UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA SISWA KELAS III SD NEGERI TEGALSARI KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG.
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
PADA SISWA KELAS III SD NEGERI TEGALSARI KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Rostiecha Rahayu NIM 11108241065
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
i
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
PADA SISWA KELAS III SD NEGERI TEGALSARI KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Rostiecha Rahayu NIM 11108241065
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(3)
(4)
(5)
iv
(6)
v MOTTO
“Pengetahuan yang kita miliki akan lebih bermakna jika kita mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari”
(7)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan dan kasih sayang yang tulus.
2. Almamaterku Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Nusa, Bangsa, dan Agama.
(8)
vii
UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
PADA SISWA KELAS III SD NEGERI TEGALSARI KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG
Oleh: Rostiecha Rahayu NIM 11108241065
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas I I I SD Negeri Tegalsari yang rendah dengan menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes dan dokumentasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Desain penelitian tindakan kelas ini menggunakan model Kemmis dan McTaggart. Subjek dalam penelitian adalah siswa kelas I I I SD Negeri Tegalsari yang berjumlah 31 siswa. Sedangkan objek dalam penelitian adalah prestasi belajar IPA. Instrumen penelitian menggunakan lembar observasi untuk memperoleh data keterlaksanaan model pembelajaran CTL dan soal tes untuk mengukur prestasi belajar IPA siswa. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran CTL melalui tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata prestasi belajar IPA dari pra siklus 65,96 setelah dilakukan pembelajaran menggunakan CTL pada siklus I meningkat 8,55 menjadi 74,51. Setelah dilakukan perbaikan pada siklus II yaitu guru menuliskan catatan saat memberi penguatan, menegur siswa yang ramai, memotivasi siswa agar bertanya dan membantu membacakan soal tes, prestasi belajar IPA siswa meningkat 14,52 menjadi 80,48. Sedangkan persentase ketuntasan belajar IPA pra siklus mencapai 41,93%, siklus I mencapai 74,20% dan siklus II mencapai 93,55%. Penelitian ini dihentikan sampai siklus II karena persentase ketuntasan belajar siswa sudah memenuhi kriteria keberhasilan yaitu ≥75% siswa sudah mencapai nilai KKM 70. Kata kunci: prestasi belajar IPA, model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(9)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING PADA SISWA KELAS III SD NEGERI TEGALSARI
KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Selama mengerjakan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan berupa petunjuk, bimbingan maupun pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Rektor UNY yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di UNY.
2. Bapak Dr. Haryanto, M.Pd. selaku Dekan FIP yang telah memberikan kemudahan dalam terlaksananya penelitian ini.
3. Bapak Drs. Suparlan, M.Pd.I. selaku Ketua Jurusan PSD yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Pratiwi Puji Astuti, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, memberi masukan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
(10)
(11)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 9
C.Pembatasan Masalah ... 9
D.Rumusan Masalah ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN TEORI A.Prestasi Belajar ... 13
1. Pengertian Prestasi Belajar ... 13
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar ... 14
3. Tipe-Tipe Prestasi Belajar ... 17
4. Kriteria Keberhasilan Belajar ... 22
B.Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam ... 23
(12)
xi
2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ... 25
3. Ruang Lingkup Kajian IPA Sekolah Dasar ... 25
4. Memberdayakan Anak melalui Pembelajaran IPA... 26
C.Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 27
1. Pengertian Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 27
2. Karakteristik Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 29
3. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 31
4. Komponen-Komponen Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 32
5. Langkah-Langkah Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 40
6. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Konvensional ... 42
D.Karakteristik Siswa Kelas III Sekolah Dasar ... 44
E. Ruang Lingkup Materi IPA Kelas III Sekolah Dasar ... 45
F. Definisi Operasional Variabel ... 46
G.Penelitian yang Relevan ... 47
H.Kerangka Pikir ... 49
I. Hipotesis Tindakan ... 51
BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 52
B.Setting Penelitian ... 52
C.Subjek dan Objek Penelitian ... 53
D.Desain Penelitian ... 53
E. Variabel Penelitian ... 59
F. Teknik Pengumpulan Data ... 60
G.Instrumen Penelitian ... 61
H.Teknik Analisis Data ... 67
I. Indikator Keberhasilan ... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 69
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 69
(13)
xii
3. Deskripsi Kondisi Awal (Pra Tindakan) ... 69
4. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus I ... 72
5. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus II ... 89
B.Pembahasan ... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 115
B.Saran ... 116
DAFTAR PUSTAKA ... 118
(14)
xiii
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran
Konvensional ... 43
Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pelajaran IPA Kelas III Semester 1 ... 45
Tabel 3. Kisi-Kisi Lembar Observasi Kegiatan Guru ... 62
Tabel 4. Kisi-Kisi Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 63
Tabel 5. Kisi-Kisi Soal Tes Siklus I ... 64
Tabel 6. Kisi-Kisi Soal Tes Siklus II ... 66
Tabel 7. Hasil Tes IPA Pra Tindakan ... 71
Tabel 8. Hasil Tes IPA Siklus I ... 82
(15)
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Kerangka Pikir ... 50 Gambar 2. Siklus Model Kemmis dan McTagart ... 53 Gambar 3. Diagram Peningkatan Prestasi Belajar IPA Pra Tindakan dengan
Siklus I... 83 Gambar 4. Diagram Peningkatan Prestasi Belajar IPA Pra Tindakan, Siklus I
(16)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Contoh Lembar Observasi Kegiatan Guru ... 122
Lampiran 2. Contoh Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 124
Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I ... 126
Lampiran 4. Lembar Kerja Siswa Siklus I ... 134
Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ... 138
Lampiran 6. Lembar Kerja Siswa Siklus II... 146
Lampiran 7. Soal Evaluasi Pra Tindakan ... 150
Lampiran 8. Soal Evaluasi Siklus I ... 154
Lampiran 9. Soal Evaluasi Siklus II... 158
Lampiran 10. Hasil Tes Pra tindakan ... 162
Lampiran 11. Hasil Tes Siklus I... 164
Lampiran 12. Hasil Tes Siklus II ... 166
Lampiran 13. Contoh LKS Setiap Siklus ... 168
Lampiran 14. Contoh Hasil Tes Prestasi Belajar IPA Siswa ... 175
Lampiran 15. Foto Pelaksanaan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning ... 184
Lampiran 16. Surat Ijin Penelitian ... 186
(17)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat bersaing di zaman globalisasi. Dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar terdapat beberapa mata pelajaran pokok yang harus dikuasai oleh siswa. IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa sekolah dasar. Menurut Usman Samatowa (2006: 3) alasan IPA perlu diajarkan di SD karena IPA bermanfaat bagi perkembangan suatu bangsa. Kesejahteraan materiil suatu bangsa banyak tergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar kemajuan teknologi.
Tujuan IPA di SD menurut Sri Sulistyorini (2007: 40) adalah agar siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, untuk mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan sarana yang tepat untuk mempersiapkan para siswa agar dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru tentang alam sekitar sehingga pengetahuan-pengetahuan yang telah siswa peroleh dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
(18)
2
Untuk mencapai tujuan dari pembelajaran IPA, guru dalam menyelenggarakan pembelajaran harus memperhatikan karakteristik siswa. Karakteristik siswa usia SD berada dalam fase operasional konkret. Sri Sulistyorini (2007: 6) mengemukakan bahwa siswa pada fase ini berpikir atas dasar pengalaman konkret atau nyata. Sifat khas operasioanl konkret siswa usia SD seperti ini perlu dijadikan landasan dalam menyiapkan dan melaksanakan pengajaran bagi mereka. Pengajaran perlu dirancang dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa dapat melihat
(seeing), berbuat sesuatu (doing), melibatkan diri dalam proses belajar
(undergoing), serta mengalami langsung (experiencing) hal-hal yang
dipelajari. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di sekolah dasar harus ditekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk memahami alam sekitar secara ilmiah dan menggunakan media yang konkret untuk membantu pemahaman. Pendidikan IPA juga diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Keberhasilan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar IPA dapat dilihat dari prestasi belajar IPA siswa. Menurut Zainal Arifin (2011: 13) prestasi belajar dapat berfungsi sebagai indikator keberhasilan dalam bidang studi tertentu. Untuk mendapatkan prestasi belajar IPA yang baik, guru sebagai unsur pokok penanggung jawab pelaksanaan dan pengembangan proses pembelajaran, diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran IPA. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
(19)
3
pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sehingga guru mempunyai tanggung jawab dalam mewujudkan suasana belajar yang menyenangkan agar siswa secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya. Guru diharapkan memiliki cara mengajar yang baik, dapat mengembangkan bahan pelajaran dengan inovatif dan mampu memilih model, strategi maupun metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan konsep-konsep pada bahan pelajaran. Guru harus membuat perencanaan secara seksama agar dapat meningkatkan keaktifan maupun prestasi belajar siswa.
Sri Sulistyorini (2007: 6-8) mengemukakan bahwa proses belajar mengajar harus dipusatkan pada siswa (student centered), oleh sebab itu hakikat siswa (the nature of the learner) perlu dipahami lebih dahulu. Hal ini berdampak pada guru dalam melaksanakan tugasnya harus berbuat sesuai dengan kondisi siswanya. Pemahaman terhadap kondisi jiwa raga siswa akan membawa guru pada perlakuan atau pendekatan mengajar lebih tepat dan dengan demikian proses belajar mengajar lebih lancar, berhasil dan tepat guna. Yang terpenting untuk diingat oleh guru IPA adalah bahwa siswa pada fase operasional konkret masih sangat membutuhkan benda-benda konkret untuk menolong pengembangan kemampuan intelektual siswa. Selain itu di dalam proses pembelajaran IPA, guru harus memposisikan dirinya dalam berbagai peranan, seperti sebagai pembimbing, fasilitator dan juga motivator sehingga siswa dapat membangkitkan kemauan dan kemampuannya sendiri untuk mencari, menemukan, menyimpulkan dan mengkomunikasikan sendiri
(20)
4
berbagai pengetahuan dan pengalaman belajarnya. Pembelajaran harus melibatkan keaktifan siswa secara penuh (active learning). Gagasan tersebut dapat menjadi rujukan bagi guru dalam mengembangkan pembelajaran yang memungkinkan siswa mencari dan mengkonstruksi sendiri berbagai pengetahuan dan pengalaman melalui pembelajaran di Sekolah Dasar.
Berdasarkan hasil observasi, peneliti memperoleh informasi bahwa pembelajaran IPA di kelas III SD Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang masih berpusat pada guru sebagai pemberi informasi. Kegiatan pembelajaran IPA dilakukan di dalam kelas. Guru menjelaskan materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru menjelaskan materi dengan ceramah di depan kelas, sedangkan siswa diminta menyimak penjelasan yang disampaikan. Kemudian guru menuliskan materi yang telah dijelaskan pada papan tulis dan meminta siswa untuk mencatat materi tersebut pada buku catatan masing-masing. Setelah memberi penjelasan, guru juga memberi pertanyaan kepada siswa, namun siswa tidak segera merespon petanyaan dari guru. Pertanyaan baru dijawab setelah ada siswa yang ditunjuk oleh guru untuk menjawab.
Ketika proses pembelajaran IPA di kelas III SD Negeri Tegalsari sudah dimulai, masih banyak siswa yang belum menunjukkan sikap kesiapan belajar karena masih berbicara sendiri dengan siswa lain. Keberadaan guru juga kurang mendapatkan perhatian dari siswa karena kurangnya variasi gerakan dan perpindahan posisi guru dalam menjelaskan materi, posisi guru lebih banyak terfokus berada di depan. Metode mengajar yang digunakan
(21)
5
guru juga kurang bervariasi karena hanya menggunakan ceramah dan diskusi. Tujuan diskusi dalam pembelajaran dimaksudkan oleh guru untuk melatih siswa agar dapat bekerja sama dengan siswa lain. Namun dalam pelaksanaan diskusi, masih banyak siswa yang bingung mengerjakan tugas dari guru. Sebelum dilakukan diskusi, guru tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan diskusi secara rinci yaitu tentang cara mengisi jawaban pada tabel. LKS untuk kegiatan diskusi belum disiapkan terlebih dahulu oleh guru, dan baru diberikan ketika diskusi sudah berlangsung. Hal tersebut membuat siswa bekerja dua kali, yaitu harus memindahkan jawaban yang telah ditulis pada buku ke dalam tabel pada LKS.
Pelaksanaan pembelajaran IPA juga tidak disertai dengan penggunaan objek-objek konkret di lingkungan sekitar, media pembelajaran maupun melakukan kegiatan percobaan-percobaan sederhana. Akibatnya siswa menjadi pasif karena hanya mendengarkan penjelasan yang disampaikan guru saja. Siswa juga tidak ada yang bertanya kepada guru walaupun guru sudah memberi kesempatan siswa untuk bertanya. Berdasarkan hal tersebut, guru hendaknya menggunakan media dalam memberikan penjelasan agar siswa menjadi lebih aktif dan mendapatkan prestasi belajar yang baik.
Program tuntas yang diharapkan oleh guru pada pembelajaran IPA juga belum tercapai. Nilai KKM yang ditentukan untuk pembelajaran IPA yaitu 70, namun banyak siswa kelas III mendapatkan nilai di bawah KKM tersebut. Berdasarkan data nilai IPA siswa pada semester 1 menunjukkan bahwa prestasi belajar IPA siswa masih rendah. Dari 29 siswa hanya ada 3
(22)
6
siswa atau 10% yang sudah memenuhi KKM, sedangkan 26 siswa lainnya atau sekitar 90% belum memenuhi KKM.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan di atas, maka perlu diadakan perbaikan pada pelaksanaan proses pembelajaran guna meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas III SD Negeri Tegalsari. Apabila hal tersebut tidak segera diperbaiki maka dampaknya siswa menjadi pasif dan tidak dapat mencapai prestasi belajar sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu tujuan dari pembelajaran tidak akan tercapai secara maksimal. Menurut Usman Samatowa (2006: 60) salah satu pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran IPA sekolah dasar adalah model pembelajaran yang didasarkan pada pandangan konstruktivis karena dianggap paling sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPA. Model pembelajaran IPA yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme ini memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah. Menurut pandangan konstruktivisme dalam proses pembelajaran IPA seyogianya disediakan serangkaian pengalaman berupa kegiatan nyata yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan memungkinkan terjadi interaksi sosial.
Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)adalah salah satu model pembelajaran yang menggunakan pandangan konstruktivisme. Sehingga model pembelajaran CTLdapatdipandangsebagai salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar IPA. Berdasarkan hasil observasi,
(23)
7
guru belum menggunakan model pembelajaran CTL dalam pembelajaran IPA. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA, guru hendaknya menerapkan model pembelajaran CTL pada pembelajaran IPA yang akan datang. Menurut Sanjaya (2005) dalam Udin Syaefudin Sa’ud (2009: 162) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Langkah-langkah model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning meliputi tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta
pengambilan tindakan. Bentuk kegiatan dengan CTL yang dapat dilakukan dalam pembelajaran IPA antara lain siswa diberikan pertanyaan tentang fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep. Siswa melakukan serangkaian kegiatan nyata untuk menemukan konsep seperti pengamatan di lingkungan sekitar dan pengumpulan data dari berbagai sumber secara berkelompok. Siswa melaporkan hasil pengamatan dan menyimpulkan hasil pengamatan.
Model pembelajaran CTL memiliki kelebihan diantaranya adalah pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran
(24)
8
CTL menganut aliran konstruktivisme, yang menganggap siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. CTL memandang bahwa belajar bukanlah kegiatan menghafal, mengingat fakta-fakta, mendemonstrasikan latihan secara berulang-ulang akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata (Udin Syaefudin Sa’ud, 2009: 163- 165). Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui kegiatan “mengalami” bukan ”menghafal”.
Berdasarkan kelebihan yang dimiliki oleh model pembelajaran CTL maka diharapkan model ini dapat digunakan untuk memperbaiki cara mengajar guru yang masih menggunakan ceramah dan diskusi. Sehingga diharapkan setelah menggunakan model ini, prestasi belajar IPA siswa kelas III SD Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang dapat meningkat dan dapat memenuhi nilai KKM yang telah ditentukan. Model pembelajaran CTL sesuai untuk diterapkan pada pembelajaran IPA karena materi IPA berhubungan dengan peristiwa yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena itu dengan menggunakan model ini, akan memudahkan siswa dalam membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari guna membantu pemahaman dan menjadikan kegiatan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.
Uraian latar belakang masalah tersebut mendorong penulis mengambil judul penelitian tindakan kelas berupa “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada
(25)
9
Siswa Kelas III SD Negeri Tegalsari Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar IPA siswa kelas III masih rendah karena dalam pembelajaran masih menggunakan metode konvensional yaitu dengan ceramah bervariasi.
2. Guru sudah memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, namun siswa belum mampu mengemukakan pendapatnya di dalam proses pembelajaran.
3. Proses pembelajaran IPA kelas III belum menggunakan langkah-langkah dalam model pembelajaran Contextual Teaching and Learning.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah yaitu pada upaya meningkatkan prestasi belajar IPA melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang.
(26)
10 D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, rumusan masalahnya adalah “Bagaimanakah upaya meningkatkan prestasi belajar IPA melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada siswa kelas III SDN Tegalsari, Candimulyo, Magelang?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan upaya peningkatkan prestasi belajar IPA melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada siswa kelas III SDN Tegalsari, Candimulyo, Magelang.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian tentang penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan mutu pembelajaran IPA melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang model pembelajaran Contextual Teaching and Learning bagi guru yang akan meneliti pada pembelajaran di Sekolah Dasar.
(27)
11 2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Menumbuhkan motivasi dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran IPA yang menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa.
2) Dapat menemukan hubungan antara materi IPA yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata.
b. Bagi Guru
1) Menambah pengetahuan guru dalam mengajar dengan menggunakan ceramah, diskusi dan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning dalam meningkatkan prestasi
belajar IPA siswa.
2) Menambah pengetahuan tentang kegiatan belajar mengajar menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning untuk meningkatkan prestasi belajar IPA siswa.
3) Sebagai bahan referensi dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar mata pelajaran IPA, sehingga prestasi belajar siswa meningkat.
c. Bagi Sekolah
Hasil temuan penelitian tindakan kelas ini dapat digunakan sebagai masukan positif dalam upaya meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar, khususnya dalam pembelajaran IPA menggunakan
(28)
12
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan metode yang lain sebagai landasan/dasar dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
(29)
13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Kata “prestasi” berasal dari Bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam Bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Istilah prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan. Fungsi prestasi belajar adalah sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai siswa, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, bahan informasi dan inovasi pendidikan, indikator intern maupun ekstern suatu institusi pendidikan serta sebagai indikator daya serap (kecerdasan) siswa (Zainal Arifin, 2011: 12-13).
Tohirin (2006: 151) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah apa yang telah dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Wina Sanjaya (2010: 13) menambahkan bahwa prestasi berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan.
Menurut Muhibbin Syah (2011: 139-140) untuk menggambarkan prestasi belajar diperlukan evaluasi. Evaluasi merupakan proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai siswa sesuai dengan kriteria tertentu. Tujuan evaluasi prestasi belajar adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam kurun waktu proses belajar.
(30)
14
b. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya.
c. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. d. Untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan
kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimiliki) untuk keperluan belajar.
e. Untuk mengetahui tingkat daya dan hasil guna metode mengajar yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, umumnya prestasi belajar di sekolah berbentuk nilai atau angka dari guru kepada siswa sebagai indikator perkembangan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Dalam penelitian ini, prestasi belajar IPA siswa dikembangkan melalui kegiatan invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan dan prestasi belajar menurut Oemar Hamalik (2008: 33) antara lain sebagai berikut:
a. Faktor kesiapan belajar
Siswa yang telah siap belajar akan dapat melakukan kegiatan belajar dengan lebih mudah dan lebih berhasil. Faktor kesiapan erat
(31)
15
hubungannya dengan kematangan, minat, kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan.
b. Faktor minat dan usaha
Belajar sesuai dengan minat akan mendorong siswa belajar lebih baik. Minat timbul jika siswa tertarik dengan sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasa bahwa sesuatu yang akan dipelajari akan bermakna bagi dirinya. Namun minat harus disertai usaha yang baik agar mencapai keberhasilan dalam belajar.
c. Faktor-faktor psikologis
Kondisi badan siswa yang belajar berpengaruh terhadap proses belajar. Sehingga faktor psikologis sangat menentukan berhasil tidaknya siswa dalam belajar.
d. Faktor intelegensi
Siswa yang cerdas akan lebih berhasil dalam kegiatan belajar, karena lebih mudah memahami pelajaran.
Ngalim Purwanto (1992: 104-106) menambahkan ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dan sifatnya di luar diri siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Keadaan Keluarga
Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam turut menentukan bagaimana dan sampai di mana belajar dialami maupun dicapai oleh anak-anak. Termasuk dalam keluarga ini, ada tidaknya fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar turut memegang
(32)
16
peranan penting pula. Sedangkan menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2009: 164) kondisi sosial psikologis yang menyangkut keutuhan keluarga, iklim psikologis, iklim keluarga, iklim belajar dan hubungan antar anggota keluarga berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak.
b. Lingkungan Sekolah
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2009: 164-165) lingkungan sekolah juga memegang peranan penting bagi perkembangan belajar para siswanya. Lingkungan sekolah meliputi suasana belajar, sarana belajar, sumber-sumber belajar dan media belajar serta iklim sosial sekolah yang menyangkut hubungan siswa dengan teman-temannya, guru-guru maupun staf sekolah yang lain.
c. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa dalam proses pelaksanaan pendidikan. Karena dalam kehidupan sehari-hari, anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.
Berdasarkan pendapat tersebut, terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar IPA siswa yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kesiapan belajar, minat, psikologis dan intelegensi. Sedangkan faktor eksternal meliputi keadaan keluarga, sekolah dan masyarakat.
(33)
17 3. Tipe-Tipe Prestasi Belajar
Tohirin (2006: 151-158) mengemukakan tiga tipe pestasi belajar yaitu sebagai berikut:
a. Tipe Prestasi Belajar Bidang Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Berdasarkan revisi taksonomi Bloom oleh Anderson tahun 2001 (Martinis Yamin, 2008: 33) mengemukakan ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
1) Menghafal (C1)
Aspek ingatan ini adalah aspek paling dasar. Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah-istilah tanpa harus mengerti dan dapat menggunakannya. Kata operasional aspek ingatan ini antara lain menyebutkan, menunjukkan, mengenal, mengingat kembali, menyebutkan definisi, memilih dan menyatakan. Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur kemampuan ini antara lain benar-salah, menjodohkan, isian atau jawaban singkat dan pilihan ganda.
2) Memahami (C2)
Pada aspek ini, siswa dituntut memahami atau mengerti yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan
(34)
18
dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal lain. Bentuk soal yang digunakan adalah pilihan ganda dan uraian.
Kemampuan pemahaman dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu menerjemahkan (translation), menginterpretasi
(interpretation) dan mengekstrapolasi (extrapolation). Kata kerja
operasional yang dapat dipakai untuk mengukur kemampuan ini adalah memperhitungkan, memperkirakan, menduga, menyimpulkan, meramalkan, membedakan, menentukan, mengisi dan menarik kesimpulan.
3) Mengaplikasi (C3)
Dalam jenjang kemampuan ini, dituntut kesanggupan ide-ide umum, tata cara, ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret. Situasi di mana ide dan metode yang dipakai harus baru, jika tidak demikian maka kemampuan yang diukur bukan lagi penerapan tetapi hanya ingatan semata.
Pengukuran kemampuan ini umumnya menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur aspek penerapan antara lain pilihan ganda dan uraian. Kata operasional yang dipakai adalah menggunakan, meramalkan, menghubungkan, menggeneralisasi, memilih, mengembangkan, mengorganisasi, mengubah, menyusun
(35)
19
kembali, mengklasifikasi, menghitung, menerapkan, menentukan dan memecahkan masalah.
4) Menganalisis (C4)
Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya. Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur kemampuan ini adalah pilihan ganda dan uraian.
Kemampuan analisis diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut:
a. Analisis unsur
Dalam analisis unsur diperlukan kemampuan merumuskan asumsi-asumsi dan mengidentifikasi unsur-unsur penting dan dapat membedakan antara fakta dan nilai. Kata kerja operasional yang dipakai untuk mengukur kemampuan ini adalah membedakan, menemukan, mengenal, membuktikan, mengklasifikasikan, mengakui, mengkategorikan, menarik kesimpulan, menyebarkan, merinci dan menguraikan.
b. Analisis hubungan
Analisis jenis ini menuntut kemampuan mengenal unsur-unsur dan pola hubungannya. Kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ini adalah
(36)
20
menganalisis, membandingkan, membedakan dan menarik kesimpulan.
c. Analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi
Jenis analisis ini menuntut kemampuan menganalisis pokok-pokok yang melandasi tatanan suatu organisasi. Kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ini adalah menganalisis, membedakan, menemukan dan menarik kesimpulan.
5) Mengevaluasi (C5)
Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu (Daryanto, 2005: 103-113). 6) Mencipta/ creating (C6)
Mencipta diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh (Martinis Yamin, 2008: 38).
Berdasarkan pendapat di atas, ranah kognitif terdiri dari enam tingkatan dengan aspek belajar yang berbeda-beda. Namun dalam penelitian ini, prestasi belajar yang akan diukur hanya prestasi belajar ranah kognitif pada aspek menghafal (C1), memahami (C2) dan mengaplikasi (C3) saja.
(37)
21 b. Tipe Prestasi Belajar Bidang Afektif
Bidang afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe prestasi belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti atensi atau perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman, kebiasaan belajar dan lain-lain.
Tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe prestasi belajar mencakup: pertama, receiving atau attending, yakni kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi, gejala. Kedua, responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar. Ketiga, valuing (penilaian), yakni berkenaan dengan penilaian dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus. Keempat, organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan suatu nilai dengan nilai lain dan kemantapan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Kelima, karakterisasi dan internalisasi nilai, yakni keterpaduan yang mempengaruhi pola kepribadian dan perilakunya. c. Tipe Prestasi Belajar Bidang Psikomotor
Tipe prestasi belajar bidang psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill), dan kemampuan bertindak seseorang. Ada lima tingkatan yang termasuk ke dalam domain psikomotor ini, yaitu keterampilan meniru, menggunakan, ketepatan, merangkaikan dan naturalisasi (Wina Sanjaya, 2010: 132).
(38)
22
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tipe prestasi belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Namun dalam penelitian ini, tipe prestasi belajar yang akan diukur adalah prestasi belajar ranah kognitif saja pada aspek intelektual C1 (menghafal), C2 (memahami) dan C3 (mengaplikasi) sedangkan untuk kemampuan kognitif lainnya tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.
4. Kriteria Keberhasilan Belajar
Menurut Muhibbin Syah (2011: 150) menentukan batas minimum keberhasilan belajar berkaitan dengan upaya pengungkapan prestasi belajar. Beberapa alternatif pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar antara lain skala angka dari 0 sampai 10 dan skala angka dari 0 sampai 100. Skala terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Sehingga apabila siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar maka dianggap telah memenuhi syarat target minimal keberhasilan belajar. Namun perlu dipertimbangkan oleh para guru penetapan passing grade yang lebih tinggi misalnya 65 atau 70 untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject).
Sedangkan Tohirin (2006: 160) berpendapat bahwa siswa yang berhasil menyelesaikan soal-soal ujian sebanyak 75% sampai 80% dari seluruh soal, dianggap memenuhi standar kelulusan. Pendapat lain
(39)
23
diungkapkan oleh Syaiful Sagala (2010: 229) yaitu salah satu patokan yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa adalah apabila kira-kira 70% dari jumlah siswa di kelas tersebut dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan.
Dari beberapa pendapat disimpulkan bahwa siswa yang mencapai keberhasilan belajar adalah siswa yang dapat menyelesaikan minimal 75% tugas atau soal yang diberikan oleh guru pada suatu mata pelajaran tertentu dengan benar. Sedangkan passing grade untuk pelajaran-pelajaran inti dapat ditetapkan sebesar 65 atau 70 sehingga dapat digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar siswa.
B. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam 1. Pengertian IPA
Sri Sulistyorini (2007: 9- 10) menyatakan bahwa pada hakikatnya IPA dapat dipandang dari segi produk, proses dan dari segi pengembangan sikap. Artinya, belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk), dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling terkait.
a. IPA sebagai Produk
IPA sebagai produk merupakan akumulasi hasil upaya para perintis IPA terdahulu dan umumnya telah tersusun secara lengkap dan sistematis dalam bentuk buku teks. Dalam pengajaran IPA seorang guru dituntut untuk dapat mengajar anak didiknya
(40)
24
memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar. Alam sekitar merupakan sumber belajar paling otentik dan tidak akan habis digunakan.
b. IPA sebagai Proses
Yang dimaksud dengan “proses” di sini adalah proses mendapatkan IPA. Kita mengetahui bahwa IPA disusun dan diperoleh melalui metode ilmiah. Jadi yang dimaksud proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah. Metode ilmiah untuk anak SD dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, dengan harapan bahwa pada akhirnya akan terbentuk paduan yang lebih utuh sehingga anak SD dapat melakukan penelitian sederhana. Di samping itu, tahapan pengembangannya disesuaikan dengan tahapan suatu proses penelitian atau eksperimen, yakni meliputi: (1) observasi; (2) klasifikasi; (3) interpretasi; (4) prediksi; (5) hipotesis; (6) mengendalikan variabel; (7) merencanakan dan melaksanakan penelitian; (8) inferensi; (9) aplikasi; dan (10) komunikasi.
c. IPA sebagai Pemupukan Sikap Ilmiah
Ada sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia sekolah dasar, yaitu sebagai berikut:
1) sikap ingin tahu,
2) sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru, 3) sikap kerja sama,
4) sikap tidak putus asa, 5) sikap tidak berprasangka, 6) sikap mawas diri,
7) sikap bertanggung jawab, 8) sikap berfikir bebas, dan
(41)
25 9) sikap kedisiplinan diri.
Berdasarkan uraian tentang hakikat IPA maka dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi IPA sebagai produk, IPA sebagai proses, dan IPA sebagai pemupukan sikap. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan adalah sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru.
2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Sri Sulistyorini (2007: 40) mengemukakan bahwa mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu,sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam
memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tugan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
3. Ruang Lingkup Kajian IPA Sekolah Dasar
Menurut Sri Sulistyorini (2007: 40) ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
(42)
26
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan.
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya dan benda-benda langit lainnya.
4. Memberdayakan Anak Melalui Pembelajaran IPA
Menurut Usman Samatowa (2006: 5-6) aspek pokok dalam pembelajaran IPA adalah anak dapat menyadari pengetahuan mereka, memiliki rasa ingin tahu untuk menggali berbagai pengetahuan baru dan akhirnya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Bila pembelajaran IPA diarahkan dengan tujuan tersebut, diharapkan bahwa pendidikan IPA sekolah dasar dapat memberikan sumbangan yang nyata dalam memberdayakan anak. Oleh karena itu beberapa aspek penting yang dapat diperhatikan guru dalam memberdayakan anak melalui pembelajaran IPA antara lain:
a) Pentingnya memahami bahwa pada saat memulai kegiatan pembelajaran, anak telah memiliki berbagai konsepsi, pengetahuan yang relevan dengan apa yang akan dipelajari. Pemahaman akan pengetahuan yang dibawa anak dalam pembelajaran akan sangat membantu anak meraih pengetahuan yang seharusnya mereka miliki. Anak akan terbantu untuk memperbaiki konsepsi mereka yang salah, kurang lengkap, atau bahkan dapat meningkatkan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Hal ini memberi peluang kepada anak untuk
(43)
27
mengalami bahwa belajar IPA sangat berarti dan bahkan menyenangkan.
b) Aktivitas anak melalui berbagai kegiatan nyata dengan alam menjadi hal utama dalam pembelajaran IPA. Aktivitas ini dapat dilakukan di laboratorium, di kelas dengan berbagai alat bantuan belajar, atau bahkan di lingkungan sekolah. Dengan berbagai aktivitas nyata ini anak akan dihadapkan langsung dengan fenomena yang akan dipelajari, dengan demikian berbagai aktivitas itu memungkinkan terjadinya proses belajar yang aktif.
C. Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
1. Pengertian Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Menurut Usman Samatowa (2006: 48) model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar dan berfungsi sebagai pedoman bagi guru untuk membuat rencana pembelajaran. Sedangkan Arends 1997 (dalam Trianto, 2010: 22) mengemukakan bahwa istilah model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuan, sintaks, lingkungan dan sistem pengelolaannya.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menurut Syaiful Sagala (2010: 87-88) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
(44)
28
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Elaine B. Johnson (2011: 67) mengemukakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning adalah sebuah proses yang bertujuan
menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya 2005 dalam Udin Syaefudin Sa’ud, 2009: 162).
Menurut University of Washington (dalam Trianto, 2010: 105), pembelajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa-siswa TK sampai dengan SMU untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan di sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan.
(45)
29
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah prosedur sistematis tentang pelaksanaan pembelajaran berupa serangkaian kegiatan yang meliputi tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan. Dalam pelaksanaannya melalui kegiatan yang memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif mencari dan menemukan materi yang akan dipelajari, mendorong siswa menghubungkan materi dengan situasi dalam kehidupan nyata dan memberikan dorongan kepada siswa untuk dapat memahami serta menerapkan materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
2. Karakteristik Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Berdasarkan pengertian pembelajaran kontekstual, terdapat lima karakteristik penting dalam menggunakan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (Udin Syaefudin Sa’ud, 2009:
162-163):
a. Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, artinya apa yang yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b. Pembelajaran CTL adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru, yang diperoleh dengan cara deduktif,
(46)
30
artinya pembelajaran dimulai dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
c. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan dikembangkan.
d. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Sedangkan menurut Trianto (2010: 110) karakteristik pembelajaran CTL yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya yaitu:
a. Kerja sama. b. Saling menunjang.
c. Menyenangkan dan mengasyikan.
d. Tidak membosankan (joyfull, comfortable). e. Belajar dengan bergairah.
f. Pembelajaran terintegrasi.
g. Menggunakan berbagai sumber siswa aktif.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning CTL)terdapat beberapa karakteristik yaitu pembelajaran diawali dengan proses mengaktifkan
(47)
31
pengetahuan yang ada, kemudian dikembangkan menjadi sebuah pengetahuan baru. Pengetahuan yang baru tersebut kemudian dipahami dan dipraktikkan atau diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pada bagian akhir dilakukan refleksi sebagai proses umpan balik. Selain itu saat menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning, pembelajaran dilakukan dengan kegiatan yang menyenangkan dalam bentuk kerja sama antar siswa dan menggunakan berbagai macam sumber belajar seperti lingkungan sekitar, buku-buku pelajaran, alat-alat peraga, dan majalah.
3. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Elaine B. Johnson (Udin Syaifudin Sa’ud, 2009: 165-167) mengemukakan tiga prinsip dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: a. Prinsip Saling Ketergantungan (interdependence)
Segala yang ada di dunia baik itu manusia maupun makhluk hidup lainnya adalah saling berhubungan dan bergantung yang membentuk pola dan jaringan system hubungan yang kokoh dan teratur. Dalam pendidikan dan pembelajaran, sekolah merupakan suatu sistem kehidupan yang terkait dengan kehidupan di rumah maupun masyarakat.
b. Prinsip Diferensiasi (Differentiation)
Prinsip diferensisasi menunjuk pada sifat alam yang secara terus menerus menimbulkan perbedaan, keseragaman, dan keunikan.
(48)
32
Prinsip diferensiasi menuntut siswa untuk saling mengormati keunikan masing-masing individu serta menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif dan bekerja sama.
c. Prinsip Pengorganisasian Diri (Self Organization)
Setiap individu mempunyai potensi yang melekat pada dirinya yang berbeda dari individu lain. Prinsip organisasi diri menuntut para pendidik dan para pengajar di sekolah agar mendorong tiap siswanya untuk memahami dan merealisasikan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin.
4. Komponen-Komponen Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning memiliki tujuh komponen
utama yaitu konstruktivisme (constructivism), inkuiri, bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic
assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan
Contextual Teaching and Learning jika menerapkan ketujuh komponen
tersebut di dalam pembelajarannya (Depdiknas 2002 dalam Trianto, 2010: 111).
Menurut Udin Syaefudin Sa’ud (2009: 168-172) komponen-komponen pembelajaran kontekstual tersebut adalah sebagai berikut:
(49)
33 a. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut Syaiful Sagala (2010: 88) siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan ssesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Dalam CTL, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Oleh karena itu, tugas guru dalam memfasilitasi proses tersebut yaitu dengan:
1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
3) Menyadarkan siswa agar menerapkan straregi mereka sendiri dalam belajar (Syaiful Sagala, 2010: 88).
b. Inkuiri
Asas inkuiri merupakan proses pembelajaran berdasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.
(50)
34
Menurut Trianto (2010: 114-115), inkuiri merupakan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Guru harus merancang kegiatan pembelajaran yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah.
2) Mengamati dan melakukan observasi.
3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya.
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audiensi yang lain. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa inkuiri adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan siswa untuk menemukan dan mencari sendiri konsep atau pengetahuan yang akan dipelajari melalui kegiatan diskusi dan observasi.
c. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Melalui pertanyaan, guru dapat membimbing siswa dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Dalam sebuah pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk:
(51)
35
1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2) Mengecek pemahaman siswa.
3) Membangkitkan respon pada siswa.
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa. 5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.
6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.
7) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.
Dalam aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke dalam ruang kelas (Syaiful Sagala, 2010: 88-89). Aktivitas bertanya dapat ditemui ketika siswa melakukan kegiatan diskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, dan ketika mengamati. Kegitatan-kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk bertanya (Trianto, 2010: 115-116).
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam pembelajaran kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain (team work). Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar yang dibentuk secara formal maupun dalam lingkungan secara alamiah.
Dalam kelas Contextual Teaching and Learning, siswa disarankan melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa yang pandai diminta mengajari siswa yang lemah, yang sudah
(52)
36
tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul. Kelompok bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan ahli ke dalam kelas (Trianto, 2010: 116).
Seseorang yang terlibat kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Setiap pihak harus merasa bahwa orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang berbeda dan perlu untuk dipelajari (Trianto, 2010: 117).
Kerja sama dapat menghilangkan hambatan metal akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit. Dengan bekerja sama, seseorang akan belajar untuk menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka dan membangun tujuan bersama. Selain itu, para anggota kelompok akan mampu mengatasi berbagai rintangan, bertindak mandiri dan dengan penuh tanggung jawab, mengandalkan bakat setiap anggota kelompok, mempercayai orang lain, mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan (Elaine B. Johnson, 2011: 164).
(53)
37
Melalui kerja sama, dapat menumbuhkan sikap toleransi dan perasaan saling mengasihi serta untuk bertukar pengalaman. Beberapa aturan yang dapat diterapkan saat kerja kelompok yaitu:
1) Tetap fokus pada tugas kelompok.
2) Bekerja secara kooperatif dengan para anggota kelompok lainnya.
3) Mencapai keputusan kelompok untuk setiap masalah.
4) Meyakinkan bahwa setiap anggota dalam kelompok memahami setiap solusi yang ada sebelum melangkah lebih jauh.
5) Mendengarkan orang lain dengan seksama dan mencoba memanfaatkan ide-ide mereka.
6) Berbagi kepemimpinan dalam kelompok.
7) Memastikan setiap orang ikut berpartisipasi dan tidak ada salah seorang yang mendominasi kelompok.
8) Bergiliran mencatat hasil-hasil yang telah dicapai kelompok.
Berdasarkan aturan-aturan tersebut, kerjasama menuntut adanya rasa hormat, kesabaran dan penghargaan. Para guru
Contextual Teaching and Learning di dalam pembelajaran harus
membantu kelompok untuk menemukan bahwa setiap anggota adalah berharga dan setiap orang dapat menyumbangkan sesuatu bagi kelompoknya (Elaine B. Johnson, 2011: 168-170).
e. Pemodelan (Modeling)
Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Melalui pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang bersifat teoritis-abstrak yang mengundang terjadinya verbalisme. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, seorang
(54)
38
siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh atau memodelkan sesuatu sesuai keahlian atau pengalamannya kepada siswa yang lain. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai model dan siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapai (Syaiful Sagala, 2010: 90-91).
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari, dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Siswa dibiarkan secara bebas menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya dapat berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh siswa pada hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya (Trianto, 2010: 118).
(55)
39
g. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan oleh guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang telah dilakukan siswa. Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan meliputi seluruh aspek domain penilaian. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan hasil belajar.
Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan
(performance) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi
bisa juga teman atau orang lain. Karakteristik penilaian autentik adalah sebagai berikut:
1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
2) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif.
3) Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
4) Berkesinambungan. 5) Terintegrasi.
6) Dapat digunakan sebagai feedback (Trianto, 2010: 119). Dalam CTL, hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai prestasi siswa antara lain melalui proyek/kegiatan dan laporannya, PR (pekerjaan rumah), kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis (Trianto, 2010: 120).
(56)
40
5. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Menurut Udin Syaifudin Sa’ud (2009: 173-174) langkah-langkah pembelajaran Contextual Teaching Learning adalah sebagai berikut: a. Tahap Invitasi
Pada tahap invitasi siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang dibahas. Guru mengajukan pertanyaan tentang fenomena kehidupan sehari-hari melalui kaitan konsep yang dibahas.
b. Tahap Eksplorasi
Pada tahap eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasian data dalam sebuah kegiatan yang telah dirancang guru.
c. Tahap Penjelasan dan Solusi
Saat siswa memberikan penjelasan-penjelasan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru, maka siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuat rangkuman dan ringkasan.
d. Tahap Pengambilan Tindakan
Pada tahap pengambilan tindakan siswa dapat membuat keputusan/kesimpulan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan,
(57)
41
mengajukan saran baik secara individu maupun kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.
Sedangkan menurut pendapat Trianto (2010: 111) langkah-langkah penerapan CTL di dalam kelas adalah sebagai berikut:
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan rasa ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang digunakan untuk menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning pada pembelajaran IPA kelas III mencakup empat langkah yaitu tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan. Pada tahap invitasi guru memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari terkait konsep dalam IPA untuk mendorong siswa mengemukakan pendapatnya. Pada tahap eksplorasi, siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok dan diberi kesempatan menemukan sendiri konsep yang dibahas. Pada tahap penjelasan dan solusi, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok masing-masing, kemudian guru memberi penjelasan tambahan berdasarkan hasil observasi yang dilakukan siswa. Pada tahap pengambilan tindakan, siswa dibimbing untuk menyimpulkan konsep yang telah dipelajari.
(58)
42
6. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Konvensional
Menurut Udin Syaefudin Sa’ud (2009: 167-168) perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:
(59)
43
Tabel 1. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Konvensional
Konteks
Pembelajaran Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Konvensional Hakikat
Belajar
Konten pembelajaran selalu dikaitkan dengan kehidupan nyata yang diperoleh sehari-hari pada lingkungan.
Isi pelajaran terdiri dari konsep dan teori yang abstrak tanpa pertimbangan manfaat bagi siswa.
Model pembelajaran
Siswa belajar melalui kegiatan kelompok seperti kerja kelompok, berdiskusi, praktikum kelompok, saling bertukar pikiran, memberi dan menerima informasi.
Siswa melakukan kegiatan pembelajaran yang bersifat individual dan komunikasi satu arah, kegiatan dominan mencatat, menghafal, menerima intruksi guru. Kegiatan
pembelajaran
Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran dan berusaha menggali serta menemukan sendiri materi pelajaran.
Siswa ditempatkan sebagai obyek pembelajaran yang lebih berperan sebagai penerima informasi yang pasif dan kaku.
Kebermaknaan belajar
Mengutamakan kemampuan yang didasarkan pada pengalaman yang diperoleh siswa dari kehidupan nyata.
Kemampuan yang didapat siswa berdasarkan pada latihan-latihan dan dril yang terus menerus.
Tindakan dan perilaku siswa
Menumbuhkan kesadaran diri pada anak didik karena menyadari perilaku itu merugikan dan tidak memberikan manfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Tindakan dan perilaku individu didasarkan oleh faktor luar dirinya, tidak melakukan sesuatu karena takut sangsi, kalaupun melakukan sekedar memperoleh nilai atau ganjaran.
Tujuan hasil belajar
Pengetahuan yang dimiliki bersifat tentative karena tujuan akhir belajar adalah kepuasan diri.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pembelajaran bersifat final dan absolut karena bertujuan untuk nilai.
(60)
44
D. Karakteristik Siswa Kelas III Sekolah Dasar
Menurut Usman Samatowa (2006: 7-8) masa usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Masa ini dibagi menjadi dua fase yaitu:
1. Masa kelas-kelas rendah sekolah dasar, sekitar 6 tahun sampai dengan usia sekitar 8 tahun. Dalam tingkatan kelas di sekolah dasar pada usia tersebut termasuk dalam kelas 1 sampai dengan kelas 3. Jadi kelas sampai 3 termasuk dalam kategori kelas rendah.
2. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar yaitu kira-kira usia 9 sampai 12 tahun. Dalam tingkatan kelas di sekolah dasar pada usia tersebut termasuk dalam kelas 4 sampai dengan kelas 6.
Jadi kelas 1 sampai 3 termasuk dalam kategori kelas rendah. Sedangkan kelas 4 sampai 6 termasuk dalam kategori kelas tinggi. Pada masing-masing fase tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik siswa kelas 3 yang termasuk dalam masa kelas rendah antara lain sebagai berikut:
1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi belajar.
2. Adanya sikap yang cenderung untuk memenuhi peraturan pada permainan tradisional.
3. Ada kecenderungan memuji diri sendiri.
(61)
45
5. Jika tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
6. Anak menghendaki nilai (angka rapor) baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
7. Kemampuan mengingat (memory) dan berbahasa berkembang sangat cepat dan mengagumkan.
8. Hal-hal yang bersifat konkret lebih mudah dipahami dibandingkan hal yang bersifat abstrak.
9. Kehidupan anak adalah bermain.
E. Ruang Lingkup Materi IPA Kelas III Sekolah Dasar
Sri Sulistyorini (2007: 43) mengemukakan ruang lingkup materi IPA kelas III semester 1 adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pelajaran IPA Kelas III Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi dasar
Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan
1. Memahami ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup serta hal-hal yang
mempengaruhi perubahan pada makhluk hidup.
1.1Mengidentifikasi ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup.
1.2Menggolongkan makhluk hidup secara sederhana.
1.3Mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada makhluk hidup dan hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (makanan,
kesehatan, rekreasi, istirahat dan olahraga).
(62)
46 lingkungan yang
berpengaruh terhadap kesehatan dan upaya menjaga kesehatan lingkungan.
dan lingkungan tidak sehat berdasarkan pengamatan.
2.2Mendeskripsikan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan. 2.3Menjelaskan cara menjaga kesehatan
lingkungan sekitar. Benda dan Sifatnya
3. Memahami sifat-sifat, perubahan sifat-sifat benda dan kegunaannya dalam kehidupa sehari-hari.
3.1Mengidentifikasi sifat-sifat benda berdasarkan pengamatan meliputi benda padat, cair dan gas.
3.2Mendeskripsikan perubahan sifat benda (ukuran, bentuk, warna, atau rasa) yang dapat diamati akibat dari pembakaran, pemanasan, dan diletakkan di udara terbuka.
3.3Menjelaskan kegunaan benda plastik, kayu, kaca dan kertas.
F. Definisi Operasional Variabel 1. Prestasi Belajar IPA
Prestasi belajar IPA dalam penelitian ini adalah hasil usaha dari suatu kegiatan pembelajaran IPA, yang diperoleh siswa baik secara individual maupun secara kelompok dalam bentuk nilai sebagai petunjuk bagi siswa tentang kemampuannya dalam menguasai materi IPA. Prestasi belajar IPA dalam penenlitian ini diukur dengan menggunakan tes. Bentuk tes yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar IPA siswa adalah tes objektif berupa soal pilihan ganda untuk mengukur kemampuan kognitif yang meliputi aspek menghafal (C1), memahami (C2) dan mengaplikasi (C3).
(63)
47
2. Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal bagi siswa dalam memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Langkah-langkah yang digunakan dalam menerapkan model pembelajaran CTL pada penelitian ini adalah tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, serta pengambilan tindakan.
G. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan atau perbandingan dalam kajian penelitian tentang upaya meningkatkan prestasi belajar IPA dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistya Ingwarni pada tahun 2011 dengan judul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan deskripsi Melalui Penerapan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Di SD Kedungpring, Pleret, Bantul”. Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa keterampilan menulis karangan deskripsi siswa meningkat sebesar 0,61(kondisi awal 61,1 meningkat menjadi 67,2) pada siklus 1 dan
(64)
48
meningkat sebesar 10,0 (kondisi awal 61,1 menjadi 71,1) pada siklus 2. Prosentase kelulusan siswa dalam menulis karangan deskripsi meningkat sebesar 32,26% setelah tindakan siklus I dan 66,32%setelah tindakan siklus II.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Kuati Aprilia Astuti pada tahun 2011 dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPS Materi Koperasi Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pada Siswa Kelas IVA SD Negeri Tahunan Yogyakarta”. Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa keaktifan siswa dalam pembelajaran meningkat, nilai rata-rata pra tindakan adalah 49,91, pada silus I menjadi 66,67 dan pada siklus II menjadi 78,29. Pada pra tindakan, siswa yang tuntas belajar sebanyak 7 siswa (17,95%) pada siklus I sebanyak 19 siswa (48,72%) dan pada siklus II semua siswa (100%) tuntas belajar.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Dheni Fedianto pada tahun 2011 dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Operasi Hitung Melalui Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) kelas IV SD Negeri 2 Pagerandong Purbalingga”. Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa pada siklus I nilai rata-rata kelas meningkat dari 59 menjadi 70, sedangkan prosentase kelulusan meningkat dari 52,4% menjadi 71,4%. Pada siklus II rata-rata kelas meningkat menjadi 77 sedangkan prosentase ketuntasan meningkat menjadi 85,7%.
(65)
49 H. Kerangka Pikir
Prestasi belajar merupakan hasil dari suatu kegiatan pembelajaran dalam bentuk nilai. Prestasi belajar dapat digunakan sebagai petunjuk bagi siswa tentang kemampuannya dalam menguasai materi pada pembelajaran. Pada kondisi awal siswa kelas III SD Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang mempunyai prestasi belajar IPA yang rendah. Dari hasil observasi diperoleh data bahwa 90% siswa masih memiliki nilai IPA dibawah nilai KKM, sedangkan siswa yang telah memenuhi nilai KKM hanya 10% saja. Hal ini disebabkan karena pada pelaksanaan proses pembelajaran, guru belum secara maksimal memanfaatkan media maupun menerapkan berbagai variasi model pembelajaran.
Upaya yang dilakukan peneliti untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning dalam pembelajaran melalui empat langkah yaitu invitasi,
eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan. Penerapan model pembelajaran CTL memungkinkan siswa mencari dan mengkonstruksi sendiri berbagai pengetahuan dan pengalaman melalui pembelajaran. Model Pembelajaran CTL juga membantu para siswa menemukan makna dalam pelajaran dengan cara menghubungkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa, sehingga siswa akan merasakan manfaat dari materi yang disampaikan, menumbuhkan motivasi belajar dan akan lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran.
(66)
50
Kondisi akhir yang diharapkan melalui penggunaan model pembelajaran CTL dalam proses belajar mengajar adalah dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas III SD Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang. Adapaun skema kerangka berpikir dalam penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Pikir
Prestasi belajar IPA siswa kelas III masih rendah. Pembelajaran masih berpusat pada
guru sedangkan siswa pasif. Cirinya yaitu pada saat pembelajaran, guru berperan sebagai pemberi informasi sedangkan siswa menyimak dan mencatat penjelasan guru. Kondisi
Awal
Siklus II (Perbaikan) Guru menggunakan model
pembelajaran Contextual Teaching
and Learning dalam pembelajaran
IPA. Siklus I Guru menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning dalam
pembelajaran IPA. Pembelajaran dilakukan dengan
menerapkan langkah-langkah model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning yaitu
tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan. Tindakan
Kondisi akhir
Prestasi belajar IPA siswa kelas III meningkat yaitu ≥ 75% siswa sudah memenuhi nilai KKM (70).
(67)
51 I. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, maka rumusan hipotesis dari penelitian ini adalah ”Penggunaan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas
(68)
52 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Wina Sanjaya (2009: 26) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas dapat diartikan sebagai proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas melalui refleksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari perlakukan tersebut.
Sedangkan menurut Zainal Aqib (2009: 18) penelitian tindakan kelas merupakan cara strategis bagi guru untuk memperbaiki layanan kependidikan yang harus diselenggarakan dalam konteks pembelajaran di kelas. Tujuan dari penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran di kelas secara berkesinambungan.
B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas III Sekolah Dasar Negeri Tegalsari, Kecamatan Candimulyo, Kebupaten Magelang, pada semester gasal tahun 2015/2016. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Maret 2015 sampai Desember 2015.
(69)
53 C. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang. Jumlah seluruh siswa adalah 31 siswa, yang terdiri dari 15 siswa putra dan 16 siswa putri.Sedangkan objek penelitian ini adalah peningkatan prestasi belajar IPA siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Tegalsari, Candimulyo, Magelang.
D. Desain Penelitian
Desain penelitian ini mengacu pada desain penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis. Model ini dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc Taggart yang meliputi empat komponen penelitian tindakan yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan
(observing) dan refleksi (reflection) dalam suatu sistem spriral yang saling
terkait antara langkah satu dengan langkah berikutnya (Sukardi, 2013: 7-8). Secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Siklus Model Kemmiss dan McTaggart (Suharsimi Arikunto, 2002: 84)
Siklus I: 1. Plan
2. Action and observation 3. Reflection
Siklus II: 1. Plan
2. Action and observation 3. Reflection
(70)
54
Berdasarkan gambar di atas, penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilaksanakan dalam bentuk siklus. Pada setiap siklus terdapat tahap perencanaan (planning), tindakan (acting) dan pengamatan (observing) serta refleksi (reflection). Tahapan dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur yang membentuk siklus, yaitu suatu putaran kegiatan beruntun dan kembali ke langkah semula. Adapun penjelasan kegiatan tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti merencanakan berbagai kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah dalam pembelajaran IPA berdasarkan hasil pengamatan awal. Dalam tahap ini dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Permintaan izin kepada Kepala Sekolah Dasar Negeri Tegalsari,
Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang.
b. Mengadakan observasi pembelajaran IPA di kelas III untuk mengidentifikasi permasalahan yang perlu segera diatasi.
c. Peneliti dan guru menetapkan waktu pelaksanaan penelitian tindakan kelas.
d. Peneliti menentukan kompetensi dasar.
e. Peneliti membuat perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan berpedoman pada langkah-langkah model pembelajaran Contextual Teaching and Learning yaitu tahap invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan.
(71)
55
f. Peneliti membuat media pembelajaran.
g. Peneliti membuat instrumen penelitian yang meliput, soal tes dan lembar observasi.
2. Tahap Pelaksanaan dan Pengamatan Tindakan
Tahap kedua dari penelitian tindakan kelas ini adalah pelaksanaan/tindakan (acting) dan pengamatan. Tindakan yang dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning dalam pembelajaran IPA di kelas III SD Negeri Tegalsari,
Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan selama proses pembelajaran IPA meliputi empat tahap yaitu invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi serta pengambilan tindakan. Tindakan dilakukan oleh guru kelas berdasarkan RPP yang telah dibuat sebelumnya.
Selama proses pembelajaran IPA berlangsung, juga dilakukan kegiatan pengamatan. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning yang dilakukan oleh guru. Selain itu untuk mengamati aktivitas siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran IPA.
3. Tahap Refleksi
Pada tahap ini, peneliti bersama guru menganalisis data hasil observasi maupun hasil tes yang diperoleh. Apabila data yang diperoleh belum memenuhi kriteria keberhasilan dan masih memerlukan perbaikan,
(72)
56
maka peneliti melakukan perbaikan rencana tindakan pada siklus selanjutnya dengan mengacu pada hasil refleksi.
Dalam penelitian ini, tindakan dilakukan dengan kegiatan bersiklus yaitu sebagai berikut:
1. Siklus I
Siklus pertama dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
a. Perencanaan
1) Menyiapkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) IPA dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning.
2) Menyiapkan sumber belajar. 3) Menyiapkan media pembelajaran.
4) Menyiapkan instrumen untuk mengumpulkan data yang berupa soal prestasi belajar dan lembar observasi.
b. Pelaksanaan Tindakan
Dalam penelitian ini, peneliti melaksanakan tindakan berdasarkan rencana tindakan yang telah direncanakan, sebagai upaya perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran maupun prestasi belajar IPA siswa kelas III. Pada tahap ini, guru kelas melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat sebelumnya,
(73)
57
berdasarkan KD 1.3 yaitu mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada makhluk hidup dan hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (makanan, kesehatan, rekreasi, istirahat dan olahraga). Materi yang akan dipelajari oleh siswa pada siklus 1 adalah pertumbuhan makhluk hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning yang akan dilakukan meliputi:
1) Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa tentang fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaiatan dengan konsep (tahap invitasi).
2) Siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya (tahap invitasi).
3) Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep melalui kegiatan diskusi (tahap eksplorasi).
4) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.
5) Setiap kelompok mendapatkan LKS yang akan digunakan selama proses diskusi
6) Siswa melakukan diskusi sesuai petunjuk yang diberikan oleh guru (tahap eksplorasi).
7) Siswa diminta menyampaikan hasil diskusi di depan kelas (tahap penjelasan dan solusi).
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
192 Lampiran 17. Surat Keterangan Penelitian