IMPLEMENTASI PROGRAM ANTIBULLYING DI SD TUMBUH 2 YOGYAKARTA.

(1)

i

IMPLEMENTASI PROGRAM ANTIBULLYING

DI SD TUMBUH 2 YOGYAKARTA SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Citra Devi Nurrochimawati NIM 11108241064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

"Jangan hanya pasrah dan membiarkan dirimu menjadi korban bullying. Jangan biarkan orang lain merendahkan diri kita. Tunjukkan bahwa kita berharga dan

tidak layak untuk dilecehkan." (Harvey S. Firestone)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Seiring rasa syukur kepada Allah SWT, penulis persembahkan karya ini dengan tulus kepada:

1. Bapak dan ibu tercinta, Drs. Joko Mujiarto dan Dra. Harjanti, serta saudara-saudaraku tersayang.

2. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP UNY. 3. Agama, Nusa, dan Bangsa.


(7)

vii

IMPLEMENTASI PROGRAM ANTIBULLYING

DI SD TUMBUH 2 YOGYAKARTA Oleh

Citra Devi Nurrochimawati NIM 11108241064

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi dan mengetahui kendala-kendala dalam implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian meliputi kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan siswa. Pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dengan reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data dengan triangulasi sumber.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta dilaksanakan ke dalam berbagai aktivitas: (1) poster membuat siswa paham cara bersikap dan bersosialisasi dengan baik; (2) pembentukan dewan pengawas yang bertugas mengawasi aktivitas anak untuk memastikan anak tidak melakukan perilaku yang tidak baik ataupun berbahaya; (3) pertemuan dan pelatihan untuk keluarga yang meliputi parents meeting, parents seminar, dan parents counseling; (4) penggunaan kurikulum yang dilaksanakan ke dalam berbagai kegiatan dan pembiasaan bagi siswa untuk bersikap baik; (5) perbaikan lingkungan yang dilakukan dengan penempelan kata atau kalimat-kalimat positif di area sekolah; (6) circle time yang memberikan pemahaman kepada siswa akan pengetahuan atau nilai-nilai yang baik dan membantu siswa menyelesaikan masalahnya. Adapun kendala dalam implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta meliputi diantaranya: (1) pemasangan poster yang agak terlalu tinggi dan tulisannya yang terlalu kecil; (2) belum maksimalnya area sekolah yang dimanfaatkan dalam pemasangan poster; (3) adanya aktivitas anak yang pernah terlepas dari pengawasan; (4) orang tua belum sepenuhnya menghayati materi yang sekolah sampaikan; (5) kurangnya ketertarikan dan partisipasi aktif orang tua dalam pertemuan dan pelatihan untuk keluarga; (6) tidak adanya buku petunjuk atau acuan khusus pelaksanaan program antibullying; (7) tidak diagendakan perbaikan lingkungan secara berkala; (8) beberapa tempelan kata-kata positif tampak sudah using; (9) belum meratanya keaktifan siswa selama circle time.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta”. Tugas akhir skripsi ini disusun sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd., M.A. yang telah memberikan kesempatan menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dr. Haryanto, M. Pd. yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Drs. Suparlan, M. Pd. I. yang telah memberikan kesempatan untuk memaparkan gagasan dalam bentuk skripsi. 4. Pembimbing skripsi I, Ibu Dr. Wuri Wuryandani, M. Pd. dan pembimbing


(9)

ix

bimbingan, arahan, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Kepala SD Tumbuh 2 Yogyakarta, Bapak Jamiludin, S. Sos. I. yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di SD Tumbuh 2 Yogyakarta. 6. Bapak Ibu guru, siswa, dan orang tua siswa SD Tumbuh 2 Yogyakarta yang

telah bersedia sebagai subjek dalam pelaksanaan penelitian.

7. Orang tuaku, Drs. Joko Mujiarto dan Dra. Harjanti yang senantiasa memberikan doa, dukungan, nasehat dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Saudara-saudaraku, Anisa Puspita Hapsari, Hanif Akbar Nurhalim, Muffida Hanum Nur’aini, Raihan Akmal Nuraufa yang telah memberikan doa dan dukungannya.

9. Sahabat-sahabat SMA-ku, Kurnia Ayu Sekarlangit, Muhammad Nukman, Aprilia Elke yang telah memberikan dukungan dan menjadi teman berbagi. 10.Sahabat-sahabatku, Kartika Dewi, Hafidz Azizan, Karina Rahmawati, Ika

Fajar, Eva Vidya yang selalu membagikan keceriaannya dan memberi semangat.

11.Teman-teman kelas D yang sudah seperti keluarga dan telah memberikan warna dalam masa perkuliahan selama 7 semester.

12.Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan penelitian ini.

Semoga segala bantuan, dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal yang dapat diterima dan mendapat balasan dari


(10)

x

Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan banyak kebermanfaatan.

Yogyakarta, November 2015 Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 9

C.Fokus Penelitian ... 10

D.Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN TEORI A.Bullying ... 13

1. Pengertian Bullying ... 13

2. Karakteristik Bullying ... 15

3. Bentuk-bentuk Bullying ... 19

B.Program Antibullying ... 24

1. Kebijakan Antibullying ... 24

2. Pengertian Program Antibullying ... 27


(12)

xii

4. Peran Berbagai Pihak dalam Program Antibullying ... 44

C. Kerangka Berpikir ... 48

D.Kajian yang Relevan ... 50

E.Pertanyaan Penelitian ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 54

B.Setting Penelitian ... 55

C.Subjek Penelitian ... 55

D.Sumber Data ... 55

E. Teknik Pengumpulan Data ... 56

F. Instrumen Penelitian ... 59

G.Teknik Analisis Data ... 65

H.Keabsahan Data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 68

1. Lokasi Sekolah ... 68

2. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah ... 69

B.Deskripsi Subjek dan Objek Penelitian ... 70

1. Subjek Penelitian ... 70

2. Objek Penelitian ... 71

C.Hasil Penelitian ... 72

1. Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta .... 72

a. Poster ... 72

b. Pembentukan Dewan Pengawas ... 77

c. Pertemuan dan Pelatihan untuk Keluarga ... 82

d. Penggunaan Kurikulum ... 89

e. Perbaikan Lingkungan ... 96

f. Circle Time ... 99

2. Kendala dalam Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta ... 108


(13)

xiii

b. Kendala dalam Pembentukan Dewan Pengawas ... 110

c. Kendala dalam Pertemuan dan Pelatihan untuk Keluarga ... 110

d. Kendala dalam Penggunaan Kurikulum ... 112

e. Kendala dalam Perbaikan Lingkungan ... 113

f. Kendala dalam Circle Time ... 114

D.Pembahasan ... 115

1. Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta .... 115

a. Poster ... 115

b. Pembentukan Dewan Pengawas ... 118

c. Pertemuan dan Pelatihan untuk Keluarga ... 122

d. Penggunaan Kurikulum ... 126

e. Perbaikan Lingkungan ... 129

f. Circle Time ... 131

2. Kendala dalam Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta ... 135

a. Kendala dalam Poster ... 135

b. Kendala dalam Pembentukan Dewan Pengawas ... 137

c. Kendala dalam Pertemuan dan Pelatihan untuk Keluarga ... 138

d. Kendala dalam Penggunaan Kurikulum ... 140

e. Kendala dalam Perbaikan Lingkungan ... 142

f. Kendala dalam Circle Time ... 143

E. Keterbatasan Penelitian ... 145

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 146

B.Saran ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 152


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

.... hal

Gambar 1 Kerangka Berpikir ... 50

Gambar 2 Poster Sikap Positif terhadap Keberagaman ... 347

Gambar 3 Poster Gallery I’am a Good Friend yang Dipasang di Dekat Tangga ... 347

Gambar 4 Siswa Mengikuti Lomba Poster yang Diadakan Duta Perdamaian ... 348

Gambar 5 Salah Satu Poster Karya Siswa ... 348

Gambar 6 Guru Mengawasi Aktivitas Anak saat Jam Istirahat ... 348

Gambar 7 Guru Berkeliling ke Area-area Sekolah saat Jam Istirahat ... 349

Gambar 8 Parents Seminar di Aula SD Tumbuh 2 Yogyakarta ... 349

Gambar 9 Penyampaian Materi saat Parents Seminar... 349

Gambar 10 Parents Meeting ... 350

Gambar 11 Parents Counseling ... 350

Gambar 12 Pemasangan Kata-kata Positif di Koridor Sekolah ... 350

Gambar 13 Pemasangan Kata-kata Positif di Dekat Taman Sekolah ... 351

Gambar 14 Guru Mengajak Siswa Melakukan Gerakan Senam Sederhana sebelum Morning Carpet ... 351

Gambar 15 Suasana Morning Carpet ... 351

Gambar 16 Brosur SD Tumbuh yang Menampilkan Bullying Education Masuk dalam Program Tambahan Sekolah ... 352

Gambar 17 Tata Tertib Siswa yang Salah Satunya Memuat tentang Aturan untuk Menghindari Kekerasan dan Bullying ... 352

Gambar 18 Aturan Penegakan Disiplin di Sekolah yang Sejalan dengan Nilai-nilai Antibullying ... 353

Gambar 19 Aturan Konsultasi/Penyelesaian Masalah Siswa yang Menunjukkan Sekolah Memberikan Perhatian Lebih dan Mendukung Penyelesaian Masalah Siswa secara Damai... 353


(15)

xv

DAFTAR TABEL

.... hal Tabel 1 Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 60 Tabel 2 Kisi-kisi Pedoman Wawancara dengan Kepala Sekolah .... 61 Tabel 3 Kisi-kisi Pedoman Wawancara dengan Guru ... 62 Tabel 4 Kisi-kisi Pedoman Wawancara dengan Orang Tua ... 63 Tabel 5 Kisi-kisi Pedoman Wawancara dengan Siswa ... 64


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

... hal

Lampiran 1 Pedoman Observasi ... 156

Lampiran 2 Pedoman Wawancara dengan Kepala Sekolah ... 165

Lampiran 3 Pedoman Wawancara dengan Guru ... 174

Lampiran 4 Pedoman Wawancara dengan Orang Tua ... 185

Lampiran 5 Pedoman Wawancara dengan Siswa ... 193

Lampiran 6 Hasil Observasi ... 200

Lampiran 7 Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Kepala Sekolah ... 219

Lampiran 8 Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Guru ... 240

Lampiran 9 Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Orang Tua ... 274

Lampiran 10 Reduksi, Penyajian Data, dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Siswa ... 296

Lampiran 11 Triangulasi Data ... 315

Lampiran 12 Dokumentasi ... 347


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan investasi peradaban, dimana hal tersebut menjadikan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dan pengharapan untuk menuju kehidupan ke arah yang lebih baik. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Pendidikan idealnya tidak hanya mengembangkan potensi kognitif saja, tetapi juga harus mengembangkan potensi afektif dan psikomotor peserta didik. Atau bahkan lebih baik jika ketiga potensi tersebut dapat berkembang secara berimbang agar pendidikan dapat menghasilkan sosok “manusia yang utuh”. Hal ini sejalan yang dijelaskan oleh Bredekamp (dalam Abu Darwis, 2006: 24) bahwa sasaran kurikulum sekolah yang tepat itu adalah : (1) mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak dalam semua bidang perkembangan fisik, sosial, emosi, dan intelektual guna membangun suatu fondasi untuk belajar sepanjang hayat, dan (2) mengembangkan harga diri anak, rasa kompeten, dan perasaan-perasaan positif terhadap belajar. Terkait pendidikan yang idealnya tidak hanya mengembangkan potensi kognitif


(18)

2

peserta didik, lebih lanjut didukung oleh Imran Manan (dalam Arif Rohman, 2011:203) dalam bukunya menuturkan bahwa sekolah memiliki empat fungsi sosial utama, yaitu : (a) pemelihara atau penjagaan (custodial care), (b) melakukan seleksi peran sosial (social role selection), (c) penanaman nilai dan ideologi atau indoktrinasi (indoctrination), dan (d) pendidikan (education).

Mencermati pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa pendidikan harus mementingkan ketiga aspek potensi peserta didik, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek potensi tersebut dibutuhkan dan memiliki pengaruh tersendiri dalam kehidupan setiap insan manusia. Ketiga aspek potensi tersebut pulalah yang menjadi tujuan pendidikan yang masing-masing diklasifikasikan Bloom ke dalam tingkatan-tingkatan.

Tingkatan dari setiap aspek potensi (domain) di atas memiliki berbagai pengertian dan indikator tersendiri yang dapat menunjukkan sejauh mana keberhasilan belajar peserta didik. Menurut Bloom (dalam Wina Sanjaya, 2008: 125-133) perpaduan dari domain kognitif, afektif, dan psikomotor ini membentuk kompetensi yang tidak lain merupakan tujuan pembelajaran. Dalam dunia pendidikan domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir, seperti kemampuan mengingat dan memecahkan masalah. Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Contohnya yaitu kemampuan mendengar pendapat orang lain dan bekerja sama. Sedangkan domain psikomotorik meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan, yang merupakan keterampilan fisik dan skill seseorang.


(19)

3

Kompetensi-kompetensi tersebut harapannya dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak karena pada dasarnya pendidikan untuk mengubah sikap dan tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik, bukan sekedar transfer ilmu. Seseorang yang telah memiliki kompetensi tertentu bukan hanya akan mengetahui, tetapi juga dapat memahami dan menghayatinya yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.

Namun fakta di lapangan ternyata banyak kasus tindak kekerasan di sekolah. Kekerasan di sekolah bisa dilakukan oleh sesama siswa, alumni, staf atau bahkan guru. Lebih parahnya, kasus tindak kekerasan di sekolah ini juga merebak di tingkat sekolah dasar. Kekerasan ini sering disebut dengan istilah

bullying. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan

pengertian bullying sebagai kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya. Kekerasan atau bullying ini bisa bersifat kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung, perilaku non-verbal tidak langsung, dan pelecehan seksual (Academia.edu).

Adapun contoh kasus bullying diantaranya berdasarkan berita yang dimuat di media massa telah terjadi tindakan bullying yang terjadi di Bukit Tinggi pada 18 September 2014. Tindakan bullying ini dilakukan dua orang siswa dan satu siswi kelas V SD terhadap seorang siswi lainnya saat pelajaran agama di mushola, sewaktu guru agama meninggalkan kelas untuk mengajar


(20)

4

di sekolah SMP di Agam (Republika Online, 2014). Ketua tim psikologi, Yosi Molina menambahkan dalam perspektif psikologi, korban maupun pelaku dalam kasus tersebut sama-sama merupakan korban. Kasus ini terjadi karena faktor lemahnya fungsi pengawasan keluarga dan lingkungan (Okezone, 2014).

Kasus serupa hampir sama dengan yang terjadi di Temanggung. Orang tua korban bullying memberanikan diri untuk melaporkan tindakan bullying yang dialami anaknya ke Balai Wartawan. Tindakan bullying tersebut dilakukan oleh kakak-kakak kelas di sekolah dasar tempat anaknya bersekolah. Awal mula orang tua korban sebenarnya telah meminta penyelesaian ke pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat tetapi belum ada juga langkah penyelesaian yang muncul. Parahnya entah karena tuntutan pertanggungjawaban terhadap pihak sekolah, di saat kenaikan kelas anaknya yang menjadi korban bully tersebut dinyatakan tidak naik kelas dan tidak ada prosedur yang seperti biasanya dari pihak sekolah terhadap siswanya yang tidak naik kelas. Orang tua lantas memindahkan anaknya ke sekolah lain dengan harapan anaknya dapat belajar dengan aman dan nyaman (Kompas.com, 2014).

Sementara itu dilansir dari berita yang dimuat di media massa lainnya, sejumlah siswa kelas 3 SD masih trauma untuk pergi ke sekolah setelah mendapat tindak kekerasan dan perlakuan kurang menyenangkan dari guru mereka sendiri. Kepala sekolah SD tersebut pun ketika dikonfirmasi seperti


(21)

5

merasa tidak bersalah dan menganggap tindakan semacam itu merupakan hal yang wajar dilakukan guru dalam mendidik siswanya (Tempo.co, 2012).

Belum lagi berdasarkan survey yang dilakukan ditchthelabel.org pada tahun 2014 menemukan bahwa 45% dari kaum remaja memiliki pengalaman intimidasi sebelum usia 18 tahun. Dari angka tersebut, 30% dari remaja tersebut merasa dirugikan dan 10% berupaya melakukan usaha bunuh diri tetapi gagal. Kasus intimidasi yang tidak lain merupakan kasus bullying ini menunjukkan bahwa bullying memiliki dampak buruk yang tidak sepantasnya disepelekan.

Beberapa kasus bullying di atas hanya contoh sebagian kasus bullying yang diketahui dan tersorot oleh media massa. Masih banyak lagi kasus-kasus

bullying yang belum tersorot media atau diketahui khalayak umum, layaknya

gunung es di dalam lautan. Kasus-kasus bullying di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa tidak adanya akhlak mulia dan tanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial. Tidak ada rasa kasih sayang, rasa saling menghargai, menghormati, dan toleransi di antara sesama, ini menunjukkan salah satu indikator gagalnya tujuan pendidikan dalam aspek potensi afektif (sikap), karena mungkin selama pembelajaran di sekolah hanya mengutamakan aspek potensi kognitif (pengetahuan).

Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi tindakan bullying tersebut. Sekolah sebagai tempat belajar dan mentransmisikan nilai-nilai yang baik kepada peserta didik sudah seharusnya mengajarkan atau memiliki upaya-upaya khusus untuk mengatasi


(22)

6

perilaku bullying, bukan justru berusaha menutupi atau membiarkan tindakan

bullying terjadi begitu saja tanpa penanganan yang berarti. Upaya-upaya

tersebut dapat berupa upaya pencegahan maupun intervensi.

Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan peneliti, SD Tumbuh 2 merupakan salah satu contoh sekolah dasar di Kota Yogyakarta yang telah memiliki upaya menangani bullying yang diwujudkan dalam program

antibullying yang bernama “I am not a Bully, I am a Buddy”. Program

antibullying di SD Tumbuh 2 ini mulai ada semenjak tahun 2011. Visi dan

misi sekolah yang mengangkat inklusi multikultur ini yang mendasari adanya program antibullying tersebut. Inklusi multikultur di sini mengandung pengertian bahwa komposisi warga sekolah dan program pembelajaran yang dibangun bersifat beragam. Keberagaman yang ada di antaranya meliputi jenis kelamin (gender), agama, suku/etnis, kewarganegaraan, latar belakang sosial ekonomi orang tua, dan kebutuhan khusus anak. Adapun program antibullying ini diwujudkan dalam beberapa aktivitas.

Sejauh ini pelaksanaan program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta ini membawa hasil positif yang cukup besar dalam mengatasi perilaku bullying di sekolah tersebut. Terbukti dalam diri anak telah tertanam jiwa toleransi yang besar terhadap sesama siswa, tanpa memandang siswa lain tersebut berbeda atau berkebutuhan khusus. Akan tetapi dalam pelaksanaannya juga tidak luput dari kendala seperti kurangnya variasi media yang menarik untuk dapat memberikan pengalaman yang berarti bagi siswa, terbatasnya mentor atau fasilitator yang mendalami masalah bullying, dan


(23)

7

karakteristik anak yang berbeda-beda sehingga secara tidak langsung menimbulkan berbagai masalah dan perlu tindakan yang berbeda dari tiap karakteristiknya.

Adapun perilaku bullying yang pernah terjadi di SD Tumbuh 2 Yogyakarta sebelum dilaksanakannya program antibullying yaitu diantaranya anak yang pendiam di kelas dilempari sepatu oleh temannya, anak ABK didorong karena kelemahan fisiknya (bullying fisik) sementara siswa ABK tersebut tidak melakukan perlawanan. Hal tersebut terjadi saat istirahat tanpa sepengetahuan dari guru saat kejadian berlangsung. Selain itu juga terjadi siswa yang terus-menerus mengejek siswa lain (bullying verbal) sehingga membuat siswa yang diejek merasa kesal. Belum lagi, ada beberapa orang tua siswa yang belum sepenuhnya memahami konsep inklusi dan multikultur di SD Tumbuh 2 Yogyakarta, sehingga pernah terjadi kasus ada orang tua siswa yang melakukan aksi pembalasan kepada seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) karena merasa tidak terima anaknya telah dipukul. Setelah ditelisik, ternyata orang tua siswa tidak mengetahui bahwa yang memukul anaknya adalah seorang ABK yang notabene memiliki gangguan dalam berpikir dan berperilaku. Hal tersebut merupakan tindakan yang kurang sesuai dengan prinsip antibullying, dimana seharusnya orang tua dapat bersikap bijaksana sekalipun ketika anaknya menjadi korban bullying.

Berdasarkan hasil penelitian, juga diketahui terjadi beberapa perilaku

bullying yaitu diantaranya saat guru keluar kelas, terdapat siswa yang


(24)

8

dipanggil tersebut mengabaikan namun menunjukkan ekspresi tidak senang. Sementara saat istirahat, terdapat siswa yang mengejek nama orang tua siswa lain sampai ada akhirnya guru yang berkeliling dan siswa tersebut berhenti mengejek karena mengetahui keberadaan guru. Selain itu, juga terlihat siswa yang mendorong temannya, kemudian ada guru yang melihat dan menegur siswa tersebut untuk berhenti mendorong karena berbahaya kalau sampai terjatuh. Namun dalam hal menghargai keberagaman yaitu salah satunya tentang adanya perbedaan pada siswa ABK, tampak siswa sudah memiliki jiwa toleransi dan pemahaman yang cukup besar terhadap keberagaman tersebut. Tampak ABK yang sedang asyik makan siang dengan siswa lain. Hal ini berarti siswa-siswi SD Tumbuh 2 Yogyakarta sudah dapat membaur dengan segala keberagaman yang ada di sekolah tersebut, jauh lebih baik sebelum pelaksanaan program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta ini.

Mengingat bullying adalah suatu tindakan yang dapat memberikan dampak buruk bagi korban, maka tidak boleh dibiarkan begitu saja. Alangkah baiknya jika ada upaya atau tindakan khusus untuk mengatasi tindakan

bullying. Sekolah memiliki peran yang penting dalam mencegah serta

mengatasi tindakan bullying, terlebih pada kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah. SD Tumbuh 2 merupakan salah satu contoh SD di Kota Yogyakarta yang telah memiliki program khusus untuk mengatasi tindakan bullying, program tersebut diwujudkan dalam program antibullying. Hal tersebut merupakan suatu hal yang menginspirasi dan unik karena masih jarang sekolah di Kota Yogyakarta atau bahkan di Indonesia yang memiliki program


(25)

9

antibullying. Sementara diketahui bahwa bullying dapat oleh siapapun,

kapanpun, dan dimanapun, tak urung di sekolah sekalipun dimana dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan lebih besar ke pihak yang lebih lemah. Di samping itu SD Tumbuh 2 juga merupakan SD inklusi, yang membuat sekolah ini memiliki siswa yang beragam dengan segala perbedaannya, yang memberikan tantangan tersendiri dalam pelaksanaan program antibullying di sekolah tersebut. Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan program antibullying di SD Tumbuh 2. Maka dari itu, peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Banyak terjadi tindak kekerasan, tidak terkecuali terjadi di sekolah.

2. Ada sekolah yang tidak mendukung penyelesaian atau tidak menghiraukan tindakan bullying yang telah terjadi di sekolahnya.

3. Masih banyak kasus bullying yang belum tersorot media atau diketahui khalayak umum dan belum mendapat tindakan atas kasus tersebut.

4. Masih jarangnya sekolah yang memiliki program antibullying.

5. Terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.


(26)

10

6. Beberapa orang tua siswa belum sepenuhnya memahami konsep inklusi dan multikultur di SD Tumbuh 2 Yogyakarta, sehingga pernah terjadi ada orang tua siswa yang melakukan aksi pembalasan terhadap siswa ABK karena telah memukul anaknya.

7. Terjadi bullying fisik dan verbal di SD Tumbuh 2 Yogyakarta yang menerapkan program antibullying.

C. Fokus Penelitian

Melihat luasnya permasalahan terkait perilaku bullying yang telah diuraikan di atas, maka penelitan ini difokuskan pada program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian yang diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

2. Apa saja kendala dalam implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?


(27)

11

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan penelitian ini yaitu:

1. Mendeskripsikan implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.

2. Mengetahui kendala-kendala dalam implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Secara Teoritis

Memperkaya dan menambah pengetahuan mengenai upaya-upaya dalam mengatasi bullying atau yang sering disebut pula dengan program

antibullying, yang berkaitan erat dengan ilmu psikologi khususnya

psikologi pendidikan, sosial, dan perkembangan. 2. Secara Praktis

a. Bagi Sekolah

1) Memberi gambaran dan acuan sejauh mana implementasi program

antibullying yang telah dilaksanakan di sekolah tersebut.

2) Memberikan informasi kepada sekolah terkait implementasi program antibullying yang telah dilaksanakan di sekolah tersebut


(28)

12

sehingga ke depan pelaksanaannya dapat berjalan lebih lancar dan optimal.

b. Bagi Guru

1) Memberikan masukan kepada guru dalam implementasi program

antibullying di sekolah tersebut.

2) Meningkatkan motivasi bagi guru untuk mengintegrasikan nilai-nilai antibullying supaya lebih membudaya dalam keseharian di sekolah.

c. Bagi Siswa

1) Memberi informasi bagi siswa tentang implementasi program

antibullying yang dilaksanakan oleh sekolah.

2) Menambah pengetahuan bagi siswa untuk bertindak, bersikap, dan berucap sesuai dengan nilai-nilai antibullying.

d. Bagi Sekolah Lain

1) Memberikan inspirasi dan ide dalam upaya penanganan bullying di sekolah.

2) Memberikan informasi dan acuan dalam implementasi program


(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Bullying

1. Pengertian Bullying

Banyak sekali perilaku yang ditampilkan siswa di lingkungan sekolah dan tidak dipungkiri salah satunya yaitu bullying. Istilah bullying diadaptasi dari kata bahasa Inggris bull yang artinya “banteng” dimana hewan tersebut merupakan hewan yang suka menanduk. Hal tersebut sama seperti halnya bullying, suatu tindakan berupa penyerangan kepada orang lain (Sejiwa, 2008: 2). Sering pula bullying disinonimkan dengan

“harassment”. Harrasment sendiri berasal dari kata “to harass” yang

berakar dari kata dalam Bahasa Perancis kuno ‘harer’ yang artinya melakukan penyerangan, dan juga memiliki akar kata ‘hergian’ yang artinya ‘to ravage’ atau ‘despoil’ yang memiliki arti harfiah mengganggu, mengusik, merusak (Nurul Hidayati, 2012: 42-43).

Ada banyak definisi mengenai bullying. Sejiwa (2008: 2) mendefinisikan bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Sementara itu, Ken Rigby (dalam Ponny Puji Astuti, 2008: 3) menyatakan bahwa bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.


(30)

14

Tidak jauh berbeda, American Psychological Association (2013) mengartikan bullying sebagai “a form of aggressive behavior in which someone intentionally and repeatedly causes another person injury or discomfort. Bullying can take the form of physical contact, words or more

subtle actions”. Artinya bullying adalah suatu bentuk perilaku agresif yang

dilakukan dengan sengaja dan berulang kali yang menyebabkan orang lain cedera atau tidak nyaman. Bullying dapat berupa kontak fisik, kata-kata atau tindakan yang lebih halus (Apa.org).

Pendapat senada diungkapkan oleh Olweus, D. (dalam Mona O’More dan Stephen James Minton, 2004: 7) yang menyatakan “a person is being bullied when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative

actions on the part of one or more other persons.” Hal tersebut

menjelaskan bahwa seseorang yang sedang dibully adalah ketika ia ketika diganggu, berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, untuk tindakan negatif oleh satu orang atau lebih.

Bullying merupakan masalah yang universal. Tidak mengherankan

berbagai negara memiliki definisinya masing-masing. Di Inggris, Peter Smith dan Sonia Sharp (dalam Mona O’More dan Stephen James Minton, 2004: 7) mendefinisikan bullying dengan sangat sederhana yaitu penyalahgunaan sistem kekuasaan. Di Irlandia bullying didefinisikan sebagai agresi yang diulang, berbentuk verbal, psikologis atau fisik yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok terhadap orang lain. Selanjutnya di Skotlandia bullying diartikan kekerasan yang berjangka


(31)

15

waktu lama, dapat berupa mental atau fisik yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu membela diri dari dirinya sendiri dalam situasi yang sebenarnya.

Jika diamati dari beberapa pendapat di atas, perilaku bullying melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara dua pihak yang terlibat. Ketidakseimbangan kekuasaan inilah yang memungkinkan perilaku bullying berlangsung dalam waktu yang lama karena ketidakmampuan korban untuk menyelesaikan konflik dengan pelaku.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bullying adalah suatu perilaku penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan dengan tujuan untuk menindas dan menyakiti orang lain yang lebih lemah yang biasanya terjadi dalam jangka panjang dan berulang kali dari waktu ke waktu.

2. Karakteristik Bullying

Persepsi setiap orang dapatlah berbeda, termasuk dalam masalah

bullying. Belum tentu perilaku bullying bagi seseorang dianggap sebagai

perilaku bullying bagi orang lain. Hal tersebut terjadi karena perbedaan pemahaman akan perilaku bullying.

Disebutkan dalam Ponny Retno Astuti (2008: 20-21) ternyata ada dua macam aliran bullying yaitu:

a. Teori yang merujuk bullying pada tindakan agresi reaktif yang dikembangkan oleh Heinemann. Sebagai tindakan agresi reaktif, Heineman menjelaskan bullying sebagai aksi yang dimulai dan dilakukan oleh sebuah kelompok. Aksi ini terjadi secara mendadak,


(32)

16

sebagai tindakan reaktif yang dilakukan oleh sekelompok anak atau orang untuk secara mendadak atas perlakuan atau gangguan lain kepada anggota kelompoknya.

b. Teori yang merujuk pada tindakan agresi proaktif yang dikembangkan Olweus. Tindakan secara proaktif ini bersifat lebih luas, yakni tindakan yang dilakukan sengaja untuk maksud tertentu, sebagai motivasi atau hukuman pada korbannya untuk mendapatkan balasan.

Banyak pakar memasukan berbagai elemen untuk mendefinisikan perilaku bullying. Quistgaard, 2009, Craig & Pepler, 1999 (dalam Husmiati Yusuf dan Adi Fahrudin, 2012: 2) menyebutkan elemen dari perilaku bullying adalah sebagai berikut:

a. Perilaku bullying melibatkan ketidakseimbangan kuasa. Pelaku biasanya mempunyai kuasa lebih seperti faktor umur, ukuran badan, dukungan rekan sebaya, atau mempunyai status yang lebih tinggi. b. Perilaku bullying merupakan aktivitas yang diulang-ulang dan korban

lazimnya disisihkan dalam keadaan yang kronik.

c. Perilaku bullying dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti korban. d. Yang termasuk perilaku bullying diantaranya agresivitas fisik,

penghinaan lisan, penyebaran fitnah (gosip), dan ancaman penyisihan dari kelompok sebaya.


(33)

17

Sementara itu Ponny Retno Astuti (2008: 56) menyebutkan ada beberapa karakter yang menunjukkan bullying, yakni:

a. Perilaku melecehkan, mengancam, dan menyakiti korban yang dilakukan secara langsung dan sistematik.

b. Perilaku menyebabkan rasa takut pada korban.

c. Perbuatan dilakukan berdasarkan ketidakseimbangan atau penyalahgunaan kekuasaan.

d. Perbuatan, umumnya selalu mengambil tempat menurut kepentingan kelompok (pelaku).

Pada umumnya bullying banyak terjadi di lingkungan sekolah yang menurut Rigby (dalam Ponny Retno Astuti, 2008: 8) memiliki karakteristik terintegrasi sebagai berikut:

a. Ada perilaku agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya.

b. Tindakan dilakukan secara tidak seimbang sehingga membuat korbannya merasa tertekan.

c. Perilaku dilakukan secara berulang-ulang atau terus-menerus.

Selanjutnya Wiyani (dalam Gerda Akbar, 2013: 27) menyebutkan bahwa sebuah perilaku dapat dikatakan sebagai tindakan bullying apabila: a. Ada perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban, seorang pelaku

biasanya merupakan seseorang yang lebih dominan dari segi fisik maupun mentalnya dibandingkan dengan orang yang merasa dirinya lemah atau dianggap lemah oleh orang lain.


(34)

18

b. Ada niat untuk menimbulkan penderitaan atau rasa sakit korban, para pelaku bullying memiliki perasaan acuh, cuek atau tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan orang lain, ia menyakiti orang lain agar kekuatan yang dimilikinya mendapat pengakuan oleh korban ataupun orang-orang disekitarnya.

c. Perilaku dilakukan berulang kali, setelah melakukan tindakan bullying kepada korbannya para pelaku merasakan kenikmatan batin tersendiri yang membuatnya merasa puas dan bangga terhadap kekuatan yang ia miliki sehingga pelaku termotivasi melakukan tindakan agresifnya berulangkali agar dapat merasakan kebanggan tersebut terus-menerus.

Adapun menurut Elizabeth A. Barton (2003: 1) perilaku dapat disebut

bullying jika mencakup karakteristik sebagai berikut:

a. Bullying is intentional aggression that may be physical, verbal, or

more indirect (relational).

b. Bullying exposed victims to repeated aggression over an axtended

periode of time.

c. Bullying occurs within an interpersonal relationship characterized by

a real or perceived imbalance of power. Such power may originate from physical size or strength, or from psychological power, with children who have great peer influence exhibiting greater power in bully-victim relationship.

Maksud dari karakteristik bullying menurut Elizabeth A. Barton tersebut yaitu:

a. Bullying adalah agresi yang disengaja yang mungkin secara fisik,

verbal, atau tidak langsung (relasional).


(35)

19

c. Bullying terjadi dalam hubungan interpersonal yang ditandai dengan

ketidakseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat berasal dari ukuran fisik atau dari kekuatan psikologis, serta anak-anak yang memiliki pengaruh besar terhadap teman sebaya dengan menunjukkan kekuatannya yang lebih antara hubungan pelaku dan korban.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bullying meliputi garis besar diantaranya yaitu adanya ketidakseimbangan kekuasaan, dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga berjangka waktu lama, bertujuan menyakiti orang lain, menimbulkan dampak negatif bagi korban, serta dapat dilakukan secara fisik, verbal, maupun psikologis.

3. Bentuk-bentuk Bullying

Perilaku bullying merupakan gabungan berbagai tingkah laku yang luas sehingga tidak mengherankan jika memunculkan berbagai bentuk dan wujudnya yang beraneka ragam. Dijelaskan Murphy (dalam Nurul Hidayati, 2012: 43) bullying yang banyak dipahami masyarakat adalah bentuk direct bullying, yakni ketika seorang anak diolok-olok, diganggu, ataupun dipukul oleh anak lain. Bullying yang bersifat langsung ini dapat bersifat verbal ataupun fisik. Sedangkan indirect bullying adalah jenis

bullying yang lebih tidak kasat mata namun dampaknya sama buruknya

bagi korban. Bullying jenis ini juga dikenal dengan istilah relational

bullying atau social bullying. Jenis bullying yang lain terkait dengan

penggunaan media internet disebut dengan cyberbullying. Indikator dari


(36)

20

memperoleh ancaman dari orang lain melalui media internet atau penggunaan teknologi semisal telepon seluler.

Sementara itu berkaitan dengan gender, anak laki-laki ternyata lebih banyak melakukan bullying fisik dibandingkan anak perempuan. Pada umumnya anak perempuan lebih senang menggunakan bullying berbentuk verbal atau relasional (Barbara Krahe, 2005: 201).

Selanjutnya Sejiwa (2008: 2-4) mengelompokkan bullying ke dalam tiga kategori yaitu:

a. Bullying Fisik

Merupakan jenis bullying yang dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya sehingga setiap orang pun bisa melihatnya. Yang termasuk dalam

bullying fisik ini diantaranya menampar, menjegal, meludahi,

memalak, melempar dengan barang, dan menghukum dengan cara

push up.

b. Bullying Verbal

Merupakan jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena karena bisa tertangkap oleh indera pendengaran kita. Contoh bullying verbal yaitu diantaranya menjuluki, menuduh, menyoraki, menebar gossip, dan memfitnah.

c. Bullying Mental atau Psikologis

Merupakan jenis bullying yang paling berbahaya karena dilakukan secara diam-diam sehingga tidak tertangkap mata atau telinga kita jika


(37)

21

kita tidak cukup awas mendeteksinya. Memandang sinis, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, mempermalukan, dan mencibir adalah contoh wujud bullying mental atau psikologis.

Ponny Retno Astuti (2008: 22) pun turut menggolongkan perilaku

bullying ke dalam kelompok sebagai berikut:

a. Bullying Fisik

Contoh dari bullying fisik ini diantaranya menggigit, menarik rambut, memukul, menedang, mengunci, merusak kepemilikan (properti) korban, penggunaan senjata, dan perbuatan kriminal.

b. Bullying Non-Fisik

Bullying non-fisik ini terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal.

1) Verbal

Contoh dari bullying verbal ini diantaranya panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, berkata kotor pada korban, menyebarkan kejelekan korban. 2) Non-Verbal

Bullying non-verbal ini terbagi berdasarkan interaksinya

yaitu, secara langsung dan tidak langsung. a) Tidak Langsung

Contohnya manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, dan mengirim pesan menghasut.


(38)

22 b) Langsung

Contohnya gerakan dan ekspresi (tangan, kaki, muka atau anggota badan lain) kasar atau mengancam, menggeram, menakuti.

Kemudian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (dalam Levianti, 2008: 4) menyatakan bahwa bentuk-bentuk bullying ke dalam lima kategori yaitu: a. Kontak fisik langsung

Contohnya memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.

b. Kontak verbal langsung

Contohnya mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.

c. Perilaku non-verbal langsung

Contohnya melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.


(39)

23 d. Perilaku non-verbal tidak langsung

Contohnya mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

e. Pelecehan seksual

Bullying kategori ini kadang dikategorikan perilaku agresi fisik

atau verbal.

Sementara itu menurut Wiyani (dalam Gerda Akbar, 2013: 27) disebutkan bahwa terdapat empat bentuk bullying, yaitu:

a. Lisan, misalnya memberi julukan, menggoda, mengejek, menghina, mengancam.

b. Fisik, misalnya memukul, menendang.

c. Sosial, misalnya mengabaikan, tidak mengajak berteman, memberi isyarat yang tidak sopan.

d. Psikologis, misalnya menyebarkan desas-desus, dirty looks (pandangan yang menunjukkan rasa tidak senang, kebencian atau kemarahan), menyembunyikan atau merusak barang, pesan jahat lewat SMS dan email, penggunaan ponsel kamera yang tidak patut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk

bullying secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk

yaitu bullying fisik, bullying verbal, bullying psikologis, dan cyberbullying.


(40)

24

B. Program Antibullying

1. Kebijakan Antibullying

Melihat banyaknya kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Beberapa sekolah memutuskan untuk mengambil kebijakan antibullying di sekolahnya. Kebijakan tidak muncul begitu saja, tetapi melalui beberapa proses pengembangan. Ken Rigby (2001: 27) menyebutkan langkah-langkah untuk mengembangkan kebijakan antibullying meliputi:

a. Mengadakan pertemuan dengan staf sekolah. Di dalam pertemuan tersebut, disajikan presentasi tentang penemuan perilaku dan kasus

bullying yang terjadi di sekolah serta hasil kuesioner bullying yang

telah dibagikan ke warga sekolah.

b. Membuat penggunaan yang tepat dari informasi yang diberikan oleh staf, orang tua, dan juga siswa.

c. Membahas implikasi dari temuan dan menyoroti kebutuhan seluruh sekolah.

d. Merumuskan rancangan program antibullying sekolah ditujukan untuk kelompok yang dipilih. Kelompok ini dapat dimanfaatkan untuk menambah anggota atas persetujuan anggota lain yang merupakan perwakilan siswa dan orang tua.

e. Memastikan bahwa draft program diperiksa oleh semua pihak yang berkepentingan dan jika perlu direvisi. Agar menjadi efektif, program harus secara luas didukung oleh siswa, guru dan orang tua.


(41)

25

Sedangkan menurut Susan M. Swearer, Susan P. Limber, dan Rebecca Alley (2009: 41-49) mengembangkan kebijakan antibullying melalui beberapa langkah yaitu:

a. Menentukan perilaku bullying.

b. Menyesuaikan kebijakan yang telah ada. c. Memperjelas aturan-aturan pelaporan insiden. d. Menindaklanjuti investigasi dan tindakan disiplin. e. Memberi bantuan untuk korban bullying.

f. Memberikan pelatihan dan prosedur pencegahan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengembangkan kebijakan antibullying dapat dilakukan melalui beberapa langkah atau proses hingga terbentuklah suatu kebijakan yang siap untuk dilaksanakan.

Adapun kebijakan antibullying mulai gencar muncul berawal dari banyaknya perilaku kekerasan yang terjadi di berbagai sekolah negara-negara di Eropa pada abad ke-19. Kekerasan tersebut muncul karena berbagai faktor seperti faktor kepribadian, keluarga, hubungan teman sebaya, dan juga pengalaman siswa akan tindak kekerasan tersebut, baik itu sebagai korban, pelaku, ataupun justru keduanya.

Kebijakan antibullying semakin gencar ketika terjadinya bunuh diri tiga anak laki-laki korban bullying di Norwegia. Semenjak itu, mulai bermunculan berbagai program antibullying di berbagai negara untuk mengatasi perilaku bullying. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program


(42)

26

antibullying dapat mengurangi perilaku bullying. Namun,

program-program tersebut pengimplementasiannya masih bersifat umum dan memiliki elemen-elemen yang berbeda. Oleh karena itu, sulit untuk mengidentifikasi elemen-elemen penting atau menentukan program mana yang paling efektif dalam program antibullying (Ken Rigby, Peter K. Smith, dan Debra Pepler, 2004: 1-2).

Sekolah dapat membuat beberapa kebijakan untuk mengatasi bullying. Berikut merupakan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan sekolah untuk mengatasi bullying menurut Jennifer Thomson (2011: 62):

a. Meningkatkan pengawasan di daerah-daerah di mana pelaku berkemungkinan melakukan penyerangan. Beberapa sekolah mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menempatkan guru bertugas mengawasi siswa di daerah-daerah tersebut.

b. Mengawasi pelaku.

c. Pemanggilan pelaku dan orang tua pelaku ke sekolah. Pemanggilan biasanya terjadi setelah ada surat dari sekolah yang dikirim ke orang tua pelaku.

d. Memberikan sanksi yang tegas untuk pelaku. Sanksi mencakup rincian dari setiap tindakan yang akan diambil jika bullying dari sesama siswa tidak berhenti.

e. Pertanggungjawaban pelaku untuk menjelaskan perbuatannya kepada orang dewasa lainnya. Dengan pertanggungjawaban ini harapannya


(43)

27

pelaku menjadi malu akan tindakannya dan memberhentikan perbuatannya.

f. Penahanan.

g. Melakukan pengecualian secara internal di sekolah.

h. Skorsing dari sekolah untuk beberapa waktu.

i. Drop out. Langkah ini dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk

kasus yang ekstrim.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan

antibullying meliputi diantaranya meningkatkan pengawasan di

daerah-daerah rawan bullying, mengawasi siswa yang memiliki kecenderungan untuk melakukan bullying, pemanggilan pelaku dan orang tua pelaku ke sekolah, memberikan sanksi yang tegas untuk pelaku, pertanggungjawaban penjelasan dari pelaku, penahanan, sanksi sosial dari sekolah kepada pelaku, skorsing, dan drop out.

2. Pengertian Program Antibullying

Munculnya suatu program tidak lepas dari suatu kebijakan. Suatu situasi atau keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya suatu program yang diawali dari sebuah kebijakan. Sonia Sharp dan David Thomson (2003: 23) mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan tentang tujuan yang memandu tindakan dan organisasi dalam sekolah. Dalam hal ini, tujuan sekolah adalah memerangi perilaku bullying. Maka dari itu, kebijakan disini haruslah memuat satu set aturan yang yang jelas yang


(44)

28

telah disepakati siswa, staf, dan orang tua dengan satu pemahaman dan komitmen untuk memerangi bullying.

Kebijakan tersebut nantinya dapat diimplementasikan di sekolah dalam wujud suatu program. Melalui program, para guru dan staf dapat melakukan pendekatan dan mengajarkan nilai-nilai di sekolah. Pengertian program menurut Charles O. Jones (1996: 294) adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Dalam pengertian tersebut tersirat bahwa program adalah penjabaran langkah-langkah untuk mencapai tujuan itu sendiri.

Seperti kita ketahui, bahwa bullying banyak terjadi di lingkungan sekolah. Maka dari itu perlu usaha dari sekolah untuk memerangi perilaku

bullying tersebut. Usaha tersebut sering disebut dengan antibullying.

Pelaksanaan antibullying dapat dituangkan dalam berbagai kegiatan dan aktivitas yang sifatnya bisa berupa tindakan pencegahan (prevention) ataupun penanganan (intervention). Berbagai kegiatan dan aktivitas tersebut dapat terangkum menjadi sebuah program, yaitu program

antibullying. Melalui program antibullying diharapkan masalah bullying

yang menyangkut pelaku ataupun korban dapat berkurang dan selanjutnya dapat tuntas sepenuhnya, baik itu yang ada di dalam ataupun di luar lingkungan sekolah untuk mencegah perkembangan masalah baru. Hal tersebut sesuai dengan tujuan program intervensi menurut Dan Olweus (1993: 65):

“The major goal of the intervention program are to reduce as much as possible – ideally to eliminate completely – existing bully/victim problems in and out of the school setting and to prevent the development of new problems.”


(45)

29

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa program antibullying adalah seperangkat cara-cara yang tertuang dalam berbagai kegiatan (aktivitas) bertujuan untuk mencegah dan mengatasi bullying sehingga masalah bullying dapat terselesaikan dan tidak timbul masalah yang baru.

3. Aktivitas-aktivitas dalam Program Antibullying

Setelah program antibullying tersusun dan disosialisasikan, langkah selanjutnya yaitu mengimplementasikannya. Implementasi program

antibullying dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Sejiwa (2008:

84-88) menjelaskan berbagai aktivitas dalam program antibullying diantaranya:

a. Hari atau Pekan Antibullying

Hari atau pekan antibullying merupakan strategi yang baik untuk mengawali aksi dari seluruh kegiatan sekolah. Tujuan khusus dari program ini adalah untuk mendorong rasa tanggung jawab pada siswa dengan cara melibatkannya dalam penyusunan kegiatan sehingga siswa pun akan belajar bertanggung jawab atas perilakunya.

b. Poster

Poster dapat menyampaikan pesan dari apa yang ditampilkannya, terlebih jika dikemas dengan visual yang menarik membuat pesan dapat diterima sangat baik oleh penikmat poster. Poster alangkah baiknya jika ditempatkan di tempat yang strategis untuk dapat dilihat orang setiap harinya. Manfaat lain poster dalam kegiatan antibullying yaitu sebagai media pengingat secara kontinu bagi semua pihak


(46)

30

berkaitan usaha mengatasi bullying. Melibatkan siswa dalam proses produksi dan desain poster akan mendukung pemahaman dan keterlibatan siswa dalam program antibullying sehingga harapannya siswa menjadi lebih bertanggung jawab dalam pelaksanaan program

antibullying.

c. Pembentukan Dewan Pengawas

Merupakan strategi yang proaktif dalam mengawali aksi dari seluruh sekolah. Pembentukan dewan ini mempertegas bahwa bullying perlu diatasi. Tugas dewan pengawas adalah memantau sejauh mana

bullying dapat dicegah. Di dalam forum dapat menjadi wadah untuk

mendiskusikan aksi-aksi nyata untuk mengatasi bullying yang terjadi. d. Pertemuan dan Pelatihan untuk Keluarga

Tujuan dari kegiatan ini adalah mendapatkan peran seluas-luasnya dari semua pihak agar dapat terlibat dalam kampanye

antibullying. Diskusi dan penjelasan akan cara-cara mengatasi bullying

perlu dilakukan untuk menghindarkan bullying yang semakin merajalela.

e. Penggunaan Kurikulum

Banyak bagian dari kurikulum yang dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi keterampilan-keterampilan pokok, pengetahuan, pemahaman, dan nilai-nilai sehingga siswa dapat menghindari bullying dan memperkecil kemungkinannya untuk melakukan bullying terhadap orang lain. Penyusunan kurikulum yang tepat akan dapat menutup


(47)

31

ruang terjadiya bullying di sekolah. Kurikulum yang efektif harus dapat menyediakan persepsi yang sama sehingga dapat dijadikan landasan bertindak.

f. Penggunaan Kurikulum Informal

Kurikulum informal digunakan untuk mendukung implementasi dari kurikulum yang antibullying agar menjadi lebih efektif. Kegiatan-kegiatan dalam kurikulum informal ini contohnya Kegiatan-kegiatan-Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, kesenian, peringatan hari besar yang melibatkan siswa dan seluruh warga sekolah untuk bertindak secara kolektif.

g. Perbaikan Lingkungan

Sekolah perlu membuat strategi untuk daerah-daerah rawan tempat terjadinya bullying. Daerah-daerah rawan tersebut dapat menjadi sasaran yang tepat untuk sasaran perbaikan lingkungan sehingga nilai-nilai keluhuran dapat terjaga dan rasa aman serta harga diri siswa dapat terlindungi dengan baik. Perbaikan lingkungan juga dapat berarti menciptakan suasana yang positif sehingga nilai-nilai keluhuran dan rasa aman serta harga diri siswa dapat terlindungi dengan baik.

h. Circle Time

Circle time adalah kegiatan kelompok yang dilakukan oleh

sejumlah orang yang terdiri atas orang dewasa dan anak, duduk bersama dengan tujuan untuk membangun pemahaman bersama. Orang dewasa yang terlibat dalam kegiatan circle time yaitu guru dan atau


(48)

32

narasumber yang sengaja didatangkan untuk berdiskusi dengan anak berdasarkan topik tertentu. Circle time dapat membantu para siswa dalam pengembangan keahlian seperti mendengarkan dan berempati. Hal ini dapat meningkatkan rasa hormat terhadap orang lain dan juga harga diri. Di dalam forum akan didiskusikan segala hal yang berkaitan dengan bullying dan siswa berkesempatan untuk mengambil alih kepemilikan akan aturan-aturan berperilaku seperti mendiskusikan nilai-nilai yang mereka junjung bersama, hal-hal yang mereka inginkan dan tidak inginkan. Contohnya sikap-sikap orang lain yang mereka inginkan dalam memperlakukuan mereka.

i. Support Group

Keterlibatan orang dewasa dan anak-anak dalam komunitas seharusnya menjadi bagian dari program sekolah dalam mengatasi

bullying. Pembentukan dukungan teman sebaya akan efektif karena

tidak ada kecanggungan antara siswa sehingga anak yang bersangkutan lebih terbuka dan pendekatan yang digunakan pun lebih dapat diterima.

Sementara itu di luar negeri terdapat program antibullying yang banyak diterapkan di berbagai negara yaitu Olweus Bullying Prevention

Program (OBPP). Berikut adalah aktivitas-aktivitas OBPP menurut Dan

Olweus dan Susan P. Limber (2009: 380):

a. School-Level Components (Komponen Tingkat Sekolah)

1) Establish a Bullying Prevention Coordinating Committee


(49)

33

Komite koordinasi pencegahan bullying adalah panitia yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua komponen program diimplementasikan di sekolah. Komite koordinasi pencegahan bullying biasanya terdiri dari 8-15 anggota yang merupakan perwakilan dari admin sekolah, guru dari masing-masing tingkat kelas, konselor sekolah, staf (sopir bus/pekerja kantin), orang tua, komunitas (pemimpin masyarakat), dan personel sekolah lainnya dengan keahlian tertentu (psikolog, praktisi kesehatan). Apabila diperlukan, satu atau dua siswa boleh juga bergabung di komite yang biasanya merupakan perwakilan dari tiap jenjang sekolah.

Komite bertanggung jawab untuk menghadiri pelatihan 2 hari intensif yang diberikan pelatih; mengembangkan rencana untuk pelaksanaan program di sekolah; mensosialisasikan rencana kepada staf, orang tua, dan siswa; mengkoordinasikan program pencegahan/intervensi lainnya; mendapatkan umpan balik yang berkelanjutan dari staf, orang tua, dan siswa tentang pelaksanaan program dan membuat penyesuaian untuk rencana sekolah yang diperlukan; serta mensosialisasikan program kepada masyarakat yang lebih luas. Komite harus mengadakan pertemuan secara teratur, setidaknya satu bulan sekali untuk tahun pertama program.


(50)

34

2) Conduct committee and staff trainings (Melakukan pelatihan komite

dan staf)

Selain pelatihan 2 hari yang diberikan kepada anggota komite koordinasi pencegahan bullying, seorang pelatih juga memberikan minimal 1 tahun pelatihan atau konsultasi telepon kepada orang-orang di sekolah tersebut untuk membantu memastikan kontinuitas program dan memecahkan masalah ketika diperlukan. Anggota komite koordinasi pencegahan bullying (dapat dengan bantuan dari pelatih) memberikan sehari penuh pelatihan untuk semua staf sekolah sebelum meluncurkan program. Pelatihan tambahan biasanya dilakukan dengan memberikan perhatian lebih intensif terhadap topik tertentu dan dapat juga diselenggarakan semacam pelatihan catch-up tahunan bagi pegawai baru.

3) Administer the Olweus Bullying Questionnaire schoolwide

(Mengelola angket tentang perilaku bullying di sekolah)

Angket digunakan untuk menilai pengalaman dan sikap siswa tentang bullying. Angket biasanya dibagikan sebelum pelaksanaan program dan diisi tanpa menyebutkan identitas. Selain itu pembagian angket juga dapat dilaksanakan secara teratur berkala untuk pelaksanaan ke depannya. Angket mencakup definisi rinci

bullying sehingga dapat mengungkapkan frekuensi pengalaman

dan keterlibatan siswa dalam perilaku bullying yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Sekolah menggunakan hasil dari survei


(51)

35

untuk membantu meningkatkan kesadaran di kalangan siswa, staf, dan orang tua tentang masalah bullying; membuat rencana spesifik untuk pelaksanaan program; dan menilai perubahan dari waktu ke waktu.

4) Hold staff discussion group meetings (Mengadakan pertemuan

kelompok diskusi staf)

Pertemuan kelompok diskusi merupakan kelompok guru dan staf sekolah lainnya yang bertemu untuk mempelajari dan berdiskusi secara mendalam tentang program serta merefleksikan tentang bullying dengan segala upaya pencegahannya di sekolah. Kelompok ini biasanya terdiri dari tidak lebih dari 15 personil dan dipimpin oleh anggota dari komite koordinasi pencegahan bullying. Kelompok ini dianjurkan untuk bertemu setidaknya sekali per bulan untuk tahun pertama program.

5) Introduce the school rules against bullying (Memperkenalkan

peraturan antibullying sekolah)

Sekolah diminta untuk mengadopsi empat spesifik aturan tentang bullying, yaitu diantaranya:

a. Kami tidak akan membuli orang lain.

b. Kami akan mencoba untuk membantu siswa yang dibuli. c. Kami akan mencoba untuk merangkul siswa yang dikucilkan.


(52)

36

d. Jika kami mengetahui seseorang sedang diganggu, kami akan memberitahu orang dewasa di sekolah dan orang dewasa di rumah.

Aturan ini disosialisasikan ke seluruh warga sekolah dan didiskusikan dengan siswa dan orang tua. Guru dan staf lainnya diajarkan bagaimana menerapkan konsekuensi positif dan negatif yang konsisten untuk memperkuat aturan-aturan ini.

6) Review and refine the school’s supervisory system (Evaluasi dan

perbaikan sistem pengawasan sekolah)

Di setiap kegiatan sekolah, komite koordinasi pencegahan

bullying membentuk sistem pengawasan dengan tujuan

mengurangi perilaku bullying. Kegiatan ini termasuk menentukan "hot spot" terjadinya bullying berdasarkan hasil angket. Mengembangkan strategi untuk meningkatkan pengawasan dan kesamaan pandangan tentang "hot spot" dapat dilakukan dengan mengembangkan pelacakan dan pelaporan bullying, menilai sikap dan keterampilan orang dewasa yang mengawasi, dan mengevaluasi desain fisik sekolah untuk mengurangi bullying.

7) Hold a school kick-off event to launch the program (Mengadakan

sebuah acara kick-off sekolah untuk memperkenalkan program) Acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran tentang

bullying, memperkenalkan program kepada siswa, memperjelas


(53)

37

Sekolah dianjurkan untuk mengadakan kick-off setiap tahun berikutnya untuk memperkenalkan program kepada siswa baru dan mengingatkan kembali siswa tentang upaya sekolah untuk mencegah bullying.

8) Involve parents (Keterlibatan orang tua)

Orang tua dipandang sebagai mitra penting dalam mencegah dan intervensi bullying. Dalam pelaksanaan program orang tua dapat berpartisipasi dalam berbagai cara, termasuk sebagai koordinasi panitia di sekolah, menghadiri acara di hari libur sekolah, pertemuan orang tua seluruh sekolah, menerima informasi secara teratur tentang bullying dan program melalui brosur,

newsletter, peristiwa, dan papan buletin online.

b. Classroom-Level Components (Komponen Tingkat Kelas)

a. Post and enforce schoolwide rules against bullying (Pembuatan

dan penegakan aturan antibullying kelas)

Guru membahas secara rinci dengan siswa (misalnya dalam pertemuan kelas) seluruh aturan sekolah tentang bullying. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan di setiap kelas agar siswa tahu dan berlaku bagi siswa segala konsekuensi positif negatif dari aturan tersebut. Seperangkat aturan ini memberikan sinyal kepada siswa, orang tua dan lain-lain bahwa sekolah memiliki kebijakan terpadu dan terkoordinasi terhadap bullying. Aturan ini harus menjadi bagian independen dari kebijakan disiplin sekolah.


(54)

38

b. Hold regular class meetings (Mengadakan pertemuan kelas secara

rutin)

Pertemuan rutin kelas yang dilakukan per minggu dimana guru dan siswa mendiskusikan bullying dan isu-isu terkait. Tujuan dari pertemuan kelas adalah membangun kohesi antara kelas dan masyarakat, membahas aturan tentang bullying dan segala konsekuensi positif negatifnya jika mengikuti atau tidak mengikuti aturan, membantu siswa memahami peran mereka dalam mencegah dan menghentikan bullying, serta memecahkan masalah strategi untuk mengatasi bullying. Bagian dari pertemuan ini, siswa terlibat dalam role-playing, yang bertujuan untuk membantu membangun empati, menghasilkan solusi yang mungkin untuk situasi bullying, dan praktek tindakan positif untuk mengambil ketika dihadapkan dengan bullying.

c. Hold meetings with students parents (Mengadakan pertemuan

dengan orang tua siswa)

Dalam pengaturan ruang kelas, guru didorong untuk mengadakan beberapa pertemuan tingkat kelas dengan orang tua untuk membahas program. Tujuan dari pertemuan ini adalah membantu orang tua memahami masalah yang terkait dengan

bullying dan cara-cara sekolah mengatasi bullying melalui


(55)

39

dalam program. Pertemuan kelas dengan orang tua mungkin juga membantu untuk membangun hubungan dengan guru dan membangun hubungan antar orang tua siswa dalam kelas.

c. Individual-Level Components (Komponen Tingkat Individu)

1) Supervise students activities (Mengawasi kegiatan siswa)

2) Ensure that all staff intervene on the spot when bullying occurs

(Penanganan langsung dari staf saat bullying terjadi)

3) Conduct serious talks with students involved in bullying

(Melakukan pembicaraan yang serius dengan siswa yang terlibat

bullying)

4) Conduct serious talks with parents of involved students

(Melakukan pembicaraan serius dengan orang tua siswa yang terlibat bullying)

5) Develop individual intervention plans for involved students

(Mengembangkan rencana penanganan individu bagi siswa yang terlibat bullying)

Ada beberapa komponen program di tingkat individu. Pertama, staf didorong untuk meningkatkan pengawasan siswa, khususnya di daerah yang dikenal sebagai "hot spot" untuk bullying, terutama bagi siswa yang diketahui atau diduga terlibat dalam bullying. Kedua, semua staf dilatih untuk langsung melakukan penanganan di tempat kejadian setiap kali mereka melihat bullying. Prosedur spesifik juga telah dikembangkan untuk memandu staf bereaksi ketika


(56)

40

pengganggu/korban telah teridentifikasi. Prosedur ini termasuk pembicaraan serius dengan korban, pelaku, dan juga orang tua masing-masing. Sebuah pesan yang jelas dikomunikasikan bahwa bullying akan berhenti bahwa situasi akan diawasi secara ketat. Di beberapa sekolah, pertemuan ini dilakukan oleh konselor atau admin sekolah, tetapi sedapat mungkin, dianjurkan pertemuan dipimpin oleh guru utama anak-anak atau anggota staf dengan hubungan yang paling dekat dengan siswa yang terlibat. Terakhir, sekolah didorong untuk bekerja dengan orang tua dan profesional kesehatan mental untuk mengembangkan rencana individual, dimana sangat tepat untuk memberikan dukungan dan bantuan lainnya untuk korban dan pelaku.

d. Community-Level Components (Komponen Tingkat Masyarakat)

1) Involve community members on the Bullying Prevention

Coordinating Committee (Melibatkan anggota masyarakat di

komite koordinasi pencegahan bullying)

2) Develop partnerships with community members to support your

school’s program (Mengembangkan kemitraan/kerjasama dengan

anggota masyarakat untuk mendukung program sekolah)

3) Help to spread anti-bullying messages and principles of best

practice in the community (Membantu menyebarkan pesan-pesan

antibullying dan prinsip-prinsip pelaksanaannya dalam masyarakat)

Menyadari bahwa bullying tidak berhenti di tingkat sekolah, anggota komite didorong untuk melibatkan satu atau anggota


(57)

41

masyarakat untuk ikut serta ke dalam komite koordinasi pencegahan

bullying. Mereka mencari cara-cara yang sekiranya anggota

masyarakat dapat mendukung program pencegahan bullying sekolah, dan bekerja sama untuk menyebar pesan pencegahan bullying dan strategi di luar sekolah ke masyarakat.

Beberapa aktivitas program antibullying tersebut dapat juga digunakan sekolah sebagai strategi untuk mencegah atau mengatasi bullying seperti yang dilakukan Art Putney Academy (Artputney.org). Berikut adalah beberapa aktivitas yang tidak lain merupakan strategi proaktif sekolah untuk mencegah bullying, yaitu meliputi:

a. Kepemimpinan sekolah yang efektif untuk menggalakan semangat

antibullying yang terbuka dan jujur.

b. Penggunaan kurikulum, yang dapat dimanfaatkan guru untuk membahas isu-isu keragaman dan pesan antibullying dalam waktu tertentu.

c. Pemanfaatan dari kalender akademik sekolah, dimana pada waktu tertentu sekolah dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kesadaran akan konsekuensi negatif bullying misalnya pada pekan

antibullying setiap tahunnya.

d. Assembly sekolah secara keseluruhan.

e. Survei siswa.

f. Kampanye melalui poster.


(58)

42

h. Peer support beserta struktur anggotanya.

i. Pelatihan ketegasan.

j. Evaluasi staf secara umum dan khusus untuk melanjutkan pengembangan profesional.

k. Pelatihan kepada staf tentang kebijakan antibullying yang disertai praktek pelaksanaannya.

Adapun berdasarkan situs website pemerintah Amerika, cara terbaik untuk mengatasi bullying adalah untuk menghentikannya sebelum dimulai (Stopbullying.org). Ada sejumlah hal yang dapat dilakukan staf sekolah untuk membuat sekolah yang lebih aman dan mencegah bullying yaitu diantaranya:

a. Menilai bullying di sekolah anda

Lakukan penelitian di sekolah Anda untuk menentukan seberapa sering bullying terjadi, di mana hal itu terjadi, bagaimana siswa dan orang dewasa campur tangan, dan apakah upaya pencegahan yang akan Anda lakukan bekerja.

b. Keterlibatan orang tua dan remaja

Hal ini penting bagi semua orang di masyarakat untuk bekerja sama dan bersatu dalam upaya melawan bullying. Meluncurkan kampanye bertujuan agar warga sekolah, orang tua, dan masyarakat memiliki kesadaran akan upaya melawan bullying. Selain itu juga dapat dilakukan pembentukan komite keamanan sekolah atau satuan


(59)

43

tugas untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pencegahan bullying di sekolah.

c. Buat kebijakan dan aturan

Membuat dan mensosialisasikan misi, kode etik, peraturan sekolah, dan sistem pelaporan bullying. Hal ini akan menciptakan iklim bahwa bullying tidak dapat diterima.

d. Membangun lingkungan aman

Membentuk budaya sekolah yang saling menghargai, toleransi dan menghormati. Membangun iklim positif di sekolah dapat dilakukan melalui rapat staf, majelis, pertemuan kelas dan orang tua, newsletter keluarga, website sekolah, dan buku pegangan siswa. Selain itu dapat dilakukan juga dengan memperkuat interaksi sosial yang positif dan inklusif.

e. Mendidik siswa dan staf sekolah

Membangun materi pencegahan intimidasi ke dalam kegiatan kurikulum dan sekolah. Melatih para guru dan staf akan aturan dan kebijakan sekolah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan memberikan keterampilan untuk campur tangan secara konsisten dan tepat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas dalam program antibullying merupakan beberapa tindakan atau kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi perilaku bullying ataupun menanamkan nilai antibullying. Kegiatan-kegiatan ini dapat berkembang


(60)

44

dan bervariasi menyesuaikan dengan kebutuhan dan kebijakan masing-masing tempat atau sekolah.

4. Peran Berbagai Pihak dalam Program Antibullying

Program antibullying ini tidak akan berjalan baik tanpa turut serta berbagai pihak yang terkait. Maka dari itu diharapkan peran serta berbagai pihak yang terkait yaitu yang meliputi diantaranya kepala sekolah, guru, komite sekolah, staf sekolah, lingkungan sekitar sekolah, dan media. Dengan kerjasama berbagai pihak tersebut harapannya program bisa berjalan lancar dan perilaku bullying dapat tercegah serta teratasi. Sejiwa (2008: 69-78) memaparkan peran serta dari berbagai pihak dalam program

antibullying sebagai berikut:

a. Kepala Sekolah

Peran kepala sekolah dalam kegiatan antibullying ini memiliki sumbangsih yang besar mengingat sekolah sebagai pemimpin sebuah sekolah. Menurut Sejiwa (2008: 37-41) peran kepala sekolah dalam kegiatan antibullying secara garis besar dapat bertindak sebagai inisiator atau penggagas, pendidik, penggerak, dan pengawas. Berkaitan dengan peran tersebut, kepala sekolah perlu mengajak para guru untuk mengurangi kasus-kasus bullying di sekolah, mendorong seluruh guru untuk memahami peran mereka dalam memerangi

bullying, melakukan usaha-usaha pencerahan secara konsisten kepada

warga sekolah serta orang tua mengenai bullying dengan segala seluk beluknya, membentuk sistem antibullying, mengawasi usaha-usaha


(61)

45

memerangi bullying, dan membangun jaringan antibullying dengan berbagai sekolah di sekitarnya maupun komponen-kompenen masyarakat yang dapat diajak serta dalam memerangi bullying.

Kepala sekolah dapat memanfaatkan pertemuan seperti pada saat rapat guru, pertemuan-pertemuan dengan para orang tua, pertemuan dengan komite sekolah, maupun pertemuan dengan murid. Pesan yang ditekankan adalah ajakan untuk mengatasi bullying tanpa melakukan

bullying, serta menciptakan sebuah sekolah yang para warganya saling

menghargai, bertoleransi, bertanggung jawab, bekerjasama, saling percaya, dan empati satu sama lain.

Bila usaha-usaha di atas dilakukan secara konsisten dan mendapat dukungan dari berbagai pihak, maka mewujudkan budaya sekolah yang ramah dan nyaman bagi semua elemen sekolah bukanlah hanya harapan semata.

b. Guru

Peran guru dalam kebijakan ini lebih cenderung ke arah eksekutif atau pelaksana. Guru berperan penting dalam pembentukan peer group

support, yaitu sebuh kelompok yang terdiri dari siswa yang berpotensi

menjadi sahabat untuk mendampingi teman-temannya yang lebih lemah dan perlu pendampingan. Peer group support ini dibentuk berdasarkan pemikiran bahwa anak-anak cenderung dapat lebih terbuka untuk berbagi rasa dengan teman sebayanya daripada dengan


(62)

46

gurunya, sehingga harapannya anak yang mendapat pendampingan tersebut dapat terhindarkan dari perilaku bullying.

Selain itu guru sebagai wali kelas sebaiknya memiliki kemampuan untuk memberikan konseling kepada para siswa yang membutuhkan bantuan, termasuk mengatasi yang terlibat bullying. Guru dapat memberikan konseling misalnya melalui diskusi-diskusi kelompok. Dalam diskusi tersebut guru dapat mengajarkan bagaimana menghargai pendapat teman atau kelompok lain. Selanjutnya jika terdapat kasus yang tidak dapat diatasi wali kelas, maka wali kelas dapat meminta bantuan kepada guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan orang tua.

c. Komite Sekolah

Organisasi orang tua yang telah diakui keberadaannya di sekolah yaitu komite sekolah. Melalui organisasi ini diharapkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah atau praktisi antibullying dapat terjembatani. Keterlibatan orang tua dalam kebijakan yang terintegrasi secara tidak langsung memperkuat kebijakan itu di lingkungan rumah. Orang tua harus menerapkan pola asuh dan cara bersikap yang tepat karena pola asuh dan sikap orang tua berpengaruh ke kepribadian anak dan bagaimana anak bersikap. Selain itu orang tua dapat mengajak anak mendiskusikan kejadian-kejadian atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan anak di sekolah, untuk mencari tahu apakah ada indikasi


(63)

47

terjadinya bullying, sehingga dapat segera dilakukan tindakan yang cepat dan tepat untuk mencegah dampak negatif.

d. Staf Sekolah

Seperti kita ketahui bahwa bullying dapat terjadi di tempat-tempat yang rawan, seperti toilet, kantin, dan lapangan sekolah. Maka dari itu diperlukan peran serta dari staf sekolah untuk ikut membantu guru mengawasi siswa di lingkungan sekolah. Staf sekolah yang melihat terjadinya bullying diharapkan segera mencegah atau melaporkan kepada guru terkait.

e. Lingkungan Sekitar Sekolah

Dalam menetapkan kebijakan antibullying, diperlukan pula kerjasama dari warga masyarakat sekitar sekolah untuk membentuk jaringan di sekitar sekolah. Bentuk kerjasama dengan warga masyarakat yaitu dengan menjadikan warga sebagai penghubung di kemudian hari tentang adanya kasus-kasus bullying di sekolah, dampak-dampaknya dan bagaimana mengatasinya.

f. Media

Media sebagai pemberi informasi bagi masyarakat, maka media dapat melakukan perannya dalam menyampaikan informasi mengenai

bullying. Mensosialisasikan kegiatan-kegiatan antibullying, rubrik

konsultasi tanya jawab sehingga pemahaman masyarakat terhadap


(64)

48

program rehabilitasi bagi korban merupakan beberapa peran media dalam jaringan anti bullying.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan peran berbagai pihak dalam program antibullying melibatkan diantaranya peran dari kepala sekolah, guru, komite sekolah, staf sekolah, lingkungan sekitar sekolah, dan media.

C. Kerangka Berpikir

Pendidikan merupakan suatu bentuk pengembangan potensi peserta didik yang dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis oleh pendidik kepada peserta didik supaya potensi peserta didik dapat terarah dengan baik dan dapat tertanam menjadi kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat bermanfaat dan berperan dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan idealnya tidak hanya mengembangkan potensi peserta didik dalam bidang kognitif, tetapi juga harus seimbang antara kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga bisa menjadi manusia yang utuh. Namun fakta di lapangan, masih banyak pembelajaran di sekolah yang cenderung lebih mengembangkan potensi di bidang kognitif saja. Hal ini berimplikasi pada kurang matangnya kepribadian, kemampuan menghargai, dan toleransi peserta didik. Akibatnya peserta didik kurang dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain dan berpotensi melakukan bullying.

Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi tindakan bullying tersebut. Sekolah sebagai tempat belajar


(65)

49

dan mentransmisikan nilai-nilai yang baik kepada peserta didik sudah seharusnya mengajarkan atau memiliki upaya-upaya khusus untuk mengatasi tindakan bullying, bukan justru berusaha menutupi atau membiarkan tindakan

bullying terjadi begitu saja tanpa penanganan yang berarti.

Upaya-upaya khusus untuk menangani bullying tersebut salah satunya dapat terwujud dalam program antibullying yang bertujuan untuk mengatasi perilaku bullying. SD Tumbuh 2 Yogyakarta merupakan sekolah yang telah memiliki program antibullying. Program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta telah ada semenjak sekolah tersebut berdiri. Program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta terdiri dari berbagai aktivitas yang mengikutsertakan berbagai pihak untuk bekerja secara efisien mengatasi

bullying.

Menjadi sekolah yang memiliki program antibullying merupakan hal yang unik karena masih jarang sekolah di Indonesia yang memiliki atau menerapkannya. Terlebih untuk sekolah inklusi, pasti memberikan tantangan tersendiri dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana implementasi program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.


(66)

50

Gambar 1. Gambar Kerangka Berpikir

D. Kajian yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asdrian Ariesto tahun 2009 dengan judul “Pelaksanaan Program Antibullying Teacher Empowerment

Program (TEP) di Sekolah (Studi Deskriptif Program Teacher Empowerment

Program bagi Guru di SMA “X” Jakarta Selatan) menyebutkan bahwa hasil

penelitian menyarankan agar fasilitator pelatihan juga memberikan pelatihan tersebut kepada para siswa dan orang tua. Selain itu SMA “X” disarankan supaya membentuk suatu support group untuk meminimalisasi gap antar siswa


(67)

51

senior dan junior. Support group yang merupakan salah satu dari aktivitas dalam program antibullying, secara tidak langsung menunjukkan bahwa program antibullying bekerja untuk mengatasi bullying.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Adi Dinardinata tahun 2011 dengan judul “Pengaruh Implementasi The Anti Bullying and Teasing

Program Tema Komunitas oleh Guru dalam Menurunkan Frekuensi Perilaku

Bullying di Kelas Taman Kanak-Kanak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

The Anti Bullying and Teasing Program tema komunitas berpengaruh dalam

menurunkan frekuensi perilaku bullying siswa di kelas.

Berdasarkan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa program antibullying merupakan hal yang penting untuk mengatasi bullying. Program antibullying dapat dilakukan dalam berbagai cara, baik itu yang sifatnya preventif ataupun interventif. Program antibullying dapat ditujukan untuk berbagai pihak, namun tetap satu tujuannya yaitu mengatasi bullying. Maka pada penelitian kali ini yang berjudul “Implementasi Program Antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta” akan mendeskripsikan bagaimana implementasi program

antibullying dengan berbagai macam teknis pelaksanaannya, dengan harapan

akan teridentifikasi bahwa program antibullying benar-benar bekerja baik untuk mengatasi bullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta.


(68)

52

E. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana implementasi aktivitas-aktivitas program antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

a. Bagaimana implementasi poster di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

b. Bagaimana implementasi pembentukan dewan pengawas di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

c. Bagaimana implementasi pertemuan dan pelatihan untuk keluarga di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

d. Bagaimana implementasi penggunaan kurikulum di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

e. Bagaimana implementasi perbaikan lingkungan di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

f. Bagaimana implementasi circle time di SD Tumbuh 2 Yogyakarta? 2. Apa saja kendala dalam implementasi aktivitas-aktivitas program

antibullying di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

a. Apa saja kendala dalam implementasi poster di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

b. Apa saja kendala dalam implementasi pembentukan dewan pengawas di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

c. Apa saja kendala dalam implementasi pertemuan dan pelatihan untuk keluarga di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?

d. Apa saja kendala dalam implementasi penggunaan kurikulum di SD Tumbuh 2 Yogyakarta?


(1)

351

Gambar 13. Pemasangan kata-kata positif di dekat taman sekolah

Gambar 14. Guru mengajak siswa melakukan gerakan senam sederhana sebelum morning carpet


(2)

352

Gambar 16. Brosur SD Tumbuh yang menampilkan antibullying education masuk dalam program tambahan sekolah

Gambar 17. Tata tertib siswa yang salah satunya memuat tentang aturan untuk menghindari kekerasan dan bullying (nomor 7)


(3)

353

Gambar 18. Aturan penegakan disiplin di sekolah yang sejalan dengan nilai-nilai antibullying

Gambar 19. Aturan konsultasi/penyelesaian masalah siswa yang menunjukkan sekolah memberikan perhatian lebih dan mendukung penyelesaian masalah siswa secara damai


(4)

354

Lampiran 13


(5)

(6)