PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM TEMBAGA(II) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN PADA KONDISI OPTIMUM.

(1)

i

“PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM TEMBAGA(II) TERHADAP

AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN PADA KONDISI OPTIMUM”

SKRIPSI

Diajukan kapada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Kimia

Oleh :

NURUL DWI SYAFITRI 13307141027

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Tugas Akhir Skripsi

PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM TEMBAGA(II) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN PADA KONDISI OPTIMUM

Disusun oleh:

Nurul Dwi Syafitri NIM. 13307141027


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : Nurul Dwi Syafitri

NIM : 13307141027

Prodi : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Judul Penelitian : Pengaruh Penambahan Ion Logam Tembaga(II) Terhadap Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum.

Menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau telah digunakan sebagai penyelesaian studi di Perguruan Tinggi lain, kecuali pada bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan. Apabila terbukti penyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya.

Yogyakarta, 18 Juli 2017 Yang Menyatakan

Nurul Dwi Syafitri


(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Akhir Skripsi

PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM TEMBAGA(II) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN PADA KONDISI OPTIMUM

Disusun oleh: Nurul Dwi Syafitri


(5)

v

MOTTO

Man Jadda Wa Jadda TIME is MONEY

Kesuksesan hanya dapat diraih dengan usaha yang disertai dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang tidak dapat berubah

dengan sendirinya tanpa berusaha

َلصّاَ ةُ عِ عا دا صلُ عي ا الصّ ُ ة ةُِصّ عا دا ُُ عي ا الصاّ

ˈShalat itu adalah tiang agama, shalat itu adalah kunci segala kebaikanˉ

( H.R. Tablani)

َ ا اُ ةُ عِ ْاُاُ ع صُُّعة علصمالصّ

ˈKesabaran itu dapat menolong sagala pekerjaanˉ

الاُاقات داَصُاقصْاِ صناص صمْ َُصّاَصداِ عقصت اعصصاّ

ˈWaktu itu bagaikan pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya (menggunakan untuk memotong), ia akan memotongmu

(menggilasmu)ˉ (H.R. Muslim)


(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Ayahanda Sasongko, S.Ip dan Ibunda Efsyarbani, M.Pd

Atas doa, dukungan, fasilitas, dan seluruh kasih sayang yang tak pernah habis. Terimakasih atas semua yang telah diberikan. Semoga Ibu dan Bapak bisa terus

sehat, bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

Kakakku, Ikhwan Kholiq Permadi serta adik-adikku, Nabila Tri Amanda dan

Anggoro Sulistiyo. Terima kasih atas dukungan dan perhatian yang kalian berikan untukku.

Sahabat-sahabat baikku yang tak tergantikan selama 4 tahun menjalani masa perkuliahan di UNY ini, Erna Warisman, Devry Pramesti Putri dan Bayu Hendrawati. Selama 4 tahun ini telah menemani dan mewarnai hari-hariku di

FMIPA Kimia UNY

Teman-teman pejuang skripsi di kelas Biokimia, Kirana, Mufti, Bayu dan Citta. Terimakasih atas kerja sama dan kebersamaan di penghujung masa perkuliahan. Serta Mbak Titik, kakak tingkat yang juga seperjuangan dalam proyek penelitian.

Mahasiswa Kimia B angkatan 2013, terimakasih kalian telah mengisi hari-hari saya selama menjalani masa perkuliahan di FMIPA Kimia UNY.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah swt penulis ucapkan, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu melaksanakan dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Ion Logam Tembaga(II) Terhadap Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum”.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini, baik material maupun spriritual. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd sebagai Rektor Universitas Negeri Yogyakarta beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Hartono, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Bapak Drs. Jaslin Ikhsan, M.App.Sc., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan segala kebutuhan administrasi mahasiswa kimia yang melaksanakan penelitian skripsi.

4. Ibu Dr. Das Salirawati, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi.

5. Ibu C. Budimarwanti, M.Si, selaku penguji utama, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

6. Ibu Dr. Sri Handayani, M.Si, selaku penguji pendamping, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

7. Seluruh Dosen, Staff dan Laboran Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penelitian.

8. Semua pihak yang telah ikut membantu kesuksesan pelaksanaan dan penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga semua amal kebaikan dan kerelaannya dalam membantu proses penyelesaian skripsi ini mendapat ridho dan balasan dari Allah SWT.


(8)

viii

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat mangharapkan segala masukan baik barupa saran maupun kritik dari pembaca yang sifatnya membangun, diterima dengan senang hati demi kesempurnaan dan kemajuan bersama. Penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang telah membaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Amin.

Yogyakarta, 20 Juli 2017


(9)

ix

ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM TEMBAGA(II) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN PADA KONDISI OPTIMUM

Oleh:

Nurul Dwi Syafitri NIM. 13307141027

Pembimbing: Dr. Das Salirawati, M.Si ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk CuCl2 terhadap aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum. Sebelumnya dilakukan penentuan kondisi optimum enzim tripsin meliputi pH, suhu, waktu inkubasi, dan konsentrasi substrat.

Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein dilakukan dengan menggunakan metode Anson. Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan dan tanpa penambahan CuCl2 dilakukan pada kondisi optimum yang telah diperoleh. Variasi konsentrasi senyawa CuCl2 yang ditambahkan adalah 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah aktivitas enzim tripsin dalam satuan mg/mL per menit pada suhu 37°C. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan membandingkan aktivitas enzim tripsin dengan dan tanpa penambahan CuCl2 pada kondisi optimum.

Hasil rerata aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum (pH 8, suhu 37°C, waktu inkubasi 20 menit, dan konsentrasi substrat 10 mg/mL), yaitu 0,00165 mg/mL per menit pada suhu 37°C. Untuk rerata aktivitas enzim tripsin dengan penambahan CuCl2 pada konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M berturut-turut sebesar 0,001166 mg/mL per menit; 0,001016 mg/mL per menit; 0,000917 mg/mL per menit; 0,000567 mg/mL per menit; dan 0,000467 mg/mL per menit pada suhu 37°C. Berdasarkan data tersebut, penambahan CuCl2 dapat disimpulkan bahwa ion Cu2+ bersifat inhibitor dan sangat mempengaruhi aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum.


(10)

x

ABSTRACT

THE ADDITION EFFECT OF COPPER(II) METAL ION AT OPTIMUM

CONDITIONS OF TRYPSYN’S ACTIVITY

By:

Nurul Dwi Syafitri

Number of Student: 13307141027 Counsellor: Dr. Das Salirawati, M.Si

ABSTRACT

This research aimed to determine the effect addition of copper(II) metal ion in CuCl2 against trypsin's activity. Determination of optimum condition of trypsin including the pH, temperature, incubation period and substrate's concentration had been done before the conduction.

Determination of trypsin's activity with casein substrate was preformed by Anson's Method. Trypsin's actvity determined with and without adding the CuCl2 compound, were conducted in optimum condition which had been collected. The variations of CuCl2 concentration which were added are 0.0010 M; 0.0015 M; 0.0020 M; 0.0025 M; and 0.0030 M. The data collected in this research is trypsin’s activity in units of mg/mL by minute at 37oC. The data analysis used is Descriptive-Qualitative, comparing trypsin’s activity with and without CuCl2 addition in optimum conditions.

The mean results of optimum conditions of trypsin's activity (pH 8; 37°C; 20 minutes of incubation period and 10 mg/mL as the concentration of substrate), that is 0.00165 mg/mL by minute at 37oC. The trypsin’s activity mean in optimum condition is 0.00153 mg/mL per minute at the γ7°C temperature. On the trypsin’s activity with addition of CuCl2 compound with 0.0010 M; 0.0015 M; 0.0020 M; 0.0025 M; and 0.0030 M in a row as the concentrations are 0.001166 mg/mL per menit; 0.001016 mg/mL per menit; 0.000917 mg/mL per menit; 0.000567 mg/mL per menit; and 0.000467 mg/mL by minute at 37°C. Based on the data, CuCl2 has the quality as an inhibitor and affect to trypsin’s activity in optimum condition.


(11)

xi

DAFTAR ISI

hlm

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori ... 7

1. Protein ... 7

2. Enzim Tripsin ... 8

3. Kasein ... 10

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim ... 11

a. Pengaruh pH ... 12


(12)

xii

c. Pengaruh Konsentrasi Enzim ... 14

d. Pengaruh Konsentrasi Substrat ... 14

5. Inhibitor Enzim ... 15

a. Inhibitor Reversibel ... 16

1. Inhibitor Kompetitif ... 16

2. Inhibitor Nonkompetitif ... 17

3. Inhibitor Unkompetitif ... 18

b. Inhibitor Irreversibel ... 19

6. Logam Tembaga (Cu) dan Senyawanya ... 19

7. Penentuan Kadar Protein ... 23

a. Metode Kjeldhal ... 23

b. Metode Biuret ... 24

c. Metode Lowry ... 24

8. Aktivitas Enzim Tripsin (Metode Anson) ... 25

B. Penelitian Relevan ... 27

C. Kerangka Berfikir ... 28

BAB III METODE PNELITIAN A. Subyek dan Obyek Penelitian ... 30

B. Variabel Penelitian ... 30

C. Alat dan Bahan Penelitian ... 31

D. Prosedur Penelitian ... 33

E. Tekhnik Analisa Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 40

B. Pembahasan ... 47

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hlm

Gambar 1. Struktur Protein ... 8

Gambar 2. Struktur Enzim Tripsin ... 10

Gambar 3. Struktur Kasein ... 11

Gambar 4. Kurva Hubungan antara Aktivitas Enzim Tripsin terhadap pH ... 12

Gambar 5. Kurva Hubungan antara Aktivitas Enzim Tripsin terhadap Suhu ... 13

Gambar 6. Kurva Hubungan antara Aktivitas Enzim Tripsin terhadap Kecepatan Reaksi ... 14

Gambar 7. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Substrat dengan Kecepatan Reaksi ... 15

Gambar 8. Inhibitor Kompetitif ... 17

Gambar 9. Inhibitor NonKompetitif ... 18

Gambar 10. Inhibitor Irreversibel ... 19

Gambar 11. (a) Kristal CuCl2.2H2O (b) Larutan CuCl2 1 M ... 23

Gambar 12. Reaksi Hidrolisis Protein (Kasein) oleh Enzim Tripsin ... 25

Gambar 13. Reaksi Reduksi Fosfotungstat dan Fosfomolibdat ... 26

Gambar 14. Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 47

Gambar 15. Kurva Hubungan antara Aktivitas Enzim Tripsin dengan pH ... 49

Gambar 16. Kurva Hubungan antara Suhu dengan Aktivitas Enzim Tripsin ... 51

Gambar 17. Kurva Hubungan antara Waktu Inkubasi dengan Aktivitas Enzim Tripsin ... 52

Gambar 18. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Substrat dengan Aktivitas Enzim Tripsin ... 54

Gambar 19. Reaksi Hidrolisis Protein (Kasein) oleh Enzim Tripsin ... 56


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

hlm Tabel 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 40 Tabel 2. Hasil Penentuan pH Optimum Enzim Tripsin ... 41 Tabel 3. Hasil Penentuan Suhu Optimum Enzim Tripsin ... 42 Tabel 4. Hasil Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Enzim Tripsin ... 43 Tabel 5. Hasil Penentuan Konsentrasi Substrat Optimum Enzim

Tripsin ... 44 Tabel 6. Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum ... 45 Tabel 7. Hasil Aktivitas Enzim Tripsin dengan Penambahan Ion


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hlm Lampiran 1. Skema Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Kasein ... 69

Lampiran 2. Skema Penentuan pH Optimum Enzim Tripsin ... 70

Lampiran 3. Skema Penentuan Suhu Optimum Enzim Tripsin ... 71

Lampiran 4. Skema Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Enzim Tripsin ... 72

Lampiran 5. Skema Penentuan Substrat Optimum Enzim Tripsin ... 73

Lampiran 6. Skema Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum ... 74

Lampiran 7. Skema Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin dengan Penambahan Ion Logam Cu2+ dalam Bentuk Senyawa CuCl2 pada Kondisi Optimum ... 75

Lampiran 8. Penentuan pH Optimum ... 76

Lampiran 9. Penentuan Suhu Optimum ... 79

Lampiran 10. Penentuan Waktu Inkubasi Optimum ... 83

Lampiran 11. Penentuan Konsentrasi Substrat Optimum ... 87

Lampiran 12. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum ... 91

Lampiran 13. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin dengan Penambahan Ion Logam Cu2+ dalam Bentuk Senyawa CuCl2 ... 93


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pencemaran lingkungan akibat logam berat terus meningkat seiring dengan perkembangan industri. Umumnya logam berat bersifat toksik, namun tidak sedikit logam berat masuk dalam golongan logam atau mineral yang penting bagi tubuh (esensial). Logam esensial diperlukan dalam proses fisiologis tubuh, sehingga logam golongan ini merupakan nutrisi penting yang jika kekurangan dapat menyebabkan kelainan proses fisiologis atau disebut penyakit defisiensi mineral. Mineral ini biasanya terikat dengan protein, termasuk enzim untuk proses metabolisme tubuh, yaitu kalsium (Ca), fosforus (P), kalium (K), natrium (Na), klorin (Cl), sulfur (S), magnesium (Mg), besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), kobalt (Co), iodin (I), dan selenium (Se) (Darmono, 2006).

Logam yang banyak dikenal dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tembaga (Cu). Toksisitas tembaga terhadap organisme air (perairan) dan manusia memiliki ambang batas tertentu. Menurut Dirjen POM No. 03725/VII/89 tentang ambang batas cemaran Cu pada biota laut khususnya ikan, yaitu 2,0 mg/kg berat ikan (Halang, 2007). Pencemaran logam Cu dalam area lingkungan biasanya disebabkan oleh kegiatan perindustrian, rumah tangga, pembakaran, dan mobilitas bahan bakar (Palar, 1994).

Manusia membutuhkan energi dan nutrisi untuk pertumbuhan, pemelihara-an fungsi biokimia tubuh, dpemelihara-an perkembpemelihara-angpemelihara-annya. Nutrisi dikategorikpemelihara-an menjadi dua, yaitu makronutrisi yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein, juga


(17)

2

mikronutrisi yang berupa vitamin dan mineral (Tull, 1996). Makronutrisi terutama protein berperan penting karena kaitannya yang erat dengan proses-proses kehidupan. Semua organisme hidup berhubungan dengan zat gizi protein (Sediaoetama, 2008).

Dalam mengumpulkan energi dan nutrisi, manusia melalui tahap metabolisme dalam tubuhnya. Metabolisme merupakan sekumpulan reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup. Reaksi-reaksi ini meliputi sintesis molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil (anabolisme) dan penyusunan molekul besar dari molekul yang lebih kecil (katabolisme) (Lehninger, 1982).

Enzim merupakan golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup dan mempunyai fungsi penting sebagai biokatalisator pada reaksi-reaksi biokimia. Adanya enzim menyebabkan reaksi-reaksi berjalan dalam suhu fisiologis tubuh manusia, sebab enzim berperan dalam menurunkan energi aktivasi menjadi lebih rendah dari yang semestinya dicapai dengan pemberian panas dari luar. Enzim bekerja dengan cara menurunkan energi aktivasi, tetapi sama sekali tidak mengubah ΔG reaksi (selisih antara energi bebas produk dan reaktan), sehingga dengan demikian kerja enzim tidak berlawanan dengan Hukum Hess 1 mengenai kekekalan energi (Lehninger, 1982).

Menurut Baily dan Ollis (1986), salah satu karakteristik enzim, yaitu memerlukan kofaktor yang berupa molekul anorganik untuk dapat aktif. Ion logam dapat mendukung efisiensi katalitik enzim dan dapat membantu reaksi katalitik dengan cara mengikat substrat pada sisi pemotongan. Selain berperan


(18)

3

dalam pengikatan enzim dengan substrat, beberapa logam juga dapat mengikat enzim secara langsung untuk menstabilkan konformasi aktifnya atau menginduksi formasi situs pengikatan atau situs aktif suatu enzim (Baehaki, 2011).

Enzim tripsin merupakan salah satu contoh enzim proteolitik yang akan digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian Green dan Neurath (1953), Ca 2+, Co2+, Cd 2+, dan Mn 2+ meningkatkan esterase dan amidase aktivitas tripsin maksimal sebesar 25%, sedangkan Cu2+, Hg2+ dan Ag+, sebagai penghambat dengan digunakan substrat benzoil-n-arginin etil ester (BAEE), benzoil-n-argininamide (BAA), dan asetil-L-tirosin etil ester (ATEE). Dalam penelitian ini, akan ditambahkan ion logam Cu2+ sebagai kofaktor untuk mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas enzim tripsin dengan menggunakan substrat kasein. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi optimum dan pengaruh penambahan ion logam Cu2+ terhadap aktivitas enzim tripsin.

B.Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada berbagai macam enzim protease yang ada dalam perdagangan, antara lain enzim pepsin dan enzim tripsin.

2. Ada berbagai jenis substrat protein komersil yang dapat digunakan dalam penelitian, yaitu kasein, BAEE, BAA, dan ATEE.

3. Ada berbagai ion logam yang berfungsi sebagai aktivator atau inhibitor enzim, antara lain Cu2+, Ag+, Hg2+, Ca2+, Cd2+, dan Mn2+.


(19)

4

4. Ada berbagai metode penentuan kadar protein, antara lain metode Biuret, metode Kjeldhal, dan metode Lowry.

5. Ada berbagai metode penentuan aktivitas enzim tripsin, antara lain metode Anson, dan metode Kunitz.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pH, suhu, dan waktu inkubasi.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka perlu diberikan pembatasan masalah, antara lain:

1. Enzim protease yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim tripsin komersial dengan merk dagang E-Merck.

2. Jenis substrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah protein kasein. 3. Ion logam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ion logam Cu2+ dalam

bentuk senyawa CuCl2 dengan variasi konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M (Tong Zhang, 2014).

4. Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Lowry.

5. Penentuan aktivitas enzim tripsin dilakukan dengan metode Anson.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim tripsin, yaitu konsentrasi substrat, pH, suhu, waktu inkubasi, dan konsentrasi ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 yang ditambahkan.


(20)

5

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein pada kondisi optimum?

2. Bagaimana pengaruh penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dengan variasi konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M terhadap aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein pada kondisi optimum?

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui:

1. Aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein pada kondisi optimum.

2. Pengaruh penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dengan variasi konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M terhadap aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein pada kondisi optimum.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi mahasiswa, dapat memberikan informasi tentang aktivitas enzim tripsin

pada kondisi optimum dan pengaruh penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dengan variasi konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M.


(21)

6

2. Bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak yang terjadi apabila ion logam Cu2+ masuk ke dalam tubuh, khususnya dampak terhadap aktivitas enzim tripsin.


(22)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori 1. Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat sangat penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N (Winarno, 1992). Ketika berada di luar makhluk hidup atau sel, protein sangat tidak stabil (Wirahadikusumah, 1989).

Protein dapat berasal dari tumbuhan dan hewan, protein yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati dan protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani. Beberapa contoh sumber protein nabati adalah gandum, jagung, kacang, kedelai, dan contoh sumber protein hewani adalah daging, ikan dan susu (Wirahadikusumah, 1989). Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami hidrolisis oleh enzim dan menghasilkan asam-asam amino (Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

Struktur protein dapat dikelompokkan menjadi empat golongan , yaitu struktur primer, sekunder, tersier, kuartener. Struktur primer adalah struktur linear dari rantai protein, struktur ini disusun oleh asam-asam amino. Struktur sekunder adalah struktur dua dimensi dari protein. Pada struktur ini terjadi lipatan (folding) beraturan, seperti α-heliks dan -sheet, akibat adanya ikatan hidrogen di antara gugus-gugus polar dari asam amino dalam rantai protein. Struktur ini terbentuk ketika susunan asam-asam amino dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Struktur


(23)

8

tersier merupakan struktur tiga dimensi sederhana dari rantai protein. Dalam struktur ini, selain terjadi folding membentuk struktur α-heliks dan -sheet, juga terjadi antaraksi gugus nonpolar yang mendorong terjadi lipatan. Struktur ini terbentuk ketika adanya gaya tarik yang terjadi antara α-heliks dan -sheet. Struktur kuartener adalah protein yang mengandung lebih dari satu rantai polipeptida, ini termasuk struktur tertinggi dari protein. Dalam struktur ini, protein membentuk molekul kompleks, tidak terbatas hanya pada satu rantai protein, tetapi beberapa rantai protein yang bergabung membentuk seperti bola. Berikut ini adalah gambar struktur protein (Darmono, 2006).

Gambar 1. Struktur Protein

2. Enzim Tripsin

Enzim dapat berupa untaian polipeptida saja ataupun protein tunggal, atau berupa protein yang mengikat unsur atau gugus tertentu. Enzim yang berupa protein saja dinamakan apoenzim, sedangkan enzim yang merupakan gabungan antara protein dengan unsur atau gugus nonprotein disebut holoenzim. Bagian


(24)

9

enzim yang berupa unsur dinamakan kofaktor, sedangkan yang berupa senyawa organik disebut koenzim.

Enzim memegang peranan penting dalam proses pencernaan makanan maupun proses metabolisme zat-zat makanan dalam tubuh. Fungsi enzim adalah mengurangi energi aktivasi dalam suatu reaksi kimiawi. Suatu reaksi yang di-katalisis oleh enzim mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah, dengan demikian hanya dibutuhkan sedikit energi untuk berlangsungnya reaksi tersebut. Enzim mempercepat reaksi kimiawi secara spesifik tanpa pembentukan hasil samping dan bekerja pada larutan dengan keadaan suhu dan pH tertentu. Aktivitas enzim dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, suhu, waktu inkubasi, dan pH (Pelczar dan Reid, 2005).

Umumnya mekanisme yang digunakan untuk mempercepat kecepatan reaksi enzim dapat dilakukan dengan 2 reaksi, yakni dengan katalis asam-basa, dan katalis ion-ion logam. Katalis ion logam melakukan peranan katalis dan struktural yang penting bagi protein. Lebih dari seperempat dari semua enzim yang dikenal mengandung ion logam yang berikatan erat atau memerlukan ion logam untuk beraktivitasnya (Mutiara, 2004).

Enzim tripsin termasuk dalam enzim proteolitik yang diproduksi oleh pankreas tubuh manusia, enzim ini diperlukan oleh semua makhluk hidup karena bersifat esensial dalam metabolisme protein. Fungsi enzim tripsin adalah mengubah protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti asam amino. Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan dialirkan ke usus 12 jari (duodenum). Selain itu, fungsi enzim tripsin adalah untuk mengubah tripsinogen


(25)

10

menjadi tripsin aktif dan menghidrolisis protein yang dihasilkan oleh pankreas. Tripsin disebut enzim proteolitik atau protease, karena yang dipecah adalah ikatan pada rantai peptida, maka dapat disebut juga peptidase (Sulistyowati & Salirawati, 2016).

Enzim tripsin memiliki residu serin yang spesifik pada sisi aktifnya, maka enzim tripsin termasuk dalam golongan enzim proteolitik atau protease serin, yaitu enzim yang berfungsi untuk memecah protein. Enzim ini mengkatalisis reaksi pemecahan protein dengan menghidrolisis ikatan peptidanya menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Berikut ini adalah struktur enzim tripsin (Goodsell, 2003).

Gambar 2. Struktur Enzim Tripsin

3. Kasein

Kasein adalah salah satu jenis substrat dalam reaksi yang dikatalis oleh enzim tripsin. Substrat adalah suatu senyawa organik yang siap untuk diubah menjadi produk. Kasein sebagai substrat dalam reaksi enzim tripsin, merupakan protein yang akan diubah menjadi produk berupa asam amino dengan bantuan enzim tripsin (Mutiara, 2004)


(26)

11

Senyawa yang dikatalisis oleh suatu enzim disebut substrat-enzim. Jadi, substrat-enzim adalah suatu zat atau senyawa yang dipengaruhi oleh enzim. Selain itu, substrat suatu enzim dapat berupa senyawa organik ataupun senyawa anorganik. Setiap enzim mempunyai substrat tertentu (Sumardjo, 2006). Beberapa contoh substrat seperti albumin, kasein, bovin serum albumin (BSA), benzoil-n-arginin etil ester (BAEE), benzoil-n-benzoil-n-argininamide (BAA), dan asetil-L-tirosin etil ester (ATEE) (Meiyanto, 2008)

Kasein terdiri dari asam amino yang terikat oleh ikatan peptida. Kasein memiliki tiga jenis protein, yaitu α-kasein, -kasein dan -kasein. Ketiga jenis protein yang ada dalam kasein mengandung sumber asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh. Struktur kasein dengan asam amino polipeptida dapat dilihat pada gambar berikut ini (Meiyanto, 2008).

R: Alkil/Aril Gambar 3. Struktur Kasein

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim

Enzim sebagai biokatalisator berstruktur protein, dalam mekanisme kerja aktivitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pH, suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, dan kehadiran aktivator atau inhibitor (Poedjiadi & Supriyanti, 2009). Enzim bekerja dengan menurunkan energi aktivasi suatu reaksi. Enzim bekerja dengan mengikat reaktan (substrat), sehingga berada pada posisi


(27)

12

yang diinginkan dengan energi yang lebih rendah dari energi aktivasinya. Pada akhir reaksi, enzim akan kembali seperti semula (Meiyanto, 2008).

Kecepatan reaksi enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat. Pengaruh aktivator, inhibitor, koenzim dan konsentrasi substrat dalam beberapa keadaan juga merupakan faktor-faktor yang penting (Mutiara, 2004).

a. Pengaruh pH

Potensial hidrogen (pH) merupakan faktor penting yang harus diperhatikan apabila bekerja dengan enzim, hal ini dikarenakan enzim hanya mampu bekerja pada kondisi pH tertentu. Suatu kondisi pH dimana enzim dapat bekerja dengan aktivitas tertinggi yang dapat dilakukannya dinamakan pH optimum. Sebaliknya pada pH tertentu, enzim sama sekali tidak dapat aktif atau bahkan rusak. Hal ini dapat dijelaskan karena diketahui bahwa enzim merupakan molekul protein yang kestabilannya dapat dipengaruhi oleh tingkat keasaman lingkungan, pada keasaman yang ekstrim molekul-molekul protein enzim akan rusak (Putri, 2008).


(28)

13

b. Pengaruh Suhu

Suhu rendah yang mendekati titik beku biasanya tidak merusak enzim. Pada suhu dimana enzim masih aktif, kenaikan suhu sebanyak 10oC, menyebabkan keaktifan menjadi 2 kali lebih besar. Pada suhu optimum reaksi berlangsung sangat cepat. Bila suhu terus dinaikkan, maka jumlah enzim yang aktif akan berkurang, karena enzim dalam keadaan jenuh atau mengalami denaturasi. Enzim di dalam tubuh manusia memiliki suhu optimum sekitar 37oC. Enzim organisme mikro yang hidup dalam lingkungan suhu tinggi memiliki suhu optimum yang tinggi pula (Mutiara, 2004).

Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60oC, karena proses denaturasi enzim. Dalam beberapa keadaan, jika pemanasan dihentikan dan didinginkan kembali, aktivitasnya akan pulih. Hal ini disebabkan proses denaturasi masih reversibel. pH dan zat-zat pelindung dapat mempengaruhi denaturasi pada pemanasan ini. Kurva hubungan antara aktivitas enzim terhadap suhu dapat dilihat pada Gambar 5 (Mutiara, 2004).


(29)

14

c. Pengaruh Konsentrasi Enzim

Kecepatan reaksi enzim (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim (Enz). Semakin besar jumlah enzim, maka semakin cepat reaksinya. Dalam reaksinya, enzim akan berikatan dengan substrat (S) dan akan membentuk kompleks enzim-substrat (EnzS). Enzim-substrat ini akan dipecah menjadi hasil reaksi P dan enzim bebas (Enz). Skema reaksi yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut ini (Mutiara, 2004).

Enz + S EnzS Enz + P Enz + S Enz + P

Semakin banyak enzim yang terbentuk, maka semakin cepat reaksi ini berlangsung, dan hal ini terjadi sampai batas tertentu. Hubungan antara konsentrasi enzim terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat pada Gambar 6 (Mutiara, 2004).

Gambar 6. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Enzim terhadap Kecepatan Reaksi

d. Pengaruh Konsentrasi Substrat

Bila konsentrasi substrat (S) bertambah, sedangkan keadaan lainnya tetap sama, maka kecepatan reaksi juga akan meningkat sampai suatu batas maksimum


(30)

15

(v). Pada titik maksimum ini enzim telah jenuh dengan substrat. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 7 (Mutiara, 2004).

Gambar 7. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Substrat dengan Kecepatan Reaksi

Pada titik A dan B belum semua enzim bereaksi dengan substrat, maka pada penambahan substrat (S) akan menyebabkan jumlah EnzS bertambah dan kecepatan reaksi (v) akan bertambah, sesuai dengan penambahan substrat (S). Pada titik C semua enzim telah bereaksi dengan substrat, sehingga penambahan substrat (S) tidak akan menambah kecepatan reaksi (v), karena tidak ada lagi enzim bebas (Enz). Pada titik B kecepatan reaksi telah tepat setengah kecepatan maksimum. Konsentrasi substrat yang menghasilkan setengah kecepatan maksimum dinamakan harga Km atau konstanta Michaelis. Kurva hubungan antara konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi dapat dilihat pada Gambar 7 (Mutiara, 2004).

5. Inhibitor Enzim

Menurut Wirahadikusumah (1989), inhibitor merupakan suatu zat kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja


(31)

16

inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim, sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat dan akibatnya fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1989).

Menurut Gultom (2011: 85), inhibitor adalah suatu senyawa yang dapat menurunkan (menghambat) laju reaksi yang dikatalis oleh enzim. Secara umum, inhibitor dapat menghambat kerja enzim dengan dua jenis penghambatan, yaitu penghambat reversibel (inhibitor reversibel) dan penghambat irreversibel (inhibitor irreversibel).

a. Inhibitor Reversibel

Penghambat reversibel adalah jenis penghambatan enzim yang dapat balik. Inhibitor ini terikat pada suatu enzim dengan reversibel, sehingga dapat dipisahkan kembali dari enzim melalui dialisis maupun dengan pelarutan sederhana. Pemisahan inhibitor reversibel dari enzim ini untuk mengembalikan aktivitas katalitik enzim. Inhibitor reversibel berlangsung dengan cepat membentuk suatu sistem kesetimbangan dengan enzim. Hal ini menunjukkan adanya suatu tingkat penghambatan yang pasti, tergantung pada konsentrasi enzim, inhibitor, dan substrat yang memiliki jumlah yang tetap konstan sepanjang reaksi, jika laju awal berlangsung dengan normal (Gultom, 2011: 85).

Ada tiga jenis penghambatan yang terjadi pada aktivitas enzim yang dihambat oleh inhibitor reversibel, yaitu:

1. Inhibitor Kompetitif

Inhibitor kompetitif merupakan jenis inhibitor yang memiliki struktur mirip substrat. Inhibitor yang bereaksi dengan enzim secara kompetitif terhadap


(32)

17

substrat dan mengikat sisi aktif enzim. Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor kompetitif dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Inhibitor Kompetitif

Penghambatan ini kadang bersifat irreversibel, apabila substrat tidak dapat melepaskan ikatan inhibitor. Penghambatan kompetitif juga ditemukan pada sisi dekat dengan pusat aktif enzim, sehingga mengurangi kecenderungan enzim bereaksi dengan substrat. Selain menghambat ikatan antara enzim dengan substrat, inhibitor ini juga dapat menghambat penguraian dan pembentukan senyawa baru. Inhibitor kompetitif berikatan lemah (ikatan ion) dengan enzim pada sisi aktifnya, sehingga inhibitor ini bersifat reversibel. Dengan menambah kepekatan substrat, inhibitor tidak mampu lagi bergabung dengan enzim (Bintang, 2010).

2. Inhibitor Nonkompetitif

Penghambatan tidak bersaing ini tidak dipengaruhi oleh konsentrasi substrat maupun konsentrasi inhibitor. Inhibitor dapat bergabung dengan enzim pada sisi di luar sisi aktif enzim. Penggabungan ini dapat terjadi pada enzim bebas


(33)

18

yang akan membentuk kompleks Enzim-Inhibitor (EI). Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor non-kompetitif dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 9. Inhibitor Nonkompetitif

Jika inhibitor ini bergabung dengan enzim maka akan mengubah bentuk sisi aktif enzim. Dengan demikian, bentuk sisi aktif tidak sesuai lagi dengan bentuk substrat. Selain itu, penggabungan inhibitor juga dapat terjadi pada kompleks Enzim-Substrat yang menghasilkan kompleks Enzim-Substrat-Inhibitor (ESI). Kedua kompleks ini tidak dapat menghasilkan produk yang diharapkan. Contoh inhibitor tidak bersaing adalah ion-ion logam, seperti Cu2+, Hg2+, dan Ag+ (Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

3. Inhibitor Unkompetitif

Inhibitor unkompetitif, yaitu inhibitor yang berikatan pada kompleks enzim substrat membentuk kompleks enzim-substrat-inhibitor yang tidak aktif. Inhibitor unkompetitif ini biasanya terjadi pada enzim multireaktan, enzim yang memiliki lebih dari satu sisi aktif. Apabila sisi aktif pertama sudah diikat oleh substrat, sehingga membentuk komples Enzim-Substrat, kemudian inhibitor akan mengikat sisi aktif enzim yang lainnya, maka akan terjadi kompleks Substrat-Enzim-Inhibitor yang tidak aktif (Gultom, 2011).

Inhibitor


(34)

19

b. Inhibitor Irreversibel

Inhibitor irreversibel merupakan jenis penghambatan oleh inhibitor enzim yang tidak dapat balik. Inhibitor ini bersifat merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim. Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor irreversibel dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 10. Inhibitor Irreversibel

Penghambatan oleh inhibitor irreversibel ini melekat bukan pada sisi aktif enzim, sehingga enzim akan kehilangan sisi aktifnya (Gultom, 2011). Inhibitor irreversibel yang melekat bukan pada sisi aktif utama enzim membentuk ikatan kovalen, sehingga sukar lepas dari enzim (irreversibel). Akibatnya, kompleks Enzim-Inhibitor menjadi tidak aktif. Penghambatan ini menyebabkan pengurangan aktivitas katalitik enzim (Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

6. Logam Tembaga (Cu) dan Senyawanya

Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral. Selain itu, tembaga (Cu) juga terdapat dalam makanan. Sumber utama tembaga adalah tiram, kerang, kacang-kacangan, sereal, lemon,


(35)

20

anggur, apel, pepaya, kelapa, wijen, dan coklat. Air juga mengandung tembaga dan jumlahnya bergantung pada jenis pipa yang digunakan sebagai sumber air (Tull, 1996) .

Senyawa yang memiliki nama lain Cuprum dan lambang Cu ini, ternyata tidak boleh berlebihan ataupun kekurangan jumlahnya di dalam tubuh. Tembaga disebut sebagai mikromineral yang dibutuhkan dalam tubuh organisme karena memiliki peran penting dalam sejumlah proses enzimatik seperti cytochrome oxidase, superoxide dismutase, lysyl oxidase, dopamine hydroxylase dan tyrosinase. Selain itu manfaat tembaga bagi tubuh sebagai komponen dari berbagai enzim yang diperlukan untuk menghasilkan energi, anti oksidasi, sintesa hormon adrenalin, pembentukan jaringan ikat, membantu mengabsorbsi unsur Fe, memelihara fungsi sistem syaraf, sintesis substansi hormon, serta dapat berperan dalam pembentukan Hb dan eritrosit.

Tembaga juga memiliki potensi dalam memberikan efek negatif bila masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai ambang batas. Contohnya pada biota laut seperti ikan, yang dapat mengakumulasi tembaga ke dalam organ tubuh ketika mencapai konsentrasi yang membahayakan. Tembaga dapat mengalami bioakumulasi dan menjadi racun bagi organisme yang dibudidayakan. Kelebihan tembaga juga menyebabkan gangguan pada sejumlah proses fisiologis (Palar, 1994).

Bila seseorang mengalami kekurangan tembaga atau biasa disebut defisiensi, maka orang tersebut akan terkena penyakit osteoporosis, reumatik, radang sendi, kondisi buruk pada saraf, metabolisme menurun, dan juga jantung


(36)

21

koroner. Sedangkan untuk seseorang yang mengalami kasus kelebihan dan keracunan tembaga, biasanya mengalami gejala atau menderita penyakit seperti; jaringan lunak dalam tubuh yang terganggu, lambung rusak, sistem pencernaan menjadi buruk (diare), anemia, dan juga dapat mengalami gangguan ginjal (Tull, 1996).

Sebagai logam berat, Cu (tembaga) berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat Cu digolongkan ke dalam logam berat esensial, yang artinya meskipun beracun, unsur logam ini sangat dibutuhkan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Oleh karena itu, Cu masuk ke dalam logam-logam esensial bagi manusia, seperti besi (Fe). Toksisitas yang dimiliki Cu akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi batas (Darmono, 2006).

Setiap studi toksikologi yang pernah dilakukan terhadap penderita keracunan Cu, hampir semuanya meninjau metabolisme Cu yang masuk ke dalam tubuh secara oral. Berdasarkan studi-studi yang dilakukan di Amerika, disimpulkan bahwa orang-orang Amerika baik secara sengaja ataupun tidak telah mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung Cu sebesar 2-5 mg setiap harinya. Jumlah Cu yang terkonsumsi itu, hampir semuanya dikeluarkan kembali bersama feces. Penyerapan Cu ke dalam darah dapat terjadi pada kondisi asam yang terdapat dalam lambung. Pada saat proses penyerapan makanan yang diolah pada lambung, Cu yang ada juga ikut diserap oleh darah (Darmono, 2009).

Tembaga (Cu) dalam darah, terdapat dalam 2 bentuk, yaitu Cu+ dan Cu2+. Apabila jumlah Cu dalam kedua bentuk itu terserap berada dalam jumlah normal,


(37)

22

maka sekitar 93% dari serum Cu berada dalam seruloplasma dan 7% lainnya berada dalam fraksi-fraksi albumin dan asam amino. Serum Cu albumin ditransfortasikan ke dalam jaringan-jaringan tubuh. Cu juga berikatan dengan sel darah merah sebagai eritrocuprein, yaitu sekitar 60% eritrosit-Cu, sedangkan sisanya merupakan fraksi-fraksi yang labil. Darah selanjutnya akan membawa Cu ke dalam hati, dari hati Cu dikirimkan ke dalam empedu, dan dari empedu Cu dikeluarkan kembali ke usus, untuk selanjutnya dibuang melalui feces (Tull, 1996).

Umumnya tembaga yang sering ditemukan di alam memiliki bilangan oksidasi +2, sedangkan Cu dengan bilangan oksidasi +1 sangat jarang ditemukan, karena hanya stabil jika dalam bentuk senyawa kompleks. Ion Cu+ struktur elektroniknya adalah [Ar] 3d10, namun umumnya Cu membentuk ion Cu2+ yang memiliki struktur [Ar] 3d9. Selain dua keadaan oksidasi tersebut, dikenal pula tembaga dengan bilangan oksidasi +3, tetapi jarang digunakan, misalnya K3CuF6.

Ion kompleks biasanya didefinisikan sebagai kombinasi antara kation pusat dengan satu atau lebih ligan. Ligan adalah sembarang ion atau molekul dalam koordinasi pada ion pusat, misalnya H2O, tetapi seringkali air diabaikan di dalam ion kompleks, sehingga pengertian ion kompleks kadang-kadang terbatas untuk selain air (Sugiyarto & Suyanti, 2010).

Dalam bentuk larutan, ion tembaga akan berwarna biru, contohnya heksa-aquotembaga(II)-[Cu(H2O)6]2+. Ion hidroksida menggantikan ion hidrogen dari ligan air dan kemudian melekat pada ion tembaga. Setelah ion hidrogen dihilangkan dari dua molekul air, akan memperoleh kompleks tidak bermuatan


(38)

23

(kompleks netral). Kompleks ini tidak larut dalam air dan akan membentuk endapan (Sugiyarto & Suyanti, 2010). Senyawa kompleks Cu2+ lainnya adalah senyawa kompleks CuCl2 yang mengandung beberapa molekul air dalam bentuk kristalnya. Berikut ini adalah gambar kristal dan larutan CuCl2.

(a) (b)

Gambar 11. (a) Kristal CuCl2 (b) Larutan CuCl2 1 M

Senyawa kompleks CuCl2 larut dalam air. Larutan tersebut berwarna biru, kristal CuCl2 yang mengikat 2H2O (hidrat) bila dipanaskan ataupun dilarutkan dalam air, senyawa hidratnya akan lepas. Contoh reaksi CuCl2 sebagai berikut: (Sugiyarto & Suyanti, 2010).

CuCl2.2H2O (s) CuCl2 (aq) + 2 H2O (l) Cu2+ + Cl CuCl2 (aq)

7. Penentuan Kadar Protein a. Metode Kjeldhal

Metode Kjeldhal digunakan untuk menganalisis protein kasar makanan secara tidak langsung karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Kelemahan cara ini adalah purin, pirimidin, vitamin-vitamin, keratin dan kreatina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein (Winarno, 1992).


(39)

24

Namun pada akhir analisis, hasil perhitungan kadar proteinnya dikonversi dengan faktor konversi sesuai dengan bahan yang dianalisis. Dengan cara konversi ini diharapkan kadar nitrogen dari senyawa yang bukan protein akan terminimalisir jumlahnya (Winarno, 1992).

b. Metode Biuret

Metode Biuret adalah salah satu metode yang sensitif untuk menentukan protein dalam suatu larutan. Dalam metode ini, larutan basa Cu2+ dalam reagennya akan membentuk kompleks berwarna ungu dengan ikatan peptida pada protein. Senyawa yang mampu mengganggu reaksi ini adalah adanya urea dan gula pereduksi yang akan bereaksi dengan ion Cu2+ (Yayat, 2011: 18). Metode Biuret cocok digunakan untuk menentukan kadar protein dari sampel yang berwujud cair dengan kadar protein yang relatif tinggi.

c. Metode Lowry

Dalam metode Lowry, analisisnya menggunakan pereaksi Biuret yang dikombinasikan dengan pereaksi lain, yakni pereaksi Folin-Ciocalteau. Keuntungan penggunaan metode Lowry dibandingkan metode Biuret adalah kemampuan metode Lowry untuk penentuan kadar protein tinggi hingga kadar protein yang sangat rendah. Pengukuran absorbansi metode Lowry sensitif terhadap panjang gelombang sekitar 500 nm (untuk kadar protein tinggi) hingga 750 nm (untuk kadar protein rendah) (Yurika H., 2014). Penentuan kadar protein dengan metode Lowry berdasarkan reaksi antara Cu2+ dengan protein dan reaksi asam fosfomolibdat dan asam fosfongtungstat oleh tirosin atau triptofan yang akan menghasilkan warna biru. Intensitas warna biru yang dihasilkan tergantung


(40)

25

pada kadar proteinnya (Suhardi (1989) dalam Yayat, 2011: 18-19). Berikut adalah reaksi yang terjadi antara tirosin dengan reagen Folin-Ciocalteu:

Gambar 12. Reaksi Terbentuknya Kompleks Berwarna Biru

Kadar protein dapat ditentukan dengan membaca kurva standar, dibuat dengan larutan protein murni yang telah diketahui kadar proteinnya, misalnya BSA (Bouvine Serum Albumin) yang memiliki rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada di dalam rentang tersebut dengan konsentrasi yang semakin naik. Penentuan kadar protein menggunakan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang dimana terjadi eksitasi elektronik yang memberikan absorban maksimum (Atun, 2016).

8. Aktivitas Enzim Tripsin (Metode Anson)

Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan metode Anson dilakukan berdasarkan pada produk larutan TCA (trikloroasetat)-filtrat (hidrolisis protein oleh tripsin) yang direaksikan dengan reagen Folin-Ciocalteau. Pemecahan protein oleh tripsin spesifik terhadap gugus karboksil lisin atau arginin yang akan menghasilkan asam amino yang lebih sederhana (Yayat, 2011: 20). Asam amino yang dihasilkan ini kemudian dihitung kadarnya dengan metode Lowry. Dalam penentuan aktivitas enzim tripsin dengan metode Anson (Gultom & Sulistyowati 2012: 42-43). Metode ini menggunakan tiga tabung yang berbeda. Ketiga tabung


(41)

26

tersebut adalah tabung sampel, tabung kontrol dan tabung blanko, kemudian diukur absorbansi-nya menggunakan spektronik-20 untuk mengetahui nilai serapannya.

Absorbansi tabung kontrol dan tabung sampel dihitung dari terbentuknya kompleks warna biru antara asam amino dan reagen Folin-Ciocalteau. Asam amino membentuk kompleks Biuret dengan Cu2+ dalam reagen Folin-Ciocalteau. Kompleks Cu(II)-asam amino ini akan mengalami reduksi menjadi Cu+ karena berada pada lingkungan basa. Ion Cu+ dan gugus fenol asam amino (misalkan pada tirosin) bereaksi dengan mereduksi asam fosfotungstat dan asam fosfomolibdat menjadi tungsten dan molibdenum biru. Reaksi reduksi terebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Reaksi Reduksi Fosfotungstat dan Fosfomolibdat

Banyaknya kompleks warna yang terbentuk sebanding dengan jumlah produk (asam amino) yang dihidrolisis oleh enzim tripsin. Nilai absorbansi yang diperoleh digunakan untuk menghitung aktivitas enzim tripsin. Aktivitas enzim tripsin dapat diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus berikut: (Gultom T, 2011)


(42)

27 Keterangan:

V : aktivitas enzim tripsin Atk : absorbansi tabung kontrol

Ats : absorbansi tabung sampel

T : waktu inkubasi (menit)

B.Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang “Studi Aktivitas Enzim Tripsin terhadap Berbagai Macam Protein Nabati Jenis Umbi-Umbian” (Sandie, A., β011) menunjukkan bahwa pada kondisi optimum kasein pH 7,5, suhu 32,5, dan waktu inkubasi 25 menit enzim tripsin memiliki aktivitas rata-rata 0,0017 mg/mL./menit. Pada penelitian tersebut menggunakan metode Anson dan metode Lowry.

Menurut Titik (2017) aktivitas enzim tripsin kondisi optimum pada pH 8, suhu 37°C, waktu inkubasi 20 menit dan konsentrasi substrat 10 mg/mL adalah 0,00319 mg/mL per menit. Penambahan ion logam Ag+ dalam bentuk senyawa AgNO3 konsentrasi 0,001 M; 0,003 M; 0,005 M dan 0,007 M pada penentuan aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum dapat menurunkan aktivitas enzim tripsin. Semakin besar konsentrasi senyawa AgNO3 yang ditambahkan, aktivitas enzim tripsin semakin menurun, sehingga ion logam Ag+ bersifat sebagai inhibitor. Penelitian tersebut menggunakan metode Anson dan metode Lowry.


(43)

28

Menurut Kirana (2017) kondisi optimum enzim tripsin pada pH 8, suhu 37°C, waktu inkubasi 20 menit dan konsentrasi substrat 10 mg/mL dengan aktivitas enzim tripsin sebesar 0,00153 mg/mL per menit. Penambahan variasi konsentrasi ZnSO4 sebesar 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M pada penentuan aktivitas enzim tripsin dengan kondisi optimum dapat meningkatkan aktivitas enzim tripsin yang berarti bertindak sebagai aktivator, tetapi pengaruhnya relatif kecil terhadap aktivitas enzim tripsin. Penelitian tersebut menggunakan metode Anson dan metode Lowry.

Menurut Tong Zhang, dkk (2014) toksisitas ion logam Cu2+ sangat mempengaruhi aktivitas enzim tripsin, sehingga berperan sebagai inhibitor bagi enzim tripsin. Aktivitas relatif terbesar enzim tripsin terhadap penambahan ion logam Cu2+ dalam senyawa CuCl2 dengan substrat benzoil-n-arginin etil ester (BAEE), pada pH 8 berkisar pada 0,95 mg/L pada konsentrasi ion Logam Cu2+ 2×10−4 mol/L. Konsentrasi yang digunakan 0,0001 M; 0,0002 M; 0,001 M; 0,0015 M; dan 0,002 M. Data diperoleh dari perhitungan dan hasil beberapa instrumen.

Pada penelitian ini, menggunakan metode Anson dan metode Lowry seperti pada penelitian Sandie (2011), Titik (2017), dan Kirana (2017). Penelitian dari Zhang (2014) menunjukkan bagaimana pengaruh dari penambahan ion Cu2+ terhadap aktivitas enzim tripsin. Penelitian Titik dan Kirana (2017) memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian ini, yaitu substrat kasein, suhu 37°C, dan waktu inkubasi 20 menit. Variasi konsentrasi Cu2+ yang digunakan mengacu pada


(44)

29

penelitian Zhang dengan sedikit perubahan menjadi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M.

C.Kerangka Berpikir

Enzim sebagai biokatalisator memiliki peranan penting dalam proses metabolisme tubuh manusia. Enzim tripsin merupakan enzim yang dapat menghidrolisis semua jenis protein, namun kerja enzim spesifik memecahkan ikatan peptida pada posisi karboksil dari asam amino lisin atau arginin. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti waktu inkubasi, suhu, pH, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pengaruh ion tambahan (aktivator dan inhibitor). Adanya enzim yang merupakan katalisator biologis menyebabkan reaksi-reaksi metabolisme dapat berjalan dalam suhu fisiologis tubuh manusia.

Ion logam Cu2+ merupakan salah satu logam berat yang memiliki tingkat toksisitas yang tinggi, namun termasuk logam berat essential yang sangat bermanfaat bagi proses fisiologis tubuh. Ion logam dapat mendukung efisiensi katalitik enzim. Logam dapat membantu reaksi katalitik dengan cara mengikat substrat pada sisi pemotongan. Selain berperan dalam pengikatan enzim dengan substrat, beberapa logam juga dapat mengikat enzim secara langsung untuk menstabilkan konformasi aktifnya atau menginduksi formasi situs pengikatan atau situs aktif suatu enzim.

Dengan demikian penelitian ini mempelajari tentang aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum dan pengaruhnya terhadap aktivitas enzim tripsin pada penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2.


(45)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah enzim tripsin.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah aktivitas enzim tripsin dengan dan tanpa penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dalam berbagai variasi konsentrasi, yaitu 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M pada kondisi optimum.

B.Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi konsentrasi ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2, yaitu pada konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah aktivitas enzim tripsin pada penambahan berbagai konsentrasi ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2.

3. Variabel Terkendali

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi optimum enzim tripsin.


(46)

31

C.Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat-alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Seperangkat alat gelas

b. Seperangkat alat spektronik-20 c. Neraca analitik

d. Sentrifuga e. Inkubator

2. Bahan-bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan kimia pro-analis (E-Merck), kecuali akuades. Bahan-bahan yang digunakan adalah:

a. Larutan Buffer Fosfat 0,1 M (pH 7; 8; dan 9)

Larutan buffer fosfat 0,1 M (pH 7, 8 dan 9) dibuat dengan melarutkan 2,4 gram NaH2PO4 ke dalam 200 mL akuades. Kemudian ditambahkan NaOH 0,5 M tetes demi tetes hingga diperoleh pH yang diinginkan (pH 7; 8; dan 9), dengan menggunakan pH-meter. Setelah itu memasukkan larutan tersebut ke dalam labu takar 250 mL, kemudian menambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dihomogenkan.

b. Larutan 10% TCA (asam trikloroasetat) 500 mL

Larutan 10% TCA dibuat dengan melarutkan 50 gram kristal TCA ke dalam 200 mL akuades, kemudian encerkan menggunakan akuades ke dalam 500 mL labu ukur hingga tanda batas.


(47)

32 c. Larutan Enzim Tripsin

Larutan enzim tripsin dibuat dengan melarutkan 8 mg padatan enzim tripsin ke dalam 20 mL buffer fosfat 0,1 M sesuai pH yang diinginkan (pH 7; 8; dan 9).

d. Regaen Folin-Ciocalteau 1 N sebanyak 200 mL

Reagen Folin-Ciocalteau 1 N dibuat dengan mengencerkan larutan induk Folin-Ciocalteau sebanyak 100 mL dengan akuades 100 mL (perbandingan 1 : 1). Kemudian menghomogenkan larutan tersebut.

e. Larutan Kasein 1 mg/mL (1%) (pH 7, 8, dan 9) sebanyak 50 mL

Larutan induk kasein dengan menimbang 0,5 gram bubuk kasein dan menambahkan NaOH 0,5 M tetes demi tetes hingga bubuk kasein berbentuk gel, kemudian menambahkan 20 mL akuades. Selanjutnya memanaskan larutan kasein sambil diaduk hingga kasein benar benar larut. Terakhir menambahkan larutan buffer fosfat 0,1 M pH yang diinginkan (pH 7; 8; dan 9) ke dalam labu ukur 50 mL hingga tanda batas.

f. Larutan NaOH 0,5 M 100 mL

Larutan ini dibuat dengan menimbang 2 gram kristal NaOH, kemudian dilarutkan dengan sedikit akuades menggunakan gelas beker lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Tambahkan akuades hingga tanda batas kemudian dihomogenkan.


(48)

33 g. Pereaksi Lowry

1) Reagen A sebanyak 75 mL

Melarutkan 1,5 gram Na2CO3 dalam 75 mL NaOH 0,1 M dan mengaduknya hingga larut sempurna.

2) Reagen B sebanyak 10 mL

Melarutkan 0,05 gram CuSO4.5H2O dalam 10 mL Kalium Natrium Tartrat 1% (melarutkan 0,1 gram Kalium Natrium Tartrat pada 10 mL akuades) dan mengaduknya hingga larut sempurna.

3) Reagen C sebanyak 76,5 mL

Mencampurkan 75 mL reagen A dengan 1,5 mL reagen B. 4) Reagen D sebanyak 10 mL

Reagen D dibuat dengan menambahkan 5 mL akuades pada larutan induk Folin-Ciocalteau 5 mL (perbandingan 1 : 1) dan menghomogenkan larutan reagen Folin-Ciocalteau 1N.

h. Ion logam Cu2+ 0,01 M sebanyak 100 mL

Variasi konsentrasi yang digunakan 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M. Larutan induk CuCl2 0,01 M dibuat dengan melarutkan 0,134 gram kristal CuCl2.2H2O dengan akuades sebanyak 100 mL.

D.Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Lowry untuk menentukan konsentrasi protein, sedangkan aktivitas enzim tripsin dengan metode Anson. Prosedur kerja dilakukan dengan langkah sebagai berikut:


(49)

34

1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang kasein dilakukan dengan menggunakan larutan kasein 1 mg/mL yang dilarutkan dalam buffer fosfat pH 8 pada panjang gelombang antara 650-750 nm. Penentuan ini dilakukan mengacu pada metode Lowry.

Langkah pertama, memasukkan 1 mL larutan kasein 1 mg/mL dan 5 mL reagen C ke dalam tabung reaksi dan mengaduknya hingga tercampur sempurna. Selanjutnya mendiamkan larutan tersebut selama 10 menit, lalu menambahkan 0,5 mL reagen D dan mengocoknya dengan segera. Setelah itu, mendiamkannya selama 30 menit pada suhu kamar. Terakhir, mengukur absorbansi pada panjang gelombang mulai dari 650 nm sampai 750 nm dengan selang panjang gelombang 10 nm. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan nilai absorbansi terbesar. Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Penentuan Kondisi Optimum Enzim Tripsin

a. Penentuan pH Optimum

Variasi pH yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH 7, 8, dan 9. Penentuan pH optimum enzim tripsin dilakukan mengacu pada metode Anson (Togu G. dan Eddy S., 2012). Prosedur penentuan pH optimum enzim tripsin yaitu:

1. Tabung sampel (ts)

Ke dalam 3 tabung reaksi, memasukkan 5 mL larutan substrat kasein 1% dalam berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9). Kemudian melakukan prainkubasi


(50)

35

selama 5 menit pada suhu 35°C. Menambahkan 1 mL larutan enzim tripsin dalam berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9) dan 1 mL buffer fosfat 0,1 M dalam berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9). Setelah itu, melakukan inkubasi selama 20 menit pada suhu 35°C yang dihitung dari penambahan enzim tripsin dan menambahkan 3 mL larutan TCA 10% kemudian mengaduknya dengan kuat untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya mendiamkan larutan selama 20 menit dalam air es agar endapan yang dihasilkan benar-benar sempurna. Kemudian melakukan sentrifuga dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit pada larutan dan endapan yang terbentuk, lalu mengambil 2 mL filtrat yang telah disentrifuga dan menambahkan 4 mL NaOH 0,5 M, lalu menambahkan 1 mL reagen Folin-Ciocalteau dan mendiamkannya selama 10 menit, kemudian mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum (720 nm).

2. Tabung kontrol (tk)

Ke dalam 3 tabung reaksi, memasukkan 1 mL buffer fosfat 0,1 M dalam berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9). Setelah itu, menambahkan 1 mL larutan tripsin berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9) dan 3 mL larutan TCA 10 % dan mengaduknya hingga tercampur. Selanjutnya menambahkan 5 mL larutan substrat kasein 1% pada berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9) dan mengocoknya hingga homogen. Kemudian menginkubasi selama 5 menit pada suhu 35°C dan mendiamkannya selama 20 menit dalam air es agar endapan yang dihasilkan benar-benar sempurna. Selanjutnya melakukan sentrifuga dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit pada larutan dan endapan yang terbentuk. Mengambil 2 mL filtrat yang telah disentrifuga dan menambahkan 4 mL NaOH 0,5 M, lalu


(51)

36

menambahkan 1 mL reagen Folin-Ciocalteau dan mendiamkannya selama 10 menit, kemudian mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum (720 nm).

3. Tabung blanko

Ke dalam 3 tabung reaksi memasukkan 2 mL larutan buffer fosfat 0,1 M dalam berbagai variasi pH (pH 7, 8, dan 9) dan 4 mL NaOH 0,5 M kemudian mengaduknya. Selanjutnya menambahkan 1 mL reagen Folin-Ciocalteau dan mendiamkannya selama 10 menit, kemudian mengukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum (720 nm).

Ringkasan cara kerja penentuan pH optimum enzim tripsin menggunakan tabung sampel, tabung kontrol dan tabung blanko dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 2.

b. Penentuan Suhu Optimum

Penentuan suhu optimum enzim tripsin dilakukan mengacu pada metode Anson termodifikasi pada reagen yang digunakan. Prosedur penentuan ini dilakukan sama dengan prosedur penentuan pH optimum, hanya saja pada penentuan suhu optimum dilakukan pada pH optimum yang telah diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8) dan dilakukan pada variasi suhu 31°C, 33°C, 35°C, 37°C, dan 39°C. Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 3.

c. Penentuan Waktu Inkubasi Optimum

Penentuan waktu inkubasi optimum enzim tripsin dilakukan mengacu pada metode Anson termodifikasi pada reagen yang digunakan. Prosedur penentuan ini


(52)

37

dilakukan sama dengan prosedur pada penentuan pH optimum, hanya saja penentuan waktu inkubasi optimum dilakukan pada pH dan suhu optimum yang diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8 dan suhu 37oC). Variasi waktu inkubasi yang digunakan, yaitu 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, dan 30 menit. Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 4.

d. Penentuan Konsentrasi Substrat Optimum

Penentuan konsentrasi substrat optimum dilakukan mengacu pada metode Anson termodifikasi pada reagen yang digunakan. Prosedur penentuan ini dilakukan sama dengan prosedur pada penentuan pH optimum, hanya saja penentuan konsentrasi substrat optimum dilakukan pada pH, suhu, dan waktu inkubasi optimum yang diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8, suhu 37oC, dan waktu inkubasi selama 20 menit). Variasi konsentrasi substrat yang digunakan adalah 2 mg/mL, 4 mg/mL, 6 mg/mL, 8 mg/mL, 10 mg/mL, dan 12 mg/mL. Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 5.

3. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin Pada Kondisi Optimum

Prosedur ini dilakukan mengacu pada metode Anson termodifikasi pada reagen yang digunakan. Prosedur penentuan ini dilakukan sama dengan prosedur pada penentuan pH, suhu, waktu inkubasi, dan konsentrasi substrat optimum. Penentuan aktivitas enzim tripsin ini dilakukan pada kondisi optimum yang telah diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8, suhu 37oC, waktu inkubasi 20 menit, dan konsentrasi substrat 10 mg/mL). Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 6.


(53)

38

4. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin Dengan Penambahan Ion Logam Cu2+ dalam Bentuk Senyawa CuCl2

Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 mengacu pada metode Anson termodifikasi pada reagen yang digunakan. Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dilakukan pada kondisi optimum enzim tripsin yang telah diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8, suhu 37oC, waktu inkubasi 20 menit, dan konsentrasi substrat 10 mg/mL). Prosedur ini dilakukan sama dengan prosedur pada penentuan kondisi optimum, hanya saja pada tabung kontrol dan tabung sampel penggunaan 1 mL buffer fosfat 0,1 M (pH 8) diganti dengan penambahan 1 mL larutan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dalam berbagai variasi konsentrasi. Variasi konsentrasi senyawa CuCl2 yang ditambahkan, yaitu 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M. Skema kerja dalam bentuk bagan dapat dilihat pada Lampiran 7.

E. Teknik Analisa Data

Data aktivitas enzim tripsin diperoleh dengan mencari selisih serapan antara tabung sampel dengan tabung kontrol per menit. Data aktivitas enzim tripsin dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan aktivitas enzim tripsin tanpa dan dengan penambahan CuCl2 pada kondisi optimum.

1. Perhitungan Aktivitas Enzim tripsin

Rumus yang digunakan untuk perhitungan aktivitas enzim tripsin yaitu:


(54)

39 V = aktivitas enzim tripsin

Ats = absorbansi pada tabung sampel Atk = absorbansi pada tabung kontrol t = waktu inkubasi (menit)

Rumus tersebut digunakan untuk menghitung aktivitas enzim tripsin tanpa penambahan CuCl2 (Vn) dan menghitung aktivitas enzim tripsin dengan penambahan CuCl2 (VCu) pada kondisi optimum.

2. Pengaruh Penambahan CuCl2 terhadap Aktivitas Enzim Tripsin

Berdasarkan data aktivitas enzim tripsin tanpa dan dengan penambahan CuCl2 pada kondisi optimum dapat dibuat kurva hubungan antara aktivitas enzim tripsin (sebagai sumbu y) terhadap variasi konsentrasi CuCl2 yang ditambahkan (sebagai sumbu x) pada kondisi optimum, sehingga dapat diketahui pengaruh dari penambahan CuCl2 terhadap aktivitas enzim tripsin, yaitu sebagai aktivator atau inhibitor.


(55)

40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Kimia Organik/Biokimia Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNY, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Penentuan Kadar Protein (Kasein) dengan Metode Lowry

Penentuan panjang gelombang maksimum kasein dilakukan pada panjang gelombang antara 650 nm hingga 750 nm. Sampel yang digunakan untuk mencari panjang gelombang maksimum adalah kasein 1 mg/mL. Pada panjang gelombang 720 nm memiliki absorbansi paling tinggi, yaitu sebesar 1,096, sehingga panjang gelombang maksimumnya adalah 720 nm. Data hasil absorbansi penentuan panjang gelombang maksimum dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang Gelombang () (nm)

Absorbansi (A)

650 1,069

660 1,072

670 1,078

680 1,083

710 1,088

700 1,091

710 1,094

720 1,096

730 1,093

740 1,089


(56)

41

2. Penentuan Kondisi Optimum Enzim Tripsin a. Penentuan pH Optimum

Penentuan pH optimum enzim tripsin dilakukan pada suhu 35oC dan waktu inkubasi 20 menit, sebanyak tiga kali untuk setiap pH dengan hasil rerata aktivitas enzim tripsin ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Penentuan pH Optimum Enzim Tripsin

pH Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

7 0,00245

8 0,00598

9 0,00365

Berdasarkan data tersebut, diperoleh hasil aktivitas enzim tripsin tertinggi pada pH 8, sehingga pH 8 ditetapkan sebagai pH optimum enzim tripsin. Perhitungan aktivitas enzim tripsin pada penentuan pH optimum dapat dilihat pada Lampiran 8.

b. Penentuan Suhu Optimum

Penentuan suhu optimum enzim tripsin dilakukan pada pH optimum enzim tripsin yaitu pH 8, waktu inkubasi selama 20 menit dan konsentrasi substrat 10 mg/mL. Variasi suhu yang digunakan untuk menentukan suhu optimum enzim tripsin, yaitu 31°C, 33°C, 35°C, 37°C, dan 39°C. Penentuan suhu optimum enzim tripsin dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap suhu dengan hasil rerata aktivitas enzim tripsin ditunjukkan pada Tabel 3.


(57)

42

Tabel 3. Hasil Penentuan Suhu Optimum Enzim Tripsin

Suhu (oC) Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

31 0,00185

33 0,00188

35 0,00283

37 0,00526

39 0,00371

Berdasarkan data tersebut, diperoleh hasil aktivitas enzim tripsin tertinggi pada suhu 37°C, sehingga 37°C ditetapkan sebagai suhu optimum enzim tripsin. Perhitungan aktivitas enzim tripsin pada penentuan suhu optimum dapat dilihat pada Lampiran 9.

c. Penentuan Waktu Inkubasi Optimum

Penentuan waktu inkubasi optimum enzim tripsin dilakukan pada pH dan suhu optimum enzim tripsin yang telah diperoleh pada prosedur sebelumnya (pH 8 dan suhu 37oC) dan dengan konsentrasi substrat 10 mg/mL. Variasi waktu inkubasi yang digunakan untuk penentuan waktu inkubasi optimum enzim tripsin, yaitu 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, dan 30 menit. Waktu inkubasi enzim tripsin dihitung dari penambahan larutan enzim tripsin pada larutan substrat kasein hingga penambahan larutan TCA 10%. Penentuan waktu inkubasi optimum enzim tripsin dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap waktu inkubasi dengan hasil rata-rata ditunjukkan pada Tabel 4.


(58)

43

Tabel 4. Hasil Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Enzim Tripsin

Waktu Inkubasi (menit)

Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

10 0,00171

15 0,00291

20 0,00451

25 0,00248

30 0,00178

Berdasarkan data tersebut, diperoleh hasil aktivitas enzim tripsin tertinggi pada waktu inkubasi selama 20 menit, sehingga 20 menit ditetapkan sebagai waktu inkubasi optimum enzim tripsin. Perhitungan aktivitas enzim tripsin pada penentuan waktu inkubasi optimum dapat dilihat pada Lampiran 10.

d. Penentuan Konsentrasi Substrat Optimum

Penentuan konsentrasi substrat optimum dilakukan dengan mengukur absorbansi masing-masing variasi konsentrasi substrat, yaitu 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 mg/mL. Penentuan aktivitas enzim tripsin untuk konsentrasi substrat optimum dilakukan pada pH, suhu dan waktu inkubasi optimum yang telah didapat dari prosedur sebelumnya, yaitu pH 8, suhu 37oC, dan waktu inkubasi selama 20 menit. Penentuan konsentrasi substrat maksimum enzim tripsin dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap konsentrasi dengan hasil rerata aktivitas enzim tripsin ditunjukkan pada Tabel 5.


(59)

44

Tabel 5. Hasil Penentuan Konsentrasi Substrat Optimum

Konsentrasi Substrat (mg/mL)

Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

2 0,00108

4 0,00168

6 0,00243

8 0,00271

10 0,00296

12 0,00261

Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh hasil bahwa aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein tertinggi pada konsentrasi 10 mg/mL, sehingga 10 mg/mL ditetapkan sebagai konsentrasi substrat optimum enzim tripsin. Perhitungan aktivitas enzim tripsin pada penentuan konsentrasi substrat optimum dapat dilihat pada lampiran 11.

3. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum

Aktivitas optimum adalah keadaan dimana suatu enzim berada pada kondisi optimum untuk mengkatalis reaksi hidrolisis protein, sehingga produk yang dihasilkan akan semakin besar. Kondisi optimum enzim tripsin yang diperoleh, yaitu pH 8, suhu 37oC, waktu inkubasi 20 menit, dan konsentrasi substrat 10 mg/mL. Penentuan aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum dilakukan sebanyak lima kali pengulangan dengan hasil ditunjukkan pada Tabel 6.


(60)

45

Tabel 6. Aktivitas Enzim Tripsin pada Kondisi Optimum

Pengukuran ke- Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

1 0,00145

2 0,00165

3 0,00165

4 0,00170

5 0,00180

Rerata 0,00165

Berdasarkan data tersebut, dapat dihitung aktivitas rerata enzim tripsin pada kondisi optimum dengan lima kali pengulangan, yaitu sebesar 0,00165 mg/mL per menit. Perhitungan aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum dapat dilihat pada Lampiran 12.

4. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin pada Penambahan Ion Logam Cu2+

Penentuan aktivitas enzim tripsin pada penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 menggunakan metode Anson. Prosedur ini dilakukan pada kondisi optimum, yaitu pH 8, suhu 37°C, waktu inkubasi 20 menit, dan konsentrasi substrat kasein 10 mg/mL. Penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk CuCl2 dilakukan pada berbagai variasi konsentrasi, yaitu 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M.

Senyawa CuCl2 yang digunakan untuk penentuan aktivitas enzim tripsin berasal dari kristal CuCl2.2H2O yang dilarutkan dalam akuades menjadi larutan induk CuCl2 0,01 M. Larutan induk CuCl2 0,01 M diencerkan menjadi berbagai konsentrasi (0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M). Penentuan aktivitas enzim tripsin dilakukan dengan mencampurkan substrat


(61)

46

kasein, enzim tripsin kemudian senyawa CuCl2 (berbagai variasi konsentrasi). Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan penambahan senyawa CuCl2 dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap konsentrasi dengan hasil rerata aktivitas enzim tripsin ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Aktivitas Enzim Tripsin dengan Penambahan Ion Logam Cu2+

Konsentrasi Ion Logam Cu2+ (x10-4) M

Rerata Aktivitas Enzim Tripsin (mg/mL per menit)

10 0,001166

15 0,001016

20 0,000917

25 0,000567

30 0,000467

Berdasarkan data tersebut, aktivitas enzim tripsin dengan penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 konsentrasi 0,0010 M; 0,0015 M; 0,0020 M; 0,0025 M; dan 0,0030 M lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas enzim tripsin pada kondisi optimum. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dapat menghambat aktivitas enzim tripsin. Dengan kata lain ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 bersifat inhibitor terhadap aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein. Perhitungan aktivitas enzim tripsin dengan penambahan ion logam Cu2+ dalam bentuk senyawa CuCl2 dapat dilihat pada Lampiran 13.


(62)

47

B. Pembahasan

1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum dengan sampel kasein 1 mg/mL dilakukan pada panjang gelombang 650 nm sampai 750 nm dengan selang panjang gelombang 10 nm. Pada panjang gelombang 720 nm memberikan absorbansi tertinggi yang berarti 720 nm menjadi maks. Kurva hubungan panjang gelombang dan absorbansi dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang gelombang maksimum untuk protein dengan kadar 5-β5 g/mL adalah 750 nm. Sedangkan untuk kadar protein yang lebih tinggi, panjang gelombang maksimumnya adalah 500 nm (Gultom & Sulistyowati, 2012: 32-33).

Berdasarkan Gambar 13, panjang gelombang maksimum ( maks) dicapai pada 720 nm dengan absorbansi sebesar 1,096 pada konsentrasi kasein sebesar 1 mg/mL. Kadar protein dalam kasein sekitar 2,5 – 4,0 % (Chandra, 2011). Absorbansi yang baik menurut teori UV-Vis, yaitu 0,2 – 0,8. Berdasarkan kurva penentuan panjang gelombang maksimum, konsentrasi kasein yang digunakan sebesar 1 mg/mL dan diperoleh absorbansi di atas standar, misalnya 1,072 pada panjang gelombang 660 nm. Seharusnya penentuan panjang gelombang

650; 1.069 660; 1.072 670; 1.078 680; 1.083 690; 1.088 700; 1.091

710; 1.094720; 1.096

730; 1.093 740; 1.089 750; 1.086 1.065 1.070 1.075 1.080 1.085 1.090 1.095 1.100

600 650 700 750 800

A b sor b an si(nm)


(63)

48

maksimum dilakukan pada konsentrasi kasein yang sesuai, hingga mendapatkan absorbansi dalam range 0,2 – 0,8. Range tersebut ditetapkan sebagai range absorbansi yang baik karena untuk mendapatkan hasil yang akurat dengan uji UV-Vis menggunakan spektrofotometer berkisar antara 0,2 – 0,8, jika melebihi range tersebut, maka spektrofotometer tidak dapat dipastikan keakuratannya. Namun dalam penelitian ini, baik pada konsentrasi kasein 0,1 – 0,9 mg/mL (konsentrasi kasein di bawah konsentrasi yang digunakan sebagai sampel) ataupun pada konsentrasi yang digunakan, yaitu 1 mg/mL tidak mendapatkan absorbansi pada panjang gelombang maksimum dalam range 0,2 – 0,8, sehingga semua absorbansi yang diperoleh melebihi standar (0,2 – 0,8).

Oleh karena tidak ditemukan absorbansi yang baik dan tidak mendapatkan panjang gelombang maksimum yang sesuai, maka peneliti menggunakan konsentrasi kasein paling besar, yaitu 1 mg/mL. Konsentrasi tersebut dgunakan karena hasil yang diperoleh cukup baik dan dapat ditentukan panjang gelombang maksimum, yaitu pada 720 nm. Panjang gelombang maksimum tersebut sesuai dengan teori, yaitu kasein memiliki panjang gelombang maksimum berkisar pada 710 - 750 nm. Sedangkan untuk konsentrasi kasein dibawah 1 mg/mL tidak mendapatkan panjang gelombang yang sesuai. Pada konsentrasi kasein 0,1 – 0,9 mg/mL diperoleh absorbansi di bawah standar (0,3) dan bentuk kurva yang tidak beraturan, sehingga tidak mendapatkan panjang gelombang maksimum yang baik.


(64)

49

2. Penentuan Aktivitas Enzim Tripsin dengan Metode Anson a. Penentuan pH Optimum

Enzim tripsin pada pH optimum memliki aktivitas paling tinggi dan stabil selama pernelitian berlangsung. Adanya perubahan pH akan menyebabkan penurunan aktivitas enzim.

Pada penentuan pH optimum enzim tripsin, pH 8 ditetapkan sebagai pH optimum, karena pada pH tersebut diperoleh aktivitas terbesar, yaitu 0,00598 mg/mL per menit. Kurva hubungan antara pH dengan aktivitas enzim tripsin disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Kurva Hubungan antara pH dengan Aktivitas Enzim Tripsin

Berdasarkan Gambar 15, dapat diketahui bahwa pada pH 8 enzim tripsin memiliki aktivitas paling tinggi sebesar 0,00598 mg/mL per menit pada suhu 35°C. Pada pH 8 tripsin dapat bekerja dengan baik dalam menghidrolisis protein, sehingga menghasilkan lebih banyak produk. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tripsin memiliki pH optimum pada kisaran pH 8 – 11 dengan substrat yang digunakan adalah kasein.

Kestabilan molekul protein dapat dipengaruhi oleh tingkat keasaman lingkungan, pada kondisi keasaman yang ekstrim molekul-molekul protein dari

7; 0,00245 8; 0,00598 9; 0,00365 0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007

6 7 8 9 10

A kti v ita s (mg/m L p er mn t) pH


(65)

50

enzim akan rusak dan menyebabkan proses denaturasi yang mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim. Berdasarkan Gambar 15, pada pH 9 aktivitas enzim tripsin lebih rendah dibandingkan pH 8, hal ini dikarenakan enzim tripsin telah mengalami denaturasi akibat pH yang tidak sesuai yang ditunjukkan dengan terjadinya penggumpalan atau pengendapan protein yang semula larut. Pada pH 7 dan 9, enzim tripsin mengalami pengendapan yang dilihat dari keadaan larutan yang menjadi keruh, berbeda dengan enzim tripsin pada pH 8 (larutan bening). Denaturasi terjadi akibat suatu kondisi yang tidak sesuai dengan enzim, sehingga menyebabkan enzim mengalami kerusakan sifat-sifat struktural, seperti putusnya ikatan hidrogen yang menyusun protein.

b. Penentuan Suhu Optimum

Suhu dapat mempengaruhi reaksi katalitik enzim. Pada setiap kenaikan suhu 10°C kecepatan reaksi hampir semua enzim meningkat dua kali lebih cepat. Protein enzim akan terdenaturasi pada kisaran suhu 40 - 70°C dan menyebabkan hilangnya aktivitas enzim.

Suhu optimum adalah suhu pada saat laju reaksi enzim paling tinggi mengubah substrat. Selain itu, suhu optimum merupakan hasil kesetimbangan antara laju kenaikan dan laju perusakan enzim. Suhu optimum aktivitas enzim diukur dengan menghitung banyaknya substrat yang diubah dalam jangka waktu tertentu pada suhu yang berbeda. Suhu optimum enzim pada umumnya berada pada kisaran suhu 30 - 40°C. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka digunakan variasi suhu enzim tripsin berturut-turut 31°C, 33°C, 35°C, 37°C, dan 39°C untuk menentukan suhu optimum enzim tripsin. Dalam penentuan aktivitas enzim tripsin


(66)

51

digunakan pH optimum yang diperoleh dari penentuan pH optimum sebelumnya, yaitu pH 8, sedangkan waktu inkubasi dilakukan selama 20 menit. Kurva hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim tripsin disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Kurva Hubungan antara Suhu dengan Aktivitas Enzim Tripsin

Berdasarkan Gambar 16, dapat diketahui bahwa enzim tripsin memiliki suhu optimum 37°C dimana aktivitasnya paling besar, yaitu 0,00526 mg/mL per menit. Aktivitas yang besar menghasilkan lebih banyak produk, konformasi enzim stabil, dan reaksi kimia berlangsung dengan kecepatan paling besar.

Panas dapat mengacaukan ikatan hidrogen dari protein namun tidak akan mengganggu ikatan kovalennya. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya suhu akan membuat energi kinetik molekul bertambah. Bertambahnya energi kinetik molekul akan mengacaukan ikatan-ikatan hidrogen. Dengan naiknya suhu, akan membuat perubahan entalpi sistem naik. Selain itu, bentuk protein yang terdenaturasi dan tidak teratur juga sebagai tanda bahwa entropi bertambah. Entropi sendiri merupakan derajat ketidakteraturan, semakin tidak teratur maka entropi akan bertambah. Pemanasan juga dapat mengakibatkan kemampuan protein untuk mengikat air menurun dan menyebabkan terjadinya koagulasi.

31; 0,00185 33; 0,00188

35; 0,00283 37; 0,00526 39; 0,00438 0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006

30 32 34 36 38 40

A kti v itas (mg /mL p e r mnt )


(1)

94 1. Perhitungan Konsentrasi 0,001 M

a. Sampel 1 b. Sampel 2

� = � −� � � =� −� � � = , − , � = , − ,

= , mg/mL per menit = , mg/mL per menit

c. Sampel 3 � =� −� � � = , − ,

= , mg/mL per menit 2. Perhitungan Konsentrasi 0,0015 M

a. Sampel 1 b. Sampel 2

� =� −� � � =� −� � � = , − , � = , − ,

= , mg/mL per menit = , mg/mL per menit

c. Sampel 3 � =� −� � � = , − ,


(2)

95 3. Perhitungan Konsentrasi 0,0020 M

a. Sampel 1 b. Sampel 2

� =� −� � � =� −� � � = , − , � = , − ,

= , mg/mL per menit = , mg/mL per menit

c. Sampel 3 � =� −� � � = , − ,

= , mg/mL per menit 4. Perhitungan Konsentrasi 0,0025 M

a. Sampel 1 b. Sampel 2

� =� −� � � =� −� � � = , − , � = , − ,

= , mg/mL per menit = , mg/mL per menit

c. Sampel 3 � =� −� � � = , − ,


(3)

96 5. Perhitungan Konsentrasi 0,0030 M

a. Sampel 1 b. Sampel 2

� =� −� � � =� −� � � = , − , � = , − ,

= , mg/mL per menit = , mg/mL per menit

c. Sampel 3 � =� −� � � = , − ,


(4)

97

Lampiran 14

Dokumentasi

Reagen Lowry Pembuatan Lar. Kasein Lar. NaOH 0,5 M Dan Reagen Folin-C

Larutan TCA 10% Kristal CuCl2.2H2O Larutan CuCl2

Larutan Sampel Larutan Sampel (Sebelum diendapkan) (Setelah terbentuk endapan)


(5)

98

Larutan TCA-Filtrat (Setelah Penambahan Lar. NaOH dan Folin-C)


(6)

99

Sentrifuge Merk Kokusan H-130n


Dokumen yang terkait

Penentuan Kadar Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu ), Besi (Fe) Dan Seng (Zn) Pada Air Minum Yang Berasal Dari Sumur Bor Desa Surbakti Gunung Sinabung Kabupaten Karo Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

7 136 74

Analisis Kandungan Ion Besi (Fe3+) Dan Ion Tembaga (Cu2+), Total Padatan Terlarut (TDS) Dan Total Padatan Tersuspensi (TSS) Di Dalam Air Sumur Bor Di Sekitar Kawasan Industri Medan

0 38 64

OPTIMASI KONDISI PROSES ELEKTROKOAGULASI ION LOGAM TEMBAGA (II) DALAM LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING.

1 7 74

PENGARUH PENAMBAHAN ZnSO4 TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN.

2 5 104

PENGARUH PENAMBAHAN ION LOGAM Ag+ TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN.

2 22 121

23235 ID pengaruh ion logam fe na dan ca terhadap aktivitas lipase kasar dari kentos kela

0 0 5

Pengaruh Penambahan Ion Logam Fe2+, Zn2+, Cu2+ dan Ion NH4+ Terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Selulase dari Bacillus subtilis Strain SF01 - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 6

Pengaruh Penambahan Ion Logam Fe2+, Zn2+, Cu2+ dan Ion NH4+ Terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Selulase dari Bacillus subtilis Strain SF01 - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 7

Pengaruh penambahan ion logam Hg2+, Al3+, Sn2+, dan Ni2+ terhadap aktivitas enzim selulase yang berasal dari Bacillus subtilis SF01 - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 8

Pengaruh penambahan ion logam Hg2+, Al3+, Sn2+, dan Ni2+ terhadap aktivitas enzim selulase yang berasal dari Bacillus subtilis SF01 - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 10