Uji efek analgesik ekstrak etanol daun senggani [Melastoma polyanthum Bl.] pada mencit putih betina.

(1)

INTISARI

Tumbuhan senggani merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan masyarakat sebagai pereda demam (antipiretik), penghilang nyeri (analgesik), peluruh kencing (diuretik), menghilangkan pembengkakan, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui khasiat dan besarnya prosentase daya analgesik ekstrak etanol daun senggani.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak, lengkap, pola satu arah. Metode yang digunakan adalah metode induksi kimia. Tiga puluh ekor mencit betina, galur Swiss, berat badan antara 20-30 gram, umur 2-3 bulan, dibagi secara acak dalam 6 kelompok yaitu: I) kontrol negatif diberi CMC-Na 1%, II) kontrol positif diberi asetosal dosis 91 mg/kg BB, III) sampai VI) diberi perlakuan ekstrak etanol daun senggani secara per oral dalam 4 peringkat dosis berturut-turut sebesar 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; dan 1670 mg/kgBB. Sepuluh menit kemudian mencit diinduksi asam asetat 1% dosis 50 mg/kg BB secara intraperitonial. Geliat yang timbul diamati dan dicatat tiap 5 menit selama 60 menit. Jumlah kumulatif geliat diubah ke dalam bentuk prosentase penghambatan terhadap geliat. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan One-way ANOVA dilanjutkan dengan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian yang diperoleh berupa % penghambatan terhadap geliat ekstrak etanol daun senggani dosis 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; dan 1670 mg/kgBB berturut-turut sebesar 88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, dan 44,56 %.

Kata kunci: analgesik, ekstrak etanol daun senggani


(2)

ABSTRACT

Senggani plants is one of medicinal plants which often used by people to decrease fever (antipyretic) and pain (analgesic), urinate shedding (diuretic), to lose udema, etc. The aim of the research that was done is to know the effect and percentage of amount analgesic potency from ethanol extract of senggani’s leaves.

The genre of this research is pure experimental in which the program of this research is random research plan, complete, and one-direction pattern. The method used in this research is chemical induction method. The research uses 30 female mice of Swiss groove, it weights 20-30 grams, and the age is 2-3 months. The 30 mices are divided into 6 groups based on its treatment, i.e.: I) the group of negative control is given CMC-Na 1%; II) the group of positive control is given acetyl salicylic acid dosage 91 mg/kg BB; III) trough VI) the treatment is given extract ethanol of senggani leaves per orally in four different various dosage respectively, i.e.: 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; and 1670 mg/kgBB. Ten minutes after the treatment, the mice is induced by acetate acid 1% with dosage 50 mg/kg BB intra peritoneally. The wriggles are watched closely and booked every 5 minutes in 60 minutes. The accumulation numbers of the wriggles are transferred into the form of resistance percentage toward the wriggles. The data which is got from the calculation, later, is analyzed statistically with one-way ANOVA test, then, the step is continued with Shceffe with interval 95%.

The result showing that ethanolic extract of senggani’s leaves at 850 mg/kgBW; 1000 mg/kgBW; 1330 mg/kgBW; and 1670 mg/kgBW, respectively, 88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, and 44,56 %.

Key words : analgesic, ethanolic exstract of senggani’s leaves


(3)

UJI EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL DAUN SENGGANI (Melastoma polyanthum Bl.) PADA MENCIT PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Galuh Nindya Tyas Tusthi NIM: 038114001

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

iii


(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah

menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu ?

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka

apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan

sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Allah

hendaknya kamu berharap.

(Q.S: Al Insyiraah: 1-8)

Kupersembahkan karyaku kepada...

Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya kepadaku...

Bapak (alm), Ibu (almh), mas Danang, dan dek Yoga yang aku sayangi

dan selalu menjadi semangat dalam hidupku...

Sahabat-sahabat yang selalu menemaniku

dan memberi dorongan kepadaku...

I Love U all...

Allah akan membalas semua yang pernah kalian berikan padaku...


(7)

(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Uji Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) pada Mencit Putih Betina”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu.

Dalam menyusun skripsi ini penyusun banyak mendapat bantuan berupa bimbingan, dorongan, sarana, maupun finansial dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Utama atas bimbingan, pengarahan, dan dukungannya selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Mulyono, Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik,dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Erna Tri Wulandari, M.si., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Kepala BPTO Tawangmangu yang telah membantu dalam penyediaan senggani sebagai tanaman yang diteliti.

6. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Wagiran dan Mas Ottok yang telah membantu dalam terlaksananya penelitian ini.


(9)

7. Teman-teman “seperjuangan” di Laboratorium, Ningrum, Prita, dan Aan, yang banyak membantu saat penelitian.

8. Keluarga besarku yang selalu mendukung dan memberi semangat hidup untukku. 9. Sahabat-sahabatku Ningrum_ndutz ku dan Prita_imut ku yang selalu

menemaniku di saat senang maupun susah.

10.Teman-teman kos Poncowati: mba’ Erlyn, Dona_tebo, Mareya, Dixie, Anjar, Produs, Ranee, Tika, Maria, Eva, ‘n Mayang

11.Teman KKN angkatan XXXIII dusun Ceporan: Arip, papi Eko, Citra, mami Erline, jeng Windoetz, eM_eM, Olive, Candra, thanks yaa supportnya...

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penyusun menyadari bahwa penelitian yang telah dilakukan untuk penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Februari 2007

Penyusun


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Manfaat teoritis ... 5

2. Manfaat praktis ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan umum ... 6


(11)

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Tanaman Senggani ... 7

1. Klasifikasi tumbuhan Senggani ... 7

2. Morfologi ... 7

3. Sinonim ... 8

4. Nama daerah ... 8

5. Kandungan kimia ... 9

6. Khasiat dan kegunaan Senggani ... 16

B. Metode Penyarian ... 16

C. Radikal Bebas dan antioksidan ... 19

1. Radikal bebas ... 19

2. Antioksidan ... 21

D. Nyeri ... 23

E. Analgetika ... 29

F. Asetosal ... 34

G. Metode Pengujian Efek Analgesik ... 36

H. Landasan Teori ... 40

I. Hipotesis ... 42

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Rancangan Penelitian ... 43

B. Metode Penelitian ... 43

C. Variabel Operasional ... 44


(12)

1. Variabel ... 44

2. Definisi operasional ... 44

D. Bahan Penelitian ... 46

E. Alat atau Instrumen Penelitian ... 47

F. Tata Cara Penelitian ... 48

1. Pengumpulan bahan ... 48

2. Pembuatan ekstrak etanol daun senggani ... 48

3. Pembuatan CMC-Na 1% ... 49

4. Pembuatan suspensi asetosal 0,5% dalam CMC-Na 1% ... 49

5. Pembuatan asam asetat 1% ... 49

6. Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun senggani 5% dalam CMC-Na 1% ... 49

7. Penetapan kriteria geliat ... 49

8. Penetapan kadar dan dosis asam asetat ... 50

9. Penetapam kontrol negatif ... 51

10.Penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 51

11.Penetapan dosis dan kadar asetosal ... 51

12.Penetapan dosis dan kadar ekstrak etanol daun senggani ... 52

13.Seleksi hewan uji ... 53

14.Perlakuan hewan uji ... 53

G. Analisis Hasil ... 54

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Senggani ... 56


(13)

B. Uji Pendahuluan ... 57

1. Penentuan kriteria geliat ... 58

2. Penetapan dosis asam asetat ... 58

3. Penetapan kontrol negatif ... 61

4. Penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 63

5. Penetapan dosis asetosal ... 65

B. Pengujian Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Senggani ... 68

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... 90

BIOGRAFI PENULIS ... 122


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Rata-rata jumlah kumulatif geliat hewan uji pada penetapan

dosis efektif asam asetat ... 58 Tabel 2. Ringkasan analisis variansi satu arah pada penetapan dosis

efektif asam asetat ... 59 Tabel 3. Hasil analisis uji Scheffe pada penetapan dosis efektif asam

asetat ... 60 Tabel 4. Rata-rata jumlah kumulatif geliat hewan uji pada penetapan

kontrol negatif ... 61 Tabel 5. Rata-rata jumlah kumulatif geliat hewan uji dan

% penghambatan terhadap geliat pada penetapan selang

waktu pemberian rangsang ... 63 Tabel 6. Ringkasan analisis variansi satu arah % penghambatan terhadap

geliat pada penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 63 Tabel 7. Hasil analisis uji Scheffe % penghambatan terhadap geliat pada

penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 64 Tabel 8. Rata-rata jumlah kumulatif geliat hewan uji dan

% penghambatan terhadap geliat pada penetapan

dosis asetosal ... 65 Tabel 9. Ringkasan analisis variansi satu arah % penghambatan terhadap

geliat pada penetapan dosis asetosal ... 66


(15)

Tabel 10. Hasil analisis uji Scheffe % penghambatan terhadap geliat pada

penetapan dosis asetosal ... 66 Tabel 11. Rata-rata jumlah kumulatif geliat hewan uji dan % penghambatan

terhadap geliat pada kelompok perlakuan ... 69 Tabel 12. Ringkasan analisis variansi satu arah % penghambatan terhadap

geliat pada kelompok perlakuan ... 71 Tabel 13. Hasil analisis uji Scheffe % penghambatan terhadap geliat pada

kelompok perlakuan ... 71 Tabel 14. Persen perubahan daya analgesik kelompok perlakuan

dibandingkan asetosal dosis 91 mg/kgBB ... 75 Tabel 15. Ringkasan analisis variansi satu arah % perubahan daya

analgesik ... 76 Tabel 16. Hasil analisis uji Scheffe % perubahan daya analgesik ... 77

Tabel 17. Jumlah geliat hewan uji pada penetapan dosis efektif asam

asetat ... 95 Tabel 18. Jumlah geliat hewan uji pada penetapan kontrol negatif ... 98 Tabel 19. Jumlah geliat hewan uji pada penetapan selang waktu

pemberian ... 100 Tabel 20. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat pada penetapan

selang waktu pemberian ... 103 Tabel 21. Jumlah geliat hewan uji pada penetapan dosis efektif asetosal .. 105 Tabel 22. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat pada penetapan

dosis efektif asetosal ... 108


(16)

Tabel 23. Data jumlah geliat hewan uji setelah pemberian asam asetat

pada semua kelompok perlakuan ... 110 Tabel 24. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat pada semua

kelompok perlakuan ... 114 Tabel 25. Data % Perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif ... 117


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka flavonoid (1a) dan sistem penomoran turunan

flavonoid (1b) ... 9

Gambar 2. Struktur kimia kuersetin ... 11

Gambar 3. Struktur kimia rutin ... 11

Gambar 4. Struktur kimia quercitrin ... 12

Gambar 5. Struktur umum steroid ... 14

Gambar 6. Struktur kimia β-sitosterol ... 14

Gambar 7. Struktur kimia α-amyrin ... 15

Gambar 8. Pembagian kualitas nyeri berdasarkan lokalisasi ... 24

Gambar 9. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan ... 27

Gambar 10. Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen ... 28

Gambar 11. Diagram perombakan asam arakidonat ... 33

Gambar 12. Struktur molekul Asetosal ... 34

Gambar 13. Skema kerja penelitian ... 55

Gambar 14. Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat pada penetapan dosis efektif asam asetat ... 59

Gambar 15. Diagram batang rata-rata jumlah kumulatif geliat pada penetapan kontrol negatif ... 62


(18)

Gambar 16. Diagram batang rata-rata % penghambatan terhadap geliat pada

penetapan selang waktu pemberian rangsang ... 63

Gambar 17. Diagram batang rata-rata % penghambatan terhadap geliat pada penetapan dosis asetosal... 67

Gambar 18. Diagram batang rata-rata % penghambatan terhadap geliat pada kelompok perlakuan ... 70

Gambar 19. Diagram batang rata-rata % perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif ... 76

Gambar 20. Diagram batang perbandingan daya analgesik dengan daya anti-inflamasi ekstrak etanol daun senggani ... 78

Gambar 21. Perbandingan daya analgesik ekstrak etanol daun senggani dengan daya analgesik ekstrak petroleum eter daun senggani pada mencit putih betina ... 80

Gambar 22. Rangkuman daya analgesik dan daya anti-inflamasi ekstrak etanol daun senggani dan ekstrak petroleum eter daun senggani ... 82

Gambar 23. Tumbuhan senggani ... 91

Gambar 24. Daun senggani ... 92

Gambar 25. Serbuk daun senggani ... 92

Gambar 26. Ekstrak etanol daun senggani ... 94


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat pernyataan pengambilan simplisia senggani

(Melastomapolyanthum Bl.) ... 90 Lampiran 2. Foto tumbuhan, daun, serbuk daun senggani dan ekstrak

etanol daun senggani ... 91 Lampiran 3. Data jumlah geliat hewan uji dan hasil analisis variansi satu

arah pada penetapan dosis efektif asam asetat ... 95 Lampiran 4. Data jumlah geliat hewan uji dan hasil analisis variansi satu

arah pada penetapan kontrol negatif ... 98 Lampiran 5. Data jumlah geliat hewan uji dan hasil analisis statistik pada

penetapan selang waktu pemberian ... 100 Lampiran 6. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat dan hasil

analisis statistik pada penetapan selang waktu pemberian .. 103 Lampiran 7. Data jumlah geliat hewan uji dan hasil analisis variansi satu

arah pada penetapan dosis efektif asetosal ... 105 Lampiran 8. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat dan hasil

analisis variansi satu arah pada penetapan dosis efektif

asetosal ... 108 Lampiran 9. Data jumlah geliat hewan uji setelah pemberian asam asetat

dan hasil analisis variansi satu arah pada semua kelompok

perlakuan ... 110


(20)

Lampiran 10. Data % penghambatan terhadap jumlah geliat dan hasil

analisis statistik pada semua kelompok perlakuan ... 114 Lampiran 11. Data % perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif . 117 Lampiran 12. Cara perhitungan % penghambatan jumlah geliat terhadap

kontrol negatif dan % perubahan daya analgesik terhadap

kontrol positif ... 121


(21)

INTISARI

Tumbuhan senggani merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan masyarakat sebagai pereda demam (antipiretik), penghilang nyeri (analgesik), peluruh kencing (diuretik), menghilangkan pembengkakan, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui khasiat dan besarnya prosentase daya analgesik ekstrak etanol daun senggani.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak, lengkap, pola satu arah. Metode yang digunakan adalah metode induksi kimia. Tiga puluh ekor mencit betina, galur Swiss, berat badan antara 20-30 gram, umur 2-3 bulan, dibagi secara acak dalam 6 kelompok yaitu: I) kontrol negatif diberi CMC-Na 1%, II) kontrol positif diberi asetosal dosis 91 mg/kg BB, III) sampai VI) diberi perlakuan ekstrak etanol daun senggani secara per oral dalam 4 peringkat dosis berturut-turut sebesar 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; dan 1670 mg/kgBB. Sepuluh menit kemudian mencit diinduksi asam asetat 1% dosis 50 mg/kg BB secara intraperitonial. Geliat yang timbul diamati dan dicatat tiap 5 menit selama 60 menit. Jumlah kumulatif geliat diubah ke dalam bentuk prosentase penghambatan terhadap geliat. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan One-way ANOVA dilanjutkan dengan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian yang diperoleh berupa % penghambatan terhadap geliat ekstrak etanol daun senggani dosis 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; dan 1670 mg/kgBB berturut-turut sebesar 88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, dan 44,56 %.

Kata kunci: analgesik, ekstrak etanol daun senggani


(22)

ABSTRACT

Senggani plants is one of medicinal plants which often used by people to decrease fever (antipyretic) and pain (analgesic), urinate shedding (diuretic), to lose udema, etc. The aim of the research that was done is to know the effect and percentage of amount analgesic potency from ethanol extract of senggani’s leaves.

The genre of this research is pure experimental in which the program of this research is random research plan, complete, and one-direction pattern. The method used in this research is chemical induction method. The research uses 30 female mice of Swiss groove, it weights 20-30 grams, and the age is 2-3 months. The 30 mices are divided into 6 groups based on its treatment, i.e.: I) the group of negative control is given CMC-Na 1%; II) the group of positive control is given acetyl salicylic acid dosage 91 mg/kg BB; III) trough VI) the treatment is given extract ethanol of senggani leaves per orally in four different various dosage respectively, i.e.: 850 mg/kgBB; 1000 mg/kgBB; 1330 mg/kgBB; and 1670 mg/kgBB. Ten minutes after the treatment, the mice is induced by acetate acid 1% with dosage 50 mg/kg BB intra peritoneally. The wriggles are watched closely and booked every 5 minutes in 60 minutes. The accumulation numbers of the wriggles are transferred into the form of resistance percentage toward the wriggles. The data which is got from the calculation, later, is analyzed statistically with one-way ANOVA test, then, the step is continued with Shceffe with interval 95%.

The result showing that ethanolic extract of senggani’s leaves at 850 mg/kgBW; 1000 mg/kgBW; 1330 mg/kgBW; and 1670 mg/kgBW, respectively, 88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, and 44,56 %.

Key words : analgesic, ethanolic exstract of senggani’s leaves


(23)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sejak zaman dahulu tumbuh-tumbuhan sudah banyak dikenal sebagai sumber pengobatan yang ampuh. Mulai dari akar tumbuhan, berbagai umbi-umbian, batang dan kulit pohon, daun, bahkan bunga dan biji suatu tumbuhan yang sederhana pun dapat digunakan sebagai obat. Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alam salah satunya adalah tumbuh-tumbuhan.

Budaya bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pemanfaatan alam, khususnya untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit dilaksanakan berdasarkan pengalaman secara turun-temurun. Pengalaman tersebut dikembangkan dan diwariskan, sehingga obat tradisional dapat dimanfaatkan sampai sekarang sebagai sarana perawatan kesehatan masyarakat (Soedibyo, 1998).

Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) mendefinisikan obat tradisional sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan-bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik, atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Anonim, 1992).

Nyeri merupakan suatu gejala yang umum dan sering terjadi mengikuti salah satu atau lebih penyakit. Hampir sebagian besar penyakit memberi gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan pada tubuh


(24)

2

(Anonim, 1991). Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.

Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu senggani (Melastoma polyanthum Bl.). Tumbuhan yang memiliki kandungan saponin, flavonoid, dan tanin ini berkhasiat sebagai pereda demam (antipiretik), penghilang nyeri (analgesik), peluruh kencing (diuretik), menghilangkan pembengkakan, melancarkan aliran darah dan penghenti perdarahan (hemostatis).

Flavonoid berkhasiat sebagai anti-inflamasi anti alergi, antithrombolik, vasoprotektif sebagai penghambat promotor tumor dan untuk proteksi pada mukosa saluran cerna atau gastrik. Efek-efek tersebut berhubungan dengan pengaruh flavonoid pada metabolisme asam arakhidonat (Trease and Evans, 2002). Di antara senyawa flavonoid yang telah lama dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan yaitu kelompok polifenol (Sitompul, 2003).

Seberapa besar prosentase efek analgesik tumbuhan senggani sampai sekarang belum diketahui. Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan uji efek analgesik dari ekstrak etanol daun senggani pada mencit betina. Penggunaam tanaman senggani biasanya diseduh atau dilarutkan dalam air. Menurut literatur, flavonoid umumnya larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Harborne, 1984). Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilihat khasiat tumbuhan senggani sebagai analgetika jika dilarutkan dalam pelarut polar selain air, yaitu etanol, dan juga akan dibandingkan seberapa besar efek analgesik daun senggani jika dilarutkan dalam pelarut yang polar dan pelarut yang non polar.


(25)

3

B. Permasalahan

1. Apakah ekstrak etanol daun senggani memiliki efek analgesik terhadap mencit putih betina?

2. Seberapa besar prosentase daya analgesik yang dimiliki ekstrak etanol daun senggani?

C. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis penelitian mengenai uji efek analgesik ekstrak etanol daun senggani terhadap mencit betina belum pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Adapun penelitian tentang tumbuhan senggani yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Daya Antifertilitas dan Efek Toksik Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) pada Tikus Betina (Christina, 2000). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani pada dosis 54,98 mg/kg BB dan 219,92 mg/kg BB memberikan efek antifertilitas dan efek toksik pada tikus betina timbul pada dosis 54,98 mg/kg BB.

2. Teratogenisitas Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) pada Tikus Putih (Japri, 2001). Hasil menunjukkan bahwa akstrak etanol akar senggani berpotensi memberi efek teratogenik pada dosis 34,362 mg/kg BB; 103,086 mg/kg BB; dan 309,258 mg/kg BB ditandai dengan penurunan bobot plasenta, peningkatan jumlah resorpsi awal, kelainan tulang sternum, dan cacat mikroskopis.


(26)

4

3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) terhadap Jaringan Hati, Ginjal, Ovarium, dan Uterus Tikus Betina (Phin, 2001). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani memiliki efek toksik pada jaringan organ tersebut pada dosis 54,08 mg/kg BB; 109,62 mg/kg BB;dan 219,92 mg/kg BB.

4. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma Polyanthum Bl.) terhadap Spermatogenitas Tikus Putih (Yosef, 2001). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani pada dosis 34,98 mg/kg BB; 103,14 mg/kg BB; dan 309,42 mg/kg BB secara per orar selama 22 hari dapat menghambat spermatogenesis pada lumen tubulus seminiferis, menurunkan jumlah sperma yang motil, tidak menurunkan bobot testis, namun dapat menurunkan berat badan tikus.

5. Toksisitas Akut Infus Daun Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) pada Mencit (Wiwin, 2002). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani memiliki LD50 semu > 15,356 g/kg BB, sehingga dapat dikatakan praktis tidak

toksik.

6. Uji Daya Antifungus Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) terhadap Candida albicans secara in vitro (Katarina, 2002). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani mengandung flavonoid, tanin , dan steroid serta memiliki efek antifungus Candida albicans.


(27)

5

7. Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Akar Senggani (Melastoma polyanthum Bl.) pada Tikus Jantan dan Betina (Ismirawati, 2002). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani memiliki LD50 semu, yaitu lebih dari 3518,72

mg/kg BB. Gejala toksik yang muncul yaitu berupa penurunan aktivitas lokomotor, penurunan sesitivitas, serta sering menggosok hidung. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya kelainan pada hati, ginjal, usus, lambung, sedangkan pada limpa normal.

8. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Senggani (Melastoma affine D. Don.) terhadap Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif (Toba, 2003). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar senggani memiliki aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna tentang penggunaan tumbuhan obat tradisional sebagai analgesik.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang kegunaan daun senggani sebagai analgesik.


(28)

6

E. Tujuan Penelitian

Tujuan pengujian efek analgesik ekstrak etanol daun senggani terhadap mencit putih betina adalah sebagai berikut ini.

a. Tujuan Umum

Untuk menambah informasi mengenai khasiat daun senggani. b. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui kemampuan ekstrak etanol daun senggani sebagai analgetika dan untuk mengetahui besarnya efek analgesik yang dimiliki terhadap mencit putih betina.


(29)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tumbuhan senggani (Melastoma polyanthum Bl.)

Senggani dapat tumbuh liar pada tempat yang cukup mendapat sinar matahari, seperti lereng gunung, semak belukar, lapangan yang tidak terlalu gersang, atau di daerah objek wisata sebagai tumbuhan hias. Tumbuhan ini bisa ditemukan sampai ketinggian 1.650 m dari permukaan laut (Dalimartha, 1999).

1. Klasifikasi tumbuhan senggani

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae

Clasis : Dicotyledoneae

Subclasis : Dialypetalae

Ordo : Mytales

Familia : Melastomaceae

Genus : Melastoma

Spesies : Melastome polyathum Bl. (Van Steenis, 1975; Tjitrosoepomo, 1989) 2. Morfologi

Senggani termasuk tumbuhan perdu, tinggi 0,5-4 m. Cabang yang muda bersisik. Daun bertangkai, berhadapan, memanjang atau bulat telur memanjang dengan ujung runcing, bertulang daun 3,2-20 kali 1-8 cm, kedua belah sisi berbulu.


(30)

8

Bunga bersama-sama 5-18, pada ujung dan di ketiak daun yang tertinggi, berbilang 5 (4-6). Tabung kelopak berbentuk lonceng, bersisik, taju dengan sejumlah gigi kecil. Daun pelindung bersisik, langsing, 5 kali 2 mm, tidak menutupi kuncup. Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 2-3 cm, ungu merah, jarang putih. Benang sari 10 (8-12), memanjang dari penghubung sari di bawah ruang sari pada benang sari yang panjang 6-16 mm, pada yang pendek 2-7 mm. Bakal buah beruang 5 (4-6), dihubungkan oleh bingkai terhadap tabung kelopak. Buah buni berbentuk periuk, membuka melintang secara tidak teratur, dimana terlepas bingkai biji yang merah tua. Biji berbentuk kerang. Senggani dapat tumbuh di padang rumput, semak hutan kecil, 5-2000 m (Van Steenis, 1975).

3. Sinonim

Tumbuhan ini sering disebut tidak tepat sebagai Melastoma malabathicum Bl. (Van Steenis, 1975). Sinonim senggani yaitu: Melastoma malabathicum L., Melastoma candidum D. Don. (Melastoma septemnervium Lour., non Jacq.), Melastoma dodecandum Lour. (Melastoma repens Desr.), Melastoma sanguineum Sims. (Melastoma decemfidum Roxb.), dan Melastoma affine D. Don. (Melastoma polyanthum Bl.) yang umumnya paling banyak digunakan di Indonesia (Lily, 1980). 4. Nama Daerah

Nama daerah dari tumbuhan senggani antara lain: Senggani, Kluruk, Sengganen (Jawa), Senduduk (Melayu), Harendong (Sunda), Kemaden (Madura) (Dalimartha, 1999).


(31)

9

5. Kandugan Kimia

Kandungan kimia tumbuhan senggani pada bagian daun adalah flavonoid, steroid/ triterpenoid, tanin 4,3 % (Anonim, 1995). Daun mengandung saponin (Dalimartha, 1999).

Menurut Sulaiman, et al. (2004), pada analisis phytochemical dari ekstrak daun dan akar senggani mengandung β-sitosterol, α-amyrin, sitosterol 3-O-β-D-glucopiranoside, kuersetin, kuersitrin, dan rutin.

a. Flavonoid

Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dan sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepungsari, nektar, bunga, buah buni, dan biji (Markham, 1982). Kerangka dasar flavonoid dan sistem penomoran untuk turunan flavonoid terlihat pada gambar1.

C C C

O A B 1 2 3 4 5 6 7 8 1' 2' 3' 4' 5' 6'

1a 1b

Gambar 1. Kerangka flavonoid (1a) dan sistem penomoran turunan flavonoid (1b) (Robinson, 1995)

Flavonoid sangat dimungkinkan dalam sejumlah pengobatan tradisional yang substansinya belum diketahui akan tetapi menunjukkan isi zat aktifnya flavonoid. Flavonoid berkhasiat sebagai inflamasi anti alergi, anti-thrombolik, vasoprotektif sebagai penghambat promotor tumor dan untuk proteksi pada mukosa saluran cerna atau gastrik. Efek-efek tersebut berhubungan dengan pengaruh flavonoid pada metabolisme asam arakhidonat (Evans, 2002).


(32)

10

Aglikon flavonoid adalah polifenol, sehingga mempunyai sifat kimia senyawa fenol yaitu bersifat agak asam maka dapat larut dalam basa (Markham, 1982). Di antara senyawa flavonoid yang telah lama dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan yakni, kelompok polifenol memiliki kemampuan sebagai scavenger superoksida, oksigen singlet, dan radikal peroksi lipid (Sitompul, 2003).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh gugus tertentu dalam struktur flavonoid tersebut. Karakteristik struktur flavonoid yang mampu memberikan efek antioksidan antara lain karena adanya (1) gugus katekol (O-dihidroksi) pada cincin B yang mempunyai sifat sebagai donor proton, (2) gugus pirogalol (trihidroksi) pada cincin B, (3) gugus 4-oxo pada cincin heterosiklik, (4) gugus 3-OH pada cincin heterosiklik, serta (5) gugus 5-OH dan 7-OH yang potensial pada keadaan tertentu (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004). Ketika senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas maka terbentuk radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik (Cuvelier, 1991 cit Hertiani, 2000).

Daun senggani mengandung kuersetin yang merupakan salah satu zat aktif kelas flavonoid yang secara biologis memiliki manfaat yang amat kuat. Flavonol kuersetin memiliki aktivitas antioksidan yang amat potensial (Anonim, 2005). Kuersetin memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena memiliki ciri pada strukturnya, yaitu 3’4’-dihidroksi pada cincin B; 2,3-ikatan rangkap pada cincin C; sebuah gugus 3-hidroksil pada cincin C; dan sebuah gugus 5-hidroksil pada cincin A (Sibuea, 2004).


(33)

11

O HO

OH O

OH OH

OH

A

B

C

Gambar 2. Struktur kimia kuersetin (Anonim, 1989)

Dilihat dari struktur kimianya, kuersetin memiliki aktivitas kuat sebagai pemberi hidrogen (hidrogen donating) karena kandungan hidroksilasi cukup, yakni 5 gugus OH dan empat diantaranya terdapat pada sisi aktif (C5, C7, C3’, dan C4’). Selain itu kuersetin memiliki struktur yang mampu sebagai pengkelat logam, yakni gugus karbonil pada C4 dan gugus hidroksil pada C3 dan C5 (Sibuea, 2004).

Selain untuk menghambat oksidasi dan sitotoksisitas LDL-teroksidasi, kuersetin juga dapat menghambat siklooksigenase yang berperan pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga dapat menurunkan agregrasi platelet (Sitompul, 2003).

Daun Senggani juga mengandung rutin. Rutin (kuersetin 3-rutinosida) merupakan glikosida flavonol paling umum dan juga penting dalam bidang farmasi karena digunakan untuk mengobati kerapuhan pembuluh kapiler pada manusia. Struktur kimia rutin dapat dilihat pada gambar 3.

O

OH

OH

OH HO

O

O Glk O Ram


(34)

12

Rutin merupakan antioksidan kuat. Rutin juga memproduksi perusak radikal oksigen. Rutin dapat membantu dalam menghentikan edema pada vena yang mana merupakan gejala awal dari penyakit vena kronik pada kaki. Rutin juga mempunyai efek anti-inflamasi, efek pencegahan dan penyembuhan, menghambat kanker dan kondisi pre-kanker. Selain itu, dapat mencegah atherosklerosis, mereduksi sitotoksisitas oksidasi LDL-kolesterol, dan menurunkan resiko penyakit jantung.

Selain itu senggani juga mengandung kuersitrin yang juga termasuk dalam golongan flavonoid. Kuersitrin sudah diuji mempunyai aktivitas sebagai anti-inflamasi akut dan kronis pada tikus terinduksi trinitrobenzenesulfonic-acid. Pemberian kuersitrin secara peroral dengan dosis 1-5 mg/kgBB dapat menurunkan tingkat myeloperoksida dan alkalin fosfat. Peningkatan atau penurunan dosis flavonoid ditandai dengan menurunnya efek. Efek anti-inflamasi akut kuersetin tidak berpengaruh terhadap pengrusakan fungsi netrofil atau penghambatan lipoksigenase. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya proteksi mukosa atau peningkatan perbaikan mukosa sekunder untuk kenaikan pertahanan melawan oksidatif berbahaya dan perbaikan fungsi usus normal. Akibatnya dapat menurunkan resiko terjadinya kerusakan usus pada saat terjadi diare. Berikut ini adalah struktur kimia kuersitrin.


(35)

13

Flavonoid umumnya larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Pada penyarian lebih lanjut digunakan petroleum eter, etanol 80%, dan pelarut organik lain, tetapi flavonoid tetap berada dalam lapisan air (Harborne, 1984).

b. Tanin

Tanin merupakan substrat kompleks yang biasanya terjadi sebagai campuran polifenol yang sulit diseparasi karena tidak dapat dikristalkan. Tanin dapat tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh dalam angiospermae khususnya dalam jaringan kayu. Dalam dunia kesehatan tanin digunakan sebagai astringen yang mengakibatkan pengurangan bengkak (edema), radang, dan sekresi pada gastrointestinal dan pada abrasi kulit (Harborne, 1984).

Secara kimiawi terdapat dua jenis utama tanin yaitu tanin terkondensasi (flavolan) secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi (Harborne, 1984). Tanin yang terhidrolisis dapat dihidrolisis oleh asam atau enzim seperti tannase (Evans, 2002). Tanin terhidrolisiskan dan glikosida dapat diekstraksi dengan air panas atau campuran etanol-air (Robinson, 1995).

c. Steroid/ triterpenoid

Steroid merupakan lemak yang dikarakteristikkan mempunyai kerangka karbon yang dihubungkan dengan empat cincin (Anonim, 2006).


(36)

14 A B C D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 241 242 28 29 30 16

Gambar 5. Struktur umum steroid (Anonim, 2006).

Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dan lain-lain), namun pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Tiga senyawa ‘fitosterol’ yang mungkin terdapat dalam tiap tumbuhan tinggi tersebut yaitu sitosterol (dahulu dikenal sebagai β-sitosterol), stigmasterol, dan kampestrol.

HO

Et

Gambar 6. Struktur kimia β-sitosterol (Harborne, 1984).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprena. Triterpenoid dapat dibagi menjadi 4 golongan senyawa yaitu triterpenoid sebenanya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Banyak triterpena yang dikenal dalam tumbuhan. Sampai saat ini hanya beberapa saja yang diketahui tersebar luas. Senyawa tersebut adalah triterpena pentasiklik α-amyrin dan β-amyrin serta asam turunannya, yaitu asam ursolat dan asam oleanolat.


(37)

15

HO Me

Me Me Me

H Me

Me

H Me

Me

Gambar 7. Struktur kimia α-amyrin (Harborne, 1984).

Sebagian besar senyawa steroid dan terpenoid adalah senyawa non polar, karena itu dapat dipisahkan dari komponen tumbuhan yang polar dengan mengekstraksi menggunakan pelarut seperti benzena atau eter (Robinson, 1995). d. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dipicu oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya, kortison, estrogen kontraseptik, dll) (Harborne, 1987).

Saponin merupakan surfaktan alami, atau detergent yang banyak ditemukan pada beberapa jenis tumbuhan. Ekstrak dari tumbuhan ini biasa digunakan sebagai foaming agent pada banyak minuman. Sifat biokimianya juga memiliki aplikasi komersial di bidang industri dan banyak digunakan pada beberapa produk kosmetik dan shampo (Anonim, 2004).


(38)

16

Senyawa glikosida seperti saponin dan glikosida jantung tidak larut dalam pelarut non polar. Senyawa ini paling cocok diekstraksi dari tumbuhan memakai etanol atau metanol panas 70-95% (Robinson, 1995).

6. Khasiat dan Kegunaan

Penggunaan tumbuhan senggani sebagai obat tradisional mengalami banyak perkembangan, sejak awalnya digunakan hanya sebagi anti diare tetapi sekarang berbagai macam khasiat. Adanya rasa pahit dari senggani dapat berkhasiat sebagai pereda demam (antipiretik), penghilang nyeri (analgesik), peluruh kencing (diuretik), menghilangkan pembengkakan, melancarkan aliran darah, dan penghentian pendarahan (hemostatis). Umumnya senggani digunakan masyarakat untuk mengobati keputihan, gangguan pencernaan makanan, disentri, diare, sariawan, dan pendarahan rahim (Dalimartha, 1999). Menurut Sudibyo (1998), tumbuhan senggani berkhasiat untuk astringen, desentri, keputihan, mencret, wasir, obat kumur, sakit perut, dan borok (obat luar).

B. Metode Penyarian

Penyarian merupakan peristiwa pemindahan massa. Zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari, sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Secara umum penyarian dapat dibedakan menjadi infudasi, maserasi, dan perkolasi (Anonim, 1986).

Infudasi merupakan proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah terserang oleh kuman


(39)

17

dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Cara ini sangat sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90° C selama 15 menit (Anonim, 1986).

Maserasi merupakan cara penyarian sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang, sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain (Anonim, 1986).

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut: serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, sehingga cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan (Anonim, 1986).


(40)

18

Cara perkolasi lebih baik daripada dengan cara maserasi karena:

1. aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi,

2. ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Anonim,1986).

Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut perkolat atau sari, sedangkan sisa setelah penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim, 1986).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perkolasi. Cairan penyari yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%. Etanol digunakan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang/kuman sulit tumbuh dalam etanol di atas 20%, tidak beracun, bersifat netral, absorpsinya baik, dapat bercampur dengan air, panas yang digunakan untuk pemekatan lebih sedikit, selain itu etanol mudah diperoleh dan hanya untuk meningkatkan kemampuan penyariannya hanya perlu ditambah air dengan perbandingan tergantung bahan yang disari (Anonim, 1986).


(41)

19

C. Radikal Bebas dan Antioksidan 1. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu spesies yang mempunyai jumlah elektron ganjil atau elektron yang tidak berpasangan tunggal pada lingkaran luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilasi dan bersifat reaktif. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas yaitu DNA, lemak, dan protein (Setiati, 2003).

Radikal bebas diproduksi secara eksogen dan secara endogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan intisel. Sedangkan secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan radiasi, obat-obatan, dan pestisida sumber utama reaksi radikal bebas pada mamalia adalah pada rantai pernafasan, fagositosis, sintesis prostaglandin, sistem sitokrom P-450, reaksi enzimatik O2, dan radiasi ion (Setiati, 2003). Radikal

bebas yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan nyeri. Dalam proses peradangan, radikal bebas terbentuk ketika asam arakhidonat dikonversikan menjadi peroksida baik melalui jalur siklooksigenase maupun lipoksigenase. Ketika terjadi kerusakan jaringan organ, jumlah radikal bebas meningkat seiring dengan peningkatan produksi peroksida, padahal tubuh memproduksi antioksidan endogen yang terbatas contohnya yaitu superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH Px) yang bekerja menstabilkan radikal bebas. Apabila jumlah radikal bebas makin banyak, antioksidan


(42)

20

endogen tak mampu lagi melumpuhkannya secara efektif sehingga harus ada tambahan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan (Sibuea, 2004).

Pengrusakan radikal bebas reaktif didahului oleh kerja kerusakan membran sel, dengan terjadinya rangkaian proses sebagai berikut:

a. terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran (enzim-enzim membran, komponen karbohidrat membran plasma), sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi reseptor;

b. oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu;

c. reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tak jenuh. Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel, antara lain dengan mengubah fluiditas, cross-linking, struktur dan fungsi membran; dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

(Gitawati, 1995). Kerusakan struktur subseluler secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolisme. Sebagai contoh yaitu disrupsi/kerusakan membran lisosom menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya mampu memperantarai pengrusakan intraseluler, dan memperkuat kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel (Gitawati, 1995).

Dengan bertambahnya usia, radikal bebas yang terbentuk selama metabolisme normal dapat merusak DNA dan makromolekul lain sehingga terjadi


(43)

21

penyakit-penyakit degeneratif, keganasan kematian sel-sel vital tertentu, yang pada akhirnya akan menyebabkan proses penuaan dan kematian bagi individu tersebut (Gitawati, 1995).

Ada beberapa zat yang dapat mengurangi reaksi radikal bebas dengan memutuskan rantai reaksi, yaitu antara lain (1) enzim antioksidan (superoksid dimutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan SOD mimics), (2) spin trap, dan (3) komponen yang memutuskan rantai (Setiati, 2003).

2. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dalam kadar lebih rendah dibanding bahan yang dapat dioksidasi, sangat memperlambat atau menghambat oksidasi dari bahan tersebut. Antioksidan dapat berperan sebagai spesies oksigen reaktif radikal bebas bergabung dengan zat lain untuk menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh. Secara alamiah tubuh memproduksi antioksidan yang mampu melindungi sel dari radikal bebas (Sibuea, 2004). Peningkatan spesies oksigen reaktif ini juga dapat menimbulkan berbagai bentuk kerusakan jaringan, padahal spesies oksigen reaktif ini bertanggung jawab terhadap aksi xenobiotik tubuh (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004).

Beberapa efek merugikan yang ditimbulkan akibat peningkatan spesies oksigen reaktif yaitu pada sistem biologi meliputi peroksidasi membran lipid, bahaya oksidasi asam nukleat dan karbohidrat, serta oksidasi sulfhidril dan bagian lain dari protein. Pertahanan terhadap spesies oksigen reaktif dilakukan secara enzimatik maupun non enzimatik. Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD),


(44)

22

catalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non enzimatik umumnya dapat menangkap radikal bebas, baik organik maupun anorganik (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004).

Menurut Setiati (2003), antioksidan dibedakan menjadi antioksidan eksogen dan antioksidan endogen. Antioksidan endogen atau sering disebut antioksidan primer terdiri atas enzim-enzim dan berbagai senyawa yang disintesis dalam tubuh yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan eksogen atau yang dikenal juga sebagai antioksidan sekunder karena menangkap radikal dan mencegah reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E (tokoferol), vitamin C (askorbat), karoten, asam urat bilirubin, dan albumin. Selain itu terdapat juga antioksidan tersier yang memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas, contohnya enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase.

Menurut tempat aksinya pada fase air ataupun lipofil dari membran, antioksidan dibagi menjadi water-soluble dan lipid-soluble. Vitamin C dan urate termasuk dalam antioksidan hidrofil. Sedangkan retinoid, karotenoid, flavonoid, dan vitamin A termasuk dalam antioksidan lipofil (Middleton dkk, 2000 cit Ladoangin, 2004).

Flavonoid telah dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan polifenol yang banyak terdapat pada sayuran, buah-buahan, dan beberapa minuman seperti teh hijau dan anggur merah. Di dalam keluarga polifenol, flavonoid ternyata mempunyai sifat antioksidan yang amat kuat yang mencapai 20 kali sifat antioksidan vitamin E (Sitompul, 2003).


(45)

23

Secara umum dapat dikatakan bahwa senyawa turunan flavonoid mampu memberikan efek antioksidan antara lain karena adanya gugus fenolik dalam struktur molekulnya. Ketika senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas maka terbentuk radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonanasi inti aromatik (Cuvelier, 1991 cit Hertiani, 2000).

D. Nyeri

Nyeri (pain) merupakan suatu gejala yang umum dan sering terjadi mengikuti salah satu atau lebih penyakit. Hampir sebagian besar penyakit memberi gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan pada tubuh (Anonim, 1991). Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian/ peristiwa yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti, luka, inflamasi, atau kanker (Rang, et al, 2003)

Menurut Tjay dan Raharja (2002), nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan rasa sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri dikatakan pula sebagai suatu perasaan pribadi dimana ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk pertama kali. Sedangkan menurut Guyton dan Hall (1996), nyeri merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh, yang timbul bila ada jaringan yang rusak. Hal ini menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri.


(46)

24

Menurut tempat terjadinya, nyeri terbagi atas nyeri somatik dan nyeri dalaman (viseral). Dikatakan nyeri somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang, atau dari jaringan ikat. Nyeri somatik dibagi atas 2 (dua) kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Disebut nyeri permukaan apabila rangsang bertempat di dalam kulit, sedangakan disebut nyeri dalam apabila rangsang berasal dari otot, prsendian tulang dan jaringan ikat. Nyeri dalam (viseral) atau nyeri perut mirip dengan nyeri dalam sifat menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1986). Pembagian kualitas nyeri berdasarkan lokalisasi dapat dilihat pada gambar 8.

Nyeri permukaan Nyeri I Nyeri II kulit Contoh Tusukan jarum, cubitan Contoh Kejang otot, Sakit kepala Nyeri dalaman Otot Jaringan ikat Tulang Sendi Contoh Kolik kantung empedu, Nyeri luka lambung perut Nyeri viseral Nyeri somatik

Gambar 8. Pembagian kualitas nyeri berdasarkan lokalisasi (Mutschler, 1986)

Bedasarkan perjalanannya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri yang sifatnya akut dan kronis. Pada nyeri yang sifatnya akut umumnya terjadi beberapa


(47)

25

saat setelah terjadinya lesi atau trauma jaringan, berlangsung singkat dan biasanya cepat membaik bila diberi obat pengurang rasa nyeri (analgetika). Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri akan timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa sakit akut juga digambarkan dengan banyak nama pengganti, seperti rasa sakit tajam, rasa tertusuk, rasa sakit cepat, rasa sakit elektrik, dan sebagainya (Anonim, 1991; Guyton dan Hall, 1996). Nyeri yang kronik umumnya berhubungan dengan terjadinya lesi jaringan yang bersifat permanen, atau dapat sebagai kelanjutan dari nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik. Nyeri kronik ini biasanya berlangsung lama, atau biasanya terjadi selama lebih dari 6 bulan. Rasa sakit kronik timbul setelah satu detik atau lebih dan kemudian rasa sakit ini secara perlahan bertambah untuk selama beberapa detik dan kadang kala sampai beberapa menit. Rasa sakit kronik diberi banyak nama tambahan seperti rasa sakit terbakar, rasa sakit pegal, rasa sakit berdenyut-denyut, rasa sakit mual, dan rasa sakit lambat. (Anonim, 1991; Guyton dan Hall, 1996).

Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri. Seperti telah disebutkan, rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan. Di sini senyawa tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang disebut zat nyeri (mediator nyeri), yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1986).

Mediator nyeri yang kini juga disebut autacoida, terdiri dari antara lain histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin. Bradikinin adalah


(48)

26

polipeptida (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dari protein plasma. Struktur prostaglandin mirip dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arakhidonat. Menurut perkiraan, zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Berhubung kerja dan inaktivasinya pesat dan bersifat lokal, maka juga dinamakan hormon lokal (Tjay dan Raharja, 2002).

Yang termasuk “zat nyeri” yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Kerja lemah yang mirip dimiliki juga oleh ion kalium yang keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan dan dalam interstisium pada konsentrasi >20 mmol/L menimbulkan rasa nyeri. Demikian pula berbagai neurotransmiter bekerja sebagai zat nyeri pada kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8 gram/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat dapat menimbulkan nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari kelompok transmiter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk penyebab nyeri terkuat. Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri mensensibilitas reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri lama (Mutschler,


(49)

27

1986). Prostaglandin merupakan turunan asam lemak yang dibentuk endogen dengan efek fisiologi yang besar. Biosintesisnya telah dibuktikan dalam setiap organ utama tubuh manusia, walaupun dalam tingkat bervariasi.

Rangsangan atau noksius

Kerusakan jaringan

Pembentukan Kinin (misalnya: bradikinin)

Prostaglandin

Sensibilitas reseptor Pembebasan:

H+(pH < 6) K+ (> 20 mmol/L) Asetikolin

Serotonin Histamine

Nyeri lama Nyeri pertama

Gambar 9. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan (Mutschler, 1986)


(50)

28

Rasa nyeri

Penilaian nyeri Lokalisasi nyeri

korteks

Otak kecil

Reaksi pertahanan terkoordinasi

Sistem Limbik

Thalamus optikus

Formatio

reticularis Reaksi vegetatif

Sumsum tulang Refleks pertahanan

Reseptor nyeri

Pembebasan zat mediator

Rangsang nyeri

Impuls penghantar nyeri yang meningkat Reaksi nyeri

Inhibisi nyeri endogen

Gambar 10. Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen (Mutschler, 1986)


(51)

29

E. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik dapat meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum (Mutschler, 1986). Sedangkan Djamhuri (1996) mengatakan behwa analgetika adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara meningkatkan nilai ambang nyeri di sistem saraf pusat (SSP) tanpa menekan kesadaran.

Obat-obat analgetika adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai cara, seperti menekan kepekaan reseptor terhadap rangsang nyeri mekanik, termik, listrik, atau kimiawi di pusat atau dengan cara menghambat pembentukan prostalglandin sebagai mediator nyeri (Anonim, 1991).

Pengobatan atau terapi untuk nyeri juga dapat dilakukan secara non farmakologi yaitu antara lain dengan pengompresan dengan air panas, megalihkan perhatian pasien dari penyakit atau rasa nyeri yang dideritanya, atau bisa juga dilakukan terapi stimulasi. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) telah terbukti berhasil dalam terapi nyeri akibat pembedahan atau sesudah operasi, traumatik, nyeri oral-facial.

Selain itu juga dapat dilakukan pendekatan psikologi. Namun teknik psikologi untuk treatment nyeri akut tidak digunakan secara luas. Teknik psikologi lain yang berhasil meliputi latihan relaksasi, imagery, dan hipnotis (Dipiro, et al, 2005).


(52)

30

Secara umum analgetika dibagi menjadi tiga tipe (Turner, 1965), yaitu: 1. analgetika perifer, seperti asam salisilat digunakan sebagai analgetika untuk

radang jaringan, obat ini menekan suhu dan edema.

2. analgetika hipotalamus, seperti aminopirin, digunakan sebagai analgetika normal dan radang jaringan, obat ini menekan suhu dan edema.

3. analgetika narkotika, digunakan sebagai analgetika normal dan radang jaringan, obat ini mungkin mempunyai pengaruh yang kuat pada penghilangan nyeri dan pada kejiwaan. Obat ini tidak mempunyai efek pada suhu dan kejiwaan.

Menurur Mutschler (1986), berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:

1. analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipnoanalgetika, ‘kelompok Opiat’),

2. analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik.

Berdasarkan kerja farmakologisnya, Tjay dan Rahardja (2002) membagi analgetika dalam dua kelompok besar, yakni:

1. analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.

2. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker.


(53)

31

1. Analgetika narkotik

Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiat), adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opiod khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Analgetika kuat diindikasi pada kondisi nyeri yang sangat kuat yang jika tidak, tak cukup untuk dipengaruhi. Di sini terutama nyeri akibat kecelakaan, nyeri setelah operasi, dan nyeri tumor (Mutschler, 1986).

2. Analgetika non narkotika

Analgetika jenis ini, yang juga disebut analgetika yang bekerja perifer atau ‘kecil’, memiliki spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun struktur kimianya berbeda. Di samping kerja analgetika, senyawa-senyawa ini menunjukkan kerja antipiretika dan juga komponen kerja antiflogistika dengan kekecualian turunan asetilanilida. Sebaliknya senyawa-senyawa ini tidak mempunyai sifat-sifat psikotropik dan sifat sedasi dari hipnoanalgetika. Akibat spektrum kerja ini, pemakaian luas dan karena itu termasuk pada bahan-bahan obat yang paling banyak digunakan (Mutschler, 1986).

Istilah ‘analgetika berkhasiat lemah’ tidak benar untuk sifat-sifat dari kelompok obat ini karena beberapa senyawa ini memiliki efek analgetik lebih kuat jika dibandingkan hipnoanalgetika lemah. Walaupun demikian, untuk membedakan dari hipnoanalgetika, pengertian ini telah diambil (Mutschler, 1986).

Obat ini mampu meringankan atau menghalau rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/ atau antiradang. Oleh


(54)

32

karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada gangguan demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan, seperti rema dan encok. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rema dan encok), perut, nyeri haid (dysmenorroe), nyeri akibat benturan, atau kecelakaan (trauma) ( Tjay dan Rahardja, 2002).

Obat analgetika antipiretika serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin (Wilmana, 1995).

Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG) (Wilmana, 1995).

Untuk mengerti kerja dan efek samping analgetika berkhasiat lemah, penemuan Vane bahwa senyawa ini bekerja mempengaruhi proses sintesis prostaglandin terbukti bermanfaat. Senyawa-senyawa ini menghambat sistem siklooksigenase yang menyebabkan asam arakhidonat dan asam-asam C20 tak jenuh

lain menjadi endoperoksida siklik. Endoperoksida siklik merupakan prazat dari prostaglandin, serta prazat dari tromboksan A2 dan prostasiklin (Mutschler, 1986).


(55)

33

Gangguan membran sel

Fosfolipida

Asam arakhidonat

Lyso-glyseril fosforilkolin

PAF

leukotrien prostaglandin tromboksan

prostasiklin Vasodilatasi,

kemotaksis

Penghambat lipoksigenase

OAINS

Rangsangan

Antagonis PAF

Lipooksigenase

siklooksigenase Fosfolipase A2

Glukokortikoid (menginduksi terbentuknya lipocortin)

mediator nyeri

nyeri

Gambar 11. Perombakan Asam Arakhidonat (Rang, et al, 2003)

Keterangan:

: menghambat : proses pembentukan

Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim liposomal, arachidonic acid kemudian dilepaskan dari persenyawaan-persenyawaan terdahulu,


(56)

34

dan berbagai eicosanoid disintesis. Pada jalur cyclooxygenase (COX) dari metabolisme arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi. Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX-2) menjurus pada konsep bahwa isoform COX-1 yang konstitutif cenderung menjadi homeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi respons inflamasi (Katzung, 2002).

Jalur lipoxygenase dari metabolisme arakhidonat menghasilkan leukotrine yang mempunyai efek kemotaksis yang kuat pada eosinofil, neutrofil, dan makrofag serta meningkatkan bronkokonstriksi dan perubahan-perubahan dalam permeabilitas dalam pembuluh darah (Katzung, 2002).

F. Asetosal

COOH

COOCH3

Gambar 12. Struktur molekul Asetosal

Asetosal memiliki pemerian hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau berbau lemah. Asetosal stabil di udara kering, di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat. Asetosal sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan eter, agak sukar larut dalam eter mutlak (Anonim, 1995).


(57)

35

Asetosal adalah obat anti-nyeri tertua yang hingga kini paling banyak digunakan di seluruh dunia (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgetika antipiretika dan anti-inflamasi yang sangat luas banyak digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana, 1995).

Salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyerisendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik (Wilmana, 1995).

Asetosal bekerja dengan menghambat aktivitas prostaglandin G/H sintetase atau yang dikenal lazim sebagai enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase merupakan katalisator pada tahap pertama pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakhidonat. Enzim siklooksigenase terdiri dari isoenzim yaitu siklooksigenase I dan siklooksigenase II. Asetosal relatif lebih selektif terhadap enzim siklooksigenase tipe I. Pada enzim siklooksigenase tipe I, asetosal bekerja dengan mengasetilasi gugus hidroksil serin pada posisi 529 dari rantai polipeptida sehingga dapat menghambat masuknya substrat dari sisi enzim akibat rintangan sterik sehingga menyebabkan hilangnya aktivitas enzim secara irreversibel. Dengan hilangnya aktivitas enzim sklooksigenase maka pembentukan mediator nyeri dapat dihambat sehingga nyeri yang dirasakan dapat berkurang. Asetosal juga dapat menghambat aktivitas enzim siklooksigenase tipe II dengan cara berbeda yaitu dengan cara mengubah produk asam arakhidonat yang seharusnya Prostaglandin G1 menjadi asam 15 hidroksieisosatetraenoik (Dollery, 1999).


(58)

36

G. Metode Pengujian Efek Analgesik

Metode-metode pengujian aktivitas analgetika dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara makanik, termik, elektrik dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetika kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau jtga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1991).

Secara umum, pengujian aktivitas analgetika dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgetika sentral yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki atau berikatan dengan reseptor (Vogel, 2002).

Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi menjadi 2 (Turner, 1965), yaitu:

1. golongan analgetika narkotika a. metode jepitan ekor

Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan mencit yang sudah diberi senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan atau intravena 30 menit sebelumnya pada jepitan arteri yang dilapisi karet tipis selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi analgetika akan berusaha terus untuk melepaskan


(59)

37

diri dari kekangan tersebut, sedangkan mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut.

b. metode rangsang panas

Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah diberi senyawa uji di atas pelat panas (hot plate) yang bersuhu 50º-55º C. Mencit memberikan respon berupa mengangkat, menjilat telapak kakinya, melompat. Hewan uji yang dibutuhkan tiap kelompok yaitu 5 ekor. Metode ini paling sederhana dan efisien.

Evaluasi: efek analgesik dinyatakan positif jika waktu reaksi setelah pemberian obat lebih besar dari 30 detik yang tejadi paling sedikitnya satu kali, atau apabila paling sedikitnya tiga kali pembacaan memperlihatkan waktu reaksi yang sama dengan atau lebih besar dari 3 kali rata-rata waktu reaksi kelompok kontrol negatif (Anonim, 1991).

c. metode pengukuran tekanan

Alat yang digunakan pada metode ini menggunakan dua buah syringe yang dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan terhubung pada sistem hidrolik pada syringe yang pertama lalu pada ekor tikus. Tekanan sama pada syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada


(60)

38

manometer. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan.

d. metode potensi petidin

Metode ini dilakukan dengan cara menyuntikkan petidin dengan dosis 2,4 mg/kg BB dan 8 mg/kg BB secara berturut-turut pada suatu kelompok hewan uji dan petidin dosis tunggal, senyawa lain dan substansi lain yang akan diteliti dengan dosis 25% dari LD50 pada kelompok hewan uji yang lain.

Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas. Metode ini memerlukan hewan uji yang cukup banyak.

e. metode antagonis nalorfin

Metode ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa uji dengan dosis toksik dan diikuti pemberian nalorpin dengan dosis 0,5-10,0 mg/kg BB secara intravena pada hewan uji berupa mencit, tikus, atau anjing. Segera setelah itu efek puncak dapat diamati. Nalorpin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya sehingga meniadakan efek analgesik morfin dan obat analgesik lain yang mempunyai makanisme karja yang sama.

f. metode kejang oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitori posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus betina dengan berat badan 120-140 mg, diberi estrogen dengan penanaman 15 mg dietilstilbestrol secara subkutan pada paha hewan uji. Setelah 10 minggu, hewan uji siap untuk tes daya analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan secara subkutan 15 menit


(61)

39

sebelum pemberian secara intraperitonial 2 unit oksitosin (dosis ED50).

Persen penurunan kejang dideterminasi dan ED50 dapat diperkirakan.

g. metode pencelupan pada air panas

Metode ini dilakukan dengan cara mencelupkan ekor mencit pada air bertemperatur 580C, dimulai 15 menit setelah diinjeksikan substansi yang diuji secara intraperitonial. Pencelupan diulang setiap 30 menit. Respon mencit terlihat pada sentakan ekornya untuk menghindari air panas.

2. golongan analgetika non narkotika a. metode induksi kimia

Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang secara intraperitonial pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk memberikan respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Penelitian ini menggunakan metode rangsang kimia sebagai mentode pengujian efek analgesik karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat, yaitu:


(62)

40

% penghambatan terhadap geliat = 100 – [(P/K) x 100] Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pmberian obat yang telah ditetapkan

K = jumlah rata-rata geliat hewn uji kelompok kontrol b. metode pedolorimeter

Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah diberi senyawa uji pada tempat yang sudah berarus listrik dengan tegangan 20 volt. Respon mencit yang ditimbulkn berupa suara mencicit. Pengukuran dialkukan setiap 10 menit selama 1 jam. Senyawa uji yang mempunyai daya analgesik dapat menaikkan tegangan untuk dapat menimbulkan teriakan mencit.

c. metode rektodolometer

Pada metode ini hewan uji tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan menggunakan alas tembaga yang kemudian dihubungkan dengan sebuah gulungan yang berfungsi sebagai penginduksi. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang dihubungkan dengan suatu voltmeter yang sensitif untuk dapat mengubah 0,1 volt. Respon berupa suara teriakan tikus dapat ditimbulkan dengan pemberian teganagn sebesar 1 sampai 2 volt.

H. Landasan Teori

Menurut Tjay dan Raharja (2002), nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.


(63)

41

Hampir sebagian besar penyakit memberi gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan pada tubuh (Anonim, 1991).

Kandungan kimia tumbuhan senggani pada bagian daun adalah flavonoid, steroid/ triterpenoid, tanin 4,3 % (Anonim, 1995). Daun mengandung saponin (Dalimartha, 1999). Sedangkan menurut Sulaiman, et al. (2004), pada analisis fitokimia dari ekstrak daun dan akar senggani mengandung β-sitosterol, α-amyrin, sitosterol 3-O-β-D-glucopiranoside, kuersetin, kuersitrin, dan rutin.

Radikal bebas adalah suatu spesies yang mempunyai jumlah elektron ganjil atau elektron yang tidak berpasangan tunggal pada lingkaran luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilasi dan bersifat reaktif. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel (Setiati, 2003).

Antioksidan adalah senyawa yang dalam kadar lebih rendah dibanding bahan yang dapat dioksidasi, sangat memperlambat atau menghambat oksidasi dari bahan tersebut (Sibuea, 2004). Flavonoid telah dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan polifenol yang mempunyai sifat antioksidan yang amat kuat mencapai 20 kali sifat antioksidan vitamin E (Sitompul, 2003).

Flavonoid umumnya larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Selain flavonoid, zat kimia dalam tumbuhan yang dapat larut dalam etanol yaitu saponin dan tanin (Harborne, 1984). Sehingga pada penelitian ini diharapkan senyawa aktif yang terkandung dalam daun senggani dapat terekstraksi dengan baik dan dapat memberi efek analgesik.


(64)

42

I. Hipotesis

Ekstrak etanol daun senggani memiliki efek analgesik terhadap mencit putih betina.


(65)

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola satu arah.

B. Metode Penelitian

Metode pengujian efek analgesik yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode rangsang kimia. Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa asam asetat yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara per oral pada selang waktu tertentu. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat, yaitu:

% penghambatan terhadap geliat = 100 – [(P/K) x 100] Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah ditetapkan

K = jumlah rata-rata geliat hewn uji kelompok kontrol

Metode ini dipilih karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, serta peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah.


(66)

44

C. Variabel Operasional 1. variabel

Variabel penelitian ini meliputi:

a. variabel bebas : dosis ekstrak etanol daun senggani per kg berat badan mencit putih betina.

b. variabel tergantung : prosentase daya analgesik ekstrak etanol daun senggani terhadap mencit putih betina.

c. variabel pengacau terkendali :

1) subyek uji : mencit betina galur Swiss 2) umur subyek : 2-3 bulan

3) berat badan : 20-30 gram 4) keadan subyek uji : sehat

5) asal tanaman senggani : BPTO Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah 6) proses isolasi senyawa kimia daun senggani menggunakan penyari

etanol 70% dengan metode perkolasi dimana proses ekstraksi dihentikan sampai ekstrak yang keluar berwarna putih bening

d. variabel pengacau tak terkendali :

1) suhu pemanasan saat proses penguapan ekstrak etanol daun senggani 2) kemampuan absorbsi mencit terhadap ekstrak etanol daun senggani 2. definisi operasional

a. dosis ekstrak etanol daun senggani

Dosis diperoleh dengan cara mencari konsentrasi maksimum ekstrak etanol daun senggani dalam CMC-Na 1% yaitu sebesar 5%, sehingga


(67)

45

didapat dosis maksimum. Kemudian dibuat empat peringkat dosis dengan mengalikan dengan satu bilangan tertentu sehingga didapat suatu deret ukur.

b. daya analgesik

daya analgesik menunjukkan seberapa besar suatu zat tertentu dalam memberi efek analgesik, yang ditunjukkan dengan besarnya nilai persen penghambatan terhadap respon (geliat).

c. uji daya analgesik

uji daya analgesik menggunakan metode rangsang kimia yaitu suatu metode uji analgesik yang menggunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam.

d. ekstrak etanol

ekstrak etanol diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan, yaitu daun senggani, dalam pelarut etanol dengan menggunakan metode perkolasi. Sehingga didapat ekstrak etanol daun senggani.


(68)

46

D. Bahan Penelitian 1. Bahan

a. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini berupa mencit betina, galur Swiss, berat 20-30 gram, umur 2-3 bulan, yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Daun Senggani

Bahan uji yang digunakan berupa daun senggani (Melastoma polyanthum, Bl.) yang diperoleh dari Badan Penelitian Tanaman Obat, Tawangmangu, Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah pada bulan Mei 2006.

2. Bahan Kimia

a. Asetosal : berupa hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau; rasa asam. Khasiat dan penggunaan sebagai analgetikum, antipiretikum (Anonim, 1979). Asetosal yang digunakan dalam penelitian diproduksi oleh Brataco Chemika dengan kualitas farmasetis.

b. CMC Na : berupa serbuk halus atau berbentuk granul berwarna putih, bersifat higroskopis (Anonim, 1995), diproduksi oleh Brataco Chemika dengan kualitas farmasetis.


(1)

Lampiran 11. Data % perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif

Tabel XXV. Data % Perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif

Perubahan % daya analgesik terhadap kontrol positif

Kelompok

perlakuan

CMC Na 1%

Asetosal 91

mg/kg BB

Senggani 850

mg/kg BB

Senggani 1000

mg/kg BB

Senggani 1330

mg/kg BB

Senggani 1670

mg/kg BB

1 -89,67

6,05

24,94

16,14

-12,83

-45,59

2 -123,69

-4,03 28,73

21,17 -9,06

-27,95

3 -128,72

-6,54 24,97

17,40 14,87

-24,18

4 -85,90

1,02

23,69

23,05

-4,03

-34,26

5 -103,53

3,53 19,91

11,09 -6,54

-53,14

X ± SE

-106,30

±

8,68

0,006

±

2,34

24,45

±

1,42

17,77

±

2,08

-3,52

±

4,82

-37,02

±

5,42


(2)

% PERUBAHAN DA

Oneway

Descriptives

perubahan

5 106.3020 19.40012 8.67600 -130.3904 -82.2136 -128.72 -85.90 5 .0060 5.22293 2.33577 -6.4791 6.4911 -6.54 6.05 5 24.4480 3.16299 1.41453 20.5206 28.3754 19.91 28.73 5 17.7700 4.65979 2.08392 11.9841 23.5559 11.09 23.05 5 -3.5180 10.78124 4.82152 -16.9047 9.8687 -12.83 14.87 5 -37.0240 12.12484 5.42239 -52.0790 -21.9690 -53.14 -24.18 30 -17.4367 46.10971 8.41844 -34.6543 -.2190 -128.72 28.73 CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB senggani 850 mg/kg senggani 1000 mg/kg senggani 1330 mg/kg senggani 1670 mg/kg Total

N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound 5% Confidence Interval fo

Mean

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

perubahan

5.300

5

24

.002

Levene

Statistic

df1

df2

Sig.

ANOVA

perubahan

58862.608

5

11772.522

101.108

.000

2794.435

24

116.435

61657.043

29

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of


(3)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable: perubahan Scheffe

-106.30800* 6.82451 .000 -131.0117 -81.6043

-130.75000* 6.82451 .000 -155.4537 -106.0463

-124.07200* 6.82451 .000 -148.7757 -99.3683

-102.78400* 6.82451 .000 -127.4877 -78.0803

-69.27800* 6.82451 .000 -93.9817 -44.5743

106.30800* 6.82451 .000 81.6043 131.0117

-24.44200 6.82451 .054 -49.1457 .2617

-17.76400 6.82451 .276 -42.4677 6.9397

3.52400 6.82451 .998 -21.1797 28.2277

37.03000* 6.82451 .001 12.3263 61.7337

130.75000* 6.82451 .000 106.0463 155.4537

24.44200 6.82451 .054 -.2617 49.1457

6.67800 6.82451 .963 -18.0257 31.3817

27.96600* 6.82451 .019 3.2623 52.6697

61.47200* 6.82451 .000 36.7683 86.1757

124.07200* 6.82451 .000 99.3683 148.7757

17.76400 6.82451 .276 -6.9397 42.4677

-6.67800 6.82451 .963 -31.3817 18.0257

21.28800 6.82451 .124 -3.4157 45.9917

54.79400* 6.82451 .000 30.0903 79.4977

102.78400* 6.82451 .000 78.0803 127.4877

-3.52400 6.82451 .998 -28.2277 21.1797

-27.96600* 6.82451 .019 -52.6697 -3.2623

-21.28800 6.82451 .124 -45.9917 3.4157

33.50600* 6.82451 .003 8.8023 58.2097

69.27800* 6.82451 .000 44.5743 93.9817

-37.03000* 6.82451 .001 -61.7337 -12.3263

-61.47200* 6.82451 .000 -86.1757 -36.7683

-54.79400* 6.82451 .000 -79.4977 -30.0903

-33.50600* 6.82451 .003 -58.2097 -8.8023

(J) perlakuan asetosal 91 mg/kg BB senggani 850 mg/kg BB senggani 1000 mg/kg BB senggani 1330 mg/kg BB senggani 1670 mg/kg BB CMC-Na 1%

senggani 850 mg/kg BB senggani 1000 mg/kg BB senggani 1330 mg/kg BB senggani 1670 mg/kg BB CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB senggani 1000 mg/kg BB senggani 1330 mg/kg BB senggani 1670 mg/kg BB CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB senggani 850 mg/kg BB senggani 1330 mg/kg BB senggani 1670 mg/kg BB CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB senggani 850 mg/kg BB senggani 1000 mg/kg BB senggani 1670 mg/kg BB CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB senggani 850 mg/kg BB senggani 1000 mg/kg BB senggani 1330 mg/kg BB (I) perlakuan

CMC-Na 1%

asetosal 91 mg/kg BB

senggani 850 mg/kg BB

senggani 1000 mg/kg BB

senggani 1330 mg/kg BB

senggani 1670 mg/kg BB

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(4)

Homogeneous Subsets

perubahan

Scheffe

a

5

-106.3020

5

-37.0240

5

-3.5180

5

.0060

.0060

5

17.7700

17.7700

5

24.4480

1.000

1.000

.124

.054

perlakuan

CMC-Na 1%

senggani 1670 mg/kg BB

senggani 1330 mg/kg BB

asetosal 91 mg/kg BB

senggani 1000 mg/kg BB

senggani 850 mg/kg BB

Sig.

N

1

2

3

4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

a.


(5)

Lampiran 12. Cara perhitungan % penghambatan jumlah geliat terhadap kontrol

negatif dan % perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif

Contoh :

1.

Perhitungan % penghambatan jumlah geliat terhadap kontrol negatif pada

kelompok perlakuan ekstrak etanol daun senggani dosis 850 mg/kg BB

(subyek uji no.1)

% penghambatan jumlah geliat = 100 - [ (P/K) x 100 ]

Jumlah geliat subyek uji (P) = 76

Rata-rata jumlah geliat kelompok kontrol negatif (K) = 112,20

Cara :

% penghambatan jumlah geliat = 100 - [ ( 76 / 112,20 ) x 100 = 32,26 %

2.

Perhitungan % perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif pada

kelompok perlakuan ekstrak etanol daun senggani dosis 850 mg/kg BB

(subyek uji no.1)

% perubahan penghambatan terhadap geliat = x 100

( P

Kp )

Kp

% penghambatan jumlah geliat perlakuan (P) = 88,41

Rata- rata % penghambatan jumlah geliat kontrol positif (Kp) = 70,76

Cara :

% perubahan daya analgesik terhadap kontrol positif =

(

)

100

76

,

70

76

,

70

41

,

88

×


(6)