Komplikasi Infeksi leher dalam Ruang Lingkup Abses Peritonsil

krikotirotomi. Terapi selanjutnya dimaksudkan untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi Bailey, 2006. Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian antibiotik serta drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi ini. Resusitasi cairan diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi oleh karena intake yang tidak mencukupi karena seringnya terjadi trismus Bailey, 2006. Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya Surarso, 2011;Triana, 2011. Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan infeksiabses leher dalam Bailey, 2006; Surarso, 2011. Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam Bailey, 2006.

2.6. Komplikasi Infeksi leher dalam

Komplikasi infeksi leher dalam menurut Bailey 2006 terdiri dari: A. Komplikasi infeksi: Universitas Sumatera Utara • Perdarahan pada arteri karotis • Trombosis pada sinus kavernosus • Defisit neurologi yang terdiri dari: Horner Syndrome, pada nervus kranial IX dan XII • Edema paru • Mediastinitis • Perikarditis • Aspirasi • Sepsis B. Komplikasi pembedahan: • Kerusakan dari struktur neurovascular • Infeksi pada luka • Keracunan darah • Luka parut • Aspirasi

2.7. Ruang Lingkup

Infeksi di dalam ruang potensial leher dalam meliputi abses yang terbentuk di peritonsil, parafaring, retrofaring, angina ludovici Ludwig’s angina atau abses submandibula Surarso, 2011; Bradley, 2012.

2.8. Abses Peritonsil

Definisi Abses peritonsil Quinsy adalah kumpulan nanahpus dalam ruang peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor faringeal superior, biasanya pada bagian kutub atas Cowan, 1997; Dingra, 2007. Etiologi Universitas Sumatera Utara Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber dikutub atas tonsil Bailey, 2006; Galioto, 2008. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anerob. Streptococcus pyogenes grup A beta hemolytic streptococcus merupakan kuman aerob yang paling sering dijumpai pada abses peritonsil. Infeksi gigi dan merokok juga menjadi faktor risiko terjadinya abses peritonsil Balleger 1997;MD Galioto, 2008. Patogenesis Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar sehingga infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering menempati area ini, sehingga palatum mole tampak membengkak. Infeksi biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat kutub atas Fachruddin, 2007; Surarso, 2011. Pada stadium permulaan ditandai dengan area infiltrat yang bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah kontralateral Ballenger, 1997; Surarso, 2011. Bila proses peradangan berlanjut ke area sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru Fachruddin, 2007; Surarso, 2011. Dalam penelitian terbaru menyatakan adanya keterlibatan kelenjar weber yang berperan dalam terjadinya abses peritonsil. Kelenjar weber merupakan kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang berada langsung diatas rongga tonsil, didalam palatum mole dan dihubungkan dengan permukaan tonsil oleh sebuah saluran. Kelenjar weber berperan untuk membersihkan daerah tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang terperangkap. Jika kelenjar weber mengalami inflamasi dapat terjadi selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus, saluran yang berbeda pada permukaan tonsil menjadi tersumbat. Nekrosis jaringan dan Universitas Sumatera Utara terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses peritonsil Galioto, 2008. Tanda Dan Gejala Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorok selama 2- 3 hari yang secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya unilateral. Abses peritonsil bilateral pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi Fachruddin, 2007. Dapat terjadi nyeri alih pada telinga dan pembengkakan pada leher akibat limfadenopati infektif. Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari: • Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40°C atau lebih • Lemah • Menggigil • Sakit kepala • Muntah • Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral. Nyeri dapat menjalar ke telinga dan sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan nanah. • Nyeri menelan odinofagia dan sulit menelan disfagia. Penderita tidak dapat menelan air ludahnya sendiri. • Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut. • Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan sebutan “hot potato voice”. • Mulut berbau fetor ex ore. • Sukar membuka mulut trismus. • Nyeri bila menggerakkan kepala ke lateral akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil Dingra, 2007; Surarso, 2011. Tanda-tanda Klinis Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Orofaring terlihat asimetris. Palatum mole tampak membengkak dan Universitas Sumatera Utara menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil tampak hiperemis, membengkak dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Mukopus dapat terlihat menutupi daerah tonsil. Sering dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang sakit Dingra, 2007. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan Steyer, 2002; Dhingra, 2007: 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Aspirasi abses Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosa abses peritonsil 4. Pemeriksaan laboratorium Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan regimen terapi yang sesuai 5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa abses peritonsil adalah CT Scan dan MRI. Penatalaksanaan A. Konservatif Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri dapat diberikan analgetik lokal dengan menyuntikkan xylocain atau novocaine 1 di ganglion sfenopalatina. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka media. Ganglion sfenopalatina mempunyai nervus palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Universitas Sumatera Utara Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infus untuk mencegah dehidrasi Dhingra, 2007; Fachruddin, 2007. Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji kepekaan dari pus yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik sebagai pilihan digunakan golongan penicillin tetapi karena munculnya bakteri yang memproduksi beta-laktamase maka pilihan antibiotik telah berubah. Beberapa penelitian melaporkan lebih dari 50 hasil kultur didapati kuman anerob yang memproduksi beta-laktamase, hal inilah yang membuat banyak para dokter menggunakan antibiotik spektrum luas sebagai first line therapy Galioto, 2008. Manfaat pemberian steroid pada pengobatan abses peritonsil belum diteliti lebih lanjut meskipun steroid banyak dipakai untuk mengurangi edema dan inflamasi pada penyakit THT lainnya Galioto, 2008. B. Operatif Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu aspirasi jarum, insisi dan drainase serta tonsilektomi. a Aspirasi jarum Pungsi Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan abses peritonsil Fachruddin, 2007. b Insisi dan drainase Insisi dilakukan pada daerah yang menonjol berfluktuasi, biasanya pada bagian depan pilar anterior, batas antara 13 bagian atas dan tengah tonsil atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007. c Tonsilektomi Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama- Universitas Sumatera Utara sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi ”a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2- 3 minggu sesudah drainase abses Fachruddin, 2007. Komplikasi Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan dan aspirasi paru Lee KJ, 1997; Surarso, 2011. 1. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat menyebabkan abses parafaring. Penyebaran infeksi melalui m. konstriktor faringeus superior dapat menyebabkan abses parafaring dimana bagian luar tonsil terikat longgar pada m. konstriktor faringeus superior. 2. Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Infeksi dapat turun ke bawah mediastinum melalui ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah ruang potensial dalam carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher dalam termasuk dari ruang peritonsil. 3. Bila abses menjalar ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. Infeksi dapat menyebar ke atas intrakranial melalui ruang visceral vascular yang mulai dari dasar tengkorak menyebabkan trombus sinus kavernosus. Abses peritonsil yang berkomplikasi menjadi abses parafaring dapat meluas ke intrakranial dimana dasar ruang parafaring berada di dasar tengkorak pars petrosus os temporal dan os sfenoid Universitas Sumatera Utara

2.9. Abses Retrofaring