xxxvi dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris dengan pemikiran ini ada
ahli yang mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik dalam persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Penguasa
pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan internasional kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina
akan cenderung menerima Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor itu. Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara signifikan jauh
sebelumnya yakni
sejak abad
ke-12 atau
ke-13 M
http:peziarah.wordpress.com. Akhirnya, kita dapat menyimak beberapa hal berikut ini: pertama,
Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua; Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar handal, yakni mereka yang memang secara khusus
bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam handal ini
datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Jadi dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa
mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad – abad pertama Hijriyah sekitar abad ke-7 M, namun akselerasi persebaran
Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa selanjutnya.
b. Saluran – saluran Penyebaran Islam
Dalam proses Islamisasi terdapat banyak saluran. Saluran Islamisasi yang berkembang pertama kali di Indonesia adalah perdagangan. Hal ini
xxxvii sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke – 7 hingga abad
ke – 16. Pada saat itu pedagang–pedagang muslim Arab, Persia, India turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan pedagang–pedagang
dari negeri–negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia. Penggunaan perdagangan sebagai saluran Islamisasi sangat menguntungkan karena bagi
kaum muslim tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban menyampaikan ajaran agama Islam kepada pihak–pihak lain. Kecuali itu,
pola perdagangan pada abad–abad sebelum dan ketika Islam datang sangat menguntungkan, karena golongan raja dan bangsawan umumnya turut serta
dalam kegiatan perdagangan, bahkan di antara mereka menjadi pemilik kapal dan saham Nugroho Notosusanto, 1993 : 183.
Proses Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat oleh situasi politik dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati–adipati
pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula – mula mereka berdatangan di
pusat – pusat perdagangan dan diantaranya kemudian ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal
mereka berkembang menjadi perkampungan, yang disebut
Pekojan
Zainuri, 2007 : 92.
Di antara golongan pedagang tersebut tentu ada yang kaya dan pandai, bahkan seringkali ada pula yang menjadi syahbandar pelabuhan
dalam suatu kerajaan. Dari sudut ekonomi jelas mereka memiliki status sosial yang tinggi, sehingga orang–orang pribumi terutama anak–anak
xxxviii bangsawan tertarik untuk menjadi isteri saudagar–saudagar itu. Bagi
pedagang–pedagang asing yang datang ke negeri–negeri lain biasanya tidak membawa isteri, karena itu mereka cenderung membentuk keluarga di
tempat yang mereka datangi. Untuk memperoleh seorang wanita penduduk pribumi di sekitar perkampunganmya. Mereka tidak mengalami kesukaran.
Tetapi perkawinan dengan penganut berhala mereka anggap kurang sah, karena itu wanita–wanita yang mereka inginkan diIslamkan terlebih dahulu
dengan cara mengucapkan syahadat. Hal itu berjalan dengan mudah karena tanpa pentasbihan atau melalui prosesi upacara yang panjang dan rumit,
sehingga penganut yang bukan Islam tertarik dan senang untuk mengikuti tata cara dalam proses perkawinan tersebut. Para saudagar-saudagar
termasuk dalam lingkungan penduduk asing, yang dianggap lebih daripada mereka. Lingkungan pergaulan mereka makin luas, serta pengaruhnya
sangat besar terhadap penduduk pribumi sehingga lambat laun timbul kampung–kampung, daerah– daerah dan kerajaan muslim Nugroho
Notosusanto, 1993 : 189. Dari uraian tersebut di atas, dapat memberikan gambaran bahwa
perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi merupakan titik awal terjadinya jalinan kekeluargaan dan sangat
berpengaruh terhadap proses Islamisasi. Perkawinan merupakan cara Islamisasi yang paling mudah, karena ikatan perkawinan itu sendiri sudah
merupakan ikatan lahir–batin, tempat mencari kedamaian di antara individu yang terlibat, yaitu suami dan isteri, membentuk keluarga yang menjadi inti
xxxix masyarakat, berarti membentuk inti masyarakat muslim. Kemudian dari
perkawinan itu membentuk pertalian kekerabatan yang lebih besar antara pihak laki–laki dan keluarga pihak perempuan Nugroho Notosusanto, 1993
: 190. Kecuali melalui perdagangan dan perkawinan, tasawuf juga
merupakan salah satu saluran penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa
Indonesia yang meninggalkan bukti–bukti jelas pada tulisan–tulisan antara abad ke – 13 dan ke – 18. Hal itu bertalian langsung dengan penyebaran
Islam di Indonesia, memegang peranan suatu bagian yang penting dalam organisasi masyarakat kota – kota pelabuhan Notosusanto, 1993 : 191.
Selain melalui tasawuf, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidik, baik dalam pesantren maupun pondok – pondok yang diselenggarakan oleh
guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama. Pesantren atau pondok merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam, sebagai
tempat pembinaan calon guru – guru agama, kiai – kiai atau ulama – ulama. Setelah keluar dari suatu pesantren, mereka kembali ke masing – masing
kampung atau desanya. Di tempat – tempat asal, mereka akan menjadi tokoh agama, menjadi kiai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan
demikian, pesantren – pesantren beserta kiai – kiai berperanan penting dalam proses pendidikan masyarakat. Semakin terkenal seorang kiai,
semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan mencapai radius lebih jauh lagi. Pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, kita mengenal Sunan
xl Ampel dan Raden Rahmat yang mendirikan pesantren di Ampel Denta,
Surabaya. Sunan Giri, terkenal dengan pesantrennya sampai daerah Maluku. Orang – orang dari daerah itu, berguru kepada Sunan Giri, bahkan beberapa
kiai yang berasal dari Giri diundang ke Maluku untuk menjadi guru agama. Mereka ada yang dijadikan khatib, modin, dalam kadi masyarakat Maluku,
dengan upah cengkeh Nugroho Notosusanto, 1993 : 192 Saluran dan cara Islamisasi yang lain dapat pula melalui cabang –
cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Hasil – hasil seni bangunan pada zaman
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid – masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid
Agung Banten, Baiturrahman Aceh, Ternate dan masih banyak lagi yang lainnya. Di Indonesia, masjid – masjid kuno menunjukkan keistimewaan
dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima atau
lebih, dikelilingi parit atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian – bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola
kalamakara,
mimbar yang mengingatkan ukir – ukiran pola teratai,
mastaka
, atau
memolo
, jelas menunjukkan pola – pola seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan
meru
pada zaman Indonesia Hindu. Ukir – ukiran seperti mimbar, hiasan lengkung pola
kalamakara
, mihrab, bentuk beberapa
xli
mastaka
dan
memolo
menunjukkan hubungan yang erat dengan perlambang
meru
,
kekayon gunungan
atau gunungan tempat kedewaan yang dikenal dalam cerita – cerita keagamaan Hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno
seperti di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuh – tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan
mengingatkan ke pada pola – pola ukiran yang telah dikenal pada candi Prambanan dan beberapa candi lainnya. Kecuali itu, pada pintu gerbang,
baik di keratin – keratin maupun di makam orang – orang yang dianggap keramat yang berbentuk candi – bentar, kori Agung, jelas menunjukkan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan – nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon,
Banten, menunjukkan unsur – unsur seni ukir dan perlambang pra Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih
menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra- Islam Nugroho Notosusanto, 1993 : 193.
Dari apa yang dibeberkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jelas Islamisasi dilakukan pula melalui seni bangunan dan seni ukir.
Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir dari masa – masa tersebut jelas pula bagi kita bahwa proses Islamisasi dilakukan dengan
damai. Kecuali itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra – Islam merupakan alat Islamisasi yang
sangat bijaksana yang mudah menarik orang – orang bukan Islam utnuk dengan lambat laun memeluk agama Islam sebagai pedoman hidup barunya.
xlii Saluran dan cara Islamisasi melalui seni bangunan dan seni ukir sesuai pula
dengan saluran dan cara melalui seni tari, musik dan sastra. Dalam upacara – upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukkan seni tari
atau musik tradisional, misalnya gamelan yang disebut
sekaten
yang terdapat di kota Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta dibunyikan pada
perayaan Gerebeg Maulud. Berdasarkan babad dan hikayat, di keraton – keraton lama terdapat gamelan, tarian seperti
dedewan debus
,
birahi
,
bebeksan
yang diselenggarakan pada upacara tertentu. Bahkan di antara seni yang terkenal dijadikan alat Islamisasi adalah pertunjukan wayang. Menurut
cerita, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari Mahabharata dan
Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh – tokohnya diganti dengan pahlawan Islam. Nama panah
Kalimasada
, suatu senjata paling ampuh, dalam lakon wayang dihubungkan dengan Kalimat Syahadat,
ucapan yang berarti pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad. Kalimat Syahadat merupakan tiang pertama dalam lima rukun Islam.
Islamisasi melalui seni sastra juga dilakukan secara sedikit demi sedikit seperti terbukti dalam naskah – naskah lama masa peralihan kepercayaan
yang ditulis dalam bahasa dan huruf daerah, misalnya primbon – primbon abad ke – 16 yang antara lain disusun oleh Sunan Bonang Nugroho
Notosusanto, 1993 : 194.
xliii Babad – babad dan hikayat – hikayat juga ditulis dalam bahasa
daerah, dengan menggunakan huruf daerah dan Arab. Beberapa kitab tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam
bahasa daerah lainnya. Ajaran Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair Melayu, merupakan salah satu usaha agar ajaran tersebut dapat dimengerti
oleh orang – orang Indonesia yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persi. Mungkin tersebarnya bahasa Melayu atau Indonesia sebagai
lingua franca
pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, juga melalui perdagangan. Di Maluku, misalnya, kita kenal Hikayat Hitu yang ditulis
dalam bahasa Melayu, demikian juga Hikayat Banjar dan Hikayat Kutai. Agama Islam juga membawa beberapa perubahan sosial dan budaya,
memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi,
meskipun kadang – kadang dalam taraf permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat Nugroho Notosusanto, 1993 : 195.
c. Proses masuknya Islam di Jawa