Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.
8
Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap :
Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama
Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada
pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak
menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh
umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan Sipil.
9
1. Orang tua anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ialah :
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980, hal 38.
9
Ibid, hal 34 -35.
Universitas Sumatera Utara
b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan danmenentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti
ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti
ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang
pemeliharaan, dan pendidikan anak. Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau
janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun
1974.
2. Harta benda perkawinan
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UUP No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37.
10
10
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta, Tinta Mas, 1975, hal 24-25.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUP No. 1 Tahun 1974. Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-masing, yang
membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat 1 dan 2 UUP No. 1 Tahun 1974. Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama,
hukum adat, dan Kitab Undang-undnag Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata Penjelasan Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974.
Para pencari keadilan justiabelen, tentu mengharapkan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak-
hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang - barang sengketa atau yang
dijadikan jaminan. Didalam praktik dikenal ada 4 empat macam sita yaitu
11
a. Sita Jaminan Conservatoir Beslag
:
b. Sita Hak Milik Rivindicatoir Beslag
c. Sita Harta Bersama Maritale Beslag
d. Sita Eksekusi Executorial Beslag
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu berbeda-beda namun tujuan akhir daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :
1 Putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan
2 Putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah
tiadadipindahtangankan.
11
Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta, Tatanusa, 2004, hal 21-29.
Universitas Sumatera Utara
Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta
bersama suami istri yang disebut dengan sita marital.
12
1 Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri :
Perkataan marital tetap seperti istilah aslinya dalam bahasa Belanda, tidak diIndonesiakan. Istilah sita
marital berasal dari maritale beslag yang disebut juga dengan sita matrimonial matrimonial beslag, bahkan pada saat ini dalam perkembangan hukum Belanda
lebih populer dengan sebutan matrimonial beslag, karena mengandung makna kesetaraan antara suami istri dalam perkawinan. Sedang istilah sita marital
mengandung konotasi yang menempatkan istri dibawah kekuasaan suami dalam perkawinan, yang dikenal dengan lembaga matriale macht sebagaimana selama
ini digariskan dalam Pasal 105 dan 106 KUHPerdata, yang menegaskan :
- memberi bantuan kepada istri dimuka pengadilan, dan - mengemudikan harta milik pribadi istri
2 Setiap istri harus tunduk-patuh kepada suami Pasal 106
KUHPerdata. Demikian kesan diskrimianatif yang terkandung dalam perkataan sita
marital, dan dianggap layak untuk menggantinya dengan istilah sita matrimonial. Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta bersama,
sebutan ini memperlihatkan kedudukan yang setara equal antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam
Pasal 31 ayat 1 UUP No.1 Tahun 1974, bahwa hak dan kedudukan istri
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998, hal 57.
Universitas Sumatera Utara
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat 2 ditegaskan
lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah tersebut tanpa
mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital.
13
Tujuan Maritale Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan
terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara
berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau menggelapkan sebagian dari harta perkawinan harta bersama Undang-Undang
memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan Maritale Beslag.
14
Pada dasarnya, Maritale Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan Conservatoir Beslag. Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat
berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, Maritale Beslag adalah perwujudan sita
jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat 1 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan
13
Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Bina aksara, 1987, hal 52.
14
M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Bandung, Pustaka, 1990, hal 142.
Universitas Sumatera Utara
haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam ketentuan hukum acara perdata”.
15
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau Tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri” Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita
terhadap harta perkawinan, ini diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa :
16
Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan
permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung.
.
17
Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat
“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap
harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita
15
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Bandung, Sumur, 1981, hal 39.
16
Pasal 24 ayat 2 huruf c PP No. 9 Tahun 1975
17
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan, Edisi Pertama, Jakarta, Akademika Pressindo, 1986, hal 25.
Universitas Sumatera Utara
jaminan conservatoir beslag yang disebut Maritale Beslag. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat 2 huruf c adalah :
a Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritale
Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung, dan
b Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritale Beslag agar
terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24 ayat 2 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan
permintaan Maritale Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat 2 huruf c PP Nomor
9 Tahun 1975 dalam kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara a contrario, kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan
permintaan Maritale Beslag.
18
Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri
mengajukan permintaan Maritale Beslag kepada pengadilan, apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan harta perkawinan. KUHPerdata
memperkenankan permintaan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat diajukan permintaan Maritale Beslag berdasar gugatan pemisahan harta
18
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang, Universitas Diponegoro, 2008, hal 16.
Universitas Sumatera Utara
perkawinan
19
1. Mengajukan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian.
. Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak kepada istri untuk :
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh : a.
Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga
Pasal 186 ayat 1 KUHPerdata, atau b.
Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama Pasal
186 ayat 2 KUHPerdata. Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya
tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam PP Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UUP Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang
dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UUP No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term
sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
20
Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna
melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi
19
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hal 66.
20
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal 50.
Universitas Sumatera Utara
keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat Undang- Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela
haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk mengajukan maritale beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa
perceraian
21
21
Ibid.
. Dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Nomor
330Pdt.G2013Ms-Lsk tanggal 12 Maret 2014 menyatakan sah secara hukum mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan menurut hukum
bahwa Perkawinan Penggugat Nurjannah binti Abdurrahman dan Tergugat Marzuki bin M. Naseb, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya,
menyatakan menurut hukum bahwa sita jaminan yang telah diletakkan oleh Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon adalah sah dan berharga, serta telah berkekuatan
hukum tetap. Seperti diketahui bahwa sita itu sendiri masing-masing mempunyai tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata No. 330Pdt.G2013Ms-
Lsk yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bertujuan untuk membekukanmenjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak
dipindahkandijual. Berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf b dan PP No.9 Tahun 1975 beserta
penjelasannya, sita marital berfungsi untuk melindungi hak pemohon sita baik PenggugatTergugat selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan
berlangsung dengan menyimpanmembekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai dipindahtangankan kepada pihak ketiga.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena sifatnya hanya menyimpanmembekukan maka apakah sita marital itu apabila dikabulkan dalam gugatannya perlu dinyatakan sah dan
berhargatidak dalam amar putusannya, sebab seperti diketahui banyak praktik di lapangan mengenai sengketa harta bersama dimana dalam amar putusannya
dinyatakan sah dan berharga dan sudah berkekuatan hukum tetap, namun tidak bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak karena tidak
ditindak lanjuti dengan adanya sita eksekutorial. Selain itu ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibarengi
dengan permintaan sita marital menimbulkan kebimbangan. Sebab menurut undang-undang dan praktik pengadilan, pengajuan gugatan pemisahanpembagian
harta perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan
istri atau suami adalah layak memberi hak pengajuan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri
suka menghamburkan harta kekayaan bersama.
22
22
M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit, hal 144-145.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Yuridis terhadap Sita Marital atas Sengketa Harta Bersama dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah