adjektiva bersinonim dalam bahasa Aceh
ADJEKTIVA BERSINONIM DALAM BAHASA ACEH
Skripsi
diajukan untuk melengkapi ugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
oleh Anggi Ariska
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013
“Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan. Sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Lukman: 27)
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha mulia Yang mengajar manusia dengan pena Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-’Alaq: 1-5)
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat “. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah penantian telah berakhir Satu asa telah kuraih sebuah senyuman telah teukir Namun… Itu bukanlah akhir dari perjuangan Melainkan awal sebuah keberhasilan
Kupersembahkan karya kecil ini dengan ketulusan hati, bersama keridhaan-Mu ya Allah, untuk cahaya hidup, yang senantiasa ada saat suka maupun duka, selalu setia mendampingi saat kulemah tak berdaya, kepada kedua insan mulia yang telah menghembuskan nafasku ke dunia. Ayahanda tercinta yang tetap berjuang meski didera rasa sakit, yang tetap mengayomi meski diri telah lemah, yang tetap tersenyum meski terkadang kulakukan sebuah kekhilafan. Ibunda tercinta yang selalu memanjatkan doa untuk putri tercinta dalam setiap sujudnya, yang selalu mencurahkan rasa cinta saat kubutuhkan, yang senantiasa setia mendengar keluh kesahku.
Untuk kedua adikku, Wahyu dan Suci (Cici) yang juga melengkapi tawa kecilku, yang mengusir kepenatan dengan candaan dan keusilan, yang
Akan tetapi, justru itulah yang selalu kurindukan saat kita berjauhan. Tetaplah menjadi saudara-saudara terbaikku, dan kita ukir senyum kebanggaan pada wajah dua malaikat kita, ayah dan ibu.
Teristimewa untuk para punggawa ilmu yang telah mendidikku menjadi seseorang, dimulai sejak kududuk di bangku dasar hingga perguruan tinggi. Kepada guru-guru dan para dosen hebat yang pernah kukenal yang tak pernah lelah mengajari, mengayomi, menasihati, dan mendidik hingga terkadang mengomeliku… Aku pasti akan merindukan semua hal tersebut.
Untuk tulusnya persahabatan yang telah terjalin, dua sahabatku yang kukenal ketika menempuh studi di Teknik Arisitektur, Sri Mellina dan Elisa. Terima kasih untuk waktu, tawa, candaan , dan tulusnya persahabatan selama enam tahun perkenalan kita. Untuk sahabatku di PBSI, Nyakshe, Rina, Ijal, Husnul, serta kakak dan adik letingku yang tak mungkin semuanya kusebutkan satu per satu.
Dan... buat yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan langsung menghiasi hari- hariku, kekasih terpilih, Syukri Efendi, yang juga terus memberikanku semangat untuk meraih gelar sarjanaku, yang tak pernah berhenti menjitak kepalaku jika aku mulai putus asa. Terima kasihku untuk perhatian, pengertian, kesabaran, dan pokoknya semua especially for you, sekarang dan selamanya. Amiin...
Tuhan hanya memberikan yang terbaik, meski kadang tak sesuai keinginan. Tapi percayalah, Tuhan punya rencana yang jauh lebih indah Teruslah belajar, berusaha, dan berdoa untuk menggapainya. Jatuh berdiri lagi. Kalah mencoba lagi. Gagal Bangkit lagi.
Sampai Allah SWT berkata “waktunya pulang”
Anggi Ariska, S.Pd.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. atas semua nikmat yang dikaruniakan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian, salawat dan salam penulis sampaikan kepada baginda Rasulullah saw. beserta para sahabat beliau yang memperjuangkan nikmat Islam sehingga kita dapat menikmati cahaya dunia dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi berjudul “Adjektiva Bersinonim dalam Bahasa Aceh” ini merupakan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Skripsi ini berisi pembahasan adjektiva bersinonim dalam bahasa Aceh dan hubungan kesinoniman pasangan adjektiva bersinonim berdasarkan analisis komponen makna dan teknik substitusi. Penelitian skripsi ini dikhususkan pada kajian semantik bahasa Aceh (sinonim) yang hingga saat ini masih belum banyak mendapat sorotan sebagai objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu gerbang yang menjembatani penelitian lain yang berhubungan dengan bidang semantik bahasa Aceh.
Penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Azwardi, S.Pd., M.Hum. sebagai pembimbing I dan Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M.Hum. sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Azwardi, S.Pd., M.Hum. sebagai pembimbing I dan Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M.Hum. sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca, khususnya kepada mereka yang berminat melakukan penelitian semantik bahasa Aceh. Selain itu, demi kesempurnaan skripsi ini penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca.
Banda Aceh, April 2013 Penulis
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Adjektiva Bersinonim dalam Bahasa Aceh” ini mengangkat masalah bagaimanakah adjektiva yang bersinonim dalam bahasa Aceh dan bagaimanakah hubungan kesinoniman adjektiva bersinonim tersebut berdasarkan analisis komponen makna dan teknik substitusi. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan adjektiva yang bersinonim dalam bahasa Aceh dan mendeskripsikan hubungan kesinoniman adjektiva bersinonim tersebut berdasarkan analisis komponen makna dan teknik substitusi. Sumber data ini adalah Kamus Bahasa Aceh-Indonesia (Bakar, 1985 dan 2001) yang memuat leksem-leksem yang memiliki pasangan sinonim. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penyediaan data dilakukan dengan teknik sadap dan introspeksi. Metode dan teknik analisis data yang digunakan adalah metode analisis komponen makna dan teknik substitusi. Metode dan teknik penyajian data yang digunakan disajikan dalam bentuk tabel dan deskripsi data. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada 124 medan makna adjektiva yang bersinonim dan adanya hubungan kesinoniman di antara pasangan adjektiva tersebut yang dibuktikan dengan analisis komponen makna dan teknik substitusi. Selain itu, dari hasil penelitian menunjukkan adanya keunikan leksem dalam bahasa Aceh dibandingkan bahasa Indonesia.
DAFTAR LAMBANG
(+) menyatakan keberlakuan kandungan komponen makna sebuah leksem (-) menyatakan ketidakberlakuan kandungan komponen makna sebuah leksem (±) menyatakan keberlakuan atau ketidakberlakuan komponen makna sebuah leksem (*) tidak berterima dalam konteks
DAFTAR SINGKATAN
(Ar) = Arab BA = bahasa Aceh dlm = dalam dng = dengan dsb. = dan sebagainya hik = hikayat KBAI = kamus bahasa Aceh-Indonesia ki = kiasan krn = karena sbg = sebagai spt = seperti thd = terhadap ttg = tentang ump = umpama utk = untuk
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Aceh merupakan provinsi yang memiliki keragaman bahasa daerah. Wildan (2002:1) menyebutkan bahwa ada sembilan bahasa daerah yang terdapat di Aceh.
Sembilan bahasa daerah tersebut adalah bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Jamèe, bahasa Kluet, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Simeulu, bahasa Haloban, dan bahasa Singkil. Di antara semua bahasa tersebut, bahasa Aceh (BA) merupakan bahasa daerah sekaligus bahasa ibu yang paling banyak pemakainya. Pemakai bahasa ini tersebar di seluruh wilayah Aceh, terutama di Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kota Sabang.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, BA memiliki lima fungsi, yaitu (1) sebagai lambang kebanggan daerah, (2) lambang identitas daerah (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat, (4) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, dan (5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia (Wildan, 2002:2). Melalui fungsi dan kedudukan terhormat tersebut, hingga saat ini BA masih digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dalam berbagai situasi komunikasi masyarakat baik situasi formal maupun nonformal.
BA sebagaimana bahasa lainnya juga memiliki aspek tataran tersendiri dalam bidang linguistik. Aspek tataran tersebut adalah aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi berkaitan dengan bunyi bahasa seperti penggunaan tanda BA sebagaimana bahasa lainnya juga memiliki aspek tataran tersendiri dalam bidang linguistik. Aspek tataran tersebut adalah aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi berkaitan dengan bunyi bahasa seperti penggunaan tanda
Semantik adalah studi kebahasaan yang mempelajari makna sebuah kata. Secara teoretis, semantik adalah tataran dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dan hal-hal yang ditandainya. Tanda-tanda linguistik itu terdiri atas (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama. Kedua komponen tersebut merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang disebut referen. Hal ini berarti setiap kata memiliki makna sebagai komponen dari kata itu.
Sebagai alat komunikasi, kegiatan berbahasa menjadi kegiatan yang penting dalam menjelaskan hubungan antara sesuatu yang dibicarakan dengan apa yang dimaksudkan. Hal ini disebabkan kegiatan berbahasa sebenarnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang-lambang bahasa agar makna yang ada pada suatu lambang dapat disampaikan kepada lawan bicara dalam komunikasi lisan atau kepada pembaca dalam komunikasi tulis. Oleh karena itu, Zurriyati (2009:5) mengemukakan pengetahuan tentang adanya hubungan makna antara lambang dan makna sangat diperlukan dalam komunikasi.
Dalam semantik, istilah untuk menyebut satuan-satuan bahasa yang bermakna disebut leksem (Chaer, 2002:7). Sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata atau gabungan kata. Hal ini dijelaskan secara khusus dalam semantik leksikal. Semantik leksikal berkaitan dengan makna leksikon itu sendiri, bukan makna struktur gramatikal. Berkaitan dengan itu, Pateda (2001:74) menjelaskan bahwa semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih Dalam semantik, istilah untuk menyebut satuan-satuan bahasa yang bermakna disebut leksem (Chaer, 2002:7). Sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata atau gabungan kata. Hal ini dijelaskan secara khusus dalam semantik leksikal. Semantik leksikal berkaitan dengan makna leksikon itu sendiri, bukan makna struktur gramatikal. Berkaitan dengan itu, Pateda (2001:74) menjelaskan bahwa semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih
Kata yang dihasilkan dalam setiap bahasa akan memiliki makna dan akan menjadi kesepakatan umum dalam mengidentifikasi referen yang dimaksud. Chaer (2006:382) menuliskan secara umum kata dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) kata-kata yang mengandung makna, konsep atau pengertian; (2) kata-kata yang tidak mengandung makna, tetapi hanya memiliki fungsi gramatikal. Jenis kata yang pertama jumlahnya relatif banyak; mempunyai kemungkinan untuk bertambah terus sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan masyarakat, termasuk verba, nomina, dan adjektiva. Berbeda dengan jenis kata yang pertama, jenis kata yang kedua relatif terbatas; tidak atau kecil kemungkinan untuk bertambah lagi, seperti konjungsi, preposisi, artikula, dan adverbial.
Saussure dalam Chaer (2007b:118) menegaskan bahwa setiap kata tentu memiliki makna sebagai komponen dari kata itu. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri atas sejumlah komponen makna. Chaer (2002:114) mendefinisikan “komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal”.
Semua kata tentu mengandung makna sehingga adalah sebuah kekhasan dan keunikan jika ada lebih dari satu kata yang digunakan untuk menyebutkan satu referen yang sama. Bukan hal yang mustahil jika setiap hari akan muncul kosakata baru sesuai dengan hakikat bahasa yang akan terus berkembang, baik itu melalui Semua kata tentu mengandung makna sehingga adalah sebuah kekhasan dan keunikan jika ada lebih dari satu kata yang digunakan untuk menyebutkan satu referen yang sama. Bukan hal yang mustahil jika setiap hari akan muncul kosakata baru sesuai dengan hakikat bahasa yang akan terus berkembang, baik itu melalui
(1) Wanita itu berparas ayu. (2) Wanita itu berparas indah. Kedua kalimat tersebut masih dapat diterima dalam konteks. Namun, bila kita bandingkan dengan kalimat berikut.
(3) Tulisan tanganmu *ayu. (4) Tulisan tanganmu indah. Terlihat jelas bahwa kata ayu dalam kalimat (3) tidak dapat berterima. Hal ini membuktikan meskipun dianggap sama, kedua kata yang dianggap memiliki makna yang sama itu tidak selamanya bisa saling disubstitusikan.
Begitu juga dengan leksem kh’ieng dan kh’ob. Leksem kh’ieng mengandung komponen makna merupakan kata umum, referennya merujuk untuk semua benda, dan nilai rasa netral. Leksem kh’ob mengandung komponen makna kata khusus, objeknya merujuk pada benda-benda khusus, dan memiliki nilai rasa kasar. Perbedaannya dapat dilihat dalam contoh berikut.
(5) That kh’ieng ureueng nyan. ‘Orang itu bau sekali’. (6) That kh’ieng eungkôt nyoe. ‘Ikan ini bau sekali’.
Bandingkan dengan contoh berikut! (7) Kh’ob that bèe droeneuh!
‘Anda bau sekali’! (8) Èk nyoe bèe *kh’ob. ‘Tahi ini berbau *busuk’.
Leksem pada (5), (6), dan (7) merupakan contoh penggunaan leksem yang masih dapat diterima dalam konteks. Akan tetapi, leksem pada (8) terlihat rancu dan kurang cocok direferenkan dengan subjeknya karena lesem kh’ob biasanya digunakan untuk menyatkan bau pada telur, daging, atau bangkai yang telah busuk.
Secara sederhana, dapat dikatakan contoh leksem itu bermakna sama. Akan tetapi, dalam teori semantik, kedua leksem itu tidaklah identik sama. Dengan kata lain, terdapat perbedaan makna pada kata-kata tersebut. Gejala kesamaan leksem ini dinamakan dengan sinonim. Chaer (2006:388) menjelaskan bahwa sinonim merupakan dua buah kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih sama” artinya tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Pernyataan ini diperkuat oleh Verhaar dalam Pateda (2001:223) yang mengemukakan bahwa sinonim adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat pula berupa frasa atau kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan lain.
Kesinoniman itu dianggap sama karena sesunguhnya yang sama bukanlah makna, melainkan hanya informasinya saja. Informasi dan makna sering dikacaukan oleh penutur bahasa. Informasi tidak sama dengan makna. Makna menyangkut keseluruhan masalah dalam-ujaran (intralingual), sedangkan informasi itu hanya Kesinoniman itu dianggap sama karena sesunguhnya yang sama bukanlah makna, melainkan hanya informasinya saja. Informasi dan makna sering dikacaukan oleh penutur bahasa. Informasi tidak sama dengan makna. Makna menyangkut keseluruhan masalah dalam-ujaran (intralingual), sedangkan informasi itu hanya
Sinonim kata tersebut hampir terjadi dalam semua kelas kata mandiri dalam bahasa. Objek penelitian ini, BA, juga memiliki kesinoniman tersebut. Kesinoniman tersebut tidak hanya terjadi pada leksem dasarnya saja, tetapi juga terjadi pada leksem yang berupa leksem reduplikasi yang menyatakan referen berupa onomatope. Bagi peneliti, ini merupakan sebuah keunikan yang jarang terdapat dalam bahasa lain. Kesinoniman hanya difokuskan pada pasangan adjektiva dasar yang bersinonim. Penelitian mengkaji sinonim secara leksikal, tidak pada frasa atau kalimat secara gramatikal.
Penelitian mengenai BA sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian itu adalah Rizqi (2006) mengenai Kata Tugas Bahasa Aceh, Sugiarto (2003) tentang Frasa dalam Bahasa Aceh, Santoso, dkk (2006) tentang Negasi dalam Bahasa Aceh, Sulaiman, dkk (1986) tentang Morfologi Nomina Bahasa Aceh, Armia dan Azwardi (2005) tentang Pronomina Persona Bahasa Aceh, dan Djunaidi, dkk (2003) tentang Fonologi Bahasa Aceh. Untuk kajian semantik sendiri sudah pernah dilakukan penelitian oleh Zurriyati (2009) tentang Verba Bersinonim dalam Bahasa Aceh.
Penelitian ini penting diteliti mengingat banyak penutur BA yang salah menginterpretasi referen yang dimaksud sehingga terkadang sering menyamakan maksud yang diinginkan. Selain itu, terbatasnya kosakata yang diketahui penutur bahasa juga cenderung membuat penutur bahasa menyebutkan kata-kata yang bersinonim untuk referen yang sama, padahal makna dan informasi yang dikandung bisa saja berbeda. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat membantu penutur BA mengetahui perbedaan dan hubungan kesinoniman tersebut dan mengetahui makna leksikal yang sebenarnya sehingga dapat menggunakan leksem yang tepat sesuai situasi dan kondisi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimanakah adjektiva bersinonim dalam bahasa Aceh? (2) Bagaimanakah hubungan kesinoniman adjektiva bersinonim tersebut berdasarkan analisis komponen makna dan teknik substitusi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mendeskripsikan adjektiva bersinonim dalam bahasa Aceh; (2) mendeskripsikan hubungan kesinoniman adjektiva bersinonim tersebut berdasarkan analisis komponen makna dan teknik substitusi.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini penting dilakukan karena memiliki banyak manfaat terutama dalam bidang kebahasaan berupa manfaat praktis dan manfaat teoretis. Manfaat praktis yang didapatkan dari penelitian adalah secara khusus dapat memberi gambaran konkret kepada masyarakat tentang adjektiva bersinonim dalam BA; memperkaya keberagaman kosakata bersinonim BA agar lebih diketahui oleh masyarakat; dapat dimanfaatkan oleh para bahasawan yang memerlukan informasi berkenaan adjektiva yang bersinonim dalam BA; bagi peneliti sendiri, ini dapat menambah wawasan mengenai adjektiva bersinonim dalam BA. Adapun manfaat teoretis yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai salah satu sumber penunjang bagi penelitian BA selanjutnya, khususnya semantik BA; dapat memberikan informasi yang lebih detail mengenai adjektiva bersinonim BA sehingga dapat bermanfaat dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa, khususnya BA.
BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Adjektiva
2.1.1 Pengertian Adjektiva
Adjektiva, seperti halnya verba dan nomina, merupakan kelompok kelas kata terbuka yang keanggotaannya dapat bertambah atau berkurang sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan sosial budaya dalam suatu masyarakat. Secara umum adjektiva diartikan sebagai kata sifat. Namun, beberapa ahli bahasa memberikan definisi yang lebih konkret dan lengkap berkaitan dengan kelas kata tersebut. Finoza (2002:64) menerangkan bahwa adjektiva adalah kata yang menerangkan sifat, keadaan, watak, tabiat seseorang, binatang, atau suatu benda. Selanjutnya, Alwi (2003:171) menjelaskan bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Lebih detail, Chaer (2002:161) mengemukakan pengertian adjektiva secara semantik adalah leksem yang menerangkan keadaan suatu nomina atau menyifati nomina itu dan secara secara sintaktik adalah leksem yang dapat diawali kata ingkar tidak, dapat diawali kata pembanding paling, dan dapat direduplikasikan serta diberi imbuhan se- nya.
Berkaitan dengan pengertian adjektiva, Kridalaksana (2007:59) menuliskan sebagai berikut. Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk
(1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, dan (4) mempunyai ciri-cri morfologis, seperti –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, dan (4) mempunyai ciri-cri morfologis, seperti –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam
Selain itu, secara lebih spesifik, Muslich (2008:110) telah merangkum definisi adjektiva dari beberapa ahli bahasa sebagai berikut.
(1) Versi tradisional yang dikemukakan oleh Alisyahbana (1954) bahwa adjektiva adalah kata yang menyatakan sifat atau hal keadaan sebuah benda/sesuatu. Misalnya baru, tebal, tinggi, rendah, baik, buruk, mahal, dan sebagainya; (2) Versi Keraf, adjektiva adalah segala kata yang dapat mengambil bentuk “se- + reduplikasi + -nya”, serta dapat diperluas dengan: paling, lebih, sekali. Misalnya sekuat-kuatnya dan paling sempurna; (3) Versi Ramlan, adjektiva adalah semua kata yang tidak dapat menduduki tempat objek dan yang dinegatifkan dengan kata tidak. Kata golongan ini dapat juga dinegatifkan dengan kata bukan apabila dipertentangkan dengan keadaan lain; (4) Versi Samsuri: 1) adjektiva dasar: (1) “sederhana” misalnya cabul, cepat, gembur; (2) “rumit”, misalnya terharu, terbata-bata, tertegun. 2) adjektiva turunan (1)” ber- + nomina”, misalnya berjasa, berharga, berbahaya; (2) “ter- + verba” misalnya tergencet, terbuka, terlarang; (3) {meN- + -kan}, misalnya membosankan, mencemaskan, dan menakutkan.
Dalam bahasa Aceh, Wildan (2002:43) mengemukakan bahwa adjektiva adalah semua kata yang menyatakan sifat atau keadaan suatu benda seperti beutoi ‘betul’, göt ‘bagus’, jeumot ‘rajin’, putéh ‘putih’ dan meuh’ai ‘mahal’. Jadi, berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dirangkum pengertian bahwa adjektiva adalah kelas kata yang menerangkan sifat atau keadaan dari suatu objek.
2.1.2 Ciri-Ciri Adjektiva
Subkelas adjektiva bahasa Indonesia memiliki beberapa ciri tipologi yang mendekatkan bahasa tersebut dengan sebagian bahasa analitis Asia Tenggara dan Asia Timur, serta membedakannya dengan bahasa-bahasa sintetis Indo-Eropa (Alieva, 1991:199). Ciri-ciri tersebut adalah
(1) berdasarkan tempat dalam sistem kata, adjektiva termasuk dalam kelas predikatif sebagai subkelas atau sebagai kelas dalam superkelas, sedangkan dalam bahasa sintetik adjektiva mempunyai kategori gramatikal nominal; (2) berdasarkan volume semantik, kata-kata asli kategori adjektiva menyatakan ciri- ciri kualitas; (3) berdasarkan distribusi, adjektiva berangkaian dengan kata sangkal tidak, dengan kata relatif yang, dengan penegas kualitas dan tingkat kualitas dan perbandingan, dan jarang dengan penegas waktu dan modalitas.
Berkaitan dengan ciri-ciri spesifik adjektiva, Parera (1994:10) menjelaskan ciri-ciri adjektiva sebagai berikut. Calon kelas kata sifat bahasa Inggris pada umumnya dapat dicirikan
dengan leksem very dan most, dapat bersufiks dengan -er, -est, -st untuk menyatakan tingkat perbandingan dan dengan bentuk sufiks seperti –ish, sedangkan untuk bahasa Indonesia sendiri, dapat dicirikan dengan kata amat/sangat, paling, dan lebih. Selain itu, secara morfologis dapat berproses dengan bentuk se- + R + -nya.
Sama halnya dengan Parera, menurut Chaer (2002:168), ciri-ciri adjektiva itu dapat diketahui dari pendamping adjektiva yang antara lain menyatakan (1) pengingkaran yang menggunakan kata tidak dan bukan; (2) kualitas yang menggunakan leksem sangat, agak, cukup, paling, sekali, maha, dan serba.
Chaer (2008:80) menyebutkan ciri utama adjektiva adalah (1) tidak dapat didampingi oleh adverbia frekuensi sering, jarang, dan kadang-kadang; (2) tidak dapat didamping oleh adverbia jumlah; (3) dapat didampingi oleh semua adverbia derajat agak, cukup, lebih, sangat, sedikit, jauh, dan paling; (4) dapat didampingi oleh adverbial kepastian pasti, tentu, mungkin, dan barangkali; (5) tidak dapat diberi adverbia kala hendak dan mau.
Pendapat Chaer tersebut juga diperkuat oleh Muslich (2008:122) dan Finoza (2002:64) yang memaparkan ciri-ciri adjektiva sebagai berikut: (1) bisa diberi keterangan pembanding lebih, kurang, paling; (2) dapat diberi keterangan penguat sangat, sekali, benar, terlalu; (3) dapat diingkari dengan tidak; (4) dapat diulang dengan {se-nya}, (5) pada kata tertentu berakhir dengan –er, -(w)i-, iah, -if, -al, dan –ikan. Dalam bahasa Aceh, ciri-ciri kata sifat itu juga sama dengan bahasa Indonesia seperti yang diterangkan oleh Wildan (2002:43) sebagai berikut.
(1) Dapat didahului oleh kata leubèh ‘lebih’, misalnya: Beutôi ‘ betul’
leubèh beutôi ‘lebih betul’.
(2) Dapat didahului oleh kata paléng ‘paling’. (3) Dapat didahului atau diakhiri oleh kata that ‘sangat’ Fungsi adjektiva di dalam kalimat adalah memberikan keterangan lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina. Keterangan atau atribut tersebut dapat berupa deskripsi mengenai kualitas atau keanggotaan. Selain itu adjektiva dapat berfungsi predikatif ataupun adverbial. Fungsi predikatif dan adverbial itu dapat mengacu ke suatu keadaan (Arifin dan Junaiyah, 2009:106).
2.1.3 Pembagian Adjektiva
Beberapa ahli bahasa telah membagi adjektiva ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Pembagian tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
(1) Harimurti Kridalaksana Kridalaksana (2007:59) membagi adjektiva dasar berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) yang dapat diuji dengan kata sangat dan lebih;
(2) yang tidak dapat di uji dengan kata sangat dan lebih. (2) Abdul Chaer
Chaer (2002:162) secara semantik membagi adjektiva ke dalam delapan tipe. Tipe-tipe adjektiva tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tipe I adalah leksem yang menyatakan sikap, tabiat, atau perilaku batin manusia (termasuk yang dipersonifikasikan) seperti ramah, galak, baik, berani, takut, dll.
2) Tipe II adalah leksem adjektiva yang menyatakan keadaaan bentuk seperti bundar, bulat, lengkung, lurus, dan miring.
3) Tipe III adalah leksem adjektiva yang menyatakan ukuran seperti panjang, pendek, tinggi, lebar, luas, ringan, dll.
4) Tipe IV adalah leksem yang menyatakan waktu dan usia seperti lama, baru, dan tua.
5) Tipe V adalah leksem yang menyatakan warna seperti merah, kuning, dll.
6) Tipe VI adalah leksem yang menyatakan jarak seperti jauh, dekat, dan sedang.
7) Tipe VII adaah leksem yang menyatakan kuasa tenaga seperti kuat, lemah, segar, letih, dan lesu.
8) Tipe VIII adalah leksem yang menyatakan kesan atau penilaian indera seperti sedap, manis, pahit, cantik, harum, kasar, licin, bau, dll.
(3) Hasan Alwi Alwi (2003:172) membagi adjektiva sebagai berikut.
(1) Adjektiva dari perilaku semantis. Adjektiva ini terdiri atas adjektiva bertaraf dan tidak bertaraf.
a. Adjektiva bertaraf
a) Adjektiva pemeri sifat yang memerikan kualitas dan intensitas yang bercorak fisik atau mental seperti leksem aman, bersih, cocok, ganas, latah, panas, dan dingin.
b) Adjektiva ukuran yang mengacu ke kualitas yang dapat diukur dengan ukuran yang sifatnya kuantitatif seperti berat, pendek, kecil, besar, tebal, tipis, lapang, sempit, tinggi.
c) Adjektiva warna mengacu ke berbagai warna seperti leksem merah, kuning, hijau, hitam, lembayung, dll.
d) Adjektiva waktu yang mengacu ke masa proses, perbuatan, atau keadaaan berada atau berlagsung sebagai pewatas seperti leksem
lama, segera, jarang, sering, lambat, cepat, mendadak, dan singkat.
e) Adjektiva jarak mengacu ke ruang antara dua benda, tempat, atau maujud sebagai pewatas nomina seperti leksem jauh, dekat, lebat, suntuk, rapat, renggang, dan akrab.
f) Adjektiva sikap batin yang berkaitan dengan pengacuan suasana hati atau perasaan seperti leksem bahagia, bangga, benci, berahi, berani, sakit, risau, dan sayang.
g) Adjektiva cerapan yang berkaitan dengan pancaindera:
(a) penglihatan: gemerlap, suram, terang; (b) pendengaran: bising, garau, jelas, merdu, nyaring, serak; (c) penciuman: anyir, busuk, hancing, harum, semerbak, wangi; (d) perabaan: basah, halus, kasar, kesat, lembab, lembut, licin, tajam (e) pencitrasaan: asam, enak, kelat, lezat, lemak, manism pahit, sedap, tawar.
b. Adjektiva tidak bertaraf menempatkan acuan yang diwatasinya di dalam kelompok atau golongan tertentu. Kehadirannya tidak dapat bertaraf-taraf. Misanya, abadi, buntu, gaib, ganda, genap, gasal, sah, tentu, tunggal, termasuk di dalam kelompok ini adjektiva bentuk seperti bundar, bengkok, bulat, lonjong, dan lurus.
(4) Wildan Wildan (2002:44) menjelaskan berdasarkan bentuknya, kata sifat dalam bahasa Aceh dibagi atas dua macam. (1) Kata sifat dasar yang belum mendapat imbuhan, ulangan, atau majemukan.
(2) Kata sifat turunan adalah kata sifat yang diturunkan dari jenis kata lain. Jenis kata yang dapat diturunkan menjadi kata sifat adalah kata benda dan kata kerja. Penurunan itu dilakukan dengan menggunakan imbuhan meu-,… -eun-, dan teu.
2.1.4 Gradasi Adjektiva
Adjektiva merupakan kelas kata yang memiliki gradasi atau tingkatan yang membedakannya dari kelas kata lain. Parera (1994:104) menjelaskan kategori tingkatan tersebut sebagai berikut.
Gramatikal adjektiva tata tingkat dibedakan atas tingkat positif, komparatif (bandingan lebih), superlatif (paling, amat,), dan tingkat eksesif. Perealisasian kategori tata tingkat ini dinyatakan pula secara morfemis. Bahasa Inggris merealisasikan kategori ini sebagian dengan proses morfemis, misalnya dengan sufiks –er untuk komparataif dan sufiks –st untuk superlatif. Bahasa Indonesia belum mengenal realisasi kategori secara morfemis walaupun akhir-akhir ini proses itu mulai tampak. Misalnya sufiks –an untuk komparatif dan ke-an untuk superlatif. Bahasa Indonesia juga mengenal kategori gramatikal adjektiva superlatif dengan ter-.
Secara lebih spesifik, Alwi (2003:180) mengemukakan “pertarafan adjektiva dapat menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas dan berbagai bentuk tingkat bandingan. Pembedaan tingkat kualitas atau intensitas dinyatakan dengan pewatas seperti benar, sangat, terlalu, agak, dan makin. Pembedaan tingkat bandingan dinyatakan dengan pewatas seperti lebih, kurang, dan paling”. Alwi membagi gradasi adjektiva tersebut sebagai berikut.
(1) Tingkat kualitas Tingkat kualitas secara relatif menunjukkan tingkat intensitas yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tingkat kualitas ini terbagi atas enam tingkat sebagai berikut.
1) Tingkat positif merincikan kualitas atau intensitas yang diterangkan oleh adjektiva tanpa pewatas. Ketiadaan kualitas dinyatakan dengan pemakaian tidak atau tak.
2) Tingkat intensif memerikan kadar kualitas atau intensitas dengan memakai pewatas benar, betul, atau sungguh.
3) Tingkat elatif menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi yang dinyatakan dengan pewatas amat, sangat, atau sekali. Untuk memberikan tekanan yang lebih dan pada tingkat elatif, kadang-kadang juga 3) Tingkat elatif menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi yang dinyatakan dengan pewatas amat, sangat, atau sekali. Untuk memberikan tekanan yang lebih dan pada tingkat elatif, kadang-kadang juga
4) Tingkat eksesif menekankan kadar kualiats atau intensitas yang terlebih, atau yang melampaui batas kewajaran dan dinyatakan dengan pewatas terlalu, terlampauI, dan kelewat.
5) Tingkat argumentatif menggambarkan naik atau bertambahnya tingkat kualitas atau intensitas dinyatakan dengan pewatas makin…, makin … makin…, atau semakin.
6) tingkat atenuatif memerikan penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas dinyatakan dengan pewatas agak atau sedikit.
(2) Tingkat bandingan Pada tingkat bandingan ini, kualitas adjektiva terbagi atas tingkat yang intensitasnya dapat setara dan tidak setara. Tingkat setara disebut tingkat ekuatif; tingkat yang tidak setara dibagi dua: tingkat komparatif dan tingkat superlatif.
1) Tingkat ekuatif menngacu pada kadar kualitas atau intensitas yang sama atau hampir sama. Penanda yang digunakan adalah bentuk klitik se- yang diletakkan di depan adjektiva. Tingkat ini juga dapat dinyatakan dengan pemakaian sama + adjektiva + -nya diantara dua nomina atau sama + adjektiva + -nya dibelakang dua nomina yang dibandingkan.
2) Tingkat komparatif mengacu pada kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau kurang. Pewatas yang dipakai adalah lebih … (daripada) …, kurang … dari (pada), dan kalah … dengan/daripada.
3) Tingkat superlatif mengacu pada tingkat kualitas atau intensitas yang paling tinggi di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Penanda yang digunakan afiks ter- dan pewatas paling di muka adjektiva. Adjektiva superlatif dapat diikuti frasa yang berpreposisi dari, di antara, dari antara beserta nomina yang dibandingkan.
Selain pertarafan bentuk kualitas dan perbandingan tersebut, gradasi adjektiva juga ditentukan oleh nilai rasa kata yang digunakan. Chaer (2007:151) mengemukakan “nilai rasa berkaitan erat dengan norma-norma keagamaan, kepercayaan, sosial, budaya, dan pandangan hidup yang berlaku dalam suau masyarakat. Ada nilai rasa yang bisa digunakan secara bebas karena mengandung nilai netral, ada kata yang sebaiknya tidak digunakan karena bernilai rasa negatif, dan ada juga kata yang sangat baik digunakan karena mengandung nilai rasa positif”.
2.2 Sinonim
2.2.1 Pengertian Sinonim
Beberapa kata yang berbeda mempunyai arti yang sama. Dengan kata lain beberapa kata mengacu pada satu unit semantik yang sama. Relasi ini dinamakan sinonim (Alwasilah, 1993:164). Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Secara harfiah sinonim berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama (Pateda, 2001:222). Umpamanya buruk dan jelek adalah dua kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang bersinonim. Berkaitan dengan hal itu, Kridalaksana dalam Aminuddin (2003:115) juga menjelaskan bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu Beberapa kata yang berbeda mempunyai arti yang sama. Dengan kata lain beberapa kata mengacu pada satu unit semantik yang sama. Relasi ini dinamakan sinonim (Alwasilah, 1993:164). Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Secara harfiah sinonim berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama (Pateda, 2001:222). Umpamanya buruk dan jelek adalah dua kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang bersinonim. Berkaitan dengan hal itu, Kridalaksana dalam Aminuddin (2003:115) juga menjelaskan bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Djajasudarma (1993:36) yang mengatakan sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ‘kesamaan arti’. Jika dua kata atau lebih memiliki makna yang sama, maka perangkat kata itu disebut sinonim. Lebih lanjut Chaer (2003:297 dan 2002:82) menerangkan sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Misalnya kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga besinonim dengan kata bunga.
2.2.2 Batasan Sinonim
Sistem leksikal (lexical system) dalam suatu bahasa dapat berbeda dengan yang terdapat dalam bahasa lainnya. Inilah yang menyebabkan sistem leksikal atau
sistem makna kata sering dikategorikan sebagai suatu sistem yang unik (Ridwan, 2006:367). Begitu juga yang terjadi dalam sistem leksikal relasi sinonim. Zgusta dan Ullman dalam Chaer (2002:83) berpendapat “Dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak mutlak. Hal ini disebabkan ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit”. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda, maknanya pun akan berbeda/tidak persis sama. Lebih lanjut Verhaar dalam Chaer (2002:85) sistem makna kata sering dikategorikan sebagai suatu sistem yang unik (Ridwan, 2006:367). Begitu juga yang terjadi dalam sistem leksikal relasi sinonim. Zgusta dan Ullman dalam Chaer (2002:83) berpendapat “Dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak mutlak. Hal ini disebabkan ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit”. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda, maknanya pun akan berbeda/tidak persis sama. Lebih lanjut Verhaar dalam Chaer (2002:85)
Djajasudarma (1993:42) dan Pateda (2001:222) menjelaskan ada tiga batasan untuk sinonim, yakni: (1) kata-kata dengan referen ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus; (2) kata-kata yang memiliki makna yang sama, misalnya memerintahkan dan kata menyampaikan; (3) kata yang dapat disulih dalam konteks yang sama, misalnya “Kami berusaha dengan giat, Kami berupaya dengan giat”.
2.2.3 Faktor Munculnya Sinonim
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan pernah sama. Ketidaksamaan itu disebabkan oleh beberapa
faktor. Chaer (2003:298 dan 2002:85) menjelaskan enam faktor munculnya sinonim. Keenam fakor itu adalah (1) faktor waktu; (2) faktor tempat atau wilayah; (3) faktor keformalan; (4) faktor sosial; (5) faktor bidang kegiatan; (6) faktor nuansa makna. Selain itu, Parera (2004:65) juga mengemukakan faktor lain munculnya sinonim. Faktor- faktor itu adalah (1) sinonim muncul antara kata asli dan kata serapan; (2) sinonim muncul antara bahasa umum dan dialek; (3) sinonim muncul untuk membedakan kata umum dan kata ilmiah; (4) sinonim muncul antara bahasa faktor. Chaer (2003:298 dan 2002:85) menjelaskan enam faktor munculnya sinonim. Keenam fakor itu adalah (1) faktor waktu; (2) faktor tempat atau wilayah; (3) faktor keformalan; (4) faktor sosial; (5) faktor bidang kegiatan; (6) faktor nuansa makna. Selain itu, Parera (2004:65) juga mengemukakan faktor lain munculnya sinonim. Faktor- faktor itu adalah (1) sinonim muncul antara kata asli dan kata serapan; (2) sinonim muncul antara bahasa umum dan dialek; (3) sinonim muncul untuk membedakan kata umum dan kata ilmiah; (4) sinonim muncul antara bahasa
Webster (1973) dalam Geoffrey (2003:67) juga menjelaskan perbedaan antarmakna yang bersinonim sebagai berikut. (1) Perbedaan makna sinonim diakibatkan oleh perbedaan
implikasi. Sebagai contoh adalah kata remeh dan sepele yang merujuk kepada ‘hal atau sesuatu yag tidak penting’. Makna sepele mengarah kepada implikasi positif, sedangakan remeh bermplikasi negatif; (2) Perbedaan makna sinonim diakibatkan oleh perbedaan aplikasi. Sebagai contoh kata nikmat, lezat, dan enak. Kata nikmat dikenakan pada makanan, minuman, kehidupan, dan semua yang dapat memberikan kesenangan, perasaan puas, sedangkan enak dan lezat hanya dikenakan pada makanan dan minuman; (3) Perbedaan antara makna sinonim didasarkan pada kelebihluasan cakupan makna yang satu dari yang lain. Dalam bahasa Indonesia dikenal kata memahami dan mengerti. Perbedaan ini dapat diuji bahwa seseorang dapat mengerti perkataan orang lain, tetapi belum tentu dia memahami. Akan tetapi, seseorang yang memahami perkataan orang lain sudah tentu mengerti akan perkataan orang lain itu; (4) Perbedaan makna sinonim didasarkan pada asosiasi yang bersifat konotasi. Ciri perbedaan antara dua atau lebih kata yag bersinonim yang didasarkan pada asosiasi konotatif teletak pada ciri konotasi positif dan negatif. Makna kata rekam, merekam, rekaman dan sadap, menyadap, sadapan (pengambilan suara atau bunyi dengan bantuan pita adan alat elektronik) terletak pada konotasi positif dan negatif. Rekam, merekam, dan rekaman bersifat positif karena lebih netral, sedangkan sadap, menyadap, dan sadapan cenderung bersifat negatif; (5) Perbedaan sinonim berdasarkan sudut pandang. Pada masa tertentu di Indonesia makna kata bui, penjara dan lembaga pemasyarakatan dibedakan berdasarkan sudut pandang. Makna penjara dan bui dpandang dari sudut pandang hukuman, sedangkan lembaga pemasyarakatan dipandang dari sudut pandang tujuan “tujuan untuk merehabilitasi, memperbaiki sikap dan sifat terpidana agar dapat masuk ke masyarakat yang baik dan benar.
2.2.5 Cara Menentukan Sinonim
Beberapa ahli seperti Pateda, Parera, dan Djajasudarma memiliki teknik yang sama dalam menentukan sinonim. Pateda (2001:86) menerangkan ada dua pendekatan makna yang digunakan dalam menentukan kesinoniman. Kedua Beberapa ahli seperti Pateda, Parera, dan Djajasudarma memiliki teknik yang sama dalam menentukan sinonim. Pateda (2001:86) menerangkan ada dua pendekatan makna yang digunakan dalam menentukan kesinoniman. Kedua
Lebih lanjut, Djajasudarma (1993:38) menjelaskan analisis komponen makna juga diperlukan untuk menentukan kesinoniman, meskipun kata tersebut sudah ditempatkan dalam konteks. Selain itu, secara lebih detail, Djajasudarma (1993:36) mengatakan kesamaan makna itu dapat ditentukan dengan tiga cara.
(1) Substitusi (penyulihan) yang dapat terjadi bila kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks tidak berubah, maka kedua kata
itu sinonim. (2) Pertentangan yang memungkinkan sebuah kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata lain. Misal kata berat bertentangan dengan ringan dan enteng dalam bahasa Indonesia, maka ringan dan enteng adalah sinonim. (3) Penentuan konotasi yang memungkinkan jika terdapat perangkat kata yang memiliki makna kognitifnya sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata- kata itu tergolong sinonim. Misalnya kamar kecil, kaskus, jamban, WC mengacu pada acuan yag sama, tetapi konotasinya berbeda.
Pendapat Djajasudarma ini juga didukung oleh Muniah (2000:4) yang menuliskan bahwa untuk mengetahui bahwa dua kata atau lebih merupakan sinonim dapat digunakan cara (1) substitusi dan (2) menentukan antonin anggota pasangan sinonim (opposites). Substitusi adalah teknik yang digunakan dengan cara menggunakan kata-kata yang dianggap sinonim dalam konteks yang sama. Khusus penelitian ini, akan digunakan teknik analisis komponen makna dan teknik substitusi.
2.3 Analisis Komponen Makna dan Teknik Substitusi
2.3.1 Pengertian Medan Makna Komponen Makna
Istilah teori medan makna atau theory of semantic field adalah teori yang mengemukakan bahwa perbendaharaan kata dalam bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual yang dapat dianalisis secara sinkronis, diakronis, maupun secara paradigmatik (Aminudin, 2003:108). Teori medan makna tersebut memiliki hubungan erat dengan kebenaran konseptualisasi, penyimpulan, dan penghubungan. Lebih lanjut, Harimurti dalam Chaer (2002:110) menyatakan bahwa medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Kushartanti (2005:121) menjelaskan bahwa makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Makna terdiri atas komponen makna, misalnya makna kata wanita terbentuk dari komponen makna manusia, dewasa, perempuan. Berkaitan dengan itu,
Aminuddin (2003:128) menjelaskan komponen adalah keseluruhan makna dari suatu kata terdiri atas sejumlah elemen yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang berbeda-beda. Komponen makna tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan dan pengalaman serta intuisi seseorang.
Moentaha (2006:153) mengungkapkan dalam literatur ilmu linguistik kontemporer, “Analisis komponen (componentional analysist) disebut sebagai cara menganalisis teks yang diarahkan pada pemisahan bagia-bagian integral makna kata, yaitu komponen semantik atau sem (semantic component, seme) dan juga pada penjelasan prinsip-prinsisp penggabungannya serta organisasi strukturalnya”. Analisis ini memberi kemungkinan untuk lebih tepat dan lebih mendalam menganalisis struktur makna kata, mengungkapkan hubungan antara beberapa maknanya dan menentukan ciri-ciri yang dijadikan dasar kata-kata untuk bergabung ke kelompok sinonim. Lebih lanjut, Nida dalam Pateda (1994:96) menyebutkan suatu kata dapat dianalisis berdasarkan komponen maknanya yang berdasarkan atas: (1) fungsi dari kata yang dianalisis; (2) bahan yang membentuk kata yang dianalisis; (3) keadaan kata yang dianalisis; (4) Komponen-komponen yang ada pada kata itu.
Menurut Leech (2003:123), analisis makna kata adalah suatu proses memilah-milahkan pengertian suatu kata ke dalam ciri-ciri khusus minimalnya yaitu kedalam komponen yang kontras dengan komponen lain. Misalnya kata-kata seperti man, woman, girl, dalam bahasa Inggris. Kata-kata ini semua termasuk dalam bidang semantik ‘ras manusia’. Makna kata-kata itu secara individual dapat dilukiskan dengan gabungan ciri-ciri tersebut: man
: + HUMAN + ADULT + MALE : + HUMAN + ADULT + MALE
: +HUMAN - ADULT + MALE girl
: +HUMAN - ADULT -MALE Chaer (2002:114) menjelaskan komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama- sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Misalnya kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna: +insan, +jantan, dan +kawin; ibu mengandung komponen makna: +insan, +dewasa, - jantan, dan +kawin. Bagannya adalah sebagai berikut:
Komponen Makna
Ket: tanda (+) berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda (–) berarti tidak mempunyai komponen makna tersebut
Moentaha (2006:468) menjelaskan analisis komponen adalah suatu teknik untuk menerangkan secara ekonomis hubungan-hubungan tertentu antara unsur- unsur leksikal dan antara kalimat-kalimat yang mengandungnya. Komponen makna dalam tiap pasangan sinonim perlu dikembangkan secara terbuka, yaitu dapat ditambah atau diperluas menurut keperluan analisis sehingga relasi kesinoniman antara anggota tiap pasangan sinonim menjadi jelas. Berdasakan analisis komponen makna, akhirnya akan diketahui ciri makna pembeda di dalam kesinoniman.
2.3.2 Langkah-Langkah Menganalisis Komponen Makna