Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu.

(1)

ABSTRAK

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno

Universitas Sanata Dharma 2017

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research & Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.

Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.


(2)

ABSTRACT

DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN

SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno Universitas Sanata Dharma

2017

This study was conducted based on the needs analysis that was done in SDN Mertelu. Based on the result of needs, it was found that division material was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.

This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.

There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.


(3)

i

PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN

BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA)

DI SD NEGERI MERTELU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Rahmawati Suharno NIM 131134055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

ii


(5)

(6)

iv

Karya ini kupersembahkan untuk:

Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah, dan anugerahNya sehingga skripsi ini selesai dengan lancar dan tepat waktu.

Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu memberikan dukungan, doa, dan semangat.

Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi.

Ibu Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi. yang membimbingku dalam proses pengerjaan skripsi.

Seluruh dosen PGSD USD yang telah memberikan pengalaman belajar yang luar biasa.

Teman-temanku satu payung, Witanti Wiyantari dan Mariyah yang selalu memberikan bantuan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi.

Teman-teman terdekatku, Marta, Galuh, Windha, Itri, Voo, Rajiv, Adel, Adiktia, dan Dessy Riska yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

Teman-teman PGSD angkatan 2013, terimakasih atas kebersamaan, dukungan, bantuan, dan saling berbagi selama belajar di PGSD USD.


(7)

v

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)

yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Terjemahan Q.S Al-Insyirah: 6-8)

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Terjemahan Q.S Anfal: 46)


(8)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis


(9)

vii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Rahmawati Suharno

Nomor Mahasiswa : 131134055

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR

MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 13 Juni 2017 Yang menyatakan


(10)

viii

PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno

Universitas Sanata Dharma 2017

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan di SD N Mertelu. Hasil analisis kebutuhan menyatakan bahwa materi pembagian dirasa paling sulit untuk dipelajari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak S, sekolah mengalami keterbatasan dalam menyediakan alat peraga untuk membantu anak dalam memahami suatu konsep Matematika. Misalnya, alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika (Diskalkulia) dalam memahami konsep pembagian. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dan mendeskripsikan kualitas produk yang telah dikembangkan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research & Development). Prosedur pengembangan penelitian ini menggunakan prosedur pengembangan yang diungkapkan oleh Sugiyono. Peneliti hanya menggunakan tujuh dari sepuluh langkah Sugiyono. Karena untuk sampai pada langkah kesepuluh memerlukan keahlian khusus pada bidangnya. Subyek penelitian ini yaitu tiga anak Diskalkulia di kelas IV SD N Mertelu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.

Prosedur pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 7 langkah yaitu: (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk akhir sampai menghasilkan produk akhir berupa prototipe papan pembagian tanpa sisa 1-30. Hasil validasi oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu dikategorikan sangat baik. Dari hasil validasi alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Sedangkan dari hasil validasi album alat peraga diperoleh rerata 3,6 dengan kategori “sangat baik”. Hasil akhir penelitian berupa prototipe alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 beserta albumnya.


(11)

ix

DEVELOPING MEDIA OF MATHEMATICS DIVISION MATERIAL FOR CHILDREN WITH MATH DISABILITY (DYSCALCULIA) IN

SD NEGERI MERTELU Rahmawati Suharno Universitas Sanata Dharma

2017

This study was conducted based on the needs analysis that was done in SDN Mertelu. Based on the result of needs, it was found that division material was the most difficult material to learn. Based on the result of interview, Bapak S stated that school did not have enough media to help children to learn mathematics concept. For instance, division board 1-30 without remains could help dyscalculia children in understanding division concept. This study aimed to produce a media in a form of division board 1-30 without remains and describe the quality of the media developed.

This study is a research and development study. The procedures developed of this study used procedure development by Sugiyono. The researcher only used seven of ten Sugiyono’s steps. To get into step tenth, need special skills in the field. The subjects of this study were three dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu. The instruments used were questionnaire, interview guideline, and observation guideline.

There were seven steps of procedure development that had been conducted in this study. They were (1) potential and problem, (2) data gathered, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product testing, (7) the last product revision in a form of division board prototype 1-30 without remains. The result of validation showed that the quality of Mathematics division board 1-30 without remains media for dyscalculia children in Grade IV SDN Mertelu was categorized very good by the experts. The result of media validation got mean 3,6 which was categorized very good. Besides, the result of media album validation got mean 3,6 which was categorized very good. The finishing result of the study was in a form media of Mathematics division board 1-30 without remains along with the album.

Key words: Research and Development, media, dyscalculia.


(12)

x

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya yang berlimpah peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN ALAT PERAGA MATEMATIKA MATERI PEMBAGIAN UNTUK ANAK DENGAN BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA) DI SD NEGERI MERTELU”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma dan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat dibuat dengan baik karena doa dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan memberikan doa serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si, M.Pd., Ketua Program Studi Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., Wakil Program Studi Prodi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., Dosen Pembimbing II yang selalu memberi pengarahan, kritik dan saran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan pelayanan peneliti dengan baik.

6. Para validator yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini. 7. Kepala Sekolah SD Negeri Mertelu yang dengan tangan terbuka telah

bekerja sama dan memberikan izin penelitian di sekolah.

8. Guru kelas IV SD Negeri Mertelu yang telah membantu selama proses penelitian.


(13)

xi

IV SD Negeri Mertelu yang dengan berbaik hati mau berpartisipasi dan memberikan waktu kepada peneliti.

10. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai pengalaman belajar. 11. Kedua orang tuaku, Bapak Suharno dan Ibu Tugi yang selalu

memberikan dukungan, doa, dan semangat.

12. Adik-adikku tercinta, Taufik Sanjaya dan Nayla Rizky Rahmadani yang selalu menghiburku dikala bosan dengan proses pengerjaan skripsi. 13. Teman-teman terdekatku yang telah memberikan bantuan, semangat, dan

dukungan.

14. Teman-teman satu payung yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

15. Semua pihak yang telah mendukung dan tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penelitian selanjutnya dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan skripsi.

Yogyakarta, 13 Juni 2017 Penulis


(14)

xii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB IPENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Spesifikasi Produk ... 7

1.6 Definisi Operasional... 12


(15)

xiii

2.1.1 Alat Peraga ... 14

2.1.2 Matematika ... 17

2.1.3 Kesulitan Belajar ... 27

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) ... 35

2.1.5 Materi Pembagian ... 43

2.2 Penelitian yang Relevan ... 45

2.3 Kerangka Berpikir ... 48

2.4 Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

3.1 Jenis Penelitian ... 52

3.2 Setting Penelitian ... 56

3.2.1 Subjek Penelitian ... 56

3.2.2 Objek Penelitian ... 56

3.2.3 Lokasi Penelitian ... 56

3.2.4 Waktu Penelitian ... 57

3.3 Prosedur Pengembangan ... 57

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 62

3.5 Instrumen Penelitian... 66

3.6 Teknik Analisis Data ... 69

3.6.1 Data Kualitatif ... 69

3.6.2 Data Kuantitatif ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

4.1 Hasil Penelitian ... 73

4.1.1 Potensi dan Masalah ... 73


(16)

xiv

4.1.4 Validasi Desain ... 83

4.1.5 Revisi Desain ... 84

4.1.6 Uji Coba Produk ... 100

4.1.7 Revisi Produk ... 102

4.2 Pembahasan ... 103

BAB V PENUTUP ... 107

5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 108

5.3 Saran ... 109

DAFTAR REFERENSI ... 110

DAFTAR LAMPIRAN...114


(17)

xv

Bagan 2.1 Penelitian yang Relevan ... 48 Bagan 3.1 Langkah-langkah Research and Development (R&D... 53 Bagan 3.2 Prosedur Pengembangan Alat Peraga Papan Pembagian 1-30 Penelitian dan Pengembangan ... 58


(18)

xvi

Tabel 3.1 Garis Besar Pertanyaan untuk Kepala Sekolah ... 66

Tabel 3.2 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 66

Tabel 3.3 Garis Besar Pertanyaan untuk Anak Diskalkulia kelas IV ... 66

Tabel 3.4 Garis Besar Pertanyaan untuk Guru Kelas IV ... 67

Tabel 3.5 Rambu-Rambu Pengamatan terhadap Anak Diskalkulia ... 67

Tabel 3.6 Pengukuran Skala Likert ... 68

Tabel 3.7 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Alat Peraga ... 68

Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Validasi Album Alat Peraga... 68

Tabel 3.9 Klasifikasi Hasil Penilaian ... 70

Tabel 4.1 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli ... 84

Tabel 4.2 Komentar dan Saran Terhadap Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli... 84

Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 87

Tabel 4.4 Komentar dan Saran Terhadap Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 88

Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum Revisi dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Matematika ... 89

Tabel 4.6 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 91

Tabel 4.7 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

Tabel 4.8 Komentar dan Saran Album Alat Peraga Sebelum dan Sesudah Revisi oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 93

Tabel 4.9 Rekapitulasi Data Validasi Alat Peraga oleh Kepala Sekolah ... 95 Tabel 4.10 Rekapitulasi Data Validasi Album Alat Peraga oleh Kepala Sekolah 96


(19)

xvii


(20)

xviii

Gambar 1.1 Desain Produk ... 8

Gambar 1.2 Bagian-Bagian Papan Pembagian ... 9

Gambar 1.3 Kartu Soal ... 11

Gambar 1.4 Kartu Bilangan yang Dibagi ... 11

Gambar 1.5 Kartu Bilangan Pembagi ... 11

Gambar 1.6 Kartu Bilangan Hasil Bagi ... 11

Gambar 1.7 Tabung Kecil (Tab) ... 12

Gambar 1.8 Kotak Penyimpanan ... 12

Gambar 4.1 Desain Alat Peraga Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30 ... 82


(21)

xix

Lampiran 1. Surat Izin Melakukan Penelitian... 115

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 116

Lampiran 3. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Matematika ... 117

Lampiran 4. Surat Pengantar Validasi Dosen Ahli Psikologi Anak ... 118

Lampiran 5. Surat Pengantar Validasi Kepala Sekolah ... 119

Lampiran 6. Surat Pengantar Validasi Guru Kelas IV ... 120

Lampiran 7. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika ... 121

Lampiran 8. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak ... 123

Lampiran 9. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Kepala Sekolah... 125

Lampiran 10. Hasil Validasi Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 127

Lampiran 11. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Matematika 129 Lampiran 12. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Dosen Ahli Psikologi Anak………131

Lampiran 13. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Kepala Sekolah ... 133

Lampiran 14. Hasil Validasi Album Alat Peraga oleh Guru Kelas IV ... 135

Lampiran 15. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Potensi dan Masalah ... 137

Lampiran 16. Garis Besar Pertanyaan Wawancara Pengumpulan Data ... 138

Lampiran 17. Pedoman Observasi ... 139

Lampiran 18. Album Petunjuk Penggunaan Alat Peraga Papan Pembagian untuk Anak Berkesulitan Belajar Matematika ... 140


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

Uraian dalam bab ini berisi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) spesifikasi produk yang dikembangkan, dan (6) definisi operasional.

1.1Latar Belakang Penelitian

Matematika merupakan salah satu pelajaran wajib yang ditempuh oleh peserta didik mulai usia sekolah dasar hingga tingkat menengah. Matematika memiliki objek kajian yang abstrak. Hal inilah yang mengakibatkan banyak peserta didik kesulitan memahami pelajaran Matematika. Hasil wawancara dengan guru kelas IV menyatakan bahwa dari mata pelajaran yang terdapat di Sekolah, pelajaran Matematika dirasa paling sulit untuk dipahami. Pengertian Matematika sendiri pun tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan Matematika terhadap bidang studi yang lain. Kalau ada definisi tentang Matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Bila seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan mendefinisikan Matematika adalah kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan dalam perdagangan (Ali & Muhlisrarini, 2014: 47). Matematika sudah tidak asing lagi bagi kehidupan manusia, karena secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu menggunakan konsep dasar Matematika. Misalnya sewaktu membaca waktu pada jam tangan, yang melibatkan pemahaman tentang angka. Oleh


(23)

karena itu, pembelajaran Matematika hendaknya diajarkan pada anak mulai dari usia dini dengan mengenalkan konsep dasar Matematika mulai dari tahap yang konkrit, semi konkrit, dan abstrak. Hal tersebut dapat membantu anak berpikir logis dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam proses pembelajaran konsep dasar Matematika pada anak-anak tidak selalu berkembang sebagaimana mestinya, karena masing-masing anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda. Ada anak yang cepat dan ada juga yang lamban atau kesulitan dalam memahami konsep dasar Matematika. Dari hasil wawancara dengan dugaan anak Diskalkulia, pelajaran Matematika memang dirasa sebagai pelajaran yang paling sulit bagi sebagian besar anak. Bagi anak dengan Diskalkulia, butuh waktu yang lebih lama untuk memahami konsep Matematika dibanding dengan anak biasa pada umumnya. Pembagian sering kali dianggap sebagai salah satu materi yang paling sulit dimengerti oleh anak dan pengajarannya jarang menggunakan alat peraga. Alat peraga sangat diperlukan untuk menunjang proses belajar anak Diskalkulia. Alat peraga dapat membantu anak menangkap pesan/materi yang terkandung dalam suatu pembelajaran, khususnya Matematika. Alat peraga yang menarik juga dapat membangkitkan semangat dan minat belajar anak.

Marilyn & Bursuck (2015: 53) menjelaskan bahwa teknologi dapat digunakan untuk membantu para siswa penyandang disabilitas baik yang ringan ataupun berat dalam banyak hal, misalnya untuk berkomunikasi, mengakses pembelajaran, menyelesaikan tugas, dan berpartisipasi secara penuh di sekolah dan juga di


(24)

masyarakat. Teknologi bantu merujuk pada perangkat apa pun, baik itu suatu alat, produk, atau barang lainnya yang dapat digunakan untuk menaikkan, mempertahankan, atau meningkatkan kemampuan fungsional individu penyandang disabilitas. Tingkatan teknologi bantu yang dapat digunakan siswa disabilitas yaitu (1) tanpa teknologi atau teknologi rendah, (2) teknologi menengah, dan (3) teknologi tinggi. Alat peraga yang dikembangkan dalam penelitian ini tergolong dalam tingkatan pertama, yaitu tanpa teknologi atau teknologi rendah. Tanpa teknologi atau teknologi rendah merujuk pada alat dan barang yang tidak termasuk dalam tipe elektronik apa pun.

Analisis kebutuhan pada penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Mertelu, Piji, Mertelu, Gedangsari, Gunung Kidul pada tanggal 23, 26, dan 28 November 2016 pada tahun ajaran 2016/2017. Peneliti menggunakan 3 anak Diskalkulia di kelas IV. Dari ketiga anak tersebut, masing-masing menampakkan karakteristik anak Diskalkulia. Karakteristik yang paling ditampakkan adalah asosiasi visual-motor, dimana anak sering tidak dapat menghitung benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Anak mungkin baru memegang benda yang ketujuh namun telah mengucapkan “9”, atau sebaliknya. Anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya. Hal tersebut terlihat ketika peneliti mendikte sebuah bilangan kemudian anak diminta untuk menuliskan simbol bilangannya. Misalnya, peneliti mendikte “lima puluh empat” anak justru menuliskan “504” bukan “54”.


(25)

Hasil wawancara dengan guru kelas IV di SD N Mertelu diperoleh hasil bahwa beliau belum pernah menggunakan alat peraga apapun untuk mengajarkan anak Diskalkulia tentang konsep pembagian. Beliau juga mengatakan bahwa di sekolah tersebut belum tersedia alat peraga Matematika tentang pembagian. Alat peraga yang disediakan oleh sekolah hanya terbatas pada materi tertentu saja. Beliau hanya menjelaskan berulang kali untuk mengatasi masalah yang ada pada anak tersebut, namun hal itu dirasa tidak membuat anak menjadi paham. Guru meminta peneliti mendesain alat peraga untuk mengajarkan konsep pembagian pada anak Diskalkulia. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi (2015) yang berjudul “Pengembangan Alat Peraga Pembelajaran Matematika SD Materi Perkalian dan Pembagian Berbasis Metode Montessori” dijelaskan bahwa alat peraga dapat membantu dalam memahami konsep perkalian dan pembagian. Selain itu, alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dari hasil pretest ke posttest menunjukkan perbedaan sebesar 90,4%. Hal tersebut menegaskan bahwa alat peraga Matematika tentang pembagian sangat dibutuhkan untuk membantu anak Diskalkulia dalam memahami konsep pembagian.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD Negeri Mertelu”. Materi pembelajaran Matematika dibatasi pada standar kompetensi

1 “memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan


(26)

khususnya materi pembagian. Peneliti kemudian mempersempit materi kajiannya menjadi pembagian tanpa sisa 1 sampai dengan 30 dimana bilangan pembaginya 1 sampai dengan 10. Hal tersebut dimaksudkan agar anak Diskalkulia terlebih dahulu memahami konsep pembagian dan berhitung.

1.2Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pengembangan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak dengan Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.2.2 Bagaimana kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengembangkan alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.3.2 Mengetahui kualitas alat peraga Matematika papan pembagian tanpa sisa 1-30 untuk anak Diskalkulia kelas IV di SD N Mertelu.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan yang baru dan bermanfaat bagi pembaca, sehingga banyak orang tertarik untuk mempraktikkan apa yang telah dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan judul


(27)

“Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD Negeri Mertelu” 1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1Bagi Peneliti

Penelitian ini mampu memberikan pengalaman langsung kepada peneliti tentang mengembangkan alat peraga Matematika sesuai dengan karakteristik anak Diskalkulia di Sekolah Dasar.

1.4.2.2Bagi Siswa

Siswa kelas IV yang mengalami gangguan Diskalkulia dapat mempelajari materi pembagian dengan alat peraga yang telah melalui serangkaian uji coba ilmiah. Siswa juga dapat merasakan suasana belajar yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

1.4.2.3Bagi Guru

Menambah wawasan guru mengenai cara mengajar dan mengembangkan alat peraga untuk anak berkebutuhan khusus yang mengadopsi ciri-ciri alat peraga yang terdapat dalam pendidikan Montessori.

1.4.2.4Bagi Sekolah

Penelitian ini menambah referensi untuk mengembangkan alat peraga untuk anak berkebutuhan khusus lainnya.


(28)

1.5Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Alat peraga yang akan dikembangkan peneliti berupa papan pembagian tanpa sisa 1-30 dimana bilangan pembaginya 1-10. Kelengkapan alat peraga tersebut meliputi kartu soal, kartu bilangan, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan pembagi, kartu bilangan hasil pembagian, tab (tabung), album petunjuk, dan kotak penyimpanan beserta tutup. Papan pembagian dibuat dengan bentuk persegi panjang dengan panjang 53 cm dan lebar 68 cm, serta ketebalan papan 1 cm. Papan tersebut dibuat dengan bahan kayu jenis teak wood. Pada papan terdapat 600 lubang yang berbentuk lingkaran untuk meletakkan tabung kecil (Tab) yang mempunyai diameter 1,6 cm dan tinggi 4,5 cm dengan diameter lubang 1,7 cm serta dalamnya lubang sebesar 1 cm. Selain itu terdapat juga 4 lubang berbentuk persegi panjang berukuran 5 cm x 9 cm dengan dalamnya lubang sebesar 0.5 cm. Lubang berbentuk persegi panjang ini digunakan untuk meletakkan kartu yang berukuran 5 cm x 7 cm.

Kotak penyimpanan alat peraga terbuat dari kayu dengan panjang, lebar, dan tingginya masing-masing berukuran 21,5 cm x 12,5 cm x 5 cm. Bagian dalam kotak penyimpanan dibuat bersekat-sekat untuk membedakan jenis kartu dan untuk meletakkan tabung kecil (Tab). Sebagai kontrol dari latihan soal, kartu soal dilengkapi kunci jawaban yang tertulis di bagian belakang dari muka kartu soal. Album pembelajaran merupakan buku panduan penggunaan media papan pembagian. Dalam album ini berisi tentang pengenalan alat peraga, tujuan pembelajaran, dan cara penggunaan media. Album pembelajaran berguna sebagai panduan dalam melakukan


(29)

aktivitas pembelajaran menggunakan papan pembagian. Desain produk dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1.1 Desain Produk

Alat peraga papan pembagian tanpa sisa 1-30 terdiri dari empat bagian, yaitu papan pembagian, kartu, tabung kecil (Tab), dan kotak penyimpanan. Pertama, papan pembagian merupakan sebuah papan yang digunakan untuk mejelaskan konsep pembagian. Papan pembagian terdiri dari 10 bagian.


(30)

Gambar 1.2 Bagian-bagian papan pembagian Keterangan:

1. Judul alat peraga. Judul alat peraga ini adalah “Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30”. Judul ini berfungsi untuk memudahkan anak mengetahui fungsi alat peraga yang akan digunakan.

2. Lubang kartu soal. Lubang persegi panjang berwarna putih digunakan untuk meletakkan kartu soal.

1

5

4 3

2 7

6

8

9


(31)

3. Lubang kartu bilangan yang dibagi. Lubang persegi panjang berwarna biru untuk meletakkan kartu bilangan yang dibagi.

4. Lubang kartu bilangan pembagi. Lubang persegi panjang berwarna hijau untuk meletakkan kartu bilangan pembagi.

5. Lubang kartu bilangan hasil bagi. Lubang persegi panjang berwarna merah untuk meletakkan kartu bilangan hasil bagi.

6. Lubang tabung kecil (Tab). Lubang berbentuk lingkaran digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab).

7. Bilangan yang dibagi. Bilangan berwarna biru menunjukkan jumlah lubang tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab).

8. Bilangan pembagi. Bilangan berwarna hijau menunjukkan jumlah lubang tabung kecil (Tab) yang harus digunakan untuk meletakkan tabung kecil (Tab) setiap barisnya.

9. Bilangan hasil bagi. Bilangan berwarna merah menunjukkan jumlah bilangan hasil bagi.

10.Kayu pengendali. Pada bilangan berwarna merah terdapat kayu penutup yang dapat ditarik ke bawah. Kayu penutup berfungsi sebagai pengendali kesalahan ketika anak menghitung bilangan hasil bagi.


(32)

Bagian kedua dari alat peraga papan pembagian adalah kartu. Terdapat 4 jenis kartu yang berbeda, yaitu kartu soal, kartu bilangan yang dibagi, kartu bilangan pembagi, dan kartu bilangan hasil bagi.

Tampak depan Tampak belakang Gambar 1.3 Kartu soal

Gambar 1.5 Kartu bilangan pembagi

Gambar 1.4 Kartu bilangan yang dibagi

Gambar 1.6 Kartu bilangan hasil bagi Tulisan pada bagian muka (depan) kartu soal mempunyai tiga warna, yaitu biru, hitam, dan hijau. Tulisan berwarna biru menunjukkan bilangan yang dibagi, hitam menunjukkan simbol pembagian, dan hijau menunjukkan bilangan pembagi. Pada kartu soal dilengkapi dengan pengendali kesalahan yang terdapat di bagian belakang kartu soal.

Bagian ketiga dari alat peraga ini adalah tabung kecil (Tab). Tabung kecil pada papan pembagian ini disebut “Tab” untuk memudahkan dalam pengucapan. Tab melambangkan jumlah bilangan yang sesuai dengan kartu soal.

Delapan Belas Dibagi

Enam 18 : 6 = 3

18


(33)

Gambar 1.7 Tabung kecil (Tab)

Bagian terakhir dari alat peraga ini adalah kotak penyimpanan. Kotak penyimpanan berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan kartu dan tabung kecil (Tab).

Gambar 1.8 Kotak penyimpanan

1.6Definisi Operasional 1.6.1 Alat Peraga

Alat peraga adalah benda-benda yang digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak memahami suatu materi yang diajarkan.


(34)

1.6.2 Matematika

Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu masalah.

1.6.3 Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun berhitung.

1.6.4 Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga Diskalkulia.

1.6.5 Alat Peraga Montessori

Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori. Ciri-ciri tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan kontekstual.


(35)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II ini akan membahas (1) kajian pustaka, (2) penelitian yang relevan, (3) kerangka berpikir, dan (4) pertanyaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Alat Peraga

2.1.1.1 Hakikat Alat Peraga

Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran (Arsyad, 2014: 9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 37) dijelaskan bahwa alat peraga adalah alat bantu dalam pengajaran untuk memperagakan sesuatu supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti oleh anak didik. Senada dengan pengertian tersebut, Prastowo (2015: 297) memberikan pengertian alat peraga sebagai media yang menggambarkan atau mengilustrasikan konsep atau materi yang diajarkan sehingga anak lebih mudah dalam mempelajari materi yang diajarkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alat peraga adalah benda-benda yang digunakan dalam pembelajaran untuk membantu anak memahami suatu materi yang diajarkan.

Alat peraga memiliki fungsi untuk menerangkan atau memperagakan suatu mata pelajaran dalam kegiatan belajar mengajar (Sudono, 2010: 14). Alat


(36)

peraga memudahkan dalam memberi pengertian kepada siswa dari perbuatan yang abstrak sampai ke yang sangat konkret (Sanaky, 2013: 24). Segala sesuatu yang masih bersifat abstrak dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat dijangkau dengan pemikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan dirasakan (Arsyad, 2014: 13).

Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengoptimalkan keseluruhan fungsi panca indra siswa (Widiyatmoko & Pamelasari, 2012: 52). Melibatkan indra penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba dalam pembelajaran dapat memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu (Arsyad, 2014: 13). Berdasarkan teori di atas, alat peraga dapat membantu siswa dalam mempelajari suatu materi. Dengan alat peraga, siswa juga dapat mengembangkan seluruh panca indranya. Materi yang diajarkan kepada anak menjadi lebih mudah diterima apabila menggunakan alat peraga karena melibatkan seluruh panca indra yang dimiliki. Salah satu metode yang memiliki kekhasan penggunaan alat peraga dalam pembelajarannya adalah metode Montessori.

2.1.1.2 Alat Peraga Berbasis Metode Montessori

Terdapat lima ciri-ciri alat peraga berbasis metode Montessori. Ciri-ciri tersebut adalah menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan kontekstual. Ciri yang pertama adalah menarik. pembelajaran bagi anak diarahkan untuk pengembangan panca indra. Alat peraga ini dibuat menarik dengan


(37)

memperhatikan warna, kontur permukaan yang lembut, dan beratnya, sehingga anak tertarik untuk menyentuh, meraba, dan memegangnya. Anak normal akan mengulangi kegiatan yang mereka lakukan karena ketertarikan. Mereka melakukan modifikasi dalam menggunakan alat peraga (Motessori, 2002: 170-174).

Ciri yang kedua adalah bergradasi. Gradasi alat peraga terkait dengan warna, bentuk, dan usia anak. Alat peraga bergradasi ini memungkinkan digunakan dengan melibatkan panca indra anak dan bisa digunakan untuk anak-anak dari beragam usia dalam hal pembentukan konsep belajar anak-anak (Montessori: 2002: 174). Ciri yang ketiga adalah auto-correction. Alat peraga yang dibuat memiliki pengendali kesalahan. Dengan adanya pengendali kesalahan, anak bisa mengetahui jika mereka melakukan kesalahan dalam menggunakan alat peraga tanpa diberi tahu oleh orang lain (Montessori, 2002: 171).

Ciri keempat adalah auto-education. Alat peraga yang digunakan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk belajar secara mandiri. Anak kan fokus pada apa yang dikerjakannya walaupun terdapat gangguan di sekitarnya. Anak memperoleh pengalaman dari aktivitas dengan panca indranya menggunakan alat peraga secara berulang. Hal tersebut merupakan cara mendidik dirinya sendiri. Dalam belajar, guru hanya sedikit campur tangan dan lebih banyak mengamati dan mengarahkan. Karena itu, guru di sekolah Montessori disebut sebagai direktris (Montessori, 2002: 172-173). Ciri yang kelima adalah kontekstual. Dalam prinsip pendidikan Montessori, belajar hendaknya juga


(38)

disesuaikan dengan konteks (Lillard, 2005: 32). Kontekstual yang dimaksud adalah sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitar anak. Selain itu, alat peraga dibuat dengan menggunakan material yang ada di alam sekitar.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti mengembangkan alat peraga dengan memperhatikan ciri-ciri alat peraga Montessori. Alat peraga yang dikembangkan menarik, dengan memberikan warna dan cara penggunaan yang menyenangkan. Alat peraga yang dikembangkan juga bergradasi karena dapat terdiri dari berbagai warna dan tekstur. Memiliki auto-correction sehingga siswa dapat mengetahui kesalahannya sendiri ketika belajar. Melalui alat peraga ini, siswa juga dapat belajar secara mandiri tanpa didampingi oleh guru (auto-education). Alat peraga yang dikembangkan juga dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yng dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan sekitar.

2.1.2 Matematika

2.1.2.1 Pengertian Matematika

Matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan, mathanein artinya berpikir atau belajar. Dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan Matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan (Depdiknas). Pengertian Matematika tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat ada banyak fungsi dan peranan Matematika terhadap bidang studi yang lain. Kalau ada definisi tentang


(39)

Matematika maka itu bersifat tentatif, tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Bila seorang tertarik dengan bilangan maka ia akan mendefinisikan Matematika adalah kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan dalam perdagangan. Beberapa orang mendefinisikan Matematika berdasarkan struktur Matematika, pola pikir Matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya.

Atas dasar itu, Anitah (dalam Hamzah & Muhlisrarini, 2014: 47-48) menjelaskan beberapa definisi tentang Matematika yaitu:

a) Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi. b) Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak. c) Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan

hubungan-hubungannya.

d) Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis.

e) Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.

f) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat akhirnya ke dalil atau teorema.


(40)

g) Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran, dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Selain itu John & Rising (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) mendefiniskan Matematika sebagai berikut:

a) Matematika adalah pengetahuan terstruktur, dimana sifat dan teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang didefinisikan atau tidak didefinisikan dan berdasarkan aksioma, sifat, atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya.

b) Matematika ialah bahasa simbol tentang berbagai gagasan dengan menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan secara cermat, jelas, dan akurat.

c) Matematika adalah seni, dimana keindahannya terdapat dalam keterurutan dan keharmonisan.

Beth & Piaget (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Matematika adalah pengetahuan yang berkaitan dengan berbagai struktur abstrak dan hubungan antar-struktur tersebut sehingga terorganisasi dengan baik. Sementara Kline (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28) lebih cenderung mengatakan bahwa Matematika adalah pengetahuan yang tidak berdiri sendiri, tetapi dapat membantu manusia untuk memahami dan memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Di pihak lain, Reys (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 28-29) mengatakan


(41)

bahwa Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir dengan strategi organisasi, analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk memecahkan masalah-masalah abstrak dan praktis. Dari pendapat beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah pengetahuan yang mengkaji pola dan hubungan suatu gagasan yang terstruktur dengan menggunakan berbagai simbol dan bilangan untuk memecahkan suatu masalah.

2.1.2.2 Prinsip-Prinsip Praktis

Reys (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 30-32) mengemukakan prinsip-prinsip praktis pendekatan belajar kognitif dalam pembelajaran Matematika yang menurut pendapat penulis dapat diaplikasikan secara umum pada anak Diskalkulia. Prinsip-prinsip praktis yang dianjurkan tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan satu dengan yang lainnya.

a. Belajar Matematika harus berarti (meaningful)

Belajar dengan penuh pengertian meliputi semua materi Matematika yang diajarkan di SD.

b. Belajar Matematika adalah proses perkembangan

Belajar Matematika yang efektif dan efisien tidak dengan sendirinya terjadi karena membutuhkan cukup waktu dan perencanaan yang baik. Guru memegang peranan penting dalam menyediakan lingkungan belajar yang kaya sesuai dengan perkembangan koqnitif anak.


(42)

c. Matematika adalah pengetahuan yang sangat terstruktur

Keterampilan Matematika harus dibangun dari keterampilan sebelumnya. Keterampilan prasyarat harus dipenuhi sebelum berpindah pada materi belajar berikutnya. Oleh sebab itu, pendekatan spiral dalam belajar Matematika sangat cocok.

d. Anak aktif terlibat dalam belajar Matematika

Belajar aktif merupakan inti belajar Matematika yang memungkinkan anak berkesulitan belajar membentuk pengetahuan mereka. Keterlibatan secara aktif dapat berupa keterlibatan fisik, tetapi jangan lupa setiap kegiatan fisik tidak terlepas dari kegiatan mental.

e. Anak harus mengetahui apa yang akan dipelajari dalam kelas Matematika Anak biasanya mau bekerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang nyata, jelas dan dimengerti. Sebagai tambahan, nilai-nilai yang ada pada anak sangat dipengaruhi oleh guru. Jika guru hanya menekankan pada pengajaran keterampilan berhitung, mereka akan menganggap berhitung sangat penting. Jika guru memberi penekanan pada pemecahan masalah Matematika, anak akan memandang pemecahan masalah Matematika penting. Keterampilan Matematika akan sangat bermanfaat bagi dirinya dan kelanjutan hidupnya setelah selesai sekolah.

f. Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan belajar

Anak dari semua tingkatan belajar harus belajar bagaimana menggunakan kata-kata Matematika secara lisan sebelum mereka menyajikannya dengan


(43)

tanda simbol. Anak berkesulitan belajar Matematika dianjurkan untuk “berbicara” apa yang dipikirkannya (Garnett, 2004).

g. Menggunakan berbagai bentuk atau model Matematika (multiembodied) dalam belajar Matematika

Matematika dibandingkan degan mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah adalah abstrak. Oleh sebab itu, materi, model, dan strategi Matematika akan sangat membantu mereka belajar Matematika. Alat bantu yang digunakan harus menyangkut banyak model dan mendorong anak berpikir abstrak. Model Matematika konkret dan terstruktur yang digunakan tergantung dari anak dan isi Matematika.

h. Variasi Matematika membantu siswa belajar Matematika

Belajar Matematika sangat tergantung pada kemampuan membuat abstraksi dan generalisasi. Prinsip, bentuk, dan model Matematika tergantung pada pengalaman anak dengan berbagai bentuk fisik yang dikaitkan dengan konsep-konsep Matematika.

i. Metakognisi mempengaruhi anak belajar

Metakognisi adalah kemampuan mengamati diri sendiri tentang apa yang diketahui dan merefleksikan apa yang diamati.

j. Pemberian bantuan pada kemampuan yang terbentuk atau retension

Retension adalah jumlah pengetahuan yang tahan lama dan terpelihara. Retension Matematika menyangkut pengetahuan Matematika yang dapat digunakan sewaktu-waktu apabila diperlukan.


(44)

Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip praktis dalam Matematika adalah (1) meaningful, (2) belajar sesuai dengan tahap perkembangan anak, (3) membangun keterampilan Matematika, (4) anak aktif dalam pembelajaran, (5) mengetahui tujuan pembelajaran Matematika, (6) komunikasi, (7) model Matematika, (8) variasi mempelajari Matematika, (9) metakognisi, dan (10) retension.

2.1.2.3 Fungsi Matematika

Dalam masyarakat pendidikan dan umum kata Matematika sering dipakai dalam pergaulan. Ketika sekelompok orang membicarakan tentang perkembangan ekonomi, maka beredar pembicaraan perhitungan Matematika yang mendorong dan membantu persoalannya. Hamzah & Muhlisrarini (2014: 49-52) mengungkapkan ada beberapa macam fungsi Matematika yaitu:

a. Sebagai suatu struktur

Banyak dijumpai simbol yang satu berkaitan dengan simbol lainnya dalam Matematika, misalnya dalam konsep matrik di mana terdapat baris dan kolom, keduanya dihubungkan satu sama lain. Dalam diferensial dikenal adanya simbol variabel x dan y, keduanya saling berkaitan membentuk turunan. Matematika sebagai suatu struktur atau bentuk jelas dengan contoh di atas. Matematika disusun atau dibentuk dari hasil pemikiran manusia seperti ide, proses, dan penalaran. Kita sering mendengar seorang anak menghafal perkalian dengan bilangan-bilangan tertentu. Hafalan itu merupakan bentuk atau susunan yang menurut aturan dan disepakati bersama sebagai suatu


(45)

kebenaran. Kalau tidak ada simbol-simbol, barangkali kita tidak dapat berkomunikasi Matematika. Simbol-simbol itu dibentuk dari ide, misalkan bilangan satu maka ide kata satu diberi simbol ‘1’.

Komunikasi secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan adanya simbol Matematika yang dibentuk dari suatu hal yang abstrak. Berawal dari ide-ide lalu disimbolisasi, kemudian dari simbol-simbol dikomunikasikan. Dari komunikasi diperoleh informasi dan dari informasi-informasi itu dapat dibentuk konsep-konsep baru. Pengembangan produk berbentuk konsep baru melahirkan Matematika, yaitu suatu ilmu yang tersusun secara hierarkis, logis, dan sistematis dari konsep yang sederhana sampai kepada konsep yang kompleks. Dalam prosesnya, ide yang menjadi simbol harus dipahami lebih dahulu sebelum ide tersebut disimbolkan, sehingga penggunaan simbol tidak mengalami kekeliruan. Kekeliruan penggunaan simbol dalam Matematika sangat berbahaya karena akan mengalami kekeliruan dalam menipulasi aturan-aturan atau rumus-rumus pada tahap berikutnya.

b. Kumpulan Sistem

Matematika sebagai kumpulan sistem mengandung arti bahwa dalam satu formula Matematika terdapat beberapa sistem di dalamnya. Misalkan pembicaraan sistem persamaan kuadrat, maka ada di dalamnya variabel-variabel, faktor-faktor, sistem linier yang menyatu dalam persamaan kuadrat tersebut. Persamaan linier merupakan bagian dari sistem kuadrat. Di samping sebagai sistem, Matematika dibagi lima cabang yaitu aritmatika, geometri,


(46)

aljabar, analisis, dan dasar Matematika. Aritmatika membahas teori bilangan, dasar Matematika membicarakan tentang logika dasar. Matematika dapat digambarkan sebagai pohon dengan semua cabang-cabangnya dan logika dasar sebagai akar pohon tersebut. Walaupun berurai menjadi beberapa macam, Matematika tetap bersifat konsisten dalam arti bebas dari kontradiksi yang di dalamnya di samping mempunyai sistem deduktif.

c. Sebagai Sistem Deduktif

Kita mengenal pengertian pangkal atau primitif pada bidang Matematika. Definisi-definisi dasar ini memuat beberapa definisi, sekumpulan asumsi, banyak postulat dan aksioma serta sekumpulan teorema atau dalil. Ada hal-hal semacam di atas sebagai tidak dapat didefinisikan, akan tetapi diterima sebagai suatu kebenaran, konkretnya yakni tentang titik, garis, elemen atau unsur dalam Matematika tidak didefinisikan, akan menjadi konsep yang bersifat deduktif.

d. Ratunya Ilmu dan Pelayan Ilmu

Kalau melihat Matematika sebagai bahasa dalam arti bahasa simbol dan sebagai alat yakni perangkat yang diperlukan dalam suatu aktivitas maka akan banyak yang menggunakannya terutama bidang sains dan sosial. Matematika dapat melayani ilmu-ilmu karena rumus, aksioma dan model pembuktian yang dipunyainya dapat membantu ilmu-ilmu tersebut. Peran sebagai ratunya ilmu tergantung pada bagaimana seseorang dapat menggunakannya. Ketika ada peran yang berkembangmaka kita dapat


(47)

mengatakan bahwa Matematika memberikan dampak yang cukup berarti terhadap perkembangan ilmu dan Matematika itu sendiri, sehingga ke depan akan senantiasa melakukan penemuan-penemuan baru. Inilah umpan balik dalam bentuk dorongan perkembangan iptek kepada Matematika.

Dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan alat untuk menyelesaikan masalah menerjemahkan masalah-masalah ke dalam simbol-simbol Matematika. Di samping itu, penerjemahan ke dalam Matematika berbentuk model yang dikatakan model Matematika. Masalah yang diterjemahkan dalam model Matematika kemudian dianalisis, disintesis, dan dihitung dalam ruang Matematika sampai selesai. Hasil yang diperoleh dikembalikan lagi ke dalam bidang permasalahan semula, bidang keilmuan yang memerlukan Matematika itu untuk lebih jauh dianalisis. Dalam hal ini Matematika tidak campur tangan lagi.

Dalam menyelesaikan masalah di luar Matematika diperlukan tiga tahapan yaitu tahap pembentukan model, tahap penanganan model, dan tahap penerjemahan hasil. Matematika sebagai alat, lebih banyak berperan dalam tahap penanganan model yang prosesnya memperlihatkan adanya unsur penterjemahan bahan dari bahasa ilmu di mana permasalahan berada ke dalam bahasa Matematika.


(48)

2.1.3 Kesulitan Belajar

2.1.3.1 Pengertian Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar (Mulyono, 2012: 1). Runtukahu & Kandou (2014: 19) juga mempunyai pendapat bahwa berkesulitan belajar atau learning disabilities artinya ketidakmampuan belajar. Arti yang tepat sukar ditetapkan karena digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pendidikan, antara lain psikologi dan ilmu kedokteran. Anak-anak berkesulitan belajar agak sukar dibedakan dari anak-anak yang berprestasi akademik kurang, tunagrahita ringan, atau tunalaras ringan (Heward & Orlansky dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 19)

Mulyono (2012: 2) menjelaskan bahwa definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) 94-142, yang hampir identik dengan dengan definisi yang dikemukakan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun 1967. Definisi tersebut seperti dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985: 14) seperti berikut ini.

“Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin


(49)

menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan lingkungan, budaya, atau ekonomi.”

Meskipun definisi USOE merupakan definisi resmi yang digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi banyak kritik yang diarahkan pada definisi tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai kritik terhadap definisi PL 94-142 tersebut, maka The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengemukakan definisi sebagai berikut Mulyono (2012: 3).

“Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi Matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammil, et al., 1981: 336).”

Mulyono (2012: 3-4) mengungkapkan bahwa meskipun definisi yang dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila dibanding dengan definisi yang dikemukakan dalam PL 94-142, the Board of the Association for Children and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) tidak menyetujui


(50)

definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan definisi seperti dikutip oleh Lovitt (1989: 7) sebagai berikut ini:

“Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non verbal.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar yang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, mengeja, menulis, membaca, ataupun berhitung.

2.1.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Berbagai faktor dapat menyebabkan kesulitan belajar. Faktor penyebab kesulitan belajar sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi dapat dikemukakan beberapa penyebab sebagai berikut.

a. Keturunan

Keturunan dapat menyebabkan kesulitan belajar, tetapi tidak semua pakar PLB menyetujuinya. Hal ini karena laporan-laporan hasil penelitian yang berbeda-beda.

b. Otak tidak berfungsi

Tidak berfungsinya otak dapat menyebabkan anak-anak berkesulitan belajar karena terdapat kelainan pada otaknya sehingga tidak berfungsi dengan baik, akan tetapi tingkat kerusakannya tidak begitu berat. Oleh


(51)

karena itu, anak-anak berkesulitan belajar sering disebut anak-anak yang mengalami kerusakan otak ringan. Tidak semua anak berkesulitan belajar mengalami kerusakan otak, tetapi sampai sekarang istilah ini masih sering digunakan, khususnya dalam bidang kedokteran.

c. Lingkungan dan malnutrisi (kurang gizi)

Tekanan lingkungan dan malnutrisi dapat menyebabkan kesulitan belajar. Tekanan lingkungan antara lain sikap negatif masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan keluarganya. Malnutrisi pada umur dini dapat mempengaruhi pusat saraf yang selanjutnya akan mempengaruhi belajar dan perkembangan anak.

d. Ketidakseimbangan biokimia

Banyak anak berkesulitan belajar yang tidak mempunyai masalah kelainan fungsi otak, tekanan lingkungan atau malnutrisi. Salah satu dugaan penyebab selain yang disebutkan ialah ketidakseimbangan biokimia dalam tubuh anak. Ketidakseimbangan biokimia lebih dikhususkan pada darah anak yang tidak dapat mempertahankan jumlah vitamin dalam tubuhnya. Pemberian vitamin dan diet telah diupayakan untuk mengatasi kesulitan belajar, namun ada yang berhasil dan ada yang tidak (Lerner dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 21-22).

Dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kesulitan belajar berasal dari dalam diri seseorang dan luar diri seseorang. Faktor dari dalam yaitu


(52)

keturunan dan kondisi fisik seseorang. Sedangkan faktor dari luar adalah pengaruh keluarga maupun lingkungan sekitar.

2.1.3.3 Jenis dan Komponen Kesulitan Belajar

Dikutip dari Kirk dan Galagher, 2008; Hamill dan Bavel, 1990 dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23), menjelaskan bahwa secara umum kesulitan belajar dapat dibedakan atas kesulitan belajar dalam perkembangan (developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik. Kesulitan belajar berhubungan dengan perkembangan psikologis anak menyimpang dari linguistik yang normal. Ketidakmampuan yang berhubungan dengan perkembangan biasanya mengalami kesulitan belajar, sedangkann kesulitan belajar tidak semuanya diasosiasikan dengan masalah kemampuan akademik. Misalnya, ada anak berkesulitan belajar dengan kelainan persepsi motorik tidak dapat membaca. Kesulitan belajar akademik merupakan kondisi-kondisi yang secara signifikan terdapat pada proses belajar (1) membaca; (2) menulis; (3) Matematika. Ketidakmampuan tersebut terdapat pada anak-anak yang belajar di sekolah dengan pencapaian hasil belajar di bawah kemampuan akademik yang sebenarnya. Kesulitan belajar akademik dalam membaca dikenal dengan istilah disleksia, menulis adalah disgrafia, dan berhitung adalah Diskalkulia.

Hubungan apa yang terdapat antara ketiga jenis kesulitan belajar ini belum dapat ditentukan secara pasti karena masalah kesulitan belajar dalam perkembangannya tidak selalu mengakibatkan kesulitan belajar akademik.


(53)

Walaupun kita tidak tahu hubungannya, perbedaan antara ketiga jenis kesulitan belajar ini akan membantu kita dalam menentukan penyebab kesulitan belajar (Kirk dan Galagher dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 23) sebagai contoh, seorang anak menunjukkan ketidakmampuan akademik. Ia kurang dalam Matematika, membaca, dan menulis. Ia sulit belajar Matematika dengan metode yang digunakan pada anak-anak yang bersekolah di sekolah umum atau sekolah inklusi. Setelah kesulitan belajar akademik diketahui, perlu dicari faktor-faktor penyebab lain yang berhubungan dengan perkembangan anak tersebut. Jika kesulitan belajar bukan karena faktor dalam diri anak (tunagrahita atau kelainan perilaku yang cukup berat) maka perlu dicari penyebab lain.

Penyebab lain ialah perhatian, ingatan, dan bahasa. Jika didapati anak kurang dalam ingatan visual, guru dapat menggunakan kemampuan mendengar untuk mengajarkan Matematika atau bahasa. Sebaliknya jika anak kurang dalam kemampuan mendengar, guru dapat menggunakan kemampuan visual. Akan tetapi, bila anak mengalami kesulitan, baik pada kemampuan visual dan mendengar maka anak mengalami kesulitan belajar yang cukup berat. Kesulitan belajar biasanya berhubungan dengan perkembangan ganda (misalnya persepsi dan bahasa), dan kesemuanya akan menyebabkan kesulitan belajar akademik.

Selain jenis-jenis kesulitan belajar, guru perlu mengetahui tentang komponen-komponen kesulitan belajar yang berhubungan dengan


(54)

perkembangan anak. Beberapa komponen kesulitan belajar yang utama telah dikemukakan oleh Lovit dalam Runtukahu & Kandou (2014: 24-25) sebagai berikut.

a. Perhatian

Anak dikerumuni oleh banyak stimulus jika sedang belajar. Perhatian adalah kemampuannya untuk memilih stimulus (rasangan) dari sekian banyak stimulus ia dapat belajar. Kesulitan belajar terkait respons pada stimuli apa saja yang dihadapinya. Jika siswa tidak mampu memilih stimulus yang menunjang belajar, ia tidak tahan belajar dan tidak dapat memusatkan perhatian pada belajar.

b. Mengingat (memory)

Mengingat adalah kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah didengar, dilihat, dan dialami waktu belajar. Kesulitan belajar biasanya kurang atau tidak mampu dalam mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.

c. Persepsi

Kemampuan persepsi visual mungkin tidak meliputi kata-kata yang ditulis atau simbol-simbol visual seperti angka yang ditulis dan tidak ada kesadaran akan objek-objek yang dilihatnya. Ketidakmampuan untuk mengerti melalui terjemahan simbol menyebabkan gangguan orientasi kiri-kanan, orientasi spasial, dan belajar motorik serta melihat satu objek secara menyeluruh walaupun yang disajikannya adalah bagiannya.


(55)

d. Berpikir

Kesulitan utama dalam operasi kognitif ialah adanya kelainan dalam berpikir, seperti pemecahan masalah, pembentukan konsep, dan asosiasi. Pemecahan masalah Matematika membutuhkan kemampuan membuat analisis dan sintesis, yaitu perilaku yang dapat membantu anak mengadakan respons atau beradaptasi dengan situasi baru. Pembentukan suatu konsep sangat tergantung pada kemampuan mangklasifikasikan objekdan peristiwa. Kelainan dalam berpikir juga berhubungan dengan kemampuan bahasa lisan.

e. Bahasa

Kelainan jenis ini sangat banyak ditemukan pada anak berkesulitan belajar yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat mengadakan respons terhadap suatu perintah atau pernyataan verbal seperti yang dilakukan anak-anak normal.

2.1.4 Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) 2.1.4.1 Pengertian Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan belajar Matematika disebut juga Diskalkulia (dyscalculis) (Lerner dalam Mulyono, 2012: 210). Istilah Diskalkulia memiliki konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Kesulitan belajar Matematika yang berat oleh Kirk (dalam Mulyono, 2012: 210) disebut Diskalkulia. Kirk dan Galagher serta Hamill dan Bavel


(56)

dalam Runtukahu & Kandou (2014: 23) juga menjelaskan bahwa kesulitan belajar akademik dalam berhitung disebut Diskalkulia. Dari pendapat beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan kesulitan belajar Matematika adalah ketidakmampuan anak dalam belajar Matematika, disebut juga Diskalkulia.

2.1.4.2 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika

Menurut Lerner dalam Mulyono (2012: 210-213) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar Matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, (8) Perfomance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.

a. Gangguan Hubungan Keruangan

Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan.

Tetapi sayangnya, anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggaranya suatu situasi yang kondusif bagi terjalinnya


(57)

komunikasi antar mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan. Adanya gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.

Untuk mempelajari Matematika, anak tidak cukup hanya menguasai konsep hubungan keruangan, tetapi juga berbagai konsep dasar yang lain. Ada empat macam konsep dasar yang harus dikuasai oleh anak pada saat masuk SD. Keempat konsep dasar tersebut adalah (1) konsep keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas, dan (4) konsep serbaneka (miscallaneous) (Boehm dalam Mulyono, 2012: 211).

b. Abnormalitas Persepsi Visual

Anak berkesulitan belajar Matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya abnormalitas persepsi visual. Kemampuan melihat berbagai objek dalam kelompok merupakan dasar yang sangat penting yang memungkinkan


(58)

anak dapat secara cepat mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya.

Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujursangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat garis yang tidak saling terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar Matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.

c. Asosiasi Visual-Motor

Anak berkesulitan belajar Matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya “Satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “lima”, atau sebaliknya, telah menyentuh benda kelima tetapi baru mengucapkan “tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.


(59)

d. Perseverasi

Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi. Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu. Misalnya:

4 + 3 = 7 5 + 3 = 8 5 + 2 = 7 5 + 4 = 9 4 + 4 = 9 3 + 4 = 9

Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperlihatkan kaitannya dengan soal Matematika yang dihadapi.

e. Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol

Anak berkesulitan belajar Matematika sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbolsimbol Matematika seperti +, -, =-, >-, <-, dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.

f. Gangguan Penghayatan Tubuh

Anak berkesulitan belajar Matematika sering memperlihatkan adanya gangguan penghayatan tubuh (body image). Anak demikian


(60)

merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya, leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala, dan sebagainya.

g. Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca

Matematika itu sendiri pada hakikatnya adalah simbolis (Johnson & Myklebust dalam Mulyono A, 2012: 213). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang Matematika. Soal Matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal metematika yang berbentuk cerita tertulis.

h. Skor PIQ Jauh Lebih Rendah dari pada Skor VIQ

Hasil tes intelegensi dengan menggunakan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar Matematika memiliki skor PIQ (Perfomance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah dari pada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Tes intelegensi ini memiliki dua subtes, tes verbal dan tes kinerja (perfomance). Subtes kinerja mencakup (1) informasi, (2) persamaan, (3) aritmatika, (4) perbendaharaan kata, dan (5) pemahaman. Subtes kinerja


(61)

mencakup (1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3) menyusun balok, (4) menyusun objek, dan (5) coding (Anastasi dalam Mulyono A, 2012: 213).

Rendahnya skor PIQ pada anak berkesulitan belajar Matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan adanya gangguan assosiasi visual-motor. 2.1.4.3 Kekeliruan Umum yang Dilakukan Oleh Anak Berkesulitan

Belajar Matematika

Guru perlu mengenal berbagai kesalahan umum yang dilakukan oleh anak dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi Matematika agar dapat membantu anak berkesulitan belajar Matematika. Beberapa kekeliruan umum tersebut menurut Lerner (dalam Mulyono, 2012: 213) adalah kekurangan pemahaman tentang (1) simbol, (2) nilai tempat, (3) perhitungan, (4) penggunaan proses yang keliru, dan (5) tulisan yang tidak terbaca.

a. Kekurangan Pemahaman tentang Simbol

Anak-anak umumnya tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika kepada mereka disajikan soal-soal seperti 4 + 3 = …, atau 8 – 5 = …; tetapi akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal seperti 4 + … = 7; 8 = … + 5; … + 3 = 6; atau … - 4 = 7; atau 8 - … = 5. Kesulitan semacam ini umumnya karena anak tidak memahami simbol-simbol seperti sama dengan (=), tidak sama dengan (≠), tambah (+), kurang (-),


(62)

dan sebagainya. Agar anak dapat menyelesaikan soal-soal Matematika, mereka harus lebih dahulu memahami simbol-simbol tersebut.

b. Nilai Tempat

Ada anak yang belum memahami nilai tempat seperti satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya. Ketidakmampuan tentang nilai tempat akan semakin mempersulit anak jika kepada mereka dihadapkan pada lambang bilangan basis bukan sepuluh. Bagi anak yang tidak berkesulitan belajar pun anyak yang mengalami kesulitan untuk memahami lambang bilangan yang berbasis bukan bersepuluh. Oleh karena itu, banyak yang menyarankan agar pelajaran Matematika di SD lebih menekankan pada aritmatika atau berhitung yang dapat digunakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Ketidakpahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak-anak seperti berikut ini. Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan tersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup. c. Penggunaan Proses yang Keliru

Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:

1) Mempertukarkan simbol-simbol.


(63)

3) Semua digit ditambahkan bersama (alogaritma yang keliru dan tidak memperhatikan nilai tempat).

4) Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan nilai tempat.

5) Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan. d. Perhitungan

Ada anak yang belum mengenal dengan baik konsep perkalian tetapi mencoba menghafal perkalian tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan jika hafalannya salah. Daftar perkalian mungkin dapat membantu memperbaiki kekeliruan anak jika anak telah memahami konsep perkalian.

e. Tulisan yang Tidak Dapat Dibaca

Ada anak yang tidak dapat membaca tulisannya sendiri karena bentuk-bentuk hurufnya tidak tepat atau tidak lurus mengikuti garis. Akibatnya, anak banyak mengalami kekeliruan karena tidak mampu bagi membaca tulisannya sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh anak berkesulitan belajar Matematika dikarenakan kurangnya pemahaman pada konsep awal Matematika.


(64)

2.1.5 Materi Pembagian

Pembagian sederhana dilakukan di bawah 100 dengan hasil dua angka dan satu angka. Menurut Supriadi (2013: 46), pembagian adalah konsep membagikan bilangan pada kelompok-kelompok yang diinginkan sehingga bilangan tersebut terbagi merata di setiap kelompok. Pembagian merupakan pengurangan yang berulang hingga habis (Heruman: 2010: 7). Sedangkan menurut Simanjuntak (2003: 130), membagi merupakan mengurang dengan pengurangan tetap. Pengurang yang tetap yang dimaksud adalah pembagi. Pengurangan merupakan salah satu dari empat operasi dasar Matematika, dan pada prinsipnya merupakan kebalikan dari operasi penjumlahan (Supriadi, 2013: 32). Dari pengertian beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembagian adalah pengurangan yang berulang hingga habis, dimana bilangan pengurangannya tetap. Standar kompetensi Matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar kompetensi 1 “memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah” pada kompetensi dasar 1.3 “melakukan operasi perkalian dan pembagian”. Berikut materi pembagian pada kelas IV SD (Mustaqim dan Ary, 2008: 147).

a. Bagaimana cara membagi bilangan 20 dengan 5? Mari kita kurangi secara berulang.

20 – 5 = 15 15 – 5 = 10 10 – 5 = 5 5 – 5 = 0


(65)

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

20 : 5 = 4

Pembagian tersebut dinamakan pembagian tanpa sisa.

b. Bandingkan dengan pembagian bilangan 20 oleh bilangan 6 berikut ini. 20 – 6 = 14

14 – 6 = 8 8 – 6 = 2

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

20 : 6 = 3 (sisa 2)

Pembagian tersebut dinamakan pembagian bersisa. Hasil pembagian bersisa kita tuliskan sebagai berikut.

20 : 6 = 3 (sisa 2) = =

Bentuk tersebut dinamakan pecahan campuran.

2.2 Penelitian yang Relevan

2.2.1 Penelitian Alat peraga Matematika tentang Pembagian

Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian dari Charla (2015) dan Anastasia (2016) mengenai alat peraga Matematika untuk materi pembagian. Charla (2015) melakukan pengembangan alat peraga pembelajaran Matematika SD untuk materi perkalian dan pembagian berbasis metode Montessori. Jenis penelitian yang


(66)

digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development (R & D). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa alat peraga memiliki 5 ciri khas, yaitu menarik, bergradasi, auto-education, auto correction, dan kontekstual, yaitu dengan rerata skor 3,7 dan masuk ke dalam kategori “Sangat baik”. Hasil tes siswa juga menunjukkan perbedaan sebesar 90,4%. Perbedaan tersebut adalah hasil dari pretest ke posttest setelah menjalani pendampingan menggunakan alat peraga kotak peraga perkalian dan pembagian. Perbedaan ini sebagai bukti yang mendukung bahwa alat peraga kotak perkalian dan pembagian layak digunakan.

Anastasia (2016) mengimplementasi alat peraga pembagian berbasis metode Montessori pada pembelajaran Matematika materi pembagian kelas II SD Kanisius Kenalan, Magelang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini berupa deskripsi pengimplementasian alat peraga pembagian berbasis metode Montessori pada pembelajaran Matematika. Dampak pengimplemensian alat peraga pembagian berbasis metode Montessori menunjukkan dampak yang positif, yaitu hasil belajar siswa yang baik, dengan rata-rata nilai tes 86, motivasi belajar siswa yang tinggi dengan rata-rata-rata-rata hasil angket 4.105 dan hasil observasi 81.24.

Kedua penelitian tersebut sama-sama menggunakan alat peraga Matematika pada materi pembagian untuk mempermudah siswa dalam memahami konsep pembagian. Ketiga penelitian tersebut juga membuktikan bahwa penggunaan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Perbedaan dari ketiga penelitian tersebut terletak pada jenis penelitian yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh


(1)

- Afektif

1.3.2.1 Siswa mampu menunjukkan sikap percaya diri melalui tanya jawab dengan baik.

- Psikomotor

1.3.3.1 Siswa mampu mengitung secara berurutan sesuai dengan jumlah benda melalui alat peraga dengan benar.

1.3.4.1 Siswa mampu menggunakan alat peraga sesuai dengan petunjuk penggunaan melalui praktik langsung dengan baik.

E. Materi Pembelajaran

Pembagian tanpa sisa 1-30 dimana bilangan pembaginya 1-10 F. Teknik dan Metode Pembelajaran

Model pembelajaran : -

Metode : Tanya jawab, praktik, pendampingan guru dan ceramah.

G. Langkah-langkah Pembelajaran

No. Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi

Waktu 1. Pembuka 1. Salam, doa pembuka.

2. Guru menanyakan kabar siswa. 3. Guru bertanya jawab dengan siswa.

- Apakah yang kalian ketahui tentang pembagian?

4. Guru meminta siswa mempraktikan pembagian dengan media permen sesuai dengan soal yang telah diberikan.

5. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.

10 menit

2. Inti 6. Guru menjelaskan bagian-bagian alat peraga.

7. Guru mencontohkan cara penggunaan alat peraga.


(2)

8. Siswa mempraktikkan menggunakan alat peraga dengan didampingi guru.

9. Guru memberikan soal kepada siswa dan menyuruh mengerjakannya dengan bantuan alat peraga.

3. Penutup 10. Guru bersama siswa menyimpulkan pembelajaran dengan tanya jawab.

11. Guru membimbing siswa untuk melakukan refleksi pembelajaran ini - Bagaimana pembelajaran hari ini, lebih

menarik belajar menggunakan alat peraga apa tidak?

- Apa kesulitan yang kamu hadapi ketika menggunakan alat peraga?

12. Guru memberikan PR berupa soal pembagian tanpa sisa.

13. Doa penutup, salam.

10 menit

H. Penilaian

- Penilaian Kognitif (terlampir) - Penilaian Afektif (terlampir) - Penilaian Psikomotor (terlampir)

I. Sumber Belajar dan Media Pembelajaran Sumber Belajar : -

Media Pembelajaran :

- Alat Peraga Papan Pembagian Tanpa Sisa 1-30 - Permen


(3)

Lampiran Penilaian

1. Penilaian Kognitif

Indikator 1.3.1 Menjelaskan konsep pembagian tanpa sisa. Teknik penilaian Lisan

Instrumen Tanya jawab

- Apa yang dimaksud dengan pembagian?

- Apa yang dimaksud dengan pembagian tanpa sisa? Kunci jawaban

- Pembagian adalah pengurangan yang berulang dimana bilangan pengurangnya tetap.

- Pembagian tanpa sisa adalah pengurangan yang berulang dimana bilangan pengurangnya tetap dan hasil akhir dari pengurangannya 0 (habis).

2. Penilaian Afektif

Indikator 1.3.2 Percaya diri pada saat menjawab dan menyimpulkan materi pembagian tanpa sisa.

Teknik penilaian Pengamatan

Instrumen Lembar pengamatan

No. Aspek Penilaian Percaya Diri Nampak Belum Tampak 1. Menjawab pertanyaan dengan suara

yang lantang.

2. Menjawab pertanyaan dengan sikap yang baik (tidak menundukkan kepala).

3. Menjawab pertanyaan dengan lancar tidak terbata-bata.

4. Bertanya kepada guru jika menemui kesulitan.

5. Mengutarakan pendapat dalam menyelesaikan permasalahan


(4)

Matematika 3. Penilaian Psikomotor

Indikator 1.3.3 Mengitung secara berurutan sesuai dengan jumlah benda. 1.3.4 Menggunakan alat peraga sesuai dengan petunjuk

penggunaan. Teknik penilaian Pengamatan

Instrumen Lembar pengamatan

No. Kriteria Penilian Sangat Baik

Cukup Baik

Kurang Baik 1. Menghitung benda secara

berurutan sesuai dengan jumlah benda.

2. Menggunakan alat peraga sesuai dengan langkah-langkah penggunaan.


(5)

LAMPIRAN 18 18. Foto penelitian


(6)

BIODATA PENULIS

Rahmawawati Suharno adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir di Klaten pada tanggal 25 Januari 1996. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD N 2 Ceporan, tamat pada tahun 2007. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMP N 1 Wedi, tamat pada tahun 2010. Pendidikan menengah atas di SMA N 2 Klaten, tamat pada tahun 2013. Pada tahun 2013, peneliti melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis mengikuti beberapa kegiatan, seperti menjadi anggota seksi publikasi, dokumentasi, dan hubungan masyarakat (Pubdokhum) dalam acara Story Telling and Writing Contest. Salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan adalah dengan menyusun skripsi. Skripsi yang disusun penulis berjudul “Pengembangan Alat Peraga Matematika Materi Pembagian untuk Anak dengan Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) di SD N Mertelu”.


Dokumen yang terkait

Pengaruh penggunaan alat peraga kartu kotif (Koin Positif Negatif) terhadap hasil belajar Matematika Siswa ( Sebuah studi eksperimen di MI Syamsul Huda Ciganjur Jakarta)

1 7 182

PENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI PECAHAN DENGAN MEDIA ALAT PERAGA MATEMATIKA Peningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada Materi Pecahan Dengan Media Alat Peraga Matematika Bagi Siswa Kelas VIIB SMP Negeri 2 Gatak Tahu

0 1 20

Pengembangan alat peraga matematika materi perkalian untuk siswa dengan lambat belajar di SD Muhammadiyah Sagan Yogyakarta.

0 0 202

Pengembangan alat peraga pembelajaran Matematika untuk siswa kelas III SD materi perkalian berbasis metode Montessori.

2 18 357

Pengembangan alat peraga pembelajaran matematika SD materi perkalian berbasis Metode Montessori.

3 29 323

Pengembangan alat peraga pembelajaran matematika SD materi perkalian berbasis metode Montessori.

1 3 262

Pengembangan alat peraga matematika materi pembagian untuk anak dengan berkesulitan belajar matematika (diskalkulia) di SD Negeri Mertelu

7 26 192

Pengembangan alat peraga matematika materi perkalian untuk siswa dengan lambat belajar di SD Muhammadiyah Sagan Yogyakarta

0 3 200

PENGGUNAAN ALAT PERAGA METERAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA BAGI SISWA BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA.

0 1 11

PENGGUNAAN ALAT PERAGA METERAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PERKALIAN PADA SISWA BERKESULITAN BELAJAR MATEMATIKA KELAS III SDN KARTODIPURAN SURAKARTA TAHUN AJARAN 2012/2013.

0 0 21