Kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara.

(1)

ABSTRAK

Swastika Adi Wibowo (2007). Kedalaman Komunikasi Interpersonal Anggota dengan Pemimpin Biara dan Kedalaman Modeling Anggota Terhadap Pemimpin Biara. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kedalaman komunikasi interpersonal anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada korelasi positif antara kedalaman komunikasi interpersonal anggota dan pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 66 orang, yakni para novis yang berasal dari berbagai komunitas novisiat di daerah Yogyakarta. Metode pengambilan data dilakukan melalui skala sikap yang dibagikan kepada para subyek. Model skala yang dipakai adalah Interval Tampak Setara. Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian reliabilitas atas skala yang hendak dipakai penelitian. Pengujian tersebut menghasilkan bahwa kedua skala tersebut memiliki reliabilitas skala sebesar 0,7977 untuk skala kedalaman komunikasi interpersonal dan sebesar 0,8309 untuk skala kedalaman modeling. Berdasar dua hal itu, alat ukur penelitian dapat dikatakan reliabel.

Data yang telah terkumpul dianalisis melalui teknik korelasi Product Moment pearson. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa antara kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara memiliki korelasi positif dan signifikan ( rxy = 0,359 ; p<0,01).


(2)

ABSTRACT

Swastika Adi Wibowo (2007). The Depth of Interpersonal Communication of The Member with The Leader of Monastery and The Depth of Modeling of The Member to The Leader of Monastery. Yogyakarta: Faculty of Psychology of The Sanata Dharma University

The objective of this research is to examine the existence of the correlation between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery. The assumption is that there is a positive correlation between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery.

The subjects were 66 novis from 9 novisiat communities around Yogyakarta. Data was taken by attitude scale that given to the subjects. The attitude scale model used was equal appearing interval. Before research was held, researher examined the scale and gained that the scale have reliability 0,7977 for the depth of interpersonal communication scale and 0,8309 for the depth of modeling scale. From this, we could say that both of scales are reliabel.

The data was analyzed by correlation Product Moment Pearson technique. The result shown that between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery have a positive and significant correlation (rxy = 0,359 ; p<0,01).


(3)

KEDALAMAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL

ANTARA ANGGOTA DENGAN PEMIMPIN BIARA DAN

KEDALAMAN MODELING ANGGOTA

TERHADAP PEMIMPIN BIARA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Swastika Adi Wibowo NIM : 029114099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

Motto

Non Mea

sed Tan tum Volun tas Tua

(bukan kehendakku, tetapi hanya kehendak-Mulah yang terjadi)

Semua yang terjadi dalam diriku, serba tak pernah kuduga.

Apa yang kuminta... Engkau tak penuhinya.

Tapi... apa yang tak kuharap dan tak kuminta,

Engkau limpahkan semuanya.

Rahasia Kecil Kebahagiaan

Kebahagiaan datan g kepada m ereka yan g m em berikan cin tan ya secara bebas yan g tidak m em in ta oran g lain

m en cin tai m ereka terlebih dahulu Berm urah hatilah

seperti m en tari yan g m em an carkan sin arn ya tan pa terlebih dahulu bertan ya

apakah oran g-oran g patut m en erim a kehan gatan n ya

.


(7)

Skripsi dengan Judul

KEDALAMAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL

ANTARA ANGGOTA DENGAN PEMIMPIN BIARA DAN

KEDALAMAN MODELING ANGGOTA

TERHADAP PEMIMPIN BIARA

Saya persembahkan kepada

:

 

 

 

My Beloved,

Jesus Christ

Bapak,

H ardoy o

Ibu,

Christiana Sri W ahy uni

Kakak Pertam aku,

Ignatius Yudho Adi R iy aw an

Kakak Keduaku,

Antonius Yanuar Adhi Prasety o

Serta tem an -tem an ku yan g sedan g m en apaki jalan

panggilan Tuhan,

Para Frater Tk VI

di Sem inari Tinggi St. Paulus Kentungan

Semoga gagasan sederhana yang didapat dari penelitian ini

bermanfaat untuk pengolahan hidup

bagi mereka yang memilih hidup secara khusus

dan bagi kehendak Tuhan yang luar biasa.

 

 

 

Tuhan...Mohon

 

berkat

 

bagi

 

mereka

 

semua

 


(8)

(9)

ABSTRAK

Swastika Adi Wibowo (2007). Kedalaman Komunikasi Interpersonal Anggota dengan Pemimpin Biara dan Kedalaman Modeling Anggota Terhadap Pemimpin Biara. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kedalaman komunikasi interpersonal anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada korelasi positif antara kedalaman komunikasi interpersonal anggota dan pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 66 orang, yakni para novis yang berasal dari berbagai komunitas novisiat di daerah Yogyakarta. Metode pengambilan data dilakukan melalui skala sikap yang dibagikan kepada para subyek. Model skala yang dipakai adalah Interval Tampak Setara. Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian reliabilitas atas skala yang hendak dipakai penelitian. Pengujian tersebut menghasilkan bahwa kedua skala tersebut memiliki reliabilitas skala sebesar 0,7977 untuk skala kedalaman komunikasi interpersonal dan sebesar 0,8309 untuk skala kedalaman modeling. Berdasar dua hal itu, alat ukur penelitian dapat dikatakan reliabel.

Data yang telah terkumpul dianalisis melalui teknik korelasi Product Moment pearson. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa antara kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara memiliki korelasi positif dan signifikan ( rxy = 0,359 ; p<0,01).


(10)

ABSTRACT

Swastika Adi Wibowo (2007). The Depth of Interpersonal Communication of The Member with The Leader of Monastery and The Depth of Modeling of The Member to The Leader of Monastery. Yogyakarta: Faculty of Psychology of The Sanata Dharma University

The objective of this research is to examine the existence of the correlation between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery. The assumption is that there is a positive correlation between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery.

The subjects were 66 novis from 9 novisiat communities around Yogyakarta. Data was taken by attitude scale that given to the subjects. The attitude scale model used was equal appearing interval. Before research was held, researher examined the scale and gained that the scale have reliability 0,7977 for the depth of interpersonal communication scale and 0,8309 for the depth of modeling scale. From this, we could say that both of scales are reliabel.

The data was analyzed by correlation Product Moment Pearson technique. The result shown that between depth of interpersonal communication of the member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery have a positive and significant correlation (rxy = 0,359 ; p<0,01).


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Yang Baik karena berkat kasih-Nya yang begitu besar, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tanpa bimbingan-Nya, tentulah skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik.

Skripsi ini disusun selama lebih dari satu tahun, dan selama itu pula penulis mengalami berbagai dinamika yang tentunya sangat berharga. Semua tantangan dan hambatan itu sudah dilalui dan kini tiba saatnya bagi peneliti untuk mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karenanya berbagai masukan sangat diharapkan untuk menjadikannya semakin baik dan sempurna.

Untuk semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dalam penyusunan skripsi ini

2. Bapak Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang dengan teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini

3. Bapak Y Agung Santoso, S. Psi dan Ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, Psi selaku dosen pembimbing akademik dan atas berbagai ide yang saya terima lewat diskusi kami


(12)

4. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi, M.Si dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi, M.Si yang telah memberikan masukan saat presentasi dan proses revisi. 5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.

Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa melayani kami para mahasiswa 6. Para Suster magistra di Novisiat CB, ADM, KFS, SFD, PPYK, dan OP;

Bruder magister di Novisiat CSA dan MTB; dan Romo magister di Novisiat OMI yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan pengambilan data.

7. Para suster, bruder, dan frater novis di berbagai komunitas novisiat di Yogyakarta yang telah mengisi skala penelitian

8. Sr. Hedwig, CB yang telah memberikan dukungan dan meminjamkan buku-bukunya, memberi banyak informasi, dan memberi kebaikan yang sudah saya terima selama ini.

9. Bapak dan Ibu di rumah serta kedua kakakku, yang berada di Semarang dan Solo, yang senantiasa memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini 10. Dewi, seorang teman dan sekaligus sahabat terbaikku yang senantiasa

berbagi hati baik dalam suka maupun duka.

11. Buat keluarga besar P2TKP; Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, Bapak Ant. Soesilastanto, Ibu Yuliana Pratiwi, dan Mbak Ertina Kusumawati yang senantiasa memberikan dukungan, serta semua temen-temen asisten P2TKP yang pernah berjuang bersama; Tyo, Deasy, Nita, Etik, Kobo, Desta, Lisna, Katrin, Elvin, Ina, Tita, Puthe, Otik, Abe, dan Obeth


(13)

12. Kedua sahabat kecilku yang setia, Chinghe dan Fanny, kehadiranmu senantiasa membuatku bahagia dan tertawa

13. Temen-temen Kost Wism@Em.Com; Arfi, Aji, Ardi, Dimas, Nofan, Nug, Yuki, dulu ada Bertus dan Dita, Kang Heri, kalian semua berkat bagiku 14. Temen-teman di Geng Banyak: Tyas, Elen, Wedha, Barjo, Arba, Desta,

Lisna, dan Dedy.

15. Para Frater Tingkat VI di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta yang senantiasa mengunjungi dan memberikan semangat kepada saya

16. Serta semua dosen, karyawan, dan teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi USD yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun yang senantiasa menyemangati saya dalam tugas ini

Akhirnya, saya sampaikan salam bangga kepada semua yang pernah memperkaya hidup saya. Karena merekalah, saya dapat menjadi pribadi yang semakin bertumbuh dari hari ke hari. Tuhan, mohon berkat bagi mereka semua.

Yogyakarta, 14 September 2007 Hormat saya,


(14)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iii

MOTTO ...iv

PERSEMBAHAN ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK …... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ...xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10


(15)

1. Komunikasi Interpersonal ... 10

a. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 10

b. Motif Komunikasi Interpersonal ... 12

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Interpersonal ... 13

2. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 16

a. Pengertian Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 16

b. Taraf/ Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 17

B. Kedalaman Modeling ... 20

1. Pengertian Modeling ... 20

2. Kedalaman Modeling ... 23

3. Tahapan-tahapan dalam Modeling ... 28

4. Karakteristik Model yang Mempengaruhi Terjadinya Modeling ... 30

C. Biara ... 32

1. Pengertian Biara ... 32

2. Pemimpin dan Anggota:Peran sebagai Pendamping dan Yang Didampingi dalam Proses Formatio ... 34

3. Komunikasi: Elemen penting dalam Proses Pendampingan Anggota Biara ... 37

4. Modeling Melalui komunikasi Interpersonal Yang Mendalam Di Komunitas Biara ... 40

D. Korelasi Antara Kedalaman Komunikasi Interpersonal dan Kedalaman Modeling dalam Komunitas Biara ... 42


(16)

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. Jenis Penelitian: Penelitian Korelasional ... 46

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47

1. Variabel Bebas ... 48

2. Variabel Tergantung ... 48

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48

1. Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 48

2. Kedalaman Modeling ... 51

D. Subyek Penelitian ... 53

E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 54

1. Pengembangan Alat Ukur Penelitian... 54

a. Metode Pengumpulan Data ... 54

b. Alat Pengumpul Data ... 54

c. Langkah-langkah Penyusunan Skala ... 55

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 67

F. Metode Pengambilan Sampel ... 68

G. Analisis Data ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 70

B. Pelaksanaan Penelitian ... 72

C. Hasil Uji Asumsi ... 73

1. Uji Normalitas ... 73


(17)

D. Hasil Penelitian ... 74

1. Deskripsi Data Penelitian ... 74

2. Hasil Uji Hipotesis ... 76

E. Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ...84

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(18)

DAFTAR BAGAN


(19)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1: Blue Print Skala Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 58

2. Tabel 2: Blue Print Skala Kedalaman Modeling ... 59

3. Tabel 3: Nilai Skala dan Distribusi Skala Uji Coba Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 61

4. Tabel 4: Nilai Skala dan Distribusi Skala Uji Coba Kedalaman Modeling ... 63

5. Tabel 5: Sebaran aitem Skala Penelitian Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 65

6. Tabel 6: Sebaran aitem Skala Penelitian Kedalaman Modeling ... 66

7. Tabel 7: Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 72

8. Tabel 8: Deskripsi Hasil Penelitian ... 75

9. Tabel 9: Hasil Uji Korelasi ... 77

10. Tabel 10: Hasil sumbangan efektif variabel kedalaman komuniaksi interpersonal... 78


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala untuk uji coba ( yang dinilai kelompok panel ) ... 91

2. Hasil penilaian semua anggota kelompok panel (uji coba) ... 105

3. Penilaian kelompok panel (uji coba) setelah diurutkan dari derajat terkecil ... 111

4. Hasil penilaian kelompok panel (uji coba) yang dianggap lolos untuk dianalisis ...117

5. Tabel deskripsi masing-masing aitem hasil penilaian seluruh kelompok panel ...123

6. Tabel Nilai Skala (S), Penyebaran (Q), dan daftar aitem yang dipilih untuk penelitian ... 162

7. Reliabilitas sebelum dan sesudah pemilihan aitem untuk penelitian ...164

8. Skala penelitian (skala final) ... 172

9. Data hasil penelitian masing-masing responden ... 176

10. Skor sikap variabel penelitian ... 184

11. Deskripsi empiris dan teoretis hasil penelitian ... 186

12. Tabel hasil uji normalitas ... 187

13. Tabel hasil uji linearitas ... 188


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia, banyak ditemukan berbagai macam kelompok sosial. Pada setiap kelompok sosial tersebut, setiap individu yang menjadi anggota di dalamnya memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain guna memperkaya kehidupan mereka. Menurut Sherif dan Sherif (dalam Ahmadi, 1991), kelompok dimengerti sebagai suatu unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu. Hidup bersama dalam kelompok-kelompok sosial seperti ini memiliki bentuk yang bermacam-macam.

Salah satu bentuk kehidupan berkelompok yang ada di tengah-tengah kita ialah biara. Biara dapat disebut kelompok sosial karena memiliki beberapa karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Sherif dan Sherif; memiliki anggota yang lebih dari satu individu, ada interaksi anggota yang intensif, ada struktur, pembagian tugas, dan tata hidup bersama sebagai norma kelompoknya. Komunitas biara adalah komunitas dimana para anggotanya, yakni biarawan atau biarawati, secara khusus menghayati cara hidup kristiani untuk menjawab panggilan Tuhan. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Salim dan Salim, 1991) mendefinisikan biara sebagai tempat tinggal para pertapa atau bangunan tempat


(22)

tinggal orang laki-laki atau perempuan yang mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan ajaran Injil di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan tarikatnya.

Seperti halnya kelompok masyarakat yang lain, setiap anggota di dalam biara mengalami dinamika berkomunikasi dengan anggota lain. Melalui komunikasi mereka dapat saling bertukar pemikiran, saling berbagi pengalaman, dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam hal panggilan mereka. Semua itu adalah bentuk komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah sebuah bentuk dari komunikasi manusia yang terjadi ketika kita berinteraksi secara simultan dengan orang lain dan menguntungkan satu dengan yang lain (Beebee, dkk,1996). Komunikasi semacam itu akan sangat membantu perkembangan intelektual dan sosial seseorang (Johnson dalam Supratiknya, 1995). Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat, dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama (Hardjana. 2003).

Di dalam komunitas biara, terdapat istilah formatio atau pembinaan. Pembinaan dalam konteks kehidupan biara ini secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha pendampingan bagi para anggota dalam biara. Pembinaan memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk membatinkan nilai-nilai panggilan (internalisasi) dan mewujudkannya dalam kesaksian hidup yang efektif (Prasetyo,1992). Pembinaan ini tidak lain adalah untuk membantu para biarawan-biarawati agar mereka memiliki sifat atau karakter tertentu sehingga mereka


(23)

memiliki kualitas pribadi yang baik sesuai harapan ordo atau kongregasi bagi pelayanannya kelak.

Dalam komunitas biara, terdapat satu orang pemimpin. Peran pemimpin sangatlah penting karena harus mampu mengusahakan supaya kelompok yang dipimpinnya dapat merealisasikan tujuannya dengan sebaik-baiknya dalam kerja sama yang produktif dan dalam keadaan-keadaan bagaimana pun yang dihadapi kelompoknya (Gerungan, 1980). Misalnya saja, seorang pemimpin dalam sebuah biara harus mampu memberi inspirasi bagi anggotanya (Darminto, 2005). Demikian juga dalam sebuah kelompok yang disebut biara, peranan pemimpin cukup penting karena dari dialah muncul berbagai kebijakan pembinaan yang akan mengatur segala dinamika kehidupan biara agar benar-benar mengarahkan para anggotanya untuk dapat membangun karakter kepribadiannya ke arah yang lebih baik menurut spiritualitas ordo atau kongregasinya.

Dalam melaksanakan tugas pendampingannya, pemimpin biara melakukan komunikasi dengan para anggotanya. Komunikasi tersebut memiliki taraf kedalaman yang berbeda, ada yang mendalam ada pula yang dangkal, meskipun semua anggotanya tentu diharapkan mampu komunikasi secara mendalam. Bagi pihak anggota biara, dengan komunikasi yang mendalam ia akan lebih mudah untuk mengungkapkan segala yang dialaminya, baik uneg-uneg, kesedihan, kegembiaraan, dan berbagai pengalaman lain tanpa ragu kepercayaannya disia-siakan. Dengan keterbukaan semacam itu, anggota biara akan mendapatkan masukan dari pemimpinnya untuk pengolahan panggilannya. Dari pihak pemimpin biara, komunikasi yang mendalam dengan anggota memiliki peran


(24)

yang cukup penting karena dapat menjadi jalan untuk menanamkan nilai-nilai keutamaan bagi para anggotanya. Lewat komunikasi ia dapat memberi kritik dan masukan kepada para anggotanya, misalnya saat ia memberikan bimbingan rohani, saat mendengarkan curhat, mendengarkan permasalahan, dan lain sebagainya. Dengan mendengar pengalaman hidup anggotanya secara mendalam, pemimpin biara dapat mengetahui perkembangan panggilan anggotanya itu. Dari sini, pemimpin biara dapat menentukan langkah-langkah apa selanjutnya demi perkembangan panggilan anggotanya.

Pemimpin biara senantiasa mengajak para anggotanya untuk terus menerus memperkembangkan hidup rohani mereka agar para anggota biara, secara bahasa rohani, makin bertemu dengan Kristus dan Roh Kudus sendiri (Darminto, 2005). Memang benar bahwa setiap pribadi anggota biara memiliki haknya sendiri untuk berkembang secara unik. Dengan berbagai karakter kepribadian masing-masing, mereka akan mencoba menjawab panggilan Tuhan itu dengan cara-cara mereka yang berbeda satu dengan yang lain. Keragaman ini juga ditegaskan oleh Darminto (2005) yang mengungkapkan bahwa seorang pemimpin yang memimpin bahkan memerintah dalam situasi-situasi tertentu tetap memperhitungkan dan menghormati pribadi anggota-anggotanya. Ini memperlihatkan keharusan akan adanya pengenalan dan kesediaan memperhitungkan ide-ide, perasaan, kualitas, dan sifat-sifat positif yang ada dalam diri para anggotanya. Hal ini menunjukkan makna bahwa pemimpin biara juga turut bertanggung jawab terhadap kemajuan kepribadian mereka.


(25)

Pada proses pembinaan, pemimpin biara melakukan pendampingan kepada para biarawan-biarawati yang menjadi tanggung jawabnya sehingga kelak mereka akan dapat memenuhi kebutuhan tarekatnya. Proses belajar yang dilakukan oleh para anggota biara tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Modeling adalah salah satu cara yang dapat dipakai seseorang, termasuk anggota biara, dalam proses belajar itu. Dalam ilmu psikologi, peranan faktor imitasi (salah satu bentuk modeling) sebagai salah satu bentuk belajar tidaklah kecil karena seringkali orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model (Sears, dkk, 1999), seperti halnya pada anak yang mengimitasi perilaku orang tuanya sejak ia belajar menirukan bahasa hingga mengikuti perilaku orang tuanya (Ahmadi, 1991).

Dalam konteks kehidupan biara, modeling dapat terjadi pada para anggota terhadap pemimpinnya. Ada yang melakukan modeling secara dangkal saja, misalnya meniru cara berbicara atau dalam berperilaku namun ada pula yang mendalam dengan menginternalisasi nilai-nilai keutamaan yang diajarkan dari pemimpinnya. Dengan modeling, anggota biara dilatih untuk hidup sesuai harapan ordo atau kongregasinya. Namun demikian, modeling yang diharapkan terjadi tidak hanya pada hal-hal lahiriah, melainkan juga pada nilai-nilai keutamaan yang ditawarkan pemimpinnya. Usaha menanamkan nilai-nilai spiritualitas, keutamaan, atau teladan yang diberian oleh pemimpinnya ke dalam diri mereka adalah bentuk modeling yang mendalam. Berbagai nilai yang dipelajarinya itu akan digunakannya sebagai roh dalam mengolah panggilan sehingga tercapai cita-citanya, hidup sesuai spiritualitas ordo atau kongregasi untuk semakin dekat


(26)

dengan Tuhan. Inilah yang menjadikan modeling yang mendalam memiliki peran penting bagi para anggota biara dalam proses formatio.

Modeling dalam suatu biara memiliki karakteristik kedalaman yang berbeda-beda pula meski semua anggota diharapkan dapat melakukan modeling yang mendalam. Perbedaan ini dapat disebabkan karena bermacam-macam faktor, misalnya persepsi terhadap pemimpinnya itu. Pemimpin yang dihormati banyak orang, lebih diminati dijadikan model (Hergenhahn dan Olson, 1997). Kemungkinan lain misalnya anggota biara lebih mengidolakan seorang pemimpin yang berwibawa dari pada yang kurang memiliki wibawa, atau karena yang lebih akrab dengan anggota, yang lebih mengerti dan menerima anggota apa adanya, atau yang lebih nyaman saat diajak membicarakan sesuatu.

Ada beberapa karakteristik model spesifik yang dapat dijadikan pertimbangan seperti kompeten, menarik, disukai, dan berwibawa (Chance, 1979). Dalam biara, pemimpin yang dijadikan model tentunya memiliki beberapa karakterstik tertentu yang dianggal ‘bernilai’, termasuk bagaimana ia membangun komunikasi interpersonal dengan setiap anggota biara, untuk dijadikan model bagi anggotanya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Krech, Crutchfield, dan Ballachey (dalam Ahmadi, 1991) mengenai fungsi pemimpin. Menurut mereka, salah satu fungsi “pemimpin adalah sebagai contoh atau teladan”. Pemahaman ini menjelaskan bahwa pemimpin akan menjadi contoh bagi anggotanya dalam bersikap. “Teladan menggambarkan bagaimana seseorang terpengaruh oleh apa yang dilihat dari apa yang dilakukan oleh orang lain” (Meadow,1989).


(27)

Dalam konteks komunitas biara, pemimpin biara memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kepribadian anggotanya sebab dialah yang menentukan arah pengolahan kehidupan mereka, salah satunya lewat teladan yang dia berikan. “Pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku dan kepercayaan kelompok” (Sears, dkk, 2004). Oleh karena itu peran pemimpin biara sangatlah penting mengingat pemimpin biara diandaikan tahu lebih banyak dan diharapkan dapat mendampingi para anggotanya, supaya bersama sama dapat mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik mestinya menampakkan model pemimpin yang berbuah baik, pemimpin yang melayani dan dan pemimpin yang sungguh-sungguh mencerminkan nilai injili (Triyono, 2005). Pemimpin biara adalah figur yang dapat menjadi teladan atau panutan bagi para anggotanya. Oleh karenanya, kita bisa melihat pentingya peranan modeling dalam biara. Apabila pemimpin bisa memberikan contoh yang baik, tentu anggota juga akan mempelajari sesuatu yang baik pula.

Dengan pemahaman bahwa komunikasi interpersonal yang mendalam punya peran penting dalam proses formatio, karena dapat menjadi sarana untuk menggali perkembangan panggilan anggotanya sekaligus dapat menawarkan berbagai nilai-nilai keutamaan, sehingga para anggota biara nantinya dapat melakukan modeling sebagai salah satu cara belajar dalam mengolah panggilannya, penelitian ini ingin mengetahui apakah kedalaman komunikasi interpersonal yang ada antara pemimpin biara memiliki korelasi dengan kedalaman modeling para anggota biara terhadap pemimpinnya. Penelitian ini mengasumsikan adanya korelasi positif antara kedalaman komunikasi


(28)

interpersonal dengan kedalaman modeling para biarawan-biarawati terhadap pemimpin di biaranya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu “apakah ada korelasi positif antara kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dan pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dan pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota biara terhadap pemimpin biara di komunitasnya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran baru bagi kajian psikologi sosial khususnya mengenai hubungan antar pribadi

b. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian berikutnya yang menyangkut kedalaman komunikasi interpersonal dan kedalaman modeling


(29)

2. Manfaat Praktis bagi Para Pemimpin Komunitas Biara

a. Para pemimpin komunitas biara dapat mempelajari hubungan antara kedalaman komunikasi interpersonal dengan kedalaman modeling para anggotanya

b. Para pemimpin komunitas biara juga dapat mengevaluasi dan merefleksikan seberapa mendalam komunikasi mereka dengan para anggotanya sehingga dapat dibangun berbagai usaha yang lebih baik sebagai sarana dalam melakukan pendampingan

c. Para pemimpin novisiat juga dapat melihat sejauh mana perilaku modeling para anggotanya sebagai salah satu dinamika dalam proses formatio

3. Manfaat Praktis bagi Para Biarawan-Biarawati anggota komunitas

a. Para anggota komunitas biara dapat mempelajari hubungan antara kedalaman komunikasi interpersonal dengan kedalaman modeling terhadap pemimpinnya

b. Para anggota komunitas biara dapat mempelajari salah satu variabel yang berperan dalam kehidupan mereka akan perilaku modeling

c. Sebagai sarana merefleksikan seberapa mendalam komunikasi mereka dengan para pemimpin biara di komunitasnya sehingga dapat dibangun berbagai usaha yang lebih baik, khususnya sikap dalam berkomunikasi dengan pemimpinnya, demi perkembangan panggilan mereka.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal 1. Komunikasi Interpersonal

a. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi adalah salah satu proses penting yang terjadi dalam kehidupan manusia karena lewat komunikasi setiap individu dapat saling memberikan dan menerima berbagai macam informasi yang nantinya berguna bagi kehidupan mereka. Komunikasi merupakan suatu proses dimana individu-individu membagikan informasi, ide-ide, dan perasaan-perasaan (Hybels dan Weaver, 2004). Berbagai informasi, baik ide maupun perasaan tersebut, selanjutnya akan diolah dan disampaikan kepada orang lain dan diharapkan orang itu akan mengerti isi pesan yang disampaikan tersebut (Hardjana, 2003). Komunikasi terjadi saat seseorang mencoba memberitahu orang lain tentang apa yang dia pikirkan, rasakan, dan percayai (Tjosvold dan Tjosvold, 1995). Dengan demikian, dalam sebuah komunikasi terdapat suatu transfer (perpindahan) dan pemahaman akan suatu pengertian tertentu (DeCenzo dan Silhanek, 2002).

Salah satu bentuk komunikasi ialah komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi. Hardjana (2003) menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara satu pengirim dengan satu orang penerima pesan. Artinya adalah bahwa komunikasi interpersonal hanya terjadi di antara dua orang dan tidak lebih. Dalam komunikasi ini, satu orang berperan sebagai


(31)

pembicara dan seorang lagi sebagai pendengar dimana mereka akan saling bertukar peran secara bergantian. Namun, pendapat agak berbeda dikemukakan Hybels dan Weaver (2004) yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi dengan satu orang atau lebih. Definisi lain yang lebih menekankan pentingnya kehadiran individu yang hadir dalam komunikasi itu diungkapkan oleh DeCenzo dan Silhanek (2002). Menurut mereka, komunikasi interpersonal adalah berbagai interaksi yang ada antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak yang terlibat diperlakukan sebagai pribadi (Jawa: nguwongke) daripada hanya suatu benda atau obyek saja. Maksudnya, penghargaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal sangat dijunjung tinggi sebab mereka adalah pribadi yang perlu untuk dimengerti dan dihormati dengan segala keunikannya.

Komunikasi interpersonal sangat banyak terjadi dalam kehidupan kita, misalnya pada saat seseorang melakukan curhat dengan teman atau sahabat dekatnya, saat bimbingan rohani, atau antara orang tua yang sedang mendidik anaknya, saat seorang melakukan pengakuan dosa (salah satu bentuk ajaran yang terdapat di dalam Gereja Katolik), saat klien berkonsultasi dengan konselor, proses belajar mengajar di sekolah atau kampus, saat saling bertegur sapa, dan sebagainya. Dari berbagai uraian tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa komunikasi interpersonal terjadi saat dua orang atau lebih saling menyampaikan berbagai informasi satu dengan yang lain atas berbagai informasi yang mereka miliki.


(32)

b. Motif Komunikasi Interpersonal

Rubin, Perse, dan Barbato (dalam Hybels dan Weaver, 2004) mengungkapkan beberapa motif yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan komunikasi interpersonal. Motif-motif tersebut antara lain pleasure, affection, inclusion, escape, relaxation, dan control.

Pleasure adalah kesenangan yang didapat saat berkomunikasi dengan orang lain, misalnya saat menggosipkan seorang artis, membicarakan klub olah raga kesayangan, mengobrol sambil menikmati kopi, dan sebagainya.

Affection adalah perasaan kehangatan yang diperoleh saat seseorang mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang kita sukai. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang dapat merasakan kehangatan hubungan atau keakraban dengan orang lain.

Inclusion merupakan perasaan bahwa dirinya menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Perasaan semacam ini dapat ditemukan saat seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Dengan bercakap-cakap bersama teman-temannya, dalam diri seseorang akan muncul perasaan bahwa saya adalah bagian dari suatu kelompok sosial tertentu.

Escape atau ‘melarikan diri’ terjadi saat seseorang memiliki banyak tugas yang harus dikerjakan dan berkeinginan untuk ‘meninggalkannya’ sejenak. Seseorang ‘melarikan diri’ berarti menghindar atau meninggalkan sejenak tugas-tugasnya untuk bertemu orang lain.


(33)

Relaxation dapat diartikan beristirahat sejenak dari berbagai kesibukan yang ada. Dengan bertemu orang lain, seseorang dapat mencoba melepaskan beberapa kepenatan untuk mendapatkan kesegaran baru.

Control berarti mengendalikan atau mengatur. Saat komunikasi, control dapat dilakukan misalnya ketika seseorang memperingatkan temannya atas perilaku tertentu sehingga tidak akan mengulangi kesalahannya. Contoh lain misalnya seorang ayah yang melarang anaknya bermain di pinggir jalan raya.

Dengan demikian, seseorang dapat melakukan komunikasi interpersonal karena salah satu atau sekaligus beberapa motif tersebut. Semua itu tergantung dari kebutuhan masing-masing individu yang melakukannya.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Interpersonal

Ada beberapa faktor yang turut berpengaruh dalam komunikasi interpersonal. Lunandi (1989) menyebutkan beberapa faktor, yaitu:

1) Citra diri

Citra diri secara sederhana dapat dimengerti sebagai cara seseorang melihat dirinya. Contohnya, seorang pemimpin memberikan perintah dengan tegas kepada bawahannya karena merasa dirinya mempunyai kekuasaan besar dan berwibawa. Lain lagi, pemimpin yang memiliki citra diri sebagai motivator akan bersikap sebagai pendukung dan pemberi semangat terhadap bawahan ketimbang hanya memerintah.


(34)

2) Citra Pihak Lain

Citra pihak lain berarti bagaimana seseorang memandang orang lain yang diajak berkomunikasi. Ayah yang memandang anaknya sebagai pemalas, bodoh, ingusan, dan tolol mungkin akan lebih bersikap keras. Sedangkan ayah yang melihat anaknya sebagai anak yang cerdas dan pandai akan bersikap memberikan anjuran atau pilihan-pilihan bebas kepada anaknya sehingga anak dapat memutuskan pilihannya sendiri.

3) Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik adalah situasi di sekitar kita yang berupa benda-benda bukan manusia. Apabila seseorang berada di dalam rumah ibadat, tentu ia tidak akan berteriak ataupun berbicara dengan keras dibandingkan saat ia berada di lapangan atau di pinggir jalan meski pihak yang diajaknya berkomunikasi adalah orang yang sama.

4) Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial menunjuk keadaan masyarakat atau orang-orang di sekitar kita. Contohnya adalah saat seseorang berada dalam acara resepsi pernikahan, tentu ia akan berbicara secara lebih santun dibandingkan saat dia bersama teman-temannya di kampus.

5) Kondisi

Kondisi berarti keadaan diri seseorang yang sedang melakukan proses komunikasi. Misalnya, orang yang sedang sakit atau demam tinggi tentu tidak akan mampu berkomunikasi banyak, tetapi hanya akan berbicara hal-hal pokok atau yang dirasa penting saja. Berbeda dengan orang yang berada


(35)

dalam kondisi yang sehat, orang akan lebih mudah mengkomunikasikan berbagai pandangannya secara lebih mudah dan nyaman.

6) Bahasa Badan

Sikap badan berarti posisi fisik seseorang terhadap orang lain yang diajak berkomunikasi. Saat seorang ayah memandangi anaknya dengan melotot dan berkacak pinggang, anaknya tentu tidak akan berani berkata-kata dengan berteriak atau mencoba membantah karena ia tahu kalau ayahnya sedang marah terhadapnya.

Selain Lunandi, Gouran, Wiethoff, dan Doelger (2000) juga menyebutkan beberapa faktor yang turut berpengaruh dalam komunikasi antar pribadi. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu, personal characteristics dan situational influences.

1) Personal Characteristics

Personal characteristics adalah berbagai karakteristik pribadi pihak-pihak yang melakukan komunikasi, baik sender maupun receiver yang meliputi pengetahuan, pola berpikir, dan latar belakang budaya. Misalnya saja, mereka yang memiliki pola berpikir maju, tentu akan lebih berselera untuk mengobrol dengan orang yang memiliki sifat yang sama dari pada orang yang masih berpikirr kolot.

2) Situational Influences

Situational influences menunjuk berbagai hal di lingkungan sekitar pihak-pihak yang berkomunikasi, meliputi lingkungan fisik, konteks, dan


(36)

waktu komunikasi itu terjadi. Contohnya ialah saat di dalam tempat ibadah, orang akan cenderung berbicara dengan suara lemah dibandingkan saat ia berada di halamannya.

Faktor-faktor tersebut di atas akan menentukan komunikasi interpersonal orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, setiap orang akan melakukan komunikasi interpersonal dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sekiranya sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.

2. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal a. Pengertian Kedalaman Komunikasi Interpersonal

Setiap bentuk komunikasi yang dibangun oleh seseorang dengan orang lain pasti memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satu perbedaan itu dapat kita lihat dari sisi tingkat atau taraf kedalamannya. Setiap individu yang terlibat dalam komunikasi interpersonal memiliki tingkat atau taraf kedalaman komunikasi berbeda; ada yang penuh (mendalam), bebas mengungkapkan perasaan, dan merasa benar-benar saling menerima, ada yang ada pula yang hanya mampu mencapai taraf komunikasi yang ringan atau di permukaan saja. Semua itu tergantung usaha pihak-pihak yang melakukannya.

Kedalaman komunikasi interpersonal adalah sejauh mana komunikasi menyentuh unsur-unsur yang terdalam dari pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi itu. Supratiknya (1995) mengungkapkan bahwa taraf komunikasi dapat diukur dari apa dan siapa yang saling dibicarakan; pikiran atau perasan,


(37)

obyek tertentu, orang lain atau dirinya. Artinya, semakin berani seseorang mengungkapkan perasaannya, semakin dalam komunikasi itu. Jadi untuk mengetahui mendalam tidaknya suatu komunikasi interpersonal, kita harus mengetahui tahap-tahap atau taraf kedalaman komunikasi interpersonal.

b. Taraf/ Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal

Ada beberapa pendapat yang mengungkapkan tentang tingkat atau taraf kedalaman komunikasi interpersonal. Menurut John Powell (dalam Supratiknya, 1995), taraf kedalaman komunikasi interpersonal dapat dibagi ke dalam lima tingkatan; taraf basa-basi, taraf membicarakan orang lain, taraf penyatakan gagasan/ pendapat, taraf menyatakan perasaan, dan taraf hubungan puncak.

1) Taraf Basa-basi

Taraf basa-basi adalah taraf paling dangkal karena sebenarnya dua pihak yang berkomunikasi tidak saling membuka diri. Taraf komunikasi ini sering terjadi saat seseorang bertemu dengan yang lain pada saat kebetulan saja. Dengan demikian, dalam taraf komunikasi ini setiap orang yang melakukan komunikasi tidak akan banyak membicarakan hal lain dalam diri mereka.

2) Taraf Membicarakan orang lain

Taraf ini sebenarnya masih dangkal meski di dalamnya terdapat umpan balik. Taraf ini ditandai dengan adanya pembicaraan tentang orang lain atau obyek lain di luar diri pribadi yang melakukan komunikasi, bisa tentang tetangganya, kenalannya, hewan milik tetangga, dan lain sebagainya.


(38)

3) Taraf Menyatakan Gagasan atau Pendapat

Taraf ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat, ide, atau gagasan namun masih terbatas dalam mengungkapkan pandangan. Mereka yang terlibat dalam komunikasi taraf ini belum berani mengungkapkan perbedaan pandangannya terhadap orang lain, tetapi masih berusaha menyenangkan lawan bicaranya sehingga tempak belum berani menunjukkan diri apa adanya.

4) Taraf Mengungkapkan Perasaan/ Hati

Pada taraf ini, orang mulai berani mengungkapan perasaannya, membuka diri, jujur, dan kesediaan untuk menerima orang lain. Dalam komunikasi ini, orang mulai mengungkapkan uneg-unegnya dan berani beresiko dirinya diketahui orang lain, namun tidak semua perasaan secara bebas dapat terungkap lewat komunilasi taraf ini. Taraf ini dapat menimbulkan perasaan yang lega dan saling percaya antara pihak-pihak yang berkomunikasi.

5) Taraf Hubungan Puncak

Taraf ini adalah taraf yang paling dalam karena telah ada kejujuran, sikap terbuka, dan saling percaya yang penuh di antara pelaku komunikasi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi taraf ini benar-benar merasa bebas untuk saling mengungkapkan apapun perasaan dan pemikirannya tanpa merasa takut, khawatir, atau ragu-ragu jika kepercayaannya akan disia-siakan.

Selain John Powell, pandangan lain mengenai taraf kedalaman komunikasi interpersonal dituliskan oleh Hardjana (2003). Ia membagi taraf kedalaman komunikasi interpersonal ke dalam empat tingkatan, antara lain:


(39)

1) Komunikasi dari mulut ke Mulut

Komunikasi ini dilakukan oleh orang-orang yang belum kenal satu sama lain biasanya hanya untuk memenuhi kebutuhan sopan santun atau kebiasaan setempat. Contohnya adalah seperti memberi salam “Apa kabar?” dan jawaban “Baik-baik”. Komunikasi tingkat ini tidak dimaksudkan untuk benar-benar membicarakan suatu hal, tetapi hanyalah basa-basi yang tidak perlu dijawab secara serius.

2) Komunikasi dari Kepala ke Kepala

Komunikasi dalam taraf ini ditandai dengan adanya tukar gagasan atau pandangan antara satu orang dengan yang lainnya tapi belum melibatkan perasaan-perasaan yang ada di dalamnya. Misalnya, diskusi atau pertukaran pendapat atau gagasan antara pihak-pihak yang berkomunikasi.

3) Komunikasi dari Hati ke hati

Komunikasi dari hati ke hati adalah komunikasi yang sudah melibatkan perasaan. Taraf ini ditandai dengan adanya pengungkapan tentang keprihatinan, kekhawatiran dan ketakutan, kegembiraan, harapan, dan cita-cita mereka. Sifat yang juga muncul dalam taraf ini adalah adanya sikap saling percaya dan saling mendukung di antara satu dengan lainnya.

4) Komunikasi dari Iman-ke Iman

Komunikasi dari iman ke iman ini biasanya berbentuk sharing pengalaman hidup sehingga tidak hanya perasaan-perasaan saja melainkan berani menyatakan hikmah atau nilai yang dapat dipelajari dari setiap pengalaman itu. Dalam komunikasi ini, mereka dapat saling mengungkapkan berbagai pandangan hidup,


(40)

keyakinan, atau bahkan iman mereka dengan perasaan bebas dan saling menerima.

Dua pandangan tersebut dapat dikatakan serupa karena sebagian besar karakteristik muncul pada tingkatan yang sama. Namun demikian, penelitian ini akan menggunakan model taraf kedalaman komunikasi interpersonal dari John Powell (dalam Supratiknya 1995) yang membagi taraf kedalaman komunikasi interpersonal ke dalam lima tingkatan. Yang menjadi pertimbangan adalah bahwa taraf komunikasi yang disusun oleh John Powell memiliki pembagian yang lebih banyak dan sekaligus memberikan informasi yang lebih luas dibandingkan yang disusun oleh Hardjana sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat variasi taraf kedalaman komunikasi yang lebih besar.

B. Kedalaman Modeling

1. Pengertian Modeling

Ilmu psikologi memahami bahwa manusia senantiasa berkembang karena proses belajar yang dilaluinya dalam seluruh perjalanan hidupnya. Salah satu bentuk belajar seorang individu adalah mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan jalan meniru sikap dan perilaku orang lain yang menjadi model. Cara belajar seperti ini menjadi salah satu kajian diskusi para ilmuwan psikologi tentang proses yang lebih luas atas proses belajar yang dialami oleh seseorang lewat pengamatan terhadap lingkungan sekitarnya, seperti apa yang disebut


(41)

dengan imitasi, modeling, observational learning, peniruan, dan mungkin istilah lainnya.

Apakah modeling itu? Beberapa sumber menganggap adanya kesamaan arti antara modeling dan imitasi. Ada pula yang menganggap imitasi sebagai salah satu bentuk modeling. Kamus Psikologi, karangan J.P. Chaplin (2003) yang diterjemahkan oleh Dr. Kartini Kartono, mendefinisikan imitasi sebagai meniru perbuatan orang lain dengan sengaja, sedangkan modeling diartikan dengan belajar memberikan reaksi dengan jalan mengamati orang lain yang tengah mereaksi. Definisi tersebut tidak begitu jelas maksudnya karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Akan tetapi, di dalam kamus tersebut, modeling juga dapat diartikan sebagai imitasi, peniruan, atau menirukan.

Pengertian mengenai modeling juga diuraikan oleh Alwisol (2006). Ia menerjemahkan kata modeling dengan kata ‘peniruan’ meskipun istilah dalam Bahasa Indonesia ini dirasa tidak cukup mampu mencakup keseluruhan makna dari modeling itu sendiri. Namun demikian, penggunaan istilah “peniruan’ ini dapat mewakili arti modeling. Ia mengartikan modeling sebagai usaha meniru dan atau mengulangi kembali apa yang dilakukan oleh orang lain (model) dengan jalan menambah dan atau mengurangi tingkah laku yang dapat dilihat, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, serta melibatkan adanya proses kognitif (Alwisol, 2006). Dengan demikian, modeling tidak semata-mata dimengerti sebagai meniru perilaku model secara persis, melainkan juga melihat dinamika yang ada dalam tataran kognitif individu yang melakukannya, seperti menambah, mengurangi, menggabungkan, dan sebagainya, sehingga muncul


(42)

perilaku yang baru. Bagaimana bentuk-bentuk modeling itu terjadi, akan diuraikan pada sub bab berikutnya.

Bandura (1986) mengungkapkan berbagai macam rumusan yang mencoba menjelaskan mengenai arti modeling. Dalam bukunya, setidaknya terdapat 3 dasar pendekatan untuk memahami makna dari modeling. Menurutnya, dalam konsep lama atau tradisional, banyak di antara pemikir yang mengartikan modeling sebagai imitasi. Mereka melihat bahwa modeling adalah proses dimana seseorang berusaha mengikuti perbuatan-perbuatan orang lain. Seiring waktu berjalan, pemahaman tradisional ini dirasa membatasi power yang ada dalam proses itu Anggapan ini muncul karena modeling bukan hanya dipandang sebagai meniru perilaku secara persis apa yang dilakukan oleh orang lain, melainkan ada proses pengolahan dalam diri pengamat sehingga dapat menciptakan perilaku baru dengan sedikit atau banyak variasi nantinya. Beralih kepada pandangan tradisi kalangan psikodinamik, beberapa tokoh kepribadian dan perkembangan mengintepretasikan modeling sebagai identifikasi. Mereka menganggap identifikasi berasal dari proses adopsi terhadap pola-pola perilaku, representasi simbolik model, motif-motif, nilai, idealisme-idealisme, dan kesadaran yang ada dalam diri orang lain. Sedangkan menurut teori sosial-kognitif, modeling menunjukkan berbagai macam proses penyesuaian psikologis karena cukup banyak mempengaruhi dinamika seseorang jika dibandingkan dengan istilah imitasi yang terasa lebih sempit maknanya. Oleh karenanya, wilayah pembelajaran melalui modeling dibagi ke dalam lima bentuk fenomena, seperti yang diuraikan secara khusus pada sub bab yang kedua di bawah ini.


(43)

2. Kedalaman Modeling

Alwisol (2006) menyebutkan empat macam bentuk modeling yang dimengerti sebagai tingkatan kedalaman perilaku modeling, yaitu seberapa jauh perilaku modeling mencapai pada usaha-usaha menginternalisasikan dan mengidentifikasikan ciri atau sifat model ke dalam diri pengamat. Kedalaman modeling tersebut dapat kita pahami dari tingkat paling dangkal sampai yang paling dalam, yaitu:

1) Modeling Tingkah laku Baru

Modeling tingkah laku baru adalah munculnya perilaku baru pada diri pengamat setelah melihat perilaku dalam diri model. Munculnya tingkah laku baru berawal dari adanya beberapa deskripsi tentang perilaku model yang tersimpan dalam kognisi seseorang kemudian diolah menjadi suatu gambaran mental. Tahap berikutnya, proses pengolahan ini akan digabungkan dengan berbagai deskripsi atas berbagai pengalaman lain dalam kehidupan seseorang sehingga nantinya akan menghasilkan suatu bentuk perilaku yang baru.

2) Modeling Mengubah Tingkah Laku Lama

Modeling mengubah tingkah laku lama adalah pengubahan pengamat terhadap berbagai perilaku yang sudah ada dalam dirinya akibat adanya konsekuensi yang diterima model atas perilaku tersebut. Modeling senacam ini tergantung dari konsekuensi sosial yang ada. Apabila perilaku model diterima secara sosial, akan terjadi penguatan perilaku yang sama atau serupa yang terdapat dalam diri pengamat. Sebaliknya, apabila perilaku model tidak diterima secara sosial, pengamat akan memperlemah apa yang telah ada dalam diri pengamat. Dua


(44)

konsekuensi sosial inilah yang dapat mengubah perilaku lama yang ada dalam diri pengamat, semakin memperkuat atau memperlemah perilaku yang sudah ada sebelumnya.

3) Modeling Kondisioning Modeling kondisioning adalah bentuk modeling yang dikombinasikan dengan

pengkondisian klasik. Modeling semacam ini banyak digunakan untuk mempelajari respon emosional. Respon emosional akan muncul dalam diri pengamat setelah melihat respon dalam diri model yang telah mendapat perkuatan akan ditujukan kepada obyek yang ada di dekatnya saat ia mengamati model tersebut atau dapat juga ditujukan terhadap obyek yang memiliki hubungan dengan obyek yang menjadi sasaran emosional dari model. Misalnya, seseorang yang mengalami rangsangan seksual setelah menonton film porno, melampiaskan nafsunya kepada seorang anak di sekitarnya, seperti sering terjadi dalam kasus-kasus pelecehan seksual anak.

4) Modeling Simbolik

Modeling simbolik menunjuk pada proses belajar atas berbagai nilai dan gaya hidup yang tidak secara langsung tampak atau terlihat secara fisik, misalnya tentang kejujuran, keterbukaan, kerendahatian, dan sebaginya. Modeling simbolik bisa dilakukan terhadap beberapa sumber seperti orang lain, film, buku-buku cerita atau komik, gambar-gambar yang ada di koran dan majalah, serta berbagai media massa lainnya.

Modeling simbolik memungkinkan seseorang mempelajari nilai-nilai keutamaan seorang salah satu tokoh yang ada dalam hidupnya, yang tampak


(45)

dalam tayangan di televisi, atau dimana saja karena perilaku tokoh menghasilkan sesuatu yang menyenangkan (reward). Mungkin juga, seseorang akan mengikuti persepsi salah seorang yang ada dalam televisi karena ia memiliki pemahaman yang hampir sama dengan sang tokoh terhadap sesuatu hal.

Menurut Bandura (1986), teori sosial-kognitif menggunakan 5 efek atau fenomena dalam memahami modeling. Fenomena ini menunjukkan cakupan wilayah belajar yang mungkin terjadi dalam peristiwa modeling. Efek atau fenomena di sini kita mengerti sebagai bentuk-bentuk dari modeling itu sendiri. Pembedaan ke dalam lima bentuk ini berguna untuk menghindari adanya kebingungan jika menggunakan istilah ‘imitasi’, ‘observational learning’ dan sekaligus menjadi semacam pengarah guna memahami mekanisme modeling. Beberapa bentuk modeling tersebut dapat kita mengerti dari uraian di bawah ini.

1) Observational Learning Effects

Fenomena observational learning effects adalah fenomena yang terjadi saat seseorang mempelajari berbagai kemampuan-kemampuan kognitif (intelektual), standart pendapat, dan pola-pola perilaku yang baru dengan jalan mengamati orang lain. Misalnya, seseorang akan menganggap kedisiplinan adalah nilai yang paling tinggi dalam suatu tempat kerja, karena atasannya (model) mengatakan demikian pada salah satu acara evaluasi dengan berbagai pertimbangan dan pembahasan yang mendalam. Sebelumnya, disiplin bukan hal yang penting bagi dia, asalkan semua pekerjaannya dilakukan dengan baik. Dengan memahami lebih jauh tentang kedisiplinan dari atasan, sekarang ia menjadi lebih disiplin dalam


(46)

kerja, termasuk meniru kebiasaan atasannya yang datang lebih awal dari jadwal kantor.

2) Inhibitory and Disinhibitory Effect

Efek inhibitory adalah efek yang terjadi saat pengamat mengurangi perilaku tertentu yang telah dipelajari sebelumnya atau bersikap lebih membatasi perilaku tersebut karena melihat model menerima konsekuensi negatif atas perilaku itu. Contoh kasus misalnya, jika seseorang sudah tidak berani melakukan korupsi akibat temannya yang melakukan korupsi mendapatkan hukuman.

Sedangkan efek disinhibitory terjadi saat pengamat meningkatkan performansinya atas perilaku-perilaku yang telah dipelajari sebelumnya. Meskipun berbagai perilaku model berbahaya atau mengancam, pengamat tetap meningkatkan perilakunya karena berbagai perilaku itu model tidak menimbulkan sesuatu efek yang merugikan, dalam contoh yang sama orang itu akan tetap berani melakukan korupsi, bahkan lebih besar, akibat temannya yang melakukan korupsi tidak mendapatkan hukuman atau dibiarkan saja.

3) Response Facilitation Effects

Setiap orang sebenarnya mampu untuk berperilaku tertentu. Namun karena kurangnya dorongan atau dukungan sosial, ia tidak berani melakukannya. Kenyataannya, suatu ketika seseorang akan melakukan hal itu karena adanya dorongan dari orang lain yakni ketika orang lain (model) melakukan perilaku yang sama atau serupa dengan apa yang sebenarnya ada dalam diri dan mampu dilakukan, tetapi belum dilakukan, oleh pengamat. Inilah yang dinamakan response facilitation effects. Dalam situasi seperti inilah, perilaku-perilaku yang


(47)

ditunjukkan oleh model menjadi suatu kekuatan pendorong terhadap perilaku-perilaku yang sudah dipelajari sebelumnya, meskipun awalnya pengamat belum berani melakukan. Misalnya, seseorang ingin membicarakan tentang kasus korupsi yang terjadi pada suatu lembaga pemerintahan tetapi ia merasa takut untuk memulainya. Saat orang lain (model) menyinggung tentang hal yang sama, ia akan berani menyambung pembicaraan itu karena ia merasa ada dukungan dari sosialnya.

4) Environmental Enhancement Effects

Environmental enhancement effects adalah fenomena dimana pengamat akan menggunakan obyek yang dipakai oleh pengamat pada situasi-situasi yang berbeda atau aktivitas-aktivitas yang memiliki tujuan berbeda. Hal itu terjadi jika berbagai macam perilaku dari model tidak hanya menjadi penguat bagi terbentuknya perilaku yang serupa dalam diri pengamat, namun juga memungkinkan pengamat melakukan aktivitas lain dengan menggunakan suatu obyek yang dipakai saat peristiwa modeling terjadi. Misalnya, saat seseorang melihat model menggunakan sticker yang berisi nama, sebagai alat identitas pemilik alat tulis, pada salah satu alat tulisnya, pengamat dapat meniru dengan menggunakan sticker semacam itu pada buku-buku pribadinya.

5) Arousal Effects

Dalam berbagai proses interaksi sosial, biasanya seseorang turut mengungkapkan emosinya lewat ekspresi mukanya. Fenomena arousal effects menunjuk pada bangkitnya gejolak emosi yang ada dalam dalam diri pengamat akibat menangkap ekspresi emosi yang muncul dalam diri model, misalnya saat


(48)

seseorang (model) mengungkapkan kekecewaannya karena dibohongi oleh temannya, pengamat akan cenderung merasakan gejolak kecewa seperti apa yang dirasakan oleh model. Namun pada sisi lain, pengamat juga mungkin akan mengembangkan antisipasi dalam dirinya apabila ia menghadapi situasi-situasi yang mirip dengan pengalaman model. Dalam kasus yang sama, pengamat akan menyiapkan diri apabila ia juga mengalami keadaan yang serupa, misalnya dengan mencoba bersikap lebih tenang dan lainnya.

Dari dua uraian tersebut, rumusan yang diungkapkan Bandura memiliki penjelasan yang lebih luas dibandingkan uraian Alwisol namun uraiannya tidak cukup mengungkap sisi tingkat kedalaman modeling. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan konsep modeling dari Alwisol dengan pertimbangan bahwa konteks penelitian ini adalah ingin mengenali sejauh mana internalisasi nilai-nilai yang dilakukan pengamat terjadi melalui mekanisme belajar modeling atas pemimpin biara sebagai modelnya

.

3. Tahapan-tahapan dalam Modeling

Modeling terjadi melalui beberapa tahapan. Bandura (dalam Boeree, 2006) membagi proses modeling ke dalam empat tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain perhatian (attention), ingatan (retention), reproduksi, dan motivasi (motivation).

Perhatian (attention) adalah proses saat seorang pengamat mengalami ketertarikan terhadap karakteristik tertentu dari model. Dengan ketertarikan, seseorang akan mulai memperhatikannya. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi


(49)

pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi pengamat (Alwisol, 2006).

Ingatan (Retention). Alwisol (2006) menyebutnya dengan istilah ‘representasi’, yaitu pengungkapan kembali berbagai informasi yang telah di dapatkan sebelumnya. Ingatan terjadi setelah berbagai deskripsi yang telah dikumpulkan saat memperhatikan model diolah kembali dan dievaluasi menurut kemampuan kognitif baik dalam bentuk imajinasi atau verbal, sehingga memungkinkan adanya latihan simbolik dalam pikiran tanpa perlu melakukannya secara nyata.

Reproduksi adalah tahap seorang pengamat menerjemahkan deskripsi ke dalam tingkah laku yang nyata. Seseorang mengubah apa yang ada dalam pikirannya itu ke dalam suatu perilakunya.

Munculnya motivasi menjadi langkah terakhir terjadinya modeling. Motivasi adalah dorongan yang muncul dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Seseorang tidak mungkin akan melakukan suatu perilaku hasil pengamatannya terhadap model jika ia sendiri tidak memiliki motivasi atau dorongan untuk melakukannya. Pada bagian ini, Alwisol (2006) menambahkan pentingnya aspek reinforcement. Motivasi untuk melakukan modeling akan semakin tinggi apabila perilaku yang ditiru dari model mendapatkan ganjaran dari lingkungan sosialnya. Meskipun demikian, ia menyadari bahwa tanpa ada reinforcement, modeling dapat tetap terjadi apabila pengamat memang menemukan sesuatu hal yang positif dari model.


(50)

4. Karakteristik Model yang Mempengaruhi Terjadinya Modeling

Ada beberapa karakteristik model yang mempengaruhi seseorang melakukan modeling antara lain usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan (Alwisol, 2006). Usia adalah menyangkut seberapa jauh jarak umur antara pengamat dengan model, semakin sedikit perbedaan umurnya semakin besar peluang terjadinya modeling. Ia memberi contoh bahwa anak kecil akan lebih tertarik meniru model yang seumuran dengannya dibanding dengan mereka yang memiliki umur jauh di atasnya. Sedangkan status sosial adalah seberapa tinggi atau rendah seseorang memiliki kedudukan dalam lingkungan masyarakatnya. Orang yang memiliki status sosial tinggi dalam masyarakat misalnya pemimpin, cenderung memiliki potensi untuk dijadikan model daripada mereka yang tidak memilikinya. Seks menyangkut jenis kelamin pihak yang dijadikan model. Jenis kelamin model yang sama dengan pengamat lebih sering dijadikan model. Menurut Alwisol (2006), anak gadis akan lebih suka mengimitasi ibu daripada ayahnya. Kehangatan menunjukkan sikap mau menerima orang lain secara akrab misalnya, anak kecil tentu akan mengimitasi orang tuanya yang hangat dan terbuka. Kemampuan menunjukkan berbagai kelebihan yang dimiliki model. Seseorang akan meniru model yang memiliki prestasi lebih baik darinya.

Selain berbagai karakteristik tersebut di atas, masih ada beberapa karakteristik yang ditulis Hergenhahn dan Olson (1997) seperti dihormati oleh banyak orang, memiliki kekuasaan, dan memiliki sifat menarik juga cenderung dijadikan model. Kita mengerti apabila model tentu dianggap memiliki ‘nilai lebih’ dibandingkan


(51)

orang yang menjadi pengamat (observer). Berarti di sana, ada persepsi positif terhadap figur yang dijadikan modelnya.

Perilaku modeling dapat terjadi dimanapun sekelompok masyarakat itu berada; rumah, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat kerja, dan tentu juga di sebuah komunitas biara. Modeling terjadi karena ada beberapa karakteristik model yang turut menentukan. Biasanya, berbagai karakteristik model tersebut disesuaikan dengan karakteristik pengamat yang akan melakukan modeling. Artinya ialah bahwa observer atau pengamat perlu mempertimbangkan kembali apakah karakteristik model, seperti kemampuan, gaya hidup, pola berpikir, dan sebagainya itu, berada dalam jangkauannya; pengamat melihat keadaan dirinya apakah ia mampu melakukan peniruan terhadap apa yang ada dalam diri modelnya.

Peneliti memahami bahwa faktor keramahan dan keterbukaan yang ada pada seseorang juga memiliki kekuatan dalam memunculkan modeling pada orang lain (pengamat) karena hal ini juga memunculkan persepsi positif dalam diri pengamat atas diri model. Keramahan dan keterbukaan itu dapat kita lihat dengan sejauh mana seseorang mampu menerima orang lain secara hangat lewat komunikasi dan hidup sehari-hari; keterbukaannya, kesediaan membangun kepercayaan, kejujuran, dan sebagainya.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti memiliki kerangka berpikir bahwa seorang pemimpin dalam suatu kelompok yang mampu membangun keramahan dan keterbukaan dalam komunikasi interpersonalnya memiliki peluang bagi terjadinya modeling para anggotanya.


(52)

C. BIARA

1. Pengertian Biara

Individu-individu yang tinggal dalam biara merupakan suatu kelompok masyarakat atau komunitas kecil dengan gaya kehidupan yang khusus karena gaya kehidupan mereka ‘berbeda’ dengan masyarakat secara umum. Yang dimaksud dengan ‘berbeda’ di sini tampak dalam cara hidup serta orientasinya. Berbeda dalam gaya, misalnya memilih jalan hidup selibat, tidak menikah, serta hidup dalam asrama, yang disebut biara, dengan berbagai peraturan bersama yang harus ditaati oleh semua anggota di dalamnya. Selain itu, ada ciri penting yang ada dalam kehidupan biara yakni dimana semua anggota biara diharapkan dapat menginternalisasikan nilai-nilai religius, baik agama maupun spiritualitas, serta menginkorporasikan (menyatukan) diri dengan tarekatnya (Prasetyo, 2001).

Biara didefinisikan sebagai tempat tinggal para pertapa atau bangunan tempat tinggal orang laki-laki atau perempuan yang mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan ajaran Injil di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan tarikatnya (Salim dan Salim, 1991). Orang laki-laki atau perempuan di sini kita sebut dengan biarawan, sebutan untuk mereka yang laki-laki, dan biarawati, sebutan untuk mereka yang perempuan. Dalam perspektif agama Katolik, biara dapat dipahami sebagai tempat pendidikan khusus bagi mereka yang memilih jalan hidup secara khusus, baik sebagai imam (pastor), bruder, maupun suster.

Biara merupakan bagian dari apa yang disebut dengan tarekat religius atau lembaga hidup bhakti, lembaga yang menekankan pada corak kehidupan kristiani


(53)

tertentu. Dengan kata lain, setiap tarekat religius memiliki banyak tempat pendidikan (baca: biara). Dalam setiap biara itulah, mereka mengolah hidup pribadi masing-masing agar dapat menemukan kehendak Tuhan menurut corak hidup masing-masing tarekat yang dipilihnya. Panggilan hidup sebagai biarawan ataupun biarawati adalah sebagian dari pola hidup religius. Hakikat hidup religius adalah bahwa hidup religius lahir dan ada untuk umat manusia dan dunia (Darminto, 2003). Artinya adalah bahwa mereka yang dipanggil (baca: menjadi biarawan dan biarawati) harus mampu memberikan diri mereka bagi kepentingan semua orang demi terciptanya keadilan di dunia. Semua itu dapat diraih dengan pembinaan yang senantiasa dilakukan sehingga setiap pribadi dapat dibentuk dan diberdayakan menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas melalui proses internalisasi dan inkorporasi (Prasetyo. 2001). Figur yang memiliki peran penting dalam biara adalah pemimpin, karena mereka akan menjadi ‘guru’ yang senantiasa mendampingi dan mengarahkan para anggotanya untuk memgembangkan panggilan mereka itu.

Pemahaman yang lebih luas tentang gaya hidup dalam biara dapat kita mengerti dari perspektif pandangan Gereja Katolik. Pertama-tama, perlu kita mengerti bahwa sejarah Gereja Katolik memiliki keanekaragaman hidup membiara. Pada tahap awal hidup membiara, dikenal beberapa tokoh seperti Antonius, Benediktus, dan berikutnya diikuti dengan munculnya ordo-ordo besar seperti Ordo Santo Agustinus, Ordo Dominikan (OP), Ordo Fransiskan, dan Jesuit. Sekarang ini, sudah banyak sekali bentuk-bentuk hidup membiara, baik itu


(54)

imam, suster, maupun bruder. Namun demikian, ada lima unsur yang muncul dari semua hidup membiara, yaitu (Maslim, 2004);

1. hidup murni dan tidak kawin demi Kerajaan Surga

2. hidup sederhana dalam hal milik, kesenangan, hormat kepada pribadi, dan lain-lain termasuk kesederhanaan dalam hal kerendahan hati dan mati raga 3. perhatian dan banyak waktu untuk mencari Tuhan melalui doa dan melatih

hidup batin supaya makin sesuai dengan kehendak Tuhan

4. adanya ketaatan kepada pedoman dasar sebagai pegangan untuk berkembang dalam persatuan dengan Tuhan

5. bentuk kehidupan bersama sesuai dengan corak serikat hidup membiara yang dipilih

Kelima unsur tersebut menentukan bentuk hakiki kehidupan yang disebut hidup membiara (Maslim, 2004) dimana modeling terhadap pemimpinnya adalah salah satu proses belajar yang dapat dilakukan oleh anggota di dalamnya. Dengan belajar melalui modeling, anggota biara dapat menemukan beberapa hal yang diharapkan oleh tarekat atas diri mereka. Semuanya itu penting meskipun dalam perkembangannya tekanan dan corak hidup masing-masing tarekat berbeda antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lain.

2. Pemimpin dan Anggota: Peran sebagai Pendamping dan Yang Didampingi dalam proses Formatio

Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Sherif dan Sherif (dalam Ahmadi, 1991), setiap


(55)

kelompok memiliki pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu sebagai landasan interaksi sosial bagi anggotanya. Seperti halnya dalam kelompok-kelompok masyarakat pada umumnya, di dalam sebuah biara terdapat pula suatu karakter tertentu yang khas seperti aturan, struktur, atau peran tertentu. Dalam hal peran, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Salim dan Salim,1991), menyebutkan adanya salah satu pemimpin yang mengetuai para anggota dalam sebuah biara. Pihak yang mengetuai inilah yang disebut dengan pemimpin biara, sedangkan yang lain adalah anggotanya, sehingga merekalah yang akan dipimpin.

Gereja Katolik melihat bahwa pemimpin biara bertanggung jawab dalam proses formatio para anggotanya. Tujuannya ( Prasetyo, 2001) adalah membantu pribadi agar mampu menginternalisasi yakni mencerna dan membatinkan cita-cita transendensi diri Kristus sedemikian rupa sehingga menjadi alter Christus ( Kristus yang lain). Secara sederhana, formatio dapat diartikan sebagai proses pembentukan diri para anggota suatu tarekat religius menuju karakter yang diharapkan oleh tarekat itu melalui internalisasi nilai-nilai atau cita-cita tarekatnya. Dalam proses ini, pembina harus mampu mendampingi perjalanan panggilan biarawan/ biarawati anggotamya melalui ajaran dan doa (prasetyo, 2001).

Siapakah pembina yang dimaksud di sini? Prasetyo (2000) mengatakan bahwa Roh Kudus adalah formator utama, sedangkan dalam konteks pembinaan dan pendidikan formal, pihak formator salah satunya dipegang oleh pemimpin komunitas beserta para stafnya. Darminto (2005) mengungkapkan bahwa dalam


(56)

tarekat religius, seorang pemimpin memiliki berbagai tanggung jawab yang cukup besar terhadap anggotanya. Ia menyebutkan bahwa pemimpin harus berusaha agar umat-Nya semakin bertemu dengan Kristus dan Roh Kudus sendiri dengan cara selalu mencoba mengenali tanda-tanda pengarahan Tuhan yang telah dirasakan anggota, mengembangkan kebiasaan memandang hidup secara rohani para anggotanya, mengusahakan para anggota agar tetap setia pada kitab suci, dan sebagainya.

Setiap anggota yang ada dalam sebuah komunitas biara dapat belajar mengenai panggilan mereka. Mereka belajar mengembangkan diri pribadi mereka secara unik dan khas, meskipun di sisi lain ada tuntutan untuk mentaati apa yang dikehendaki oleh pemimpin mereka, baik pemimpin suatu komunitas atau pemimpin tertinggi tarekat religiusnya karena lewat merekalah para anggota biara akan mendapatkan ajaran dan doa (Prasetyo, 2001). Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph Kimu (dalam Darminto, 2005) yang mengatakan bahwa pemimpin memiliki tugas melaksanakan kuasa atas suatu kelompok atau komunitas tertentu dimana semua bawahan harus hormat dan taat kepadanya. Ini bukan berarti seorang pemimpin biara berkehendak bebas melainkan berkehendak sesuai dengan cita-cita tarekatnya. Artinya, pemimpin biara akan mendampingi para anggota biara dalam perjalanan panggilan mereka. Secara lebih dekat dengan bahasa rohani, Darminto (2005) mengatakan bahwa memimpin dalam tarekat berarti memimpin sekelompok Umat Allah yang memiliki Kristus sebagai gembala dan Guru-Nya, dan Roh Kudus yang memimpin menuju kebenaran.


(57)

Pemahaman ini memberi pengertian kepada kita bahwa dalam setiap kehidupan komunitas tarekat religius seperti dalam sebuah biara terdapat dua peran penting, seorang pemimpin biara yang akan melayani (baca: memimpin) para anggotanya dalam menghadapi pergulatan panggilan hidupnya serta para anggotanya itu sendiri yang berperan sebagai pihak yang dipimpin. Kedua peran ini akan senantiasa berproses bersama selama mereka menghidupi proses panggilan hidup ‘khusus’ menurut corak masing-masing tarekat religius yang mereka pilih.

3. Komunikasi: Elemen Penting dalam Proses Pendampingan Para Anggota Biara

Pemimpin biara memiliki tugas memimpin (baca: membina atau mendampingi) para anggotanya. Komunikasi adalah salah satu sarana yang dapat dilakukan untuk mencapai cita-cita itu. Prasetyo (2000) menyebutkan bahwa komunikasi pemimpin dengan para anggota dalam tarekat adalah salah satu bentuk mediasi untuk mendampingi mereka agar setiap pribadi dapat tumbuh dengan baik. Namun demikian selain sebagai sarana melakukan pendampingan (baca: pembinaan), komunikasi juga dapat berperan sebagai sarana untuk menemukan kesenangan, memenuhi kebutuhan afeksi dalam persahabatan, dan lainnya (Hybels dan Weaver, 2004).

Komunikasi interpersonal antara pemimpin biara dengan para anggotanya hampir pasti terjadi setiap saat. Komunikasi semacam ini dapat terjadi dalam berbagai kesempatan, misalnya saat perjumpaan singkat dalam kehidupan


(58)

sehari-hari, sharing komunitas, diskusi atau bertukar pikiran, ibadat komunitas, atau saat bimbingan rohani, serta masih banyak kesempatan lain. Oleh karena itu, komunikasi ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dalam setiap komunitas biara.

Komunikasi dalam perjumpaan singkat sehari-hari biasanya tidak membutuhkan proses yang lama, misalnya hanya saling bertegur sapa, saat pemimpin menyuruh sesuatu, memberikan salam dan pujian, bercanda, atau yang lainnya. Komunikasi semacam ini sangat sering terjadi namun tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam.

Komunikasi antara pemimpin dan anggota biara juga dapat terjadi saat diskusi atau rapat komunitas. Diskusi dan rapat adalah usaha untuk saling bertukar pikiran atas berbagai hal yang menyangkut kehidupan bersama dalam komunitas biara. Namun kadang-kadang, rapat komunitas dapat berisi berbagai instruksi atau semacam pengarahan dari pemimpin komunitas biara yang harus dilakukan oleh anggota komunitas tanpa memerlukan adanya diskusi terlebih dahulu dengan para anggotanya. Instruksi atau pengarahan di sini tentunya masih dalam kerangka proses pembinaan para anggotanya.

Ibadat komunitas menunjuk pada aktivitas kerohanian seperti perayaan ekaristi atau doa-doa yang wajib diikuti oleh seluruh anggota komunitas. Ibadat komunitas juga membutuhkan adanya komunikasi interpersonal, hanya saja komunikasi yang ada bukanlah komunikasi timbal-balik yang mendalam melainkan semacam komunikasi bersama kepada Tuhan dalam kerangkan uangkapan secara komunal. Meskipun tidak setiap ibadat komunitas dipimpin


(59)

oleh pemimpin biara, adakalanya pemimpin biaralah yang memimpin sekaligus memberikan renungan-renungan yang berguna bagi pengolahan hidup anggotanya.

Bimbingan rohani adalah proses komunikasi timbal baik antara pemimpin dan yang didampingi untuk bersama-sama mengolah panggilan hidup mereka, khususnya dalam hal rohani. Biasanya dapat dilakukan dalam kurun waktu tertentu secara rutin, bisa sebulan sekali, dua bulan sekali, atau tergantung kebutuhan. Bentuk komunikasi ini adalah komunikasi yang cukup mendalam, karena dalam kegiatan ini antara pemimpin dan anggota saling membuka diri secara jujur untuk mengolah panggilan hidup, khususnya anggota biara yang sedang dibina. Di sinilah, pemimpin biara dapat memberikan masukan-masukan bagi anggota yang sedang dibinanya.

Ada pula komunikasi dalam konteks persahabatan antara anggota dan pemimpin biara dimana komunikasi ini tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan tertentu saja melainkan dapat terjadi dalam berbagai kesempatan. Komunikasi semacam ini misalnya terjadi saat sharing pengalaman atau pengolahan, saat correctio fraterna, saat mengkritik dan memberi masukan, saat memberikan dukungan, dan sebagainya.

Bentuk-bentuk komunikasi seperti yang tersebut di atas dapat dipastikan ada dalam setiap komunitas biara, dan mungkin masih ada berbagai bentuk lain. Oleh karenanya, hal itu menjadi sesuatu yang sangat penting dalam usaha pembinaan atau pendampingan para anggotanya. Hanya saja, jelas ada beberapa variasi bentuknya, tergantung dengan kekhasan masing-masing biara. Salah satu yang


(60)

membedakan misalnya bagaimana karakter (kepribadian) pemimpin biara dalam menjalankan komunikasi dengan para anggotanya itu. Barangkali ada pemimpin yang memiliki gaya akrab, hangat, dan santai, namun juga ada yang menggunakan gaya serius dan terkesan menjaga jarak dengan anggotanya.

4. Modeling Melalui Komunikasi Interpersonal Mendalam di Komunitas Biara

Kita tahu bahwa dalam hidupnya, seseorang dapat belajar dari lingkungannya melalui proses modeling. Modeling bisa terjadi melalui komunikasi interpersonal yang mendalam sebab lewat komunikasi ini orang dapat langsung bertukar pandangan secara langsung dengan penuh penerimaan. Seseorang akan lebih mudah mengkomunikasikan dan menerima sesuatu gagasan terhadap orang yang ramah, hangat, dan menerima tanpa syarat dibandingkan dengan orang yang tidak demikian. Demikian juga, seseorang yang memiliki persepsi positif terhadap orang yang mampu membangun komunikasi interpersonal yang mendalam dengan dirinya, karena ia memandang bahwa orang tersebut cukup ramah dan mampu menerima orang lain apa adanya, juga memiliki kemungkinan untuk menjadikan orang itu sebagai modelnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Alwisol (2006) bahwa salah satu karakter yang mendorong orang melakukan modeling terhadap orang lain adalah sifat keramahan orang itu.

Modeling melalui komunikasi interpersonal yang mendalam juga dapat terjadi dalam sebuah biara, yakni para anggota terhadap pemimpinnya. Adanya komunikasi interpersonal yang mendalam antara pemimpin biara dengan


(61)

anggotanya memungkinkan adanya pemahaman dan penerimaan berbagai macam teladan secara lebih terbuka dari para anggota sebagai pihak yang ‘masih perlu didampingi’ dalam pengolahan panggilannya. Hal ini tidak terlepas dari peran pemimpin biara dalam proses formatio para anggotanya yakni senantiasa mendampingi perjalanan panggilan mereka dengan cara memberi santapan kehidupan, ajan, dan doa. Dalam proses itu, seorang pemimpin akan senantiasa memberikan berbagai teladan melalui sikap dan perilakunya sehari-hari, baik diberikan secara lisan ataupun tidak.

Komunikasi interpersonal, dapat berfungsi untuk saling membantu mengubah sikap dan perilaku hidup bersama orang lain (Hardjana, 2003). Dilihat dari sisi ini, setiap anggota biara yang semakin percaya dan merasa bahwa pemimpinnya dapat mengerti apa adanya, ia akan semakin berani pula mengungkapkan isi hatinya. Dengan keterbukaan dan penerimaan yang penuh dari pemimpin biara, anggota bisa dengan suka rela menerima gagasan yang disampaikan pemimpinnya itu. Inilah yang sesuai dengan pendapat Hardjana (2003) bahwa komunikasi interpersonal merupakan wahana untuk mengubah dan mengembangkan belajar, mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian.

Pada sisi lain, kesediaan menerima anggota apa adanya, sebagai salah satu pendukung sifat keramahan, akan memunculkan persepsi yang positif terhadap pemimpin. Anggota biara yang menganggap positif pemimpinnya, termasuk yang bisa dijadikan lawan bicaranya, memiliki peluang untuk meniru gaya pemimpinnya itu dan meninggalkan gayanya sendiri yang lama untuk meniru yang lebih baik. Persepsi yang positif terhadap pemimpin inilah yang memiliki


(62)

peran untuk memunculkan modeling atas pemimpinnya itu. Sears (1999) memiliki kesimpulan bahwa semakin baik penilaian seseorang terhadap komunikator, semakin mudah orang itu mengubah sikapnya.

Konteks perilaku modeling dalam biara adalah bagian dari rangkaian proses formatio para anggota biara. Formatio dalam biara kita mengerti sebagai proses pembentukan karakter pribadi seorang anggota biara. Dalam proses itu, setiap anggota biara akan didampingi oleh pemimpin biara itu. Oleh karena itu selama formatio masih berlangsung, proses belajar melalui modeling senantiasa mungkin terjadi.

D. Korelasi antara Kedalaman Komunikasi Interpersonal Anggota dan Pemimpin Biara dengan

Kedalaman Modeling Anggota Terhadap Pemimpin Biara

Dalam keseharian hidup di biara, para biarawan dan biarawati melakukan komunikasi antara satu dengan yang lain, salah satunya komunikasi dengan pemimpin mereka. Komunikasi itu tentu memiliki taraf kedalaman yang berbeda-beda; ada yang dangkal, ada pula yang sedang, dan ada yang mendalam. Dengan komunikasi yang mendalam, anggota biara dapat mengungkapkan segala perasaan dan permasalahan yang dia hadapi. Hal ini dapat terjadi saat bimbingan rohani misalnya. Apabila pemimpin bisa mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ia merasa dipahami dan dimengerti secara penuh. Beda lagi dengan yang lain ketika ia merasa sungkan karena memiliki pengalaman merasa kurang dapat diterima oleh pemimpinnya sehingga komunikasi mereka menjadi dangkal. Pengalaman


(63)

yang berbeda-beda ini membuat berbeda-beda pula kedalaman komunikasi interpersonal dengan pemimpin mereka.

Komunikasi interpersonal yang mendalam antara pemimpin biara dengan anggotanya menuntut adanya sikap saling percaya, terbuka, dan jujur. Dengan komunikasi semacam ini, mereka akan saling mudah memahami dan menerima apa yang disampaikan lawan bicaranya. Tahap inilah yang dapat digunakan oleh pemimpin biara untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi para anggotanya. Dengan komunikasi yang mengandalkan penerimaan tanpa syarat, keduanya akan mudah untuk saling memberi dan menerima, anggota memberikan informasi perkembangan panggilan beserta permasalahan, pemimpin dapat memberikan masukan atau arahan untuk pengolahan panggilan anggotanya. Keadaan di seperti ini cukup membuka peluang terjadinya modeling terlebih lagi apabila komunikasi ini dibangun antara seorang pemimpin dengan anggotanya (bisa dibaca: bawahnnya) maka anggota akan dengan penuh kepercayaan menerima apa yang disampaikan pemimpinnya itu. Hal ini memiliki kemungkinan yang besar karena pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku dan kepercayaan kelompok (Sears, dkk, 2004).

Keterampilan komunikasi interpersonal yang baik dari pemimpin biara juga dapat memunculkan anggapan bahwa pemimpin mereka memiliki sifat ramah, terbuka, pengertian, menerima, dan sebagainya. Padahal, sifat-sifat positif seperti ramah dan terbuka juga menjadi salah satu faktor yang turut berpengaruh dalam memunculkan perilaku modeling (Alwisol, 2006). Berbagai sikap yang ada dalam pemimpin seperti ini dapat menjadi teladan bagi anggotanya. Hal tersebut sesuai


(64)

dengan apa yang diungkapkan oleh Meadow (1989) bahwa “teladan menggambarkan bagaimana seseorang terpengaruh oleh apa yang dilihat dari apa yang dilakukan oleh orang lain”.

Dengan alur pemikiran semacam ini, peneliti berpandangan bahwa anggota biara akan dengan mudah menerima pendapat dari pemimpin mereka ketika mereka mampu membangun komunikasi dengan penuh keterbukaan, kejujuran, saling percaya, dan santun. Oleh karena itu, semakin dalam komunikasi interpersonal semakin bebas pula orang dapat saling mengungkapkan dan menerima perasaan, pendapat, ide, gagasan, usulan dan hal lain dari lawan bicara (bdk. kedalaman komunikasi interpersonal taraf hubungan puncak, Supratiknya, 1995) sehingga memunculkan modeling. Modeling nantinya dapat berbentuk meniru perilaku model, pola pikir, penambahan dan pengurangan hasil belajar sebelumnya, dinamika emosi, nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai spiritualitas, dan lainnya. Dengan mempercayai dan menerima apa yang disampaikan oleh pemimpinnya, para anggota biara dapat mengikuti (baca: meniru) berbagai pandangan, ide, perilaku, cara hidup, dan nilai-nilai pemimpinnya yang mungkin selama ini belum ada dalam dirinya. Semakin dalam komunikasi interpersonal yang dibangun, semakin modeling sampai kepada internalisasi nilai-nilai dari model. Pemahaman tersebut dapat kita mengerti dengan bagan di bawah ini:


(1)

186

Deskripsi Empiris dan Teoretis Hasil Penelitian

Descriptives

Descriptive Statistics

66 3,628571 8,985714 7,035621 ,936786544 66 5,238462 9,000000 6,533497 ,880341244 66

Komunikasi Modeling Valid N (listwise)

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Deskripsi Teoritik Skor Hasil Penelitian

N Minimum Maximum Mean Std Deviation

Komunikasi 66 0 10 5.00 7,07


(2)

Tabel Hasil Uji Normalitas

Hasil Uji Normalitas Variabel Kedalaman Komunikasi Interpersonal

NPar Tests

Descriptive Statistics

66 7,035621 .936786516 3.628572 8.985714 Komunikasi

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

66 7.03562069 .936786532 .140 .140 -.062 1.137 .151 N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Komunikasi

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(3)

188

Hasil Uji Normalitas Variabel Kedalaman

Modeling

NPar Tests

Descriptive Statistics

66 6,533497 .880341270 5.238461 9.000000 Modeling

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

66 6,533497 ******** .145 .145 -.071 1.180 .124 N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Modeling

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(4)

Hasil Uji Linearitas Hubungan Variabel Kedalaman Komunikasi

Interpersonal Variabel Kedalaman

Modeling

Means

Case Processing Summary

66 100,0% 0 ,0% 66 100,0%

Skor Modeling Empirik * Skor Komunikasi Empirik

N Percent N Percent N Percent

Included Excluded Total

Cases

ANOVA Table

49,596 62 ,800 3,082 ,192

6,499 1 6,499 25,042 ,015

43,097 61 ,707 2,722 ,223

,779 3 ,260

50,375 65

(Combined) Linearity

Deviation from Linea Between

Groups

Within Groups Total

Skor Modeling Empirik Skor Komunikasi Emp

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Measures of Association

,359 ,129 ,992 ,985

Skor Modeling Empirik * Skor Komunikasi Empirik


(5)

190

Report

Skor Modeling Empirik

5,9286 1 ,

6,6167 1 ,

5,8778 1 ,

5,6714 1 ,

6,2875 1 ,

6,5500 1 ,

6,0727 1 ,

5,9667 1 ,

6,2750 1 ,

5,4167 1 ,

8,1500 1 ,

7,1333 1 ,

5,2385 1 ,

5,9923 1 ,

6,6385 1 ,

6,6750 1 ,

6,0929 1 ,

6,3154 1 ,

6,0000 1 ,

6,6273 1 ,

6,5696 2 ,62638

8,2200 1 ,

6,2250 1 ,

6,2833 1 ,

7,6857 1 ,

5,4813 1 ,

6,5100 1 ,

6,1889 1 ,

5,3100 1 ,

5,4182 1 ,

7,9000 1 ,

5,6375 1 ,

6,1455 1 ,

6,3250 1 ,

8,1400 1 ,

7,9200 1 ,

5,4487 2 ,25746

6,2375 1 ,

5,8111 1 ,

5,4286 1 ,

6,6818 1 ,

6,3583 1 ,

6,5500 1 ,

5,9417 1 ,

7,1500 1 ,

6,0250 1 ,

6,4545 1 ,

6,2818 1 ,

6,0364 1 ,

5,4455 1 ,

6,0467 1 ,

6,8125 1 ,

6,7300 1 ,

7,2250 1 ,

6,9167 2 ,56569

8,5167 1 ,

7,6714 1 ,

7,5875 1 ,

9,0000 1 ,

6,4800 1 ,

8,6800 1 ,

6,4625 1 ,

6,8100 1 ,

6,5335 66 ,88034

Skor Komunikasi Empirik 3,63 5,46 5,48 5,83 5,92 5,99 6,07 6,11 6,12 6,14 6,25 6,29 6,32 6,36 6,46 6,48 6,56 6,59 6,60 6,63 6,65 6,71 6,71 6,76 6,81 6,83 6,84 6,88 6,88 6,89 6,92 6,96 6,96 6,98 6,99 6,99 6,99 7,01 7,02 7,03 7,15 7,25 7,26 7,31 7,40 7,42 7,59 7,62 7,74 7,75 7,78 7,95 8,06 8,06 8,17 8,20 8,30 8,36 8,38 8,86 8,91 8,95 8,99 Total


(6)

Tabel Hasil Uji Korelasi Antara

Kedalaman Komunikasi Interpersonal

Anggota dengan Pemimpin Biara

dan Kedalaman

Modeling

Anggota terhadap Pemimpin Biara

Correlations

Correlations

1 .359**

. .002

66 66

.359** 1

.002 .

66 66

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Komunikasi

Modeling

Komunikasi Modeling

Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). **.