PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE KONSTRUKSI BERTAHAP PADA RUAS JALAN DURENAN-BANDUNG-BESUKI PADA STA 171+550 – 182+350 DI KABUPATEN TULUNGAGUNG.

(1)

DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

TUGAS AKHIR

Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1)

Diajukan Oleh : ADI SISWANTO

0553010062

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN” JAWA TIMUR

2010


(2)

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan kurikulum pendidikan Strata – 1 Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Selain itu diharapkan tugas akhir ini dapat berguna bagi penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah dalam pekerjaan yang sebenarnya.

Selama menyelesaikan tugas akhir hingga tersusunnya laporan ini, banyak bimbingan, petunjuk serta bantuan yang sangat berarti bagi tambahnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis bermaksud menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Kepada Allah SWT

Diberikannya Ketekunan dan kesabaran pada diri Adi siswanto dalam pengerjaan Tugas Akhir ini hingga selesai

2. Bapak Dr. Ir. Edi Mulyadi SU., selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Ir. Wahyu Kartini, MT., selaku Kepala Program Studi Teknik Sipil dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur.

4. Bapak selaku Pendamping yang telah banyak memberikan motivasi dan

bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. 5. Bpk Ir. N.Dita P.Putra ,MT., selaku dosen wali.

6. Kedua orang tua tercinta ( bapak dan Ibu )

Yang telah memberi motivasi kepada Adi siswanto

Terlebih terutama yang tak henti-hentinya melantunkan do’a

7. Buat Winda Kusuma Wardani dan Bagus yang sudah memberikan dorongan

untuk menyelesaikan tugas akhir ini


(3)

iii

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa penulis harapkan demi kemajuan bersama. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Surabaya, Juni 2010

Penulis,


(4)

DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

Oleh :

ADI SISWANTO 0553010062

ABSTRAK

Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang terbesar di Indonesia, dimana jumlah penduduknya mencapai 38 juta jiwa dan salah satu kota di Jawa Timur adalah Kabupaten Tulungagung tepatnya di Kecamatan Durenan, Bandung, dan Besuki dimana akan menjadi salah satu tujuan tempat wisata di Jawa Timur sehingga dituntut untuk dapat memenuhi fasilitas yang diperlukan di segala bidang baik industri, ekonomi, jasa, maupun pendidikan. Oleh sebab itu pembangunan fisik perkotaan khususnya dibidang konstruksi jalan perlu diperhatikan.

Di ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Durenan, Bandung, dan Besuki, dengan kondisi lalu-lintas sepanjang ruas pada umumnya relatif lancar, sedangkan yang relatif ramai adalah di sekitar daerah perdagangan (pasar) dan cenderung akan meningkat setelah jalan lintas selatan berfungsi dan menjadi daerah tujuan wisata. Karena keterbatasan dana dari APBD, maka pemerintah daerah melakukan pembangunan proyek jalan tersebut dengan bertahap, pada tahap I dikerjakan untuk umur rencana 5 tahun dan tahap II dikerjakan untuk umur rencana 5+15 tahun.

Dari hasil perhitungan perencanaan perkerasan lentur yang dikerjakan dengan metode konstruksi bertahap, maka di dapat lajur untuk ruas jalan Durenan-Bandung-Besuki sebanyak 2 lajur 2 arah dengan lebar perkerasan 8 meter, termasuk jalan kolektor. Menggunakan perkerasan lentur dengan susunan perkerasan, lapisan permukaan menggunakan laston MS 744 setebal 10 cm untuk umur rencana 5 tahun dan 20 cm dengan umur rencana 5+15 tahun, lapisan pondasi atas menggunakan batu pecah kelas A setebal 15 cm, sedangkan lapisan pondasi bawah menggunakan sirtu kelas A setebal 20 cm. Alinyemen horisontal menggunakan tikungan berbentuk S – C – S, S – S, dan Full Circle. Untuk sistem drainase direncanakan dengan bentuk trapesium dengan dimensi lebar bawah (b) 0,5 m, kedalaman air (d) 0,52 m, dan tinggi jagaan (w) 0,5 m, untuk gorong-gorong digunakan D=1,2 m, S=1,95m, t= 0,14m, T=0,25m

Kata kunci : Perkerasan lentur, Perencanaan geometrik jalan, Perencanaan drainase,

Metode Bina Marga


(5)

HALAMAN

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 3

1.3. Maksud Dan Tujuan ... 3

1.4. Batasan Masalah ... 4

1.5. Manfaat ... 4

1.6. Peta Lokasi ... 5

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Klasifikasi dan Lalu Lintas Jalan Raya ... 7

2.1.1 Umum ... 7

2.1.2 Definisi... ... 8

2.1.3 Kelas Jalan... ... ... 10

2.1.4 Medan Jalan... 11

2.2. Lalu Lintas Jalan Raya ... 12

2.2.1 Kendaraan Rencana ... 12

2.2.2. Komposisi Lalu-lintas ... 14

2.2.3. Kecepatan rencana ... 16

2.3. Perencanaan Perkerasan Jalan …... 16

2.3.1. Umum ... 16


(6)

2.3.5. Lalu Lintas Harian Rata-rata………….…... 21

2.3.6. Daya Dukung Tanah (CBR)………. 22

2.3.7. Faktor Regional……….……... 24

2.3.8. Indeks Permukaan (IP)……… 24

2.3.9. Koefisien Kekuatan Relatif………….…….. 26

2.3.10. Perencanaan Tebal Lapisan Tambahan……. 28

2.3.11. Penentuan Tebal Lapisan... 30

2.4. Tahap Perhitungan Perencanaan Perkerasan... 30

2.4.1. Analisa Komponen Perkerasan... 30

2.4.2. Metode Konstruksi Bertahap... 32

2.5. Perencanaan Geometrik ... 34

2.5.1. Aliyemen Horizontal ... 35

2.6. Perencanaan Drainase... 49

2.6.1. Penampang Basah Selokan Samping... 57

2.6.2. Sistem Drainase Gorong-gorong... 61

2.7. Analisa Regresi ... 62

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN 3.1. Dasar – Dasar Perencanaaan ... 63

3.2. Perencanaan Geometrik ... 63

3.3. Perencanaan Tebal Perkerasan ... 64

3.4. Perencanaan Drainase ... 64

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisa Data ... 66

4.1.1. Data Topografi... 66

4.1.2. Lalu lintas Harian Rata-rata ... 66

4.2. Analisa Regresi ... 67

4.2.1. Pertumbuhan Sepeda Motor (MC) ... 68

4.2.2. Pertumbuhan Sedan, Jeep, St Wagon ... 70


(7)

4.2.6. Pertumbuhan Truck Tangki 2 Sumbu... 78

4.2.7. Pertumbuhan Truck Tangki 3 Sumbu ... 80

4.2.8. Pertumbuhan Truck Semi Trailler ... 82

4.3. Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode Konstruksi Bertahap ... 84

4.3.1. Kondisi Perkerasan Jalan Lama (Existing) ... 85

4.3.2. Perhitungan LHRT Awal Umur Rencana ... 85

4.3.3. Perhitungan LHRT Umur Rencana 5 Tahun .... 86

4.3.4. Perhitungan LHRT Umur Rencana 15 Tahun.. 86

4.3.5. Angka Ekivalen ... 87

4.3.6. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) ... 87

4.3.7. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) ... 88

4.3.8. Lintas Ekivalen Tengah (LET) ... 89

4.3.9. Lintas Ekivalen Rencana (LER) ... 90

4.3.10.Faktor Regional (FR) ... 90

4.3.11.Indeks Permukaan Pada Awal Rencana (Ipo) . 90

4.3.12.Indeks Permukaan Pada Akhir Rencana (Ipt) .. 91

4.3.13.Indeks Tebal Perkerasan (ITP) ... 91

4.3.14.Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan ... 91

4.4. Perhitungan Aliyemen Horizontal ... 93

4.4.1. Perencanaan Aliyemen Horizontal STA 172+550 (FC)... 93

4.4.2. Perencanaan Aliyemen Horinzontal STA 180+150 (S – C – S) ... 96

4.4.3. Perencanaan Aliyemen Horinzontal STA 177+300 (S – S) ... 100

4.5. Perencanaan Drainase ... 106

4.5.1. Data Kondisi Penampang Jalan ... 106

4.5.2. Perhitungan Debit Aliran (Q) ... 107


(8)

Bentuk Trapesium ... 111

4.5.3.2. Perhitungan Gorong-gorong Pada STA 180+800 ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN DATA 5.1. Kesimpulan ... 118

5.2. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... ... 121

LAMPIRAN ... 122


(9)

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan. ... 11

Tabel 2.2. Klasifikasi menurut medan jalan. ...……… 11

Tabel 2.3. Ketentuan Klasifikasi : Fungsi , Kelas beban, Dan Medan... 13

Tabel 2.4. Penentuan Faktor – K dan faktor – F berdasarkan Volume lalu -lintas Harian Rata-rata…... 15

Tabel 2.5. Kecepatan Rencana ( VR ) sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan... 16

sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan Tabel 2.6. Jumlah Jalur Berdasarkan Lebar Perkerasan. ...… 18

Tabel 2.7. Koefesien Distribusi Kendaraan ( C ) ...………… 18

Tabel 2.8. Angka Ekivalen ( E ) Beban Sumbu Kendaraan ...………… 20

Tabel 2.9. Faktor Regional ( FR ) ...……… 24

Tabel 2.10. Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana ( Ipt )....……..… 25

Tabel 2.11. Indeks Permukaan Pada Awal Rencana ( Ipo )...……… 26

Tabel 2.12. Koefisien Kekuatan Relatif ( a )... ...……… 27

Tabel 2.13. Nilai Kondisi Perkerasan Jalan Lapis Permukaan ...… 29

Tabel 2.14. Tebal Minimum Lapisan Permukaan... 31

Tabel 2.15. Tebal Minimum Lapisan Pondasi ...……… 32

Tabel 2.16. Panjang Bagian Lurus Maximum...……… 35

Tabel 2.17. Panjang Jari-jari Minimum Untuk Menetapkan Rmin ...…… 36

Tabel 2.18. Jari-jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan 37 Tabel 2.19. Pelebaran di Tikungan Perlajur ( m ) untuk Lebar Jalur 2x( B )m ... ... 48

Tabel 2.20. Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan ...… 49

Tabel 2.21. Variasi Yt ...……… 51

Tabel 2.22. Nilai Yn ...……… 52

Tabel 2.23. Nilai Sn ... ...……… 52

Tabel 2.24. Hubungan Kondisi Permukaan Dengan Koefisien Hambatan .. 53


(10)

Tabel 2.28. Koefisien Kekasaran Manning ... 60

Tabel 4.1. Data Lalu lintas ... 67

Tabel 4.2. Jumlah Sepeda Motor (MC) ... 68

Tabel 4.3. Pertumbuhan Sepeda Motor (MC) ... 68

Tabel 4.4. Perkiraan Jumlah Sepeda Motor (MC) pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 70

Tabel 4.5. Jumlah Kendaraan Sedan, Jeep, dan St Wagon ... 70

Tabel 4.6. Pertumbuhan Kendaraan Sedan, Jeep, dan St Wagon ... 70

Tabel 4.7. Perkiraan Jumlah Kendaraan Sedan, Jeep, dan St Wagon pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 72

Tabel 4.8. Jumlah Kendaraan Oplet, Combi dan Mini Bus ... 72

Tabel 4.9. Pertumbuhan Kendaraan Oplet, Combi dan Mini Bus ... 72

Tabel 4.10. Perkiraan Jumlah Kendaraan Oplet, Combi dan Mini Bus pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 74

Tabel 4.11. Jumlah Kendaraan Mikro Truck ... 74

Tabel 4.12. Pertumbuhan Kendaraan Mikro Truck ... 74

Tabel 4.13. Perkiraan Jumlah Kendaraan Mikro Truck pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 76

Tabel 4.14. Jumlah Kendaraan Bus Besar ... 76

Tabel 4.15. Pertumbuhan Kendaraan Bus Besar ... 76

Tabel 4.16. Perkiraan Jumlah Kendaraan Bus Besar pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 78

Tabel 4.17. Jumlah Truck Tangki 2 Sumbu ... 78

Tabel 4.18. Pertumbuhan Truck Tangki 2 Sumbu ... 78

Tabel 4.19. Perkiraan Jumlah Truck Tangki 2 Sumbu pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 80

Tabel 4.20. Jumlah Truck Tangki 3 Sumbu ... 80

Tabel 4.21. Pertumbuhan Truck Tangki 3 Sumbu ... 80


(11)

Tabel 4.24. Pertumbuhan Truck Semi Trailler ... 82

Tabel 4.25. Perkiraan Jumlah Truck Semi Trailler pertahun sampai dengan Tahun Rencana (Tahun 2029) ... 84

Tabel 4.26. Perhitungan Alinyemen Horizontal Tikungan FC ... 105

Tabel 4.27. Perhitungan Alinyemen Horizontal Tikungan S – C - S ... 105

Tabel 4.28. Perhitungan Alinyemen Horizontal Tikungan S - S ... 105

Tabel 4.29. Data Curah Hujan Rata-rata Di Stasiun Bandung (Tulungagung) ... 107


(12)

Gambar 1.1 Peta Lokasi………. 5

Gambar 1.2 Detail Peta lokasi ... 6

Gambar 2.1. Daya Dukung Tanah...……… 23

Gambar 2.2. Susunan Perkerasan Lentur ... 30

Gambar 2.3. Komponen F-C ... 37

Gambar 2.4. Komponen S-C-S...……… 39

Gambar 2.5. Komponen S-S ...……… 41

Gambar 2.6. Perubahan Kemiringan Melintang Pada Tikungan ...……… 42

Gambar 2.7. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan F-C... 44

Gambar 2.8. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan S-C-S... 45

Gambar 2.9. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan S-S..…….... 46

Gambar 2.10. Drainase Saluran Samping ... . 50

Gambar 2.11. Batas Daerah Pengaliran ...……… 53

Gambar 2.12. Saluran Trapesium ...……… 57

Gambar 2.13 Gorong-gorong Bentuk Lingkaran...……… 61

Gambar 3.1 Bagan Alur Metodologi Perencanaan... 65

Gambar 4.1. Susunan Perkerasan Jalan Lama (existing) ... 85

Gambar 4.2. Susunan perkerasan ... 92

Gambar 4.3. Lengkung Full Circle ... 94

Gambar 4.4. Diagram Superelevasi Full Circle ... 94

Gambar 4.5. Landai Relatif Full Circle ... 95

Gambar 4.6. Lengkung S – C – S ... 98

Gambar 4.7. Diagram Superelevasi S – C – S ... 99

Gambar 4.8. Landai Relatif S – C – S ... 99

Gambar 4.9. Lengkung S – S ... 102

Gambar 4.10. Diagram Superelevasi S – S ... 103

Gambar 4.11. Landai Relatif S – S ... 103

Gambar 4.12. Kemiringan Melintang Normal ... 106


(13)

xiii

Gambar 4.16. Kemiringan Elevasi Dasar Saluran... 114 Gambar 4.17. Saluran Gorong-gorong... 115 Gambar 4.18. Dimensi Gorong-gorong... 117


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Jawa Timur merupakan salah satu propinsi terbesar di Indonesia,

dimana jumlah penduduknya mencapai 38 juta jiwa dan salah satu kota di Jawa

Timur adalah Kabupaten Tulungagung tepatnya di Kecamatan Durenan,

Bandung, dan Besuki dimana akan menjadi tujuan tempat pariwisata sehingga

dituntut untuk dapat memenuhi fasilitas yang diperluhkan disegala bidang

industri, ekonomi, jasa maupun pendidikan. Oleh sebab itu pembangunan fisik

perkotaan khususnya dibidang konstruksi jalan perlu ditingkatkan.

Pemenuhan kebutuhan konstruksi jalan tersebut tidak hanya dilihat

dari segi kuantitasnya akan tetapi juga dari segi kualitasnya. Dengan

ketersediaan dana yang terbatas, diperlukan adanya perencanaan yang baik dan

matang sebelum proyek konstruksi dikerjakan. Perhatian yang besar

dibutuhkan terhadap pengawasan mutu pekerjaan, penghematan anggaran biaya

dan pengendalian waktu pelaksanaan.

Salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya mencapai

fungsi-fungsi yang dikehendaki dengan biaya total dan hasil akhir yang optimal

adalah dengan metode konstruksi bertahap yang didasarkan atas konsep “sisa

umur” dimana perkerasan berikutnya direncanakan sebelum perkerasan

pertama mencapai keseluruhan “masa fatique”.

Di ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Durenan, Bandung,


(15)

kelandaian yang ada antara 0% - 2% , sebagaian besar alinyemen horizontal

yang ada merupakan alinyemen lurus, hanya pada Sta 180+850 dan Sta

181+050 terdapat tikungan tajam. Sebagian besar ruas jalan berada didaerah

terbuka/pertanian sebagian berada didaerah pemukiman padat dan daerah

komersial (pasar). Di sepanjang ruas jalan Sta 177+330 s/d 177+500 diapit dua

saluran yaitu saluran tersier dan saluran primer, sedangkan menurut

klasifikasinya jalan Durenan, Bandung, dan Besuki termasuk jalan kolektor

karena jalan ini melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri

perjalanan jarak sedang, kondisi lalu-lintas sepanjang ruas pada umumnya

relatif lancar, sedangkan yang relatif ramai adalah di sekitar daerah

perdagangan (pasar) dan cenderung akan meningkat setelah jalan lintas selatan

berfungsi dan menjadi daerah tujuan wisata.

Karena keterbatasan dana dari APBD, pemerintah daerah melakukan

pembangunan proyek jalan tersebut dengan bertahap, pada tahap I dikerjakan

antara 5 tahun dan tahap II dikerjakan antara 15 tahun. Dengan metode

konstruksi bertahap ini diharapkan umur yang direncanakan akan lebih panjang

dan biaya pembangunan relatif rendah karena direncanakan berlanjutan.

Oleh karena itu metode konstruksi bertahap sangat tepat digunakan

untuk menghemat biaya anggaran proyek jalan raya Durenan-Bandung-Besuki.

sehingga dana APBD yang terbatas dapat dihemat dan pembangunan


(16)

1.2. Permasalahan

Untuk merencanakan suatu jalan yang mampu memberikan

pelayanan lalu-lintas secara aman dan nyaman sesuai dengan umur rencana.

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Berapa tebal perkerasan lentur jalan yang mampu memikul beban yang

melintas diatasnya pada tahap I pada 5 tahun dan tahap II pada 15 tahun ?

2. Bagaimana merencanakan alinyemen jalan yang tepat, sehingga pemakai

jalan mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam berkendara ?

3. Bagaimana merencanakan dimensi saluran drainase yang tepat ?

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari perencanaan konstruksi jalan raya

Durenan-Bandung-Besuki adalah sebagai berikut :

1. Merencanakan tebal perkerasan dengan menggunakan petunjuk

perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode Analisa

Komponen SKBI 2.3.26.1987, dimana merencanakan perkerasan dengan

dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk 5 tahun, dan tahap kedua

dilakukan untuk 15 tahun.

2. Merencanakan alinyemen jalan yang tepat sehingga pemakai jalan

mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam berkendara.

3. Merencanakan dimensi saluran drainase yang tepat sesuai dengan SNI


(17)

1.4. Batasan Masalah

Agar dalam pembahasan masalah lebih terarah pada topik yang

dibahas dan tidak terjadi salah pengertian, maka diberikan batasan – batasan

pembahasan antara lain :

1. Perencanaan tebal perkerasan lentur jalan, dihitung dengan menggunakan

metode “ Bina Marga “

2. Penulisan disusun tanpa merencanakan alinyemen vertikal, karena

berdasarkan data dan survei lapangan lokasi berada di medan datar.

3. Penulisan disusun tanpa menghitung derajat kejenuhan.

4. Penulisan disusun dengan merencanakan drainase jalan raya menggunakan

SNI NO 008/BNKT/1990

5. Trase jalan mengikuti jalan yang sudah direncanakan

6. Penulisan disusun tanpa meninjau masalah ekonomi dan finansial

7. Penulisan disusun tanpa menghitung kestabilan lereng dan tembok

penahan.

8. Penulisan disusun tanpa memperhitungkan galian dan timbunan.

1.5. Manfaat

Adapun manfaat dari perencanaan konstruksi jalan raya

Durenan-Bandung-Besuki adalah sebagai berikut :

1. Untuk penghematan biaya konstruksi.

2. Agar konstruksi jalan dapat bertahan sesuai dengan perencanaan

3. Dapat menentukan perencanaan jalan dengan aman dan nyaman

4. Dapat menentukan desain tebal perkerasan pada pembangunan jalan


(18)

1.6. Peta Lokasi

Ruas jalan Durenan-Bandung-Besuki secara administratif termasuk

wilayah kabupaten Tulungagung, ruas jalan tersebut merupakan jalan

penghubung antara kecamatan Durenan, kecamatan Bandung, dan kecamatan

Besuki. Selain itu ruas jalan ini merupakan jalan penghubung antara kota

Tulungagung dengan dengan tempat Wisata Pantai Popoh.

Gambar 1.1. Peta lokasi Lokasi

Awal Proyek STA 171+550

Lokasi Akhir Proyek STA 182+350


(19)

Detail Peta


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Klasifikasi Jalan Raya 2.1.1. Umum

Jalan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang memiliki peranan penting terutama dalam mendukung kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan. Jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.

Menurut Klasifikasi dan fungsinya jalan dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Jalan Arteri

Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien

2. Jalan Kolektor

Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.


(21)

3. Jalan Lokal

Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Dalam hubungan perencanaan geometrik jalan ke tiga golongan jalan tersebut dibagi dalam kelas-kelas lalu lintas yang sangat diharapkan akan ada pada jalan tersebut.

2.1.2. Definisi, singkatan dan istilah.

1. Jalur rencana adalah salah satu jalur lalu lintas dari suatu sistim jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Umumnya jalur rencana adalah salah satu jalur dari jalan raya dua jalur tepi luar dari jalan raya berlajur banyak.

2. Umur Rencana (UR) adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak

jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru.

3. Indeks Permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk

menyatakan kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu litas yang lewat.

4. Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) adalah jumlah rata-rata lalu lintas kendaraan beroda 4 atau lebih yang di catat selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan.

5. Angkah Ekivalen (E) dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka


(22)

oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standart sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).

6. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) adalah jumlah lintas ekivalen harian

rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada awal umur pertama.

7. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana.

8. Lintas Ekivalen Tengah (LET) adalah jumlah lintas ekivalen harian

rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana.

9. Lintas Ekivalen Rencana (LER) adalah suatu besaran yang dipakai

dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana.

10. Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian

atau perrmukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainya

11. Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara


(23)

12. Lapis pondasi adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah).

13. Lapis Permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas.

14. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) adalah suatu skala yang dipakai

dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar.

15. Faktor Regional (FR) adalah factor setempat, menyangkut keadaan

lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan.

16. Index Tebal Perkerasan (ITP) adalah suatu angka yang berhubungan

dengan penentuan tebal perkerasan. 2.1.3. Menurut kelas jalan

1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya


(24)

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan.

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat

MST ( ton )

Arteri

I II III A

> 10 10

8

Kolektor III A

III B

8

Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya, DPU Hal 4

2.1.4. Menurut medan jalan.

1 Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar

kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.

2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi menurut medan jalan.

Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya, DPU Hal 5

3. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus

mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan ( 0 % )

1. 2. 3.

Datar Perbukitan Pegunungan

D B G

< 3 3 – 25 > 25


(25)

2.2. Lalu Lintas Jalan Raya.

Data lalu lintas adalah data utama yang diperlukan untuk perencanaan teknik jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung dari komposisi jalan yang akan menggunakan jalan pada suatu segmen jalan yang akan ditinjau.

Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar lajur pada satu jalur jalan dalam menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat) yang akan berpergaruh langsung pada perencanaan konstruksi perkerasan.

Analisis data lalu lintas pada intinya dilakukan untuk menentukan kapasitas jalan, akan tetapi harus dilakukan bersamaan dengan perencanaan geometrik dan lainnya, karena saling berkaitan satu sama lain.

Unsur lalu-lintas adalah benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas, sedangkan lalu lintas diatas roda disebut kendaraan dengan unit (kend).

2.2.1. Kendaraan Rencana.

1. Kendaraan Ringan / Kecil (LV)

Kendaraan Ringan / kecil adalah kendaraan bermotor ber as dua dengan empat roda dengan jarak as 2,0 – 3,0 (meliputi : mobil penumpang, oplet, mikrobus, pick up dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga) 2. Kendaraan Sedang (MHV)

Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 – 5,0 m (termasuk bus kecil, truk dua as dengan enam roda, sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)


(26)

3. Kendaraan Berat / Besar (LB – LT) a. Bus Besar (LB)

Bus dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0 m b. Truk Besar (LT)

Truk tiga gandar dan truk kombinasi tiga, jarak gandar (gandar pertama ke dua) < 3,5 m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

4. Sepeda Motor (MC)

Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

5. Kendaraan Tak Bermotor (UM)

Kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan (meliputi : sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

Tabel 2.3. Ketentuan Klasifikasi : Fungsi , Kelas beban, Medan

Dimensi kendaraan (cm) Tonjolan (cm) Radius putar Katagori

Kendaraan

Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min Max

Radius tonjolan

(cm)

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 1.20 90 290 1400 1370


(27)

2.2.2. Komposisi Lalu-lintas

Volume Lalu-lintas Harian Rata-rata (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu-lintas dinyatakan dalam smp/jam.

1. Satuan Mobil Penumpang (smp)

Satuan arus lalu-lintas dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp.

2. Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu-lintas ( untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp = 1,0 ).

3 Faktor (F)

Faktor F adalah variasi tingkat lalu-lintas per 15 menit dalam satu jam.

4. Faktor VLHR (K)

Faktor untuk mengubah volume yang dinyatakan dalam VLHR menjadi lalu-lintas sibuk.

5. Volume Jam Rencana (VJR)

VJR adalah prakiraan volume lalu-lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu-lintas, dinyatakan dalam smp/jam, dihitung dengan rumus :

VJR = VLRH x K ……… (2.1)


(28)

Dimana :

VJR = Volume jam Rencana

VLRH = Volume lalu-lintas Harian Rata-rata

K = Faktor VLHR

F = Faktor

VJR digunakan untuk menghituing jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu-lintas lainnya yang diperlukan.

Tabel 2.4. Penentuan Faktor – K dan faktor – F berdasarkan Volume lalu -lintas Harian Rata-rata

VLHR Faktor – K

( % )

Faktor – F ( % ) > 50.000

30.000 – 50.000 10.000 – 30.000

5.000 -10.000

1.0 - 5.000 < 1.000

4 – 6

6 – 8

6 – 8

8 – 10

10 – 12 12 -16

0,9 – 1

0 , 8 – 1

0 , 8 – 1

0,6 -0 ,8

0,6 -0 ,8

< 0,6

Sumber : Shirley L.Hendarsin Hal 67 6. Kapasitas (C)

Volume lalu-lintas maksimum (mantap) yang dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertntu (misalnya : rencana geometrik, lingkungan, komposisi lalu-lintas dan sebagainya).


(29)

2.2.3. Kecepatan rencana

VR adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih

sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu-lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. VR untuk masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari

tabel - 2.5.

Tabel 2.5. Kecepatan Rencana ( VR ) , sesuai klasifikasi fungsi dan

klasifikasi medan jalan

Kecepatan Rencana, VR, Km/jam

Fungsi

Datar Bukit Pegunungan

Arteri Kolektor

Lokal

70 -120 60 - 90 40 - 70

60 -80 50 - 60 30 - 50

40 -70 30 -50 20 -30

Sumber : Shirley L.Hendarsin Hal 68 2.3. Perencanaan Perkerasan Jalan 2.3.1. Umum

Perkerasan jalan adalah jenis konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar (Subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu-lintas. Jenis konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu : 1. Perkerasaan Lentur ( Flexible pavement ) dan


(30)

Perencanaan perkerasan adalah bagian dari perencanaan jalan yang mempunyai standar mutu yang tinggi sesuai dengan fungsinya artinya dapat menyediakan lapisan perkerasan jalan yang menjamin kekuatan dari kerataan

Perkerasan lentur ( flexible pavement ) yaitu konstruksi perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban roda ke tanah dasar. 2.3.2. Umur Rencana

Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan perbaikan yang bersifat struktural.

2.3.3. Lalu Lintas

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, menampung lalu lintas terbesar, jika jalan tidak mempunyai tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut daftar dibawah ini:


(31)

Tabel 2.6. Jumlah jalur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan (m) Jumlah Jalur (n)

L < 5,50 m 5,50 m ≤ L < 8,25 m 8,25 m ≤ L < 11,25 m 11,25 m ≤ L < 15,00 m 15,00 m ≤ L < 18,75 m 18,75 m ≤ L < 22,00 m

1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Jalur

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 8

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar dibawah ini

Tabel 2.7. Koefesian Distribusi Kendaraan ( C )

Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Jumlah

Lajur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah

1 Lajur 2 Lajur 3 Lajur 4 Lajur 5 Lajur 6 Lajur

1,00 0,60 0,40 - - -

1,00 0,50 0,40 0,30 0,25 0,20

1,00 0,70 0,50

- - -

1,00 0,50 0,475

0,45 0,425

0,40 Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode


(32)

2.3.4. Angka Ekivalen ( E ) Beban Sumbu Kendaraan

Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (tiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini:

Angka ekivalen sumbu tunggal :

4

8160 

 

BebansatusumbuTunggaldalamKg

………….. (2.2)

Angka ekivalen sumbu ganda :

0,086 x

4

8160 

 

BebansatusumbuGandadalamKg


(33)

Tabel 2.8. Angka Ekivalen ( E ) Beban Sumbu Kendaraan

Beban Satu Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 8160 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 2205 4409 6614 8818 11023 13228 15432 17637 18000 19841 22046 24251 26455 28660 30864 33069 35276 0,0002 0,0036 0,0183 0,0577 0,1410 0,2923 0,5415 0,9238 1,0000 1,4798 2,2555 3,3022 4,6770 6,4419 8,6647 11,4148 14,7815 - 0,0003 0,0016 0,0050 0,0121 0,00251 0,0466 0,0794 0,0860 0,1273 0,1940 0,2840 0,4022 0,5540 0,7452 0,9820 1,2712

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 10


(34)

2.3.5. Lalu lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen

Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median .

i. Menghitung Lintas Ekivalen Permukaan ( LEP )

LEP = C x LHR x E ……… (2.4)

ii. Menghitung Lintas Ekivalen Akhir ( LEA )

LEA = C x LHR x E ……… (2.5)

iii. Menghitung Lintas Ekivalen Tengah ( LET )

LET = ½ ( LEP + LEA ) ………. (2.6)

iv. Menghitung Ekivalen Rencana ( LER )

LER = LET x FP ………. (2.7)

FP =

10

UR

……… (2.8)

Dimana :

LHR = Lalu Lintas Harian Rata-rata

UR = Umur Rencana


(35)

2.3.6. Daya Dukung Tanah ( DDT ) dan Californa Bearing Ratio ( CBR )

Daya dukung tanah adalah suatu besaran yang dipakai dalam monogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Daya dukung tanah ini ditetapkan berdasarkan harga CBR yang

dipakai dilapangan dan dilaboratorium. Untuk lapis tambahan (overlay)

digunakan data CBR yang ada dilapangan, sedangkan untuk perencanaan jalan baru digunakan data CBR yang dilaboratorium.

Harga yang mewakili dari jumlah CBR yang dilaporkan ditentukan sebagai berikut :

a) Tentukan harga CBR terendah

b) Tentukan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari

masing – masing nilai CBR

c) Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 % jumlah lainnya

merupakan persentase dari 100 %

d) Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi

e) Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka 90 %

Penggunaan DDT pada nomogram mempunyai korelasi terhadap nilai CBR yang pada gambar


(36)


(37)

2.3.7. Faktor Regional

Dalam menentukan Faktor regional ( FR ) hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen kelandaian dan tikungan , persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan) sebagai berikut :

Tabel 2.9. Faktor Regional ( FR )

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 14

2.3.8. Indeks Permukaan ( IP )

Indeks Permukaan menyatakan nilai dari pada kerataan / kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.

Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut dibawah ini :

IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan

rusak berat sehingga sangat menggangu lalu lintas kendaraan

Kelandaian I ( < 6 % )

Kelandaian II ( 6 – 10 % )

Kelandaian III ( > 10 % ) % Kendaraan Berat

 30 % > 30 %  30 % > 30 %  30 % > 30 %

Iklim I

< 900 mm/th 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5

Iklim II


(38)

IP = 1,5 : adalah menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin ( Jalan tidak terputus )

IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih

mantap

IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup

stabil dan baik.

Dalam menentukan indeks permukaan ( IP ) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana ( LER ), menurut daftar dibawah ini :

Tabel 2.10. Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana ( Ipt ) Klasifikasi Jalan

LER

Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 10 – 100 100 – 1000

> 1000

1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0

-

1,5 1,5 – 2,0

2,0 2,0 – 2,5

1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5

2,5

- - - 2,5 Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode

Analisa Komponen, DPU Hal 15

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan ( kerataan / kehalusan serta kekokohan ) pada awal umur rencana, menurut tabel dibawah ini


(39)

Tabel 2.11. Indeks Permukaan Pada Awal Rencana ( Ipo ) Jenis Lapisan

Permukaan Ipo Roughness

( mm/km )

LASTON  4

3,9 – 3,5 > 1000 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0 

1000 > 1000

HRA 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0 

1000 > 1000

BURDA 3,9 – 3,5 < 2000

BURTU 3,4 – 3,0 < 2000

LAPEN 3,4 – 3,0

2,9 – 2,5 

3000 > 3000

LATASBUN 2,9 – 2,5 -

BURAS 2,9 – 2,5 -

LATASIR 2,9 – 2,5 -

JALAN TANAH  2,4 -

JALAN KERIKIL  2,4 -

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 16

2.3.9. Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan Relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai marshall test (untuk bahan dari aspal), kuat tekan (untuk bahan yang


(40)

distabilkan dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan pondasi bawah)

Jika alat marshall test tidak tersedia, maka kekuatan (stabilitas) bahan beraspal bisa diukur dengan cara lain seperti hveem test, Hubbart Field, dan Smith Triaxial .

Tabel 2.12. Koefisien Kekuatan Relatif ( a ) Koefisien Kekuatan

Bahan

Kekuatan Bahan a1 a2 a3 MS

(kg) Kt (kg/cm) CBR Jenis Bahan 0,40 0,35 0,32 0,30 - - - - - - - - 744 590 454 340 - - - - - - - - LASTON 0,35 0,31 0,28 0,26 - - - - - - - - 744 590 454 340 - - - - - - - - LASBUTAG 0,30 0,26 0,25 0,20 - - - - - - - - 340 340 - - - - - - - - - - HRA ASPAL MAKADAM LAPEN (mekanis ) LAPEN ( manual ) - - - 0,28 0,26 0,24 - - - 590 454 340 - - - - - - LASTON Atas - - 0,23 0,19 - - - - - - - -

LAPEN (mekanis ) LAPEN ( manual ) - - 0,15 0,13 - - - - 22 18 - -

Stabilitas tanah dengan Semen - - 0,15 0,13 - - - - 22 18 - -

Stabilitas tanah dengan Kapur - - - 0,14 0,13 0,12 - - - - - - - - - 100 80 60

Batu Pecah ( kelas A ) Batu Pecah ( kelas B ) Batu Pecah ( kelas C ) - - - - - - 0,13 0,12 0,11 - - - - - - 70 50 30

SIRTU/Pitrun ( kelas A ) SIRTU/Pitrun ( kelas B ) SIRTU/Pitrun ( kelas C )

- - 0,10 - - 20 Tanah / lempung

kapasiran

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 17


(41)

2.3,10. Perencanaan Tebal Lapisan Tambahan

Konstruksi jalan yang telah habis masa pelayanannya, telah mencapai indeks permukaan akhir, perlu diberikan lapisan tambahan untuk dapat kembali mempunyai kekuatan, tingkat keamanan, tingkat kekedapan air dan tingkat kecepatannya mengalirkan air.

Tujuan utama dari perencanaan tebal lapisan tambahan adalah untuk meningkatkan atau memperpanjang umur pelayanan jalan raya. Metode yang digunakan di indonesia adalah metode analisa komponen Bina Marga tentang pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya SKBI 2.3.26.1987, Dep. Pu Dirjen Bina Marga hal 20 bahwa untuk kondisi lapis permukaan atas terlihat crack sedang dan beberapa deformasi pada jalur roda diasumsikan kondisi jalan 60% akibat jumlah lalu-lintas melebihi permukaan semula.


(42)

Dimana dalam perencanaan adalah sebagaimana perencanaan jalan baru sebagaimana teori sebelumnya. Namun dalam perencanaan tebal lapisan tambahan ini dalam menentukan tebal lapisan tambahan meninjau tebal perkeraan pada jalan lama yang ada sekarang.

Tabel 2.13. Nilai kondisi Perkerasan Jalan Lapis Permukaan

 

1. Lapisan Permukaan :

Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi

Pada jalur roda ... 90 – 100 % Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda

Namun tetap stabil ... 70 – 90 % Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya Masih menunjukkan kestabilan ... 50 – 70 % Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda

Menunjukkan gejala ketidakstabilan ... 30 – 50 % 2. Lapis pondasi :

a. Pondasi aspal beton atau penetrasi macadam,

Umunya tidak retak ... 90 – 100 % Terlihat retak halus, namun masih

menunjukkan kestabilan ... 70 – 90 % Retak sedang, pada dasarnya masih

menunjukkan kestabilan ... 50 – 70 % Retak Banyak, menunjukkan gejala ketidakstabilan ... 30 – 50 % b. Stabilitas tanah dengan semen atau kapur

Indeks plastisitas ( Plasticity Indeks = PI ≤ 20 ) ... 70 – 100 % Pondasi macadam atau batu pecah :

Indeks plastisitas ( Plasticity Indeks = PI ≤ 6 ) ... 80 – 100 %

3. Lapisan Pondasi Bawah :

Indeks plastisitas ( Plasticity Indeks = PI ≤ 6 ) ... 90 – 100 % Indeks plastisitas ( Plasticity Indeks = PI < 6 ) ... 70 – 100 %

 

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 20


(43)

2.3.11. Penentuan Tebal Lapisan

Tebal perkerasan merupakan perkalian antara koefisien relative dengan tebal masing-masing lapisan perkerasan atau dapat ditulis dengan rumus dengan metode analisa komponen hal 21:

ITP = a1D1+a2D2+a3D3……… (2.9)

Dimana:

a = koefisien kekuatan relative bahan perkerasan. D = Tebal masing-masing lapis perkerasan.

Lapisan Permukaan

( Surface Course )

Lapisan Pondasi Atas

( Base course )

Lapisan Pondasi Bawah

( Subbase course )

Lapisan Tanah Dasar

( Subgrade course )

Gambar 2.2. Susunan Perkerasan Lentur 2.4. Tahap Perhitungan perencanaan perkerasan

Pada tahap perhitungan perencanaan ini hal-hal yang dilakukan adalah analisa komponen perkerasan dan metode konstruksi bertahap.

2.4.1. Analisa Komponen Perkerasan.

Perhitungan perencanaan ini didasarkan pada kekuatan relative masing-masing lapisan perkerasan jangka panjang, dimana penentuan tebal


(44)

perkerasan dinyatakan oleh ITP (indeks Tebal perkerasan ), dengan rumus sebagai berikut:

ITP = a1D1+a2D2+a3D3

Dimana:

a = koefisien kekuatan relative bahan perkerasan. D = Tebal masing-masing lapis perkerasan.

Tabel 2.14. Tebal Minimum Lapisan Permukaan

ITP Tebal

Minimum ( cm )

Bahan

< 3,00 3,00 – 6,70

6,71 – 7,49

7,50 – 9,99

 10

5

7,5

7,5 10

Lapisan pelindung, BURAS, BURTU / BURDA

LAPEN/Aspal makadam, HRA, Asbuton, LASTON

LAPEN/Aspal makadam, HRA, Asbuton, LASTON

Asbuton, LASTON LASTON

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, DPU Hal 18


(45)

Tabel 2.15. Tebal Minimum Lapisan Pondasi

ITP Tebal Minimum

( cm ) Bahan

< 3,00

3,00 – 7,49

7,90 – 9,99

10,00 12,24

 12,15

15

20

10 20

15 20

25

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur

LASTON ATAS

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi makadam

LASTON ATAS

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, LAPEN, LASTON ATAS

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi makadam, LAPEN,

LASTON ATAS Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan lentur Jalan Raya dengan metode

Analisa Komponen, DPU Hal 19 2.4.2. Metode Konstruksi Bertahap

Metode perencanaan konstruksi bertahap didasarkan atas konsep “sisa umur” . Perkerasan berikutnya direncanakan sebelum perkerasan pertama mencapai keseluruhan “masa fatique”. Untuk itu tahap diterapkan bila jumlah kerusakan (cumulative damage) pada tahap pertama mencapai 60%.


(46)

Untuk demikian ketentuan diatas maka dipilih waktu tahap pertama antara 25% - 50% dari waktu keseluruhan Misalnya ; UR = 20 tahun maka tahap 1 antara 5 – 10 tahun.

i. Jika pada akhir pada tahap I tidak ada sisa umur (sudah mencapai fatique,

misalnya timbul rentak), maka tebal perkerasan tahap 1 didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER1.

ii. Jika pada akhir tahap II diinginkan adanya sisa umur 40% maka pekerjaan

tahap I perlu ditebalkan dengan memasukkan lalu lintas sebesar x LER1.

iii. Dengan anggapan sisa umur linier dengan sisa lalu lintas, maka: x LER1 = LER1 + 40 % x LER1 ……….. (2.10)

(tahap I plus) (tahap I) (sisa tahapI) Diperoleh x = 1,67

iv. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur maka tebal perkerasan tahap II didapat dengan memasukan lalu lintas sebesar x LER2.

v. Tebal perkerasan tahap I + II dengan memasukan lalu lintas sbesar y LER2.

Karena 60 % y LER2 sudah dipakai pada tahap I, Maka:

xLER2 = 60 % y LER1 + 40 % x LER1 ………. (2.11)

(tahap I + II) (tahap I) (sisa tahap I) Diperoleh y = 2.5


(47)

vi. Tebal perkerasan tahap II diperoleh dengan mengurangkan tebal perkerasan tahap I + II (lalu lintas y LER2) terhadap tebal perkerasan I (lalu lintas x

LER1)

vii. Keuntungan melaksanakan konstruksi perkerasan jalan secara bertahap adalah: 1. Biaya pelaksanaan dapat disediakan bertahap

2. Penyesuaian desain akibat terjadinya beban lalu-lintas yang berbeda dengan perkiraan pada tahap desain,dapat dilakukan pada tahap kedua. 3. Perbaikan akibat adanya kelemahan setempat pada pelaksanaan dapat

diperbaiki terlebih dahulu sebelum tahap kedua dilaksanakan. 2.5. Perencanaan Geometrik

Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan route dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survei lapangan dan telah dianalisis, serta mengacu pada ketentuan berlaku.

1. Kelengkapan dan data dasar yang harus disiapkan sebelum mulai

melakukan perhitungan / perencanaan, yaitu :

a Peta planimetri dan peta-peta lainnya (geologi dan tata guna lahan) b Kriteria Perencanaan.

2. Ketentuan jarak pandang dan beberapa pertimbangan yang diperlukan

sebelum memulai perencanaan, selain didasarkan pada teoritis, juga untuk praktisnya.

3. Elemen dalam perencanaan geometrik jalan, yaitu : a Alinemen Horizontal (situasi / plan).


(48)

b Alinemen vertikal (potongan memanjang / profile). c Potongan melintang (cross section).

d Penggambaran.

2.5.1. Alinyemen Horizontal 1. Umum

Alinyemen horisontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung ( disebut juga tikungan ). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR. Untuk keselamatan pemakai

jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus diperhitungkan.

2. Bagian Lurus

Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan,

ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 2.16.

Tabel 2.16. Panjang Bagian Lurus Maksimum.

Panjang Bagian Lurus Maximum Fungsi

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500


(49)

3. Tikungan

A. Bentuk bagian lengkung dapat berupa: a Spiral-Circle-Spiral ( S-C-S )

b Full Circle ( FC ) dan c Spiral-Spiral ( S-S ) B. Jari-Jari Tikungan

Jari - jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:

R

min

=

………... (2.13)

Di mana :

Rmin = Jari jari tikungan minimum (m)

VR = Kecepatan Rencana ( km/j)

emax = Superelevasi maximum ( % )

F = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal ( f = 0,14 - 0,24 ). Tabel 2.17. Panjang Jari-jari minimum untuk menetapkan Rmin.

VR, (

km/jam )

120 100 80 60 50 40 30 20

Jari – jari minimum

( m )

600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber : Shirley L.Hendarsin Hal 95 C. Bentuk Busur Lingkaran (FC)

FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R


(50)

(jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.

Tabel 2.18. Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan.

VR (

km/jam )

120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin ( m ) 2500 1500 900 500 350 250 130 60

Sumber : Shirley L.Hendarsin Hal 96

Gambar 2.3. Komponen FC (Full Circle) Keterangan :

Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT

O = Titik pusat lingkaran

PI = Nomor stasiun

Rc = Jari-jari lengkung (m)

Lc = Panjang busur lingkaran

∆ = Sudut tikungan

CT TC

PI TC

O

Rc Rc

Lc Ec


(51)

Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m) Rumus yang digunakan :

Tc = Rc . Tg .1/2  ... (2.14) Ec = T . Tg . 1/4  ... (2.15)

0 360

. .

2 Rc

Lc    ... (2.16)

D. Lengkung Peralihan

Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara

bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R berfungsi mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.

Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral ( clothoid ). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral.

Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan bahwa: 1. Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi

untuk menghindarkan kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik ( pada kecepatan VR )

2. Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur - angsur pada lengkung peralihan dengan aman, dan


(52)

3. Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-max yang ditetapkan sebagai berikut:

untuk VR≤ 70 km/jam, re-max =0.035 m/m/detik,

untuk VR ≤ 80km/jam, re-maz =0.025 m/m/detik.

Gambar 2.4. Komponen S-C-S

Keterangan : Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik Ts ke titik SC.

Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke SC lengkung.

Ls = Panjang busur lingkar.

Ts = Titik dari tangen ke spiral. SC = Titik dari spiral ke lingkaran.

θs = Sudut lengkung spiral

Rc = Jari-jari lingkaran

P = Pergeseran tangen terhadap spiral.

K = Absis dan P pada garis tangen spiral.

Rco

CS

Δ

Δ

ST TS

SC X

P Ts

Xs K


(53)

Persamaan yang dipakai pada lengkung spiral –circle-spiral.

2

3 . 40 1 C S R L Ls

Xs   ... (2.17)

Rc Ls Ys

6

2

 ... (2.18)

Rc Ls s

  90 ... (2.19)

s

    2 ... (2.20)

R e

Lc  2 

360

 ... (2.21)

Rc P

Tg k

Ts    

2

1 ... (2.22)

Rc P

R

Es     2 1

cos ... (2.23)

s Rc

Rc Ls Ls

K sin 

40 2

3

 

 ... (2.24)

s

Rc Rc Ls

P 1 cos 

6

2

 ... (2.25)

L tot = Lc + 2 Ls ... (2.26)

Jika diperoleh Lc < 25 m maka sebaiknya tidak digunakan bentuk spiral-circle-spiral tetapi digunakan lengkung spiral-spiral yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung peralihan.

Jika p yang dihitung dengan rumus ( 2.6k ), maka ketentuan tikungan yang digunakan S – C – S

Rc Ls P

24

2


(54)

E. Bentuk Lengkung peralihan (S – S)

Bentuk tikungan jenis ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Rumus-rumus yang digunakan seperti pada perhitungan tikungan Spiral-Circle-Spiral tetapi dengan cara menghilangkan panjang circlenya.

0

C sehingga C 2S dan Lc = 0

L = 2 L’S dimana L’S = S S

S C

L L

 . 2

Rc L

YC S

. 6

2

 dan 2

3 . 40 '

C S S

C

R L L

X  

p = YC – RC ( 1 – cos ½ ∆ ) ……….. (2.28)

k = XC – RC sin ½ ∆ ... (2.29)

Selanjutnya harga TS dan ES dihitung :

TS = ( R + p ) tg ½ ∆ + k ... (2.30)

ES = ( R + p ) sec ½ ∆ - R ... (2.31)

Gambar 2.5. Komponen S – S

R PT

Δ

Δ

ST TS

PC P

X R

TS

Xc

K

E SCS


(55)

F. Pencapaian Superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pads kecepatan VR,

Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.

Gambar 2.6. Perubahan kemiringan melintang pada tikungan

1. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang

normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung.

2. Pada tikungan S-C-S, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 2.8.), diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).

PI

CS

SC

TS

SLe

ST

SLe

en en

en

en n

n

e

Superelevasi, e

datar

Ls

Le

Busur Ling.


(56)

3. Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear

(lihat Gambar 2.7.), diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS

sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS.

4. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan

pada bagian spiral.

G. Landai relatif

Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Persentase kelandaian ini disesuaikan dengan kecepatan rencana dan jumlah lajur yang ada.

H. Diagram Superelevasi

Adalah penggambaran dari pencapaian superelevasi dari lereng normal kesuperelevasi penuh, sehingga dengan menggunakan diagram superelevasi bisa ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik disuatu lengkung horizontal yang direncanakan.

1. Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Full Circle Tipe tikungan full circle ini tidak memiliki lengkung peralihan, tetapi didalam pelaksanaannya masih dapat diperlukan suatu lengkung peralihan fikti (Ls) dimana


(57)

3

4 bagian akan berada pada daerah tangen, sedangkan 1⁄ 4

bagian lainnya berada pada busur lingkaran.

Gambar 2.7. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Full Circle

2. Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Spiral -Circle - Spiral

Pada sistem superelevasi tikungan Spiral-Circle–Spiral

ini, kemiringan dari en ke emaks dilakukan sepenuhnya

dibagian spiral, sedang pada bagian busur lingkaran menerima kemiringan maksimum sepenuhnya.

TC CT

emaks

BAGIAN LURUS BAGIAN LENGKUNG PENUH

LC

Sisi luar tikungan

Sisi dalam tikungan

enormal BAGIAN

LURUS

e = 0%

Ls Ls


(58)

Gambar 2.8. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Spiral – Circle – Spiral

3. Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Spiral - Spiral

Pada system superelevasi ini pencapaian kemiringan dari en ke emaks dilakukan pada permulaan lengkung sampai

kepertengahan lengkung, sehingga emaks hanya terdapat pada

pertengahan lengkung

Ls Ls

emaks

BAGIAN LENGKUNG PENUH LC

Sisi dalam tikungan

BAGIAN LURUS

e = 0%

TS SC CS ST

Sisi luar tikungan

BAGIAN LENGKUNG PERALIHAN

BAGIAN LENGKUNG PERALIHAN


(59)

SC = CS Sisi luar tikungan

TS

Sisi dalam tikungan

ST

BAGIAN LENGKUNG BAGIAN LENGKUNG

BAGIAN LURUS

e = 0%

enormal

Gambar 2.9. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe Spiral-Spiral

I. Pelebaran Tikungan

Pelebaran perkerasan atau jalur lalu-lintas ditikungan,

dilakukan untuk mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda belakang yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.

Penentuan lebar pelebaran jalur lalu-lintas tikungan ditinjau

dari elemen-elemen : keluar lajur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.


(60)

Besarnya pelebaran perkerasan ini tergantung pada dimensi standar kendaraan rencana yang akan melaluinya, jari-jari tikungan dan kecepatan rencana. Dengan menggunakan grafik dapat ditentukan lebar perkerasan yang harus ditambahkan kearah dalam. Rumus untuk menghitung lebar perkerasan adalah sebagai berikut :

B = ( b’ + c ) + ( n – 1 ) Td + z ... (2.32) Dimana :

B = Lebar perkerasan pada tikungan ( m ) n = Jumlah jalur lalu lintas

b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan ( m ) Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan ( m )

z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi ( m )

c = Kebebasan samping = 0,8 ( m )

Sehingga besarnya pelebaran pada tikungan adalah :

B’’ = B – B’ ... (2.33)

Dimana:

B’’ = Pelebaran ditikungan ( m )

B = Lebar perkerasan ditikungan ( m )

B’ = Lebar perkerasan dibagian tangen ( m )

Bila lebar B’ > B, maka tikungan yang bersangkutan tidak memerlukan pelebaran tikungan. Hal ini dapat terjadi pada tikungan – tikungan dengan jari- jari besar (R < 1200 m) serta untuk sudut tangen kecil (∆ > 10 0).


(61)

Rumus diatas tersebut hanya berlaku bila 1000/ R < 6, untuk harga R kurang dari 167 m maka pelebaran ditikungan ditetapkan sebesar 0,6 m.

Tabel 2.19. Pelebaran di tikungan per lajur ( m ) untuk lebar jalur 2 x ( B ) m

Kecepatan Rencana , VR ( km / jam )

R ( m )

50 60 70 80 90 100 110 120 1500 1000 750 500 400 300 250 200 150 140 130 120 110 100 90 80 70 0,0 0,0 0,0 0,2 0,3 0,3 0,4 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,3 0,4 0,5 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8 0,0 0,1 0,1 0,3 0,4 0,4 0,5 0,8 0,0 0,1 0,1 0,4 0,4 0,5 0,6 0,0 0,1 0,1 0,4 0,5 0,5 0,0 0,1 0,2 0,5 0,5 0,0 0,2 0,3 0,5 0,1 0,2 0,3


(62)

2.6. Perencanaan Drainase

Salah satu aspek terpenting dalam perencanaan jalan raya adalah melindungi jalan dari air permukaan dan air tanah. Drainase merupakan satu faktor terpenting dalam perencanaan pekerjaan jalan. Drainase jalan adalah satu usaha pengeringan atau pembuangan air dari daerah milik jalan, supaya tidak terjadi genangan air yang dapat menyebabkan konstruksi jalan mengalami kehancuran.

Sistem drainase yang baik sangatlah penting dalam upaya pembuangan air pada permukaan air pada permukaan jalan terutama bagi keselamatan kendaraan dan umur perkerasan. Drainase yang kurang baik akan menimbulkan genangan air pada permukaan perkerasan yang dapat membahayakan kendaraan dan mengakibatkan kerusakan pada perkerasan, kemudian tujuan drainase itu sendiri adalah untuk mengalirkan air pada permukaan jalan agar tidak menimbulkan genangan air.

Pada penampang melintang jalan normal perkerasan jalan dibuat miring keluar dengan tujuan agar air hujan yang jatuh di permukaan jalan dapat mengalir ke drainase dengan cepat. Besarnya kemiringan melintang normal untuk perkerasan dan bahu jalan seperti pada tabel 2.20

Tabel 2.20. Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan

No Jenis Lapisan Permukaan Jalan Kemiringan Melintang Normal 1

2 3 4

Beraspal, Beton Japat Kerikil

Tanah

2 % - 3 % 4 % - 6 % 3 % - 6 % 4 % - 6 % Sumber : Diktat Rekayasa Jalan Raya II, oleh Djoko Sulistiono


(63)

Fungsi Drainase Permukaan

Sistem drainase permukaan pada konstruksi jalan raya pada umumnya berfungsi sebagai berikut:

1. Mengalirkan air hujan/air secepat mungkin keluar dari permukaan

jalan dan selanjutnya dialirkan lewat saluran samping; menuju saluran pembuang akhir.

2. Mencegah aliran air yang berasal dari daerah pengaliran disekitar

jalan masuk ke daerah perkerasan jalan.

3. .Mencegah kerusakan lingkungan di sekitar jalan akibat aliran air.

Sistem Drainase Saluran Samping

Pada perencanaan drainase saluran samping dipergunakan / direncanakan untuk mengumpulkan dan menyalurkan air dari permukaan jalan dan daerah sekitarnya.

Gambar 2.10 Drainase Saluran Samping

Bahu jalan Perkerasan jalan Bahu jalan


(64)

Menentukan Debit Aliran

Untuk merencanakan saluran drainase diperlukan data debit air yang akan dilayani oleh saluran tersebut. Faktor untuk menentukan debit aliran antara lain :

1. Curah hujan maksimum

Curah hujan maksimum yang akan diperhitungkan dalam desain drainase, dihitung dengan rumus sebagai berikut :

t n

N X

T Y Y

S S X

X    ... (2.34)

Keterangan :

XT = Besar curah hujan untuk periode ulang T tahun ( mm/24jam )

X = Nilai rata-rata aritmatika hujan kumulatif SX = Standar deviasi

Sn = Standar deviasi merupakan fungsi dari n Yt = Variasi yang merupakan fungsi periode ulang Yn = Nilai yang tergantung pada n

I = Intensitas curah hujan ( mm/jam )

Tabel 2.21. Variasi Yt

Periode Ulang (Tahun) Variasi yang Berkurang 2

5 10 25 50 100

0,3665 1,4999 2,2502 3,1985 3,9019 4,6001 Sumber : SNI – 03 – 3424 – 1994


(65)

Tabel 2.22. Nilai Yn

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 20 30 40 50 60 70 80 90 0,4952 0,5225 0,5362 0,5436 0,5485 0,5521 0,5540 0,5569 0,5586 0,4996 0,5252 0,5371 0,5422 0,5489 0,5534 0,5552 0,5570 0,5587 0,5035 0,5268 0,5380 0,5448 0,5493 0,5527 0,5555 0,5572 0,5589 0,5070 0,5283 0,5388 0,5453 0,5497 0,5530 0,5555 0,5574 0,5591 0,5100 0,5296 0,5402 0,5458 0,5501 0,5533 0,5557 0,5576 0,5592 0,5128 0,5309 0,5402 0,5463 0,5504 0,5535 0,5559 0,5578 0,5593 0,5157 0,5320 0,5410 0,5468 0,5508 0,5538 0,5561 0,5580 0,5595 0,5181 0,5332 0,5418 0,5473 0,5511 0,5540 0,5563 0,5581 0,5596 0,5202 0,5343 0,5424 0,5477 0,5519 0,5543 0,5565 0,5583 0,5598 0,5220 0,5353 0,5432 0,5481 0,5518 0,5545 0,5587 0,5585 0,5599 Sumber : SNI – 03 – 3424 – 1994

Tabel 2.23. Nilai Sn

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 20 30 40 50 60 70 80 90 0,9496 0,0628 0,1124 0,1413 0,1607 0,1747 0,1859 0,1936 0,2007 0,9676 1,0696 1,1159 1,1436 1,1623 1,1759 1,1863 1,1945 1,2013 0,9833 1,0696 1,1159 1,1436 1,1623 1,1759 1,1863 1,1945 1,2020 0,9971 1,0811 1,1226 1,1480 1,11658 1,1782 1,1881 1,1959 1,2026 1,0095 1,0864 1,1255 1,1499 1,1667 1,1793 1,1890 1,1967 1,2023 1,0206 1,0915 1,1285 1,1519 1,1681 1,1803 1,1898 1,1973 1,2038 1,0316 1,0961 1,1313 1,1538 1,1698 1,1814 1,1908 1,1980 1,2044 1,0411 1,1004 1,1339 1,1557 1,1708 1,1824 1,1915 1,1987 1,2049 1,0493 1,1047 1,1363 1,1574 1,1721 1,1834 1,1923 1,1994 1,2055 1,0566 1,1088 1,1389 1,1590 1,1734 1,1844 1,1930 1,2001 1,2060 Sumber : SNI – 03 – 3424 – 1994

2. Intensitas Hujan

Intensitas hujan diperoleh dari garis lengkung intensitas hujan rencana, dengan cara menempatkan harga intensitas hujan ( mm/jam ), pada waktu konsentrasi 240 menit dan kemudian tarik garis lengkung yang searah dengan garis lengkung basis.

4 %.

90 XT


(66)

3. Daerah Pengaliran

Menentukan panjang daerah pengaliran, kemudian tentukan kondisi permukaan berikut koefisien hambatan ( nd )

Gambar 2.11. Batas Daerah Pengaliran

Keterangan :

L = Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan ( L1 + L2 + L3 )

L1 = Ditetapkan dari as jalan sampai bagian tepi perkerasan

L2 = Ditetapkan dari tepi perkerasan yang ada sampai tepi bahu jalan

L3 = Tergantung dari keadaan daerah setempat dan maksimum 100 meter

Tabel 2.24. Hubungan Kondisi Permukaan dengan Koefisien Hambatan

Kondisi Lapisan Permukaan nd

1. Lapisan semen dan aspal beton 2. Permukaan licin dan kedap air 3. Permukaan licin dan kokoh

4. Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar

5. Padang rumput dan rerumputan 6. Hutan gundul

7. Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampai rapat

0,013 0,020 0,10 0,20 0,40 0,60 0,80 Sumber : SNI – 03 – 3424 – 1994

L1 ( m ) L2 ( m )


(67)

4. Kecepatan Aliran ( V )

Menentukan kecepatan aliran ( V ), yang menjelaskan kecepatan yang diijinkan untuk beberapa jenis bahan bangunan selokan samping.

Tabel 2.25. Kecepatan Aliran yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material Jenis Bahan Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan

( m/det) Pasir halus

Lempung kepasiran Lanau aluvial Kerikil halus Lempung kokoh Lempug padat Kerikil kasar Batu-batu besar Pasangan batu Beton bertulang

0,45 0,50 0,60 0,75 1,10 1,20 1,50 1,50 150 1,50 Sumber : SNI 03 – 3424 – 1994

5. Waktu Konsentrasi ( Tc )

Hitung waktu konsentrasi dengan rumus sebagai berikut :

167 , 0

1 .3,28 )

3 2 (

s nd Lo

t  ... (2.36)

V L t

60

2  ... (2.37)

2

1 t

t

Tc   ………... (2.38)

Dimana:

Tc = Waktu konsentrasi (menit) t1 = Waktu inlet (menit)

t2 = Waktu aliran (menit)


(68)

L = Panjang saluran

nd = Koefisien hambatan (tabel 2.25) s = Kemiringan daerah pengaliran

V = Kecepatan air rata-rata diselokan (m/det)

6. Intensitas Hujan Rencana ( I )

Diperoleh dengan cara menempatkan harga ( Tc ) pada waktu konsentrasi di kurva basis kemudian tarik garis lurus keatas sampai memotong garis lengkung intensitas hujan rencana dan tarik garis lurus sampai memotong garis intensitas hujan ( mm/jam )

7. Koefisien Aliran ( C )

Tentukan sesuai dengan kondisi. Permukaan koefisien aliran adalah suatu koefisien yang menunjukkan perbandingan antara besarnya jumlah air yang di alirkan oleh suatu permukaan jumlah air yang ada.

Apabila daerah pengaliran terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda, harga C rata-rata ditentukan dengan persamaan:

... ... 3

2 1

3 3 2 2 1 1

 

  

 

A A A

A C A C A C

C ...(2.39)

Keterangan :

C1,C2,C3 = Koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan

A1,A2,A3 = Luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi


(69)

Untuk Menghitung Debit Aliran Air ( Q ) menggunakan rumus :

A I C

Q . .

6 , 3

1

 ... (2.40)

Dimana :

Q = Debit aliran air (m3/detik ) C = Koefisien pengaliran I = Intensitas hujan ( mm/jam ) A = Luas daerah pengaliran ( km2 )

Tabel 2.26. Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C) Kondisi permukaan tanah Koefisien pengaliran (C)

1. Jalan beton dan jalan aspal 2. Jalan kerikil dan jalan tanah 3. Bahu jalan

- Tanah berbutir halus - Tanah berbutir kasar - Batuan masif keras - Batuan masif lunak 4. Daerah perkotaan 5. Daerah pinggir kota 6. Daerah industri

7. Pemukiman padat

8. Pemukiman tidak padat

9. Taman dan kebun

10. Persawahan 11. Perbukitan 12. pegunungan

0,70 – 0,95 0,40 – 0,70 0,40 – 0,65 0,10 – 0,20 0,70 – 0,85 0,60 – 0,75 0,70 – 0,95 0,60 – 0,70 0,60 – 0,90 0,40 – 0,60 0,40 – 0,60 0,20 – 0,40 0,45 – 0,60 0,70 – 0,80 0,75 – 0,90 Sumber : SNI 03 – 3424 – 1994

8. Perencanaan Dimensi Saluran Drainase

Tentukan jenis lapisan yang digunakan pada saluran drainase, maka akan didapatkan kecepatan ( V ) ijin saluran.


(70)

Tabel 2.27. Hubungan Debit Aliran Air dan Kemiringan Talud

Debit (Q) m3/det Kemiringan talud

0 – 0,75 0,75 – 15

15 - 80

1 : 1 1 : 1,5 1 : 2 Sumber : SNI 03 – 3424 – 1994

9. Dimensi saluran drainase dicari dengan menggunakan persamaan :

V Q

Fd  ... (2.41)

Dimana :

Fd = Penampang basah saluran ( m2 ) Q = Debit air di saluran drainase ( m3/dt )

V = Kecepatan air di saluran drainase ( m/dt )

2.6.1. Penampang Basah Selokan Samping

Penampang basah selokan samping dihitung berdasarkan : Saluran bentuk trapesium

Gambar 2.12. Saluran Trapesium b

d


(71)

Syarat 1 2

2 2

 

d d m

b

Rumus penampang basah saluran )

.

(b m d

d

Fd   ………... (2.42)

Dimana:

Fd = Luas penampang basah saluran (m2) d = Tinggi saluran (m)

b = Lebar saluran (m)

m = Kemiringan lereng saluran / talud

Rumus Keliling basah:

P = b + 2 d m2 1 ………... (2.43)

Dimana:

P = Keliling basah (m) b = Lebar saluran (m) d = Tinggi saluran (m)

m = Kemiringan lereng saluran / talud

Rumus Jari-jari hidrolik:

p Fd


(72)

Dimana:

R = Jari-jari hidrolik (m)

Fd = Luas penampang basah (m2) P = Keliling basah (m)

a. Hitung tinggi jagaan (w) selokan samping

w = 0,5d (m) ………... (2.45)

b. Hitung kemiringan selokan samping

2 1 3

2

. . 1

i R n

V  ………... (2.46)

2 3 /

2 )

. (

R n V i


(73)

Tabel 2.28. Koefisien Kekasaran Manning ( n )

No Tipe Saluran Baik sekali Baik Sedang Jelek 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. SALURAN BUATAN Saluran tanah, lurus teratur Saluran tanah yang dibuat dengan excavator

Saluran pada dinding batuan, lurus teratur

Saluran pada dinding batuan, tidak lurus, tidak teratur

Saluran batuan yang diledakkan, ada tumbuh – tumbuhan

Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu

Saluran lengkung, dengan kecepatan aliran rendah

SALURAN ALAM

Bersih, lurus, tidak berpasir, tidak berlubang

Seperti no.8, tetapi ada timbunan atau kerikil

Melengkung, bersih, berlubang dan berdinding pasir

Seperti no.10, dangkal, tidak teratur Separti no.10, berbatu dan ada tumbuh – tumbuhan

Seperti no.11, sebagian berbatu Aliran pelan, banyak tumbuh – tumbuhan dan berlubang Banyak tumbuh – tumbuhan SALURAN BUATAN, BETON ATAU BATU KALI

Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian

Seperti no.16, tetapi dengan penyelesaian

Saluran beton

Saluran beton halus dan rata

Saluran beton pracetak dengan acuan baja

Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,017 0,023 0,020 0,035 0,025 0,028 0,020 0,025 0,030 0,033 0,040 0,035 0,045 0,050 0,075 0,025 0,017 0,014 0,010 0,013 0,015 0,020 0,028 0,030 0,040 0,030 0,030 0,025 0,028 0,033 0,035 0,045 0,040 0,050 0,060 0,100 0,030 0,020 0,015 0,011 0,014 0,016 0,023 0,030 0,033 0,045 0,035 0,033 0,028 0,030 0,035 0,040 0,050 0,045 0,055 0,070 0,125 0,033 0,025 0,019 0,012 0,014 0,016 0,025 0,040 0,035 0,045 0,040 0,035 0,030 0,033 0,040 0,045 0,055 0,050 0,060 0,080 0,150 0,035 0,030 0,021 0,013 0,015 0,018 Sumber : SNI 03 – 3424 – 1994


(74)

2.6.2. Sistem Drainase Gorong – gorong

Gorong – gorong salah satu sistem drainase jalan yang berfungsi untuk mengalirkan air dari bagian atas dari pada jalan keseberang jalan menuju bagian yang lebih rendah.

Pada perencanaan jalan diisi gorong – gorong dengan menggunakan bentuk lingkaran yang perencanaannya terbuat dari beton. Perencanaan landasan gorong – gorong dibuat atau digunakan pondasi pasangan batu kali. Perhitungan perencanaan gorong – gorong lingkaran :

 = 4,5 radial d = 0,80 D

F = 1/8 ( - sin  ) D2 P = 2r

R = P F

Gambar 2.13. Gorong – gorong bentuk lingkaran Keterangan :

 = Besarnya sudut dalam radial

d = Tinggi selokan tergenang air ( m )

P = Luas penampang basah ( m2 )

D = Garis tengah selokan berbentuk lingkaran

r = Jari – jari lingkaran ( m )

D


(75)

2.7. Analisa Regresi

Analisa regresi digunakan terutama untuk tujuan peramalan, dimana dalam model ini terdapat dua variabel yaitu variabel dependent (tidak bebas) dan variabel independent (bebas). Dalam analisa regresi dapat dinyatakan dalam bentuk matematis yang menyatakan hubungan fungsional antara variabel-variabelnya. Bentuk umum dari persamaan regresi linier adalah sebagai berikut :

Y = a + bx ... (2.47) Dimana :

a.b = koefesien regresi

n = jumlah data pengamatan x = variabel bebas

y = variabel tidak bebas

dengan nilai a dan b sebagai berikut:

n x b y

a    ... (2.48)

2 2 ) ( ) ( x x n y x xy n b         

 ... (2.49)

Dan koefesien korelasi (r) sebagai berikut :

2 2

2

2) ( ) ( )

( ) ( y y n x x n y x xy n r              

... (2.50)

Harga r berkisaran antara -1 sampai 1. Bila harga r =1 atau r = -1, berarti hubungan antara x dan y sangat kuat atau persamaan diatas dapat dipakai, sedangkan bila harga r = 0 berarti persamaan diatas tidak layak.


(1)

Syarat perencanaan d = 0,80 . D2

F =1/8 ( θ – sin θ ) D2 Ø = 4,5 radial

Data:

Q saluran : 0,45 m3/dtk V saluran :1,50 m/dtk

V pada gorong – gorong direncanakan : 0,40 m/dtk A = gorong gorong pada V saluran Q  = dtk m dtk m / 40 , 0 / 45 , 0 3

= 1,13 m2 D = *A = 2

4 xD  *D2 =

A 4 *D =  A 4 =  ) 13 , 1 ( 4

= 1,2 m

t = (0,01 . 0,03 ) 10

1

m d s

xD direncanakan 0,02 m

= (1,2) 0,02 10

1

x


(2)

= 0,12 + 0,02 = 0,14 m

T = 0,2 s.d 0,3 m direncanakan 0,25 m S = (0,3 s.d 0,45m) + D + (0,3 s.d 0,4 m)

= 0,375 + 1,2 + 0,375

=1,95 m

d = 0,80 . D2 = 0,80 . 1,2 = 0,96 m

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka diperoleh nilai dimensi gorong – gorong pada Sta 180+900 adalah :

Gambar 4.18. Dimensi gorong – gorong S = 1,95 m

T = 0,25 m D

t = 0,14 m

= 1,2 m d = 0,96 m


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari perhitungan perencanaan perkerasan lentur ruas jalan Durenan-Bandung-Besuki dapat disimpulkan :

Penentuan susunan perkerasan sebagai berikut : a. Untuk tahap I umur rencana 5 tahun :

- Lapis permukaan, Laston MS 744 dengan tebal 10 cm - Lapis pondasi atas, batu pecah kelas A dengan tebal 15 cm - Lapis pondasi bawah, sirtu kelas A dengan tebal 20 cm b. Untuk tahap II umur rencana 5+15 tahun :

- Lapis permukaan, Laston MS 744 dengan tebal 20 cm - Lapis pondasi atas, batu pecah kelas A dengan tebal 15 cm - Lapis pondasi bawah, sirtu kelas A dengan tebal 20 cm

2. Perencanaan Geometrik Jalan untuk kenyamanan berkendara.

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 172 + 550 sebagai berikut :  Tipe Full Circle dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 1100 m


(4)

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 172 + 700 sebagai berikut :  Tipe Full Circle dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 1000 m

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 173 + 150 sebagai berikut :  Tipe Full Circle dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 1200 m

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 177 + 300 sebagai berikut :  Tipe S – S dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 300 m

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 177 + 500 sebagai berikut :  Tipe S - S dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 350m

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 180 + 150 sebagai berikut :  Tipe S – C - S dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 800 m


(5)

 Kontrol alinyemen horisontal pada STA 180 + 775 sebagai berikut :  Tipe S – C - S dengan :

- V = 70 km/jam - Rc = 700m 3. Perencanaan Drainase

Perencanaan saluran samping diperoleh dimensi rencana penampang trapesium dengan ukuran sebagai berikut:

b = 0,5 m d = 0,52 m w = 0,5

kemiringan talud 1 : 1

Sedangkan untuk gorong-gorong diperoleh dimensi rencana penampang lingkaran dengan ukuran sebagai berikut :

D = 1,2 m S = 1,95 m t = 0,14 m T = 0,25 m 5.2 Saran

1. Untuk perencanaan perkerasan lentur jalan raya dibutuhkan data LHR 5 tahun karena data yang ada 3 tahun, maka untuk menentukan pertumbuhan kendaraan per tahun digunakan cara analisa regresi untuk mengetahui jumlah kendaraan di tahun berikutnya.

2. Metode konstruksi bertahap sesuai digunakan dalam menghemat anggaran biaya proyek sekaligus mempunyai umur rencana yang lebih lama


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat jendral Bina Marga, 1970. “ Peraturan Perencanan Geometrik Jalan Raya ( Standart specifications for geometric of rural highways ) ", No. 13/1970 Departemen Pekerjaan Umum.

Direktorat jendral Bina Marga, 1970. “ Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen “, SKBI. 2.3.26.1987, Departemen Pekerjaan Umum 1970.

Direktorat jendral Bina Marga, 1990. “ Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan ", No. 008/T/BNKT/1990, Departemen Pekerjaan Umum.

Direktorat jendral Bina Marga, 1997. “ Tata Cara perencanaan geometrik Jalan Antar Kota ", No. 038/TBM/1997, Departemen Pekerjaan Umum. Hendarsin L. Shirley, 2000. “ Perencanaan Teknik Jalan Raya “, Politeknik

Negeri Bandung, Jurusan Teknik Sipil.

Sukirman, Silvia, 1995. ” Perencanaan lentur Jalan Raya ”, Nova, Bandung. Sukirman, Silvia, 1995 ” Dasar-dasar perencanaan geometrik jalan ”, Nova,


Dokumen yang terkait

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Di Ruas Jalan Cijelag - Cikamurang Kabupaten Indramayu Menggunakan Metode AASTHO'93.

0 2 20

PENINGKATAN DAYA DUKUNG TANAH DENGAN MENGGUNAKAN STABILISASI KAPUR UNTUK PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DI RUAS JALAN GRESIK-LAMONGAN (Sta. 27+ 250 – Sta. 32 + 550).

0 0 116

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN BLITAR - SRENGAT (STA 3+450 - STA 10+520) DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN.

0 1 146

PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL LALU LINTAS DENGAN METODE AASHTO PADA RUAS JALAN KALIANAK STA 0+000 – 5+350 SURABAYA.

6 11 73

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN BLITAR – SRENGAT STA 3+450 SAMPAI STA 10+350 DENGAN METODE AASHTO.

1 13 125

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN BLITAR – SRENGAT STA 3+450 SAMPAI STA 10+350 DENGAN METODE AASHTO TUGAS AKHIR Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana (Strata-1) Program Studi Teknik Sipil

0 0 21

PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL LALU LINTAS DENGAN METODE AASHTO PADA RUAS JALAN KALIANAK STA 0+000 – 5+350 SURABAYA TUGAS AKHIR - PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL

0 1 13

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE KONSTRUKSI BERTAHAP PADA RUAS JALAN DURENAN-BANDUNG-BESUKI PADA STA 171+550 – 182+350 DI KABUPATEN TULUNGAGUNG TUGAS AKHIR - PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE KONSTRUKSI BERTAHAP PADA RUAS JALAN DURENA

0 0 19

PERBANDINGAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN BANGKALAN-KETAPANG (Sta .60+15 - Sta. 60+550) DITINJAU DARI VARIASI STABILISASI TANAH TUGAS AKHIR - PERBANDINGAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN BANGKALAN-KETAPANG (Sta .60+15 - Sta. 60+550) DITINJA

0 0 18

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN AGROPOLITAN CENTER – REMAYU KECAMATAN MUARA BELITI STA 0+000 - STA 8+500

0 0 18