children is prioritized. In applying the principle of the best for children, the law enforcement officers especially the officials/superiors/leaders need to be provided with knowledge and trainings to make them have a strong willingness to handle the children in conflict correctly and to publicly socialize it that the community members can have a better understanding. Special juvenile justice needs to be separated from public court and imprisonment for children needs to be abolished. In assigning law enforcement officers to handle the children in conflict, the government should have carefully prepared their soul, behavior, and skill and provided the facilities and infrastructures they need.


(26)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang



























Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, dan amal sholeh yang kekal adalah sebaik baik pahala disisi tuhan mu dan sebaik-baik cita-cita (QS. Al-Kahfi 18:46)0F

1

Anak adalah buah hati orang tua, anak merupakan sumber utama kesenangan dan persahabatan. Kehadiran anak membuat hidup seseorang menjadi indah dan setelah Allah, anak adalah satu-satunya orang yang kepadanya dia menggantungkan dan mengharapkan hidupnya. Karunia anak membawa rizki, kasih sayang dan limpahan pahala. Anak-anak yang memperoleh didikan yang baik dan terarah yang akan membuat mereka terhormat, baik dan menjadi sumber kebahagiaan. Anak membawa sifat-sifat baik tersebut, mereka akan benar-benar merasa nikmat dalam kehidupan ini.1F

2 .

Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan ”Kullu mauludin yuladu ’alal fitrah” , Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah)2F

3

. Anak

1

Nazri Adlany dkk, ”Al Quran dan Terjemah Indonesia, 1995, Cetakan ke 8, PT.Sari Agung, Jakarta, hal.560.

2

Muhammad Ali al-Hasyimi “Menjadi Muslim Ideal”, 1999, Mitra Pustaka,Yogyakarta, hal.127

3

Abu Sangkan, ”Berguru Kepada Allah” 2006, Yayasan Shalat Khusyu’, Jakarta Selatan, Hal.313


(27)

merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya. Anak dengan segala keterbatasannya tidak berdaya, sehingga orang dewasalah (orang tua) yang menjadi penentu pada cerah atau suramnya nasib dan masa depan anak.

Dua alasan utama mengapa anak harus dilindungi, pertama anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa, kedua anak adalah kelompok masyarakat yang secara kodrati adalah lemah, negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi setiap warganya tidak terkecuali anak, wajib memberikan perhatian dan perlindungan bagi anak, salah satu upaya yang dapat dilakukan negara adalah membuat berbagai macam peraturan perundang undangan yang dapat menjaga hak-hak anak sebagai warga negara dan hak-hak-hak-hak keperdataan lainnya serta melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi termasuk anak yang bemasalah dengan hukum.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of The Child), desetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.

Convention on the Rights of The Child, Artikel 3 (1) menyatakan, In all actions concerning children, whether undertaken by public or private social


(28)

walfare institutions, courts of law, administrative authorities or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.4

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sungguhnya terjadi penghancuran masa depan anak.

5

Tema besar konvensi tersebut telah ada dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan perlindungan terhadap anak dengan menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Sehubungan dengan itu beberapa undang-undang yang telah diberlakukan misalnya Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal. Kemudian dalam Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), diterbitkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara sui generis mengatur hak-hak anak.

6

Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.

7

Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskan juga dalam pembukaan

Begitu juga halnya perbaikan, perubahan dan kemajuan suatu bangsa adalah bagaimana bangsa itu mampu mempersiapkan generasi mudanya untuk kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa tersebut.

4

Konvesi Hak-Hak Anak, pasal 3 (1) Dalam semua tindakan yang menyangkut anak dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak akan merupakan pertimbangan utama.

5

Hadi Supeno ”Kriminalisai Anak”, 2010 , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.56

6

Muchsin, “Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif”, 2011, Jakarta, Makamah Agung RI hal.1

7

Setya Wahyudi “Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Pradilan Pidana Anak Di


(29)

Undang-Undang Dasar 1945 itu, secara singkat ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, inilah garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pula yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaharuan hukum, termasuk pembaharuan dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.

Dalam perkembangannya, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang saat ini sedang mendapat sorotan tajam dari para ahli. Banyak kritik ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini sebagai sanksi pidana yang kurang disukai8

Sistem pemasyarakatan belum membedakan secara khusus bagaimana penanganan anak dengan orang dewasa, banyak anak yang tadinya masih aktif sekolah tetapi setelah masuk ke penjara akhirnya harus putus sekolah, sistem pembinaan belum menjadi skala prioritas, sistem pemasyarakatan masih menitik beratkan kepada keamanan, hal ini dapat dilihat, jika petugas RUTAN atau LP . Apalagi yang menyangkut dengan anak, yang mana usia anak adalah usia sekolah, keharusan untuk menuntut ilmu (wajib belajar) dan masih perlu mendapatkan perhatian dari orang tua/keluarga, masyarakat dan negara untuk tumbuh kembangnya anak sebagai generasi penerus, penempatan di dalam Rumah Tahanan (RUTAN) atau Lembaga Pemasyarakatan/LP (khusus anak) bukan merupakan solusi yang baik, malah membuat permasalahan yang lebih besar bagi pertubuhan anak dan masa depan anak, kenapa demikian?.

8

Barda Nawawi Arief “Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana


(30)

melakukan kelalaian hingga mengakibatkan penghuni lari maka akan mendapatkan sanksi/hukuman disiplin yang berat, sebaliknya jika program pembinaan tidak berjalan tidaklah menjadi permasalah yang berarti. Hal ini berakibat kepada prilaku petugas menjadi kasar dan kejam agar anak menjadi takut dan tidak berupaya untuk melarikan diri.

Disamping itu bakat dan prestasi anak tidak menjadi perhatian utama, sehingga anak tidak lagi mempunyai cita-cita, belum lagi penjara anak yang over kapasitas, banyak anak yang terserang berbagai penyakit, masih banyaknya anak yang dicampurkan dengan orang dewasa sehingga anak banyak mendapatkan pelajaran yang negatif (pengetahuan kejahatan yang lebih tinggi).

Sumber Daya Manusia (SDM) petugas yang tidak direkrut untuk spesial menangani anak dan ditempatkan di LP anak (perekrutan yang tidak profesional), tidak terlatih, sehingga sikap dan prilaku petugas tidak dapat dijadikan panutan yang baik bagi anak, sehingga tidak jarang anak diperlakukan dengan kasar, belum lagi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak tidak terfasilitasi sehingga wajarlah jika anak keluar menjadi lebih berani untuk mengulangi lagi perbuatan pelangaran hukum karena semua faktor tersebut diatas sangat mendukung.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, pemasyarakatan banyak mengalami hambatan, rintangan, tantangan dan halangan dalam penerapan displin ilmunya. Penerapan sebagai proses dan pelaksanaannya. Tentu saja timbul pertanyaan, apakah ilmu pemasyarakatan terus berkembang, atau tetap statis karena ketidak terbukaannya dalam


(31)

menerima teori dan prinsip-prinsip yang baru, atau karena sidikitnya pemikir pemasyarakatan?9

Penjara sebagai media balas dendam sudah menjadi diskusi yang panjang dalam displin hukum pidana, khususnya sub bidang panitensier

(pemenjaraan). Penyederhanaan penyebutannya saat ini menjadi Lembaga Pemasyarakatan adalah cara untuk membentuk stigma positif ke hadapan publik akan fungsi-fungsi pendidikan, pembelajaran dan pertobatan yang diagung-agungkannya. Alih-alih untuk mencapai tujuan dari fungsi-fungsi itu, Pertanyaan tersebut diatas sebenarnya sudah dapat terjawab dari banyak pemberitan-pemberitaan yang menyoroti berbagai permasalahan di Pemasyarakatan (RUTAN dan LP), mulai masalah perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) antara sesama warga binaan pemasyarakatan (WBP)/anak didik pemasyarakatan (adikpas), masalah peredaran narkoba, masalah over kapasitas, sarana dan prasarana yang tidak mendukung, masalah SDM, masalah koordinasi (kerja sama) dengan instansi lain yang kurang terjalin dengan baik, masalah kepegawaian/kepemimpinan sehingga salah dalam pengambilan kebijakan dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu akan memberikan dampak negatif terhadap WBP/adikpas yang menjadi penghuni RUTAN/LAPAS.

Menurut Edy Ikhsan, Direktur Utama Yayasan Pusaka Indonesia yang

concern menangani anak berkonflik dengan hukum dan juga dosen di Universitas Sumatera Utara mengatakan:

Dari tahun ke tahun ribuan anak-anak harus masuk dalam ruangan peradilan formal di Indonesia dan umumnya berujung pada pemenjaraan. Padahal dalam banyak studi, pemenjaraan bakal menjadi ”sekolah” kriminal yang lebih canggih lagi buat anak dan oleh karena itu harus dihindarkan.

9


(32)

Penjara malah terperosok jauh menjadi wilayah yang dipenuhi dengan jurus-jurus canggih untuk melahirkan residivis-residivis baru.10

Salah satu contoh kasus anak yang ditangani oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan Medan (BAPAS Medan), Anak yang berinisial T dengan kasus pertama adalah narkotika yaitu mencoba-coba/ingin mengetahui menggunakan/mengisap ganja, karena bernasib kurang baik akhirnya ketahuan oleh pihak kepolisian sehingga T tertangkap dan akhirnya mendapatkan hukuman penjara setahun lebih, T dipenjara dan digabungkan dengan orang dewasa, setelah habis masa hukuman, T bebas namun beberapa bulan kemudian T tertangkap kembali dengan kasus yang lebih sadis lagi yaitu pembunuhan supir taxi dan lebih ironisnya lagi T mengajak/mempengaruhi temannya, dua orang anak yang masih aktif sebagai pelajar SMA untuk mengikut ide jahatnya, yaitu melakukan perampokan untuk mendapatkan uang, karena ada perlawanan dari supir taxi akhirnya korban di bunuh. Sehingga T mendapatkan hukuman untuk kedua kalinya selama delapan tahun sepuluh bulan dan dua orang temannya tersebut masing masing dihukum lima tahun enam bulan penjara dan akhirnya kedua temannya tersebut terpaksa pula putus sekolah sebab di penjara anak tidak ada fasilitas untuk itu. Ketika PK melakukan home visit (kujungan rumah) untuk mendapatkan data dan imformasi, terungkap pernyataan orang tua, bahwa orang tua T sangat kecewa atas penempatan anaknya digabungkan dengan orang dewasa (namun tidak dapat berbuat banyak untuk anaknya karena kekuasaan lagi berbicara), orang tua T menduga T

10

Edy Ikhsan, 2010, ”Mencari Solusi Dibalik Persoalan Anak Berkomplik Dengan Hukum” Majalah Pledoi Media Komunikasi Dan Transformasi Hak Anak, Edisi I/Volume I diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Indonsia, bekerjasama dengan WGRJ Banda Aceh, Komnas Perlindungan Anak Jakarta, LAHA Bandung, dan SCCC Surabaya yang di dukung Uni Eropa, hal.1


(33)

belajar banyak dari orang dewasa yang sama-sama berstatus narapidana di tempat ia menjalankan hukuman yang pertama.11

Rasa keadilan hampir mati hukum dinilai hanya keras untuk rakyat yang lemah. Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL, karena dituduh mencuri sandal milik seorang anggota polisi semangkin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah, Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unversitas Airlangga Surabaya, M.Zaidun, ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orang tuanya. Namun prosesnya tidak bagus, AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi”, tuturnya.

Penempatan T di RUTAN/LP tidak memberikan mamfaat yang lebih baik terhadap masa depan T malah sebaliknya, T menjadi resedivis dan semangkin meningkat kejahatannya.

12

Sandal Butut untuk Tuan Kapolri, aksi solidaritas pengumpulan sandal jepit di berbagai daerah mendapat perhatian media asing, bahkan media luar negeri menyebut sandal jepit telah menjadi simbol baru ketidakadilan hukum di Indonesia. Selain protes dalam negeri, Polri juga disorot media asing, Diantaranya BBC dan Aljazeera, BBC.com menurunkan judul yang mengupas kemarahan masyarakat Indonesia atas pengadilan terhadap pencurian sandal oleh sang remaja, BBC.com menulis, ”Banyak orang yang menilai peradilan tidak adil karena para pejabat korup malah diperlakukan lembut oleh pengadilan, sementara mereka yang tidakpunya uang dan kekuasaan bisa dijatuhi hukuman sangat berat. Di ujung laporannya, Aljazeera menulis ”Indonesia telah menempuh perjalanan luar biasa menuju demokrasi sejak menumbangkan diktator Soeharto pada tahun 1998, namun sistem peradilan tetap menjadi titik lemah”.

13

Terkait dengan perkara pidana yang mengancam anak, dalam hal anak yang berhadapan degan hukum, menurut data Markas Besar Kepolisian RI, selama tahun 2008 ada 811 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena beberapa masalah. Di antaranya penganiayaan, pencurian, pemerasan, pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual. Sementara menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak yang harus menjalani

11

Kasus (berdasarkan realita) ini diperoleh dari Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS Medan

12

Harian Kompas terbit hari Jum’at tanggal 6 Januari 2011 hal.pertama

13


(34)

hukuman di rumah tahanan/lembaga Pemasyarakatan untuk anak meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2004, penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan anak sebanyak 3.653 anak dan meningkat menjadi 4.301 anak pada tahun 2007.14

Data laporan awal bulan Desember 2011 yang ada pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari laporan 33 Kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM se Indonesia menyebutkan Napi Anak Negara berjumlah 87 orang, Napi Anak Sipil 8 orang dan Anak Pidana 2.094 orang, total 2.189 orang.

15

Data di KPAI, setiap tahun sekitar 150 pengaduan masyarakat, berupa pengaduan ABH, Januari hingga Agustus 2010 misalnya, dari 1.100 pengaduan masyarakat, 130 (11%) diantaranya pengaduan tentang ABH. Kondisi tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat menghawatirkan karena mengambarkan bahwa sesungguhnya penaganan anak yang berhadapan dengan hukum belum sungguh-sungguh mencerminkan perspektif perlindungan anak. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, namun keadaan belum jauh berubah anak yang berhadapan dengan hukum selalu diselesaikan dengan penjara. Apapun alasannya, pemenjaraan dan penahanan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak karena kehidupan penjara, selain bisa mematikan tumbuh kembang anak, penuh tindak kekerasan dan diskriminasi, menjadi media internalisasi kejahatan yang lebih tinggi, berpotensi menimbulkan trauma psikis juga menstigmasi atau bersifat

labeling kehidupan anak sepanjang ayatnya. Oleh sebab itu penjara terhadap anak harus diakhiri. Dan itu dimulai dengan cara menata secara mendasar proses penaganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan mewujukan Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dalam artikelnya yang berjudul ”Menuju Sistem Peradilan Anak Di Indonesia” mengatakan, salah satu persoalan perlindungan anak di Indonesia adalah tingginya angka anak yang berhadapan dengan hukum. Setiap tahun sekitar 6000 anak menjalani hukuman di penjara atau tahanan, karena jumlah Pemasyarakatan Anak hanya 16 dari 33 Propinsi di Indonesia, maka sebagian dari mereka menjalani hukuman di penjara dewasa.

12 Muchsin, Op,Cit, hal.3

15


(35)

undang-undang sistem peradilan anak yang sunguh-sunguh bersifat melindungi anak, bukan semata-mata ingin mengadili anak.16

Kajian literatur menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, anak yang berhadapan dengan hukum selalu membutuhkan penanganan yang berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang melanggar hukum. Hal ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa perkembangan mental dan fisik anak belum optimal dan dengan demikian kemampuan mereka dalam bertindak dan bertangungjawab juga tidak sama dengan orang dewasa.

Harkristuti Harkrisnowo dalam kata sambutan di dalam buku ”Analisis Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Indonesia”, Sejumlah peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, beserta peraturan pelaksananya, sejauh ini belum diimplementasikan secara maksimal untuk perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Para penerapan hukum (pidana dan acara pidana) yang menangani kasus anak di Indonesia, masih terlampau terfiksir pada falsafah pemidanaan retibutif

atau inkapasitatif, dengan mengutamakan penanganan mereka dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana diterapkan pada orang dewasa. Perkembangan yang muncul di komunitas internasional saat ini, yang sebenarnya juga dijumpai dalam tradisi Indonesia dalam masyarakat hukum adat di masa lalu, adalah konsep rehabilitasi atau konsep restorative justice, khususnya melalui

diversi dalam sistem peradilan pidana anak.

17

Kelebihan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah mengatur siapa saja yang menangani anak yang berkomplik dengan hukum (pengaturannya lebih khusus), mulai dari penyidikan harus Penyidik Anak (Pasal 41), Kejaksaan harus Jaksa Anak (Pasal 53), Hakimnya juga harus Hakim Anak (Pasal 10), yang benar-benar menjiwai bagaimana kepentingan terbaik bagi anak. Namun kenyataan dilapangan justru kelebihan itu yang menjadi persoalan bahkan menjadi permasalahan besar sebab anak yang berhadapan dengan hukum tidak

16

indonesia.

17

Mohammad Kemal Dermawan dkk (UNICEF dan Pusat Kajian Kriminolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Indonesia), 2006-2007, ”Analisis Situasi Anak Yang Behadapan


(36)

ditangani oleh Penyidik Anak, Jaksa Anak dan Hakim Anak yang menjiwai tentang anak, disamping itu undang undang tersebut juga memiliki kelemahan, tidak ada sanksi yang mengatur, bagi mereka (penegak hukum) yang tidak memenuhi ketentuan daripada undang-undang tersebut, sehingga semangkin bertambah beratlah beban yang akan dipikul oleh anak (anak berhadapan dengan hukum).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalah pokok dalam penelitian ini berkisar pada masalah penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest Of The Child) dalam upaya menjauhkan anak dari penjara, perlu dipermasalahkan dan dibahas, karena asas ini baik secara internasional (konvesi PBB) yang telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia dan pada undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga sudah dimuat sehingga penerapan/implementasinya apakah dapat menjauhkan anak yang berhadapan dengan hukum terhindar dari penjara, maka perumusan masalah dalam tulisan ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan konsep asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest Of The Child) dalam sistem peradilan pidana anak ?

2. Bagaimana penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak ?

3. Kendala kendala apa yang dihadapi dalam penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak ?


(37)

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok-pokok permasalahan seperti telah dikemukakan di atas, maka maksud dan tujuan penelitian ini ialah:

1. Untuk mengkaji pengaturan asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest Of The Child) dalam sistem peradilan anak

2. Untuk mengkaji penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak.

3. Untuk mengetahui kendala kendala apa yang dihadapi dalam penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak .

D. Kegunaan / Mamfaat Penelitian

Hasil – hasil dari penelitian inidiharapkan dapat berguna/bermamfaat :

1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah tentang asas kepentingan terbaik bagi anak yang berkonplik dengan hukum

2. Dari segi praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan, para penegak hukum dan masyarakat sebagai bahan masukan untuk dapat menyelesaikan masalah anak yang berhadapan


(38)

dengan hukum demi kepentingan terbaik bagi masa depan anak dan masa depan bangsa.

E. Keaslian Penelitian

Seperti diketahui kegiatan hidup manusia itu berkembang dengan pesat yang sering diikuti oleh perkembangan hukum, oleh karena itu diperlukan penelitian hukum. Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), bahwa penelitian mengenai ”Penerapan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest Of The Child) Dalam Upaya Menjauhkan Anak Dari Pidana Penjara (Studi Di Kota Medan)” belum pernah dilakukan, Maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannyapun dapat diperanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Dari hasil penelusuran keperpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), ada beberapa judul yang berkaitan dengan penanganan anak berhadapan dengan hukum, yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dan judul yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak, seperti judul tesis tentang ”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Anak Sesuai Dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak” (Studi Kasus


(39)

di Wilayah Pengadilan Tinggi Negeri Tebing Tinggi Deli), oleh Syawal Aswad Siregar, Tahun 2005. lalu tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak” (Studi Kasus Pada Sistem Peradilan Pidana di Kota Medan) oleh Vera Christina Kamila, Tahun 2002. Dan ada judul ”Proses Peradilan Perkara Anak Nakal Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Dan Kaitannya Dengan Pembinaan Dan Perlindungan Anak” . Oleh Muhammad Nuh Tahun 2004.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, BAPAS, Kejaksaan, Hakim, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Penasehat Hukum dan Peran Masyarakat (7 pilar) yang menangani anak berhadapan dengan hukum (dalam hal ini anak sebagai pelaku) hendaknya memiliki wawasan yang luas tidak hanya berfikir secara hukum normatif saja akan tetapi harus juga berfikir secara sosiologis, psikologis dan padagogis maupun filosofis. Kenapa anak sampai melakukan pelanggaran hukum?, Apa yang melatarbelakanginya?.

Bisa jadi anak yang melakukan pelanggaran hukum adalah sebelumnya anak tersebut sudah sebagai korban, faktor eksternal mengakibatkan anak menjadi korban, misalnya anak korban dari keadaan keluarga yang sudah tidak harmonis lagi, ayah/ibu tidak lagi bertanggung jawab kepada keluarganya, ayah tidak pernah lagi memberi nafkah kepada keluarga dan meninggalkan keluarga, sehingga anak kurang mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari orang tuanya. Keadaan


(40)

ekonomi keluarga yang tergolong sulit/miskin, anak tidak lagi sekolah, biaya sekolah yang mahal, kebutuhan anak yang terus meningkat dari waktu ke waktu, terjadi ketimpangan sosial dengan teman sebayanya yang hidup lebih baik lagi.

Faktor lingkungan yang telah terbentuk oleh orang dewasa sebelumnya, misal lingkungan yang marak akan peredaran narkoba, lingkungan rawan akan perjudian, lingkungan yang sering komplik antar kelompok dan lain sebagainya.

Anak korban dari prilaku penegak hukum yang tidak bertanggungjawab, melakukan fitnah terhadap anak, melakukan rekayasa perkara sehingga anak ditetapkan sebagai tersangka, maraknya peredaran narkoba yang seakan tidak mungkin lagi dapat dihapuskan karena mafia jaringan peredaran narkoba terlibat aparat penegak hukum dibelakangnya. Ada juga anak korban dari sistem-sistem yang ada, dengan adanya pengaruh kapitalis, pola fikir penegak hukum dipengaruhi oleh materi/uang, sehingga tidak bisa berlaku adil, hukum tidak lagi bermamfaat pada masyarakat lemah khususnya kepada anak. Dampak negatif dari sistem kinerja, semakin banyak yang dikerjakan lalu dikatakan pekerja/penegak hukum itu semangkin baik, semangkin banyak yang ditangkap semangkin baik kinerjanya shingga ada istilah mengejar target dan banyak mengorbankan anak sampai timbul istilah ”beraninya sama anak- anak saja”.

Lain lagi dengan anak korban dari teknologi dan imformasi gelobal dan lain sebagainya. Kesemua hal tersebut di atas terjadi akibat faktor internal (kondisi anak itu sendiri), yang lemah dan pemikiran anak yang masih labil.


(41)

Disamping 7 (tujuh) pilar tersebut diatas dalam penaganan anak yang berkomplik dengan hukum juga harus didukung oleh pihak terkait lainnya, misalnya Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, LSM dan Kementerian Tenaga Kerja/Balai Latihan Kerja, berkolabrasi, melakukan koordinasi untuk kepentingan terbaik bagi anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak.

Untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tersebut di atas para penegak hukum dan pihak terkait lainnya, dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana), wajib merubah mindset dan harus ada pemikiran yang arif , berwawasan luas dan bijaksana dalam memahami fakta dan kebenaran sehingga tidak mendjolimi anak. Asas kepentingan terbaik baik bagi anak harus dikedepankan, dan sebagai alat untuk menangani anak yang berkomplik dengan hukum digunakan upaya Diversi (pengalihan) dan Restoratrative Justice (RJ).

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara, atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.

Selanjutnya dalam perkembangan perlindungan terhadap anak juga berkembang konsep Restoratrative Justice yaitu satu konsep penyelesaian komplik


(42)

yang terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan penengah (moderator)18

Oleh karena itu sebagai teori pendukung dalam upaya mejauhkan anak dari penjara adalah teori Labeling . Pendekatan teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian : Pertama persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau lebel. Kedua Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.

.

19

Label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk karier kriminal seseorang . Seseorang yang telah mendapat cap atau lebel dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang sekitarnya.

20

18

Marlina, 2010, ”Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana”, USU Press, Medan hal.2

19

Htp:/www.hukumhindu.com/teori-labeling diakses tanggal 9 Maret 2012

20

Melani, Stop Penayangan dan Hindari Pemenjaraan anak, rakyat.com/cetak/0603/teropong/komen hukum, htm diakses tanggal 9 Maret 2012


(43)

(44)

Terhadap anak (anak berkomplik hukum) ada dua kemungkinan besar yang bakal terjadi, jika anak merasa bangga pernah berada dalam penjara maka anak akan menjadi lebih nakal lagi untuk dikemudian hari setelah keluar dari penjara dan jika merasa malu hal ini akan menganggu perkembangan jiwanya, apabila teman-teman sebayanya/masyarakat mencoba menghidarinya dan mencemohi/menghina (diberi lebel sebagai anak mantan dari penjara).

Menurut Marlina berbicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan, di dalam bukunya Hukum Penitensier, dikutip pendapat dari Sudarto mengatakan bahwa : ”Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah penghukuman, penghukuman sendiri berasal dari kata hukum sehingga dapat diartikan sebagai penetapan hukum atau memutus tentang hukuman (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi pada bidang hukum lain. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.21

M.Sholehuddin menyebutkan tiga perspektif filsafat tentang pemidanaan22

21

Marlina, Hukum Penitensier, 2011, PT.Refika Aditama, Bandung, hal.33

22

Ibid hal. 35

1. Perspektif eksistensialisme tentang pemidanaan. Penganut paham ini berpendapat bahwa eksistensi individu ditandai oleh adanya kebebesan. Albert Camus salah satu tokohnya mengatakan bahwa kebebasan mutlak tidak pernah ada, kebebasan dalam pelaksanaaanya harus selalu dikaitkan dan memperhatikan kebebasan individu lain. Hukum dan pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebesan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada negara untuk memidana.

Menurut Camus, pelaku kejahatan tetap menjadi human offender, dan sebagai manusia dia selalu bebas mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Pengenaan sanksi dapat dibenarkan hanya apabila diperhitungkan memiliki kemampuan untuk mendidik kembali seorang pelanggar dan dengan cara begitu akan mengembalikannya kedalam masyarakat sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu, menurut kamus pemidanaan bersifat rehabilitasi yaitu dengan pendidikan kembali (re-edukasi). Pemidanaan berusaha melindungi dan mejaga guna mengurangi kebebasan kriminal.


(45)

2. Perspektif sosialisme tentang pemidanaan.

Menurut faham ini, pemidanaan berpangkal tolak dari kepentingan negara, bukan individu. Hukum pidana Soviet menetapkan kepentingan negara dan ideologi sebagai dasar kewenangan untuk memidana. Pandangan ini menekankan asfek negara dibandingkan individu warganya.

Gerber dan Mc Anany menyebutkan, tidak adanya perbedaan antara pelanggaran yang dilakukan karena kelalaian maupun kesengajaan, karena hukum Soviet menyatukan seluruh perbuatan yang dapat dipadana menjadi satu kategori, yaitu perbuatan berbahaya dalam masyarakat. Hakim dibiarkan membedakan kelalaian dan kesengajaan dan menjatuhkan sanksi dalam hukum pidana menurut sosial.

3. Pemidanaan ditinjau dari perspektif Pancasila.

Negara Indonesia menganut paham ini. Falsafah Indonesia adalah Pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan negara. Tanggungjawab pemidanaan tidak dapat dibedakan secara serta merta kepada pelaku kejahatan karena pada dasarnya kejahatan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan suatu masyarakat. Menurut faham ini hukum pidana (temasuk pemidanaan) di Indonesia harus berorientasi kepada kepentingan individu (pelaku kejahatan) dan kepentingan masyarakat, termasuk korban kejahatan.

Penjatuhan pidana ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan, namun demikian muncul pertanyaan kembali, apakah pemidanaan dapat dijadikan instrumen pencegahan kejahatan?. Persoalan ini muncul karena banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semangkin marak terjadi. Pertanyaan ini juga memunculkan protes terhadap kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang memberikan pembinaan terhadap narapidana, agar narapidana setelah keluar dari masa pidananya dapat berintegrasi dengan baik di lingkungan masyarakat.23

Sistem peradilan pidana yang diterapkan saat ini tampaknya masih menitikberatkan untuk menjatuhkan hukuman bagi para pelaku tindak kejahatan sebagai balasan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan titik berat seperti ini, dimensi tindak kejahatan sepertinya hanya dilihat dari satu sisi, yaitu dari sisi si pelaku tindak kejahatan itu sendiri.24

23

Ibid hal. 40

24

Distia Aviandari dkk, Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman, 2008, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) bekerjasamasa dengan Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK), Yayasan Kalyanamandira dan SKEPO atas dukungan Terre des Hommes Netherlands, Bandung, hal.3

Kalau mau dicermati lebih jauh, dimensi tindak kejahatan sesungguhnya bisa lebih luas


(46)

lagi. Tindak kejahatan tidaklah semata pelaku kejahatan. Namun, pada tindak kejahatan ini pun akan ada yang namanya korban dari tindakan yang diklasifikasikan jahat tersebut, ada kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, ada masyarakat yang tatananya terganggu, dan lebih jauh lagi, akan ada implikasi di kemudian hari. Dengan demikian, penanganan dari suatu tindak kejahatan selayaknya dipandang dengan perspektif yang lebih luas pula. Tidak melulu hanya pada soal pembalasan bagi pelaku tindak kejahatan25

Secara umum, sistem peradilan pidana yang berkembang di berbagai belahan dunia saat ini memang masih cendrung hanya bersifat merespon kejahatan: baru akan bertindak setelah kejahatan itu terjadi. Hal ini dapat dilihat dari aktor-aktor peradilan pidana terlibat di dalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Kesemua aktor ini merupakan institusi

representasi negara dalam penegakkan hukum. Mereka inilah yang akan merespon kejahatan dengan menindak para pelakunya

26

Model penanganan semacam ini akan lebih menekankan pada asfek

retributive. Dalam hal ini, kejahatan akan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara. Dengan demikian, penangananya pun harus dilakukan oleh institusi yang lebih ditunjuk sebagai representasi negara dalam bidang penegakan hukum. Hanya merekalah yang berhak untuk menindak kejahatan dan memberikan hukuman pembalasan, berupa dera atau siksa, kepada para pelaku kejahatan. Umumnya, hukuman yang akan diberikan kepada pelaku kejahatan itu adalah pemenjaraan atau pencabutan kemerdekaan. Soal bagaimana memulihkan kerugian yang dialami korban atau masyarakat sekitarnya, tidaklah menjadi perhatian bagi pokok pikiran yang menggagas. Model penanganan semacam ini tidak hanya diterapkan kepada pelaku kejahatan dari golongan usia dewasa. Untuk pelaku kejahatan dari golongan usia anak-anak pun diterapkan model yang sama. Penanganannya nyaris sama sekali tidak berbeda.

.

27

Model peradilan pidana ditujukan untuk membuat para pelaku tindak kejahatan jera, maka model penanganan ini bisa dikatakan telah gagal mecapai tujuannya. Fakta menunjukkan dari 50% s/d 70% anak di seluruh dunia yang pernah diproses dalam sistem peradilan pidana, khususnya yang pernah menjalani proses penahanan dan pemenjaraan, justru menjadi residivis di kemudian hari. Dengan demikian, jika dimunculkan pertanyaan, ”Apakah penjara akan membuat para pelaku tindak kejahatan jera?” Jawabannya, hampir bisa dipastikan, tidak.28

25 Ibid 26 Ibid hal.4 27 Ibid 28 Ibid hal.5


(47)

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahlu.29

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.30

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun terhadap diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak akan dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermamfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kerativitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berprilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunaan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajbannya.31

29

Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung, hal.33

30

Ibid

31


(48)

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu :

1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.

2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi ; perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan32

Menurut Marjono Reksodiputra didalam Maidin Gultom, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem penanggulangan kejahatan , berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan atau keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapatkan pidana.

.

33

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sedangkan menurut Muladi didalam Maidin Gultom, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana matril, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Oleh karena itu tujuan sistem peradilan dapat dirumuskan sebagai :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

34

Peradilan Anak merupakan peradilan khusus, merupakan spesalisasi dan diferensiasinya dibawah peradilan umum. Peradilan Anak diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menentukan bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Di Indonesia belum ada tempat bagi suatu Peradilan Anak yang berdiri sediri sebagai peradilan yang khusus.

32

Ibid

33

Ibid hal. 68

34


(49)

Peradilan Anak masih dibawah ruang lingkup Peradilan Umum. Secara intern di lingkugan Peradilan Umum dapat ditunjuk hakim yang khusus mengadili perkara-perkara anak. Peradilan Anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subjek tindak pidana dengan tidak mengabaikan masa depan anak tersebut, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayom, perlindung serta menciptakan iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan. Perlakuan yang khusus diterapkan oleh aparat penegak hukum, yang pada kenyataannya secara biologis, psikologis, dan sosiologis, kondisi fisik, mental, dan sosial anak, menempatkan anak pada kedudukan khusus. Peradilan Anak bertujuan memberikan yang paling terbaik baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan.35

1. Hakim dan stafnya harus mampu menerapkan pelayanan secara individual dan tidak menghukum.

Hak-hak anak dalam proses peradilan dipahami perwujudan keadilan. Keadilan dalam hal ini suatu kondisi yang setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang (yang mengembangkan manusia seutuhnya yang berbudi luhur). Bismar Siregar mengatakan bahwa standard pengadilan anak agar efektif dan adil, harus memenuhi persyaratan berikut :

2. Tersedianya fasilitas yang cukup dalam sidang dan dalam masyarakat untuk menjamin

a. Disposisi pengadilan didasarkan pada pengetahuan yang terbaik tentang kebutuhan anak.

b. Anak membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan, dapat menerimanya melalui fasilitas yang disesuaikan dengan kebutuhannya dan dari orang-orang yang cukup berbobot dan mempunyai kekuasaan untuk memberi kepada mereka.

c. Masyarakat menerima perlindungan yang cukup. 3. Prosedur dirancang untuk menjamin

a. Setiap anak dalam segala situasinya dipetimbangkan secara individual

b. Hak hak Yuridis dan konsitusional anak dan orang tua, serta masyarakat dipertimbangkan secara tepat dan dilindungi.36

35

Ibid hal.76-77

36


(50)

Maidin Gultom berpendapat, bahwa persyaratan tersebut diatas merupakan syarat terciptanya Peradilan Pidana anak yang mampu menagani anak yang berkomplik dengan hukum. Peradilan Pidana anak yang memberikan perlindungan dan jaminan kepada anak untuk melaksanakan hak-haknya, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara fisik, mental dan sosial. Peradilan Pidana anak yang adil menjamin kesejahteraan anak baik fisik, mental dan sosial.37

a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, peradilan dengan para hakimnya dan lain lain

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu ingin mengkaji bagaimana penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara, maka yang menjadi teori sentralnya (sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang ada) yaitu teori dari Lawrence M. Friedman, mengatakan sistem hukum senantiasa terdapat tiga komponen masing-masing:

b. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan.

c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Achmad Ali masih menambahkan dua unsur sistem hukum

a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.

b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.38

37

Ibid

38

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial

Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group.


(51)

Yang menjadi alasan teori ini dipakai adalah karena sangat tepat digunakan untuk melihat dan memudahkan pemecahan permasalahan yang ada dari berbagai sub sistem, baik dari segi subtantibnya, strukturnya, kulturnya, profesionalnya dan kepemimpinannya.Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis. Artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan permasalah tersebut.39

a. Asas, menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah dasar (sesuatu yang menjadi tujuan berfikir atau berpendapat)

2. Landasan Konsepsional

Untuk memberikan pemahaman yang sama atas istilah-isilah yang dipakai dalam penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian oprasional terhadap istilah-istilah tersebut yaitu :

40

HJ.Hommes dalam ”Algemene rechts begin selen voor de praktijk”, berpendapat bahwa asas-asas hukum yang konkrit, melainkan perlu dipandang sebagai dasar-dasar hukum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.41

Sudikno Mertokusumo telah menyimpulkan dari beberapa pendapat ahli seperti Bellefroid, Van Erkema Hommes, Vander Velden dan Scholten tentang apa itu asas hukum dan menyimpulkan, asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangan

42

39

Made Wiratha. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis (Yogyakarta : Andi, 2006) hal.23

40

Hasan Alwi dkk, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.(persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, hal.70

41

O Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Jakarta, hal.23

42


(52)

b. Asas Kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.43

c. Penjara menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; Lembaga Pemasyarakatan.44

d. Sistem, menurut Amirin, Tatang M dalam bukunya Pokok-Pokok Teori Sistem, secara umum yaitu susunan yang terdiri atas bagian-bagian (sub-sistem) yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, dan dijelaskan oleh Hyronimus Rhiti Masing-masing bagian satu sama lain dan berhubungan dengan keseluruhan. Bagian-bagian itu saling pula bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu tujuan dari sistem itu. Dengan demikian, bila salah satu sub sistem terganggu, maka yang lain atau secara keseluruhan akan ikut terganggu.45

e. Peradilan, menurut Sri Widoyati Wiratmo Soekito didalam Maidin Gultom, adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan persolan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.46 Secara sosiologis peradilan sebagai suatu sistem lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berpuncak pada lembaga pengadilan, berproses secara konsisten dan bertujuan memberikan keadilan dalam masyarakat. Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan. Dalam peradilan berkait beberapa lembaga yaitu: Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, Bantuan Hukum, dalam mewujudkan perlindungan, dan keadilan setiap warga negara.47

43

Penjelasan atas Undang-Undang RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

44

Hasan Alwi dkk, Op,cit hal. 850

45

Hyronimus Rhiti, 2011, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmedernisme), Penebit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hal.383

46

Maidin Gultom, Op,Cit hal. 65

47

Ibid hal.66


(53)

f. Pengadilan Anak, berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Pasal 2 dinyatakan Pengadilan Anak adalah kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum.

g. Peradilan Anak, menurut Soedarto di dalam Maidin Gultom mengatakan peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dan menurut Encyclopedia Amricana

menyebutkan bahwa peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-penjahat muda, Anak Nakal dan anak-anak terlantar48

h. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sistem pengadilan kenakalan anak yang terdiri lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan Anak, Penuntutan anak, Pengadilan Anak, Pemasyarakatan Anak.49

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau mengambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak (The best interest of the child) dalam upaya menjauhkan anak dari penjara (Studi di kota Medan).

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian yuridis-normatif dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan perundang-undangan

48

Ibid hal.70

49


(54)

merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, namun penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder, sedangkan data primer lebih bersikap menunjang. Sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Untuk data sekunder berpusat pada undang-undang yang berlaku di Indonesia. Adapun sumber data sekunder yang digunakan berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, Konvensi Hak-Hak Anak, Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, Pendapat para ahli hukum, hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya. Untuk data empiris digunakan data primer dari penelitian di Pengadilan Negeri Medan (PN Medan), Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II-A Medan, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-B Medan dan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan.

3. Metode Pengumpulan Data

Mengingat Penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Namun disamping itu juga dilengkapi dengan studi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II-A Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-B yang semuanya dilakukan dengan mencari


(55)

informasi dan observasi, sedangakan di PN Medan dilakukan, Pengambilan/pengumpulan data melalui buku registrasi perkara pidana biasa dan untuk data kepegawaian dengan informan kepada Kepala Sub.Bagian Kepegawaian, sedangkan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Medan, untuk mendapatkan informasi dilakukan kepada Kasie Bimbingan Kemasyarakatan Klien Anak dan Pembimbing Kemasyarakatan Klien Anak (sebagai informan) yang lebih mengetahui kondisi anak (ABH) dari tingkat penyidikan, melakukan penelitian, melakukan mediasi, hingga pendampingan anak (ABH) dipersidangan, seterusnya melakukan bimbibingan di LAPAS.

Alasan pemilihan lokasi penelitian ke PN Medan, LAPAS Anak Medan, LAPAS Wanita Medan dan BAPAS Klas I Medan untuk mendapatkan data dan informasi, karena berkaitan langsung dalam penanganan anak (ABH) sehingga diharapkan penelitian ini menjadi efektif, efisien dan akurat.

a. Wawancara adalah cara untuk memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan secara lansung kepada imporman yaitu Kasie Bimbingan Klien Anak pada Balai Pemasyarakatan Klas I Medan dan pada Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan, sebagai imporman adalah Kasie Binadik, Kasubsie Bimbingan Kemasyarakatan dan Pelayanan, Kasubsie Registrasi, Kasubsie Bimbignan Kerja dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha, sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan, hanya untuk mendapatkan data dan imformasi tentang keberadaan anak didik pemasyarakatan khusus wanita, pengambilan data dilakukan pada bidang registrasi.


(1)

Peraturan Standard Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Upaya-Upaya Non-Penahanan (The Tokyo Rules) Resolusi PBB 45/110, 1990

Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perlindungan Anak yang dicabut kebebasannya (JDL/”Havana Rules”) Rosolusi No. 45/113 Sidang Pleno ke 68, 14 Desember 1990.

Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak “Riyadh Guidelines” Resolution No.45/112. Sidang Pleno ke 68, 14 Dsember 1990

C. Majalah dan Surat kabar harian :

Edy Ikhsan, ”Mencari Solusi Dibalik Persoalan Anak Berkomplik Dengan Hukum” Majalah Pledoi Media Komunikasi Dan Transformasi Hak Anak, Edisi I/Volume I diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Indonesia, bekerjasama dengan WGRJ Banda Aceh, Komnas Perlindungan Anak, LAHA Bandung, dan SCCC Surabaya yang di dukung Uni Eropa, 2010

Darman Tanjung, Forum Keadilan No. 36, 15 Januari 2012

M.Zaidun, Harian KOMPAS terbitan No. 184 tahun ke-47, hari Jum’at tanggal 6 Januari 2012

Majalah Hukum HAM, Volume X No.48 Januari-Februari 2012

Penjelasan Umum Peraturan Makamah Agung RI No.02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 2012 yang ditanda tangani oleh Ketua Makamah Agung RI, Harifin A.Tumpa.

Saiful Azhar “Mereka Tidak Berpihak pada Anak” Majalah Pledoi Media Komunikasi Transformasi Hak Anak Edisi III 2011 hal.46-49

Majalah Hukum HAM, Volume X No.48 Januari-Februari 2012

D. Media Elektronik :

http:smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly tgl.20/12/2011

diambil dari http:/bataviase.co.id/detailberita-10502246.html

Htp:/www.hukum hindu.com/teori-labeling diakses tanggal 9 Maret 2012


(2)

Maret 2012, Melani, Stop Penayangan dan Hindari Pemenjaraan anak,

http://dewananaksoe.wordpress.com/2009/01/16/sejarah-hak-anak/ tanggal 9 Mei 2012 http/hamblogger.org/sekilas mengenal-konvensi-hak-anak/ tanggal 9 Mei 2012

http://news.detik.com/read/2012/07/03/122938/1956453/10/dpr-sahkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Comments RSS dan asas hukum diakses tanggal 21 Juli 2012


(3)

GLOSSARIUM

1. An sich = Pada dirinya sendiri / pada hakekatnya

2. Barechten = Penetapan hukuman / pemberian atau penjatuhan pidana 3. Beijing Rules = Standar menimal internasional pemenjaraan anak 4. Convicts = Orang hukuman

5. Criminalilizing = Kriminalisasi

6. Criminal justice system = Sistem penanggulangan kejahatan

7. Discretion = diskresi = Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara, atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.

8. Diversi = Pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

9. Deskrifsi analisis = Mengambarkan dan analisis 10. Deviant = Pembakang

11. Delinquent = Pelaku pidana

12. Emphasized the rehabilitation of youthful offender = Mengutamakan perlindungan terhadap rehabilitasi.

13. Havana Rules/JDL = Peraturan PBB untuk perlindungan anak yang dicabut kebebasannya.

14. Home visit = Kunjungan rumah 15. Human offender =

16. Inkapasitatif =

17. Labeling = Label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk karier kriminal seseorang . Seseorang yang telah mendapat cap atau lebel dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang sekitarnya

18. Legal justice =

19. Lex specialis = Undang – Undang Khusus

20. Mindset = Pemikiran yaitu dimaksudkan untuk merubah pola fikir dari hukuman balas dendam dan penyiksaan kepada hukuman kepada anak diorientasikan sebagai proses pembelajaran, penemuan jati diri anak dan pemulihan akhlak anak kembali kepada fitrahnya dengan pengetahuan dan pendidikan.

21. Meratifikasi = 22. Moderator = 23. Network =

24. Non Crimogenic =

25. Panitensier = Pemenjaraan 26. Perspektif Sosialisme = 27. Penalizing = Penalisasi = 28. Prediquent = pra pelaku pidana

29. Proses Prosonization = Asimilasi narapidana baru


(4)

30. Re-edukasi = Pendidikan kembali 31. Refresentasi =

32. Remove = Tindakan pengeluaran 33. Residivist =

34. Retibutif = hukuman pembalasan, berupa dera atau siksa, kepada para pelaku kejahatan.

35. Retibuttive Justice = Hukuman sebagai balas dendam 36. Rehablitasi =

37. Restorative Justice = Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula, dan bukan pembahasan 38. Riyadh Guidelines = Pedoman Riyadh

39. Stakeholder = pihak yang berkepentingan 40. Sui Generis =

41. Self-Contained = Memaksa narapidana mengekang diri 42. Stigma = Merusak mental anak/lebel jahat

43. The Best Interes Of The Child = Kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.


(5)

SINGKATAN

1.ABH = Anak Berhadapan Hukum 2.Adikpas = Anak Didik Pemasyarakat 3.BAPAS = Balai Pemasyarakatan

4.CRC = Convention on the right of the child 5.DHA = Deklarasi Hak Anak

6.HAM = Hak Asasi Manusia

7.KPA = Komnas Perlindungan Anak

8.KPAI = Komisi Perlindungan Anak Indonesia 9.KHA = Konvensi Hak Anak

10.KHN = Komisi Hukum Nasional

11.Kasipidum = Kepala Seksi Pidana Umum 12.Kajari = Kepala Kejaksaan Negeri

13.LITMAS = Penelitian Kemasyarakatan 14.L P = Lembaga Pemasyarakatan 15.LSM = Lembaga Sosial Masyarakat

16.Lembaga PAPA = Lembaga Pemulihan Ahklak dan Pendidikan Anak 17.PBB = Perserikatan Bangsa Bangsa

18.PKBM = Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat 19.PK = Pembimbing Kemasyarakatan

20.Polda = Polisi Daerah 21.Polsek = Polisi Sektor


(6)

22.PPA = Pelayanan Perempuan dan Anak 23.RJ = Restorative Justice

24.RUTAN = Rumahan Tahanan 25.SDM = Sumber Daya Manusia 26.SKB = Surat Keputusan Bersama 27.UNICEP =

28.USU = Universitas Sumatera Utara

29.UUPA = Undang Undang Perlindungan Anak 30.WBP = Warga Binaan Pemasyrakatan