Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Otonomi Daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Bali.

(1)

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Era Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Akuntansi

Oleh: Arfian Rozaqi NIM: 0513010252/FE/EA

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


(2)

Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Era Otonomi Daerah

Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali

Yang diajukan

Arfian Rozaqi 0513010252/FE/EA

disetujui untuk Ujian Lisan oleh

Pembimbing Utama

Dra. Ec. Dwi Suhartini, M.Aks. Tanggal: . . . NIP : 030 226 900

Mengetahui

Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi

Drs. Ec. Rahman Amrullah Suwaidi, MS. NIP : 196003301986031003


(3)

Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Era Otonomi Daerah

Pada Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali Disusun Oleh:

Arfian Rozaqi 0513010252/FE/EA telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada tanggal 25 Mei 2012

Pembimbing: Tim Penguji:

Pembimbing Utama Ketua

Dra. Ec. Dwi Suhartini, M.Aks. Dra. Ec. Sri Hastuti, MSi

Sekretaris

Drs. Ec. R. Sjarief Hidayat, MSi Anggota

Dra. Ec. Dwi Suhartini, M.Aks

Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Dekan Fakultas Ekonomi

Dr. Dhani Ichsanudin Nur, SE, MM NIP. 19630924 198903 1001


(4)

hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, kenikmatan serta karunia-Nya yang tak terhingga sehingga saya berkesempatan menimba ilmu hingga jenjang Perguruan Tinggi. Berkat rahmat dan karunia-Nya pula saya dapat meyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Otonomi Daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Bali”.

Sebagaimana diketahui bahwa penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE). Walaupun dalam penulisan skripsi ini penulis telah mencurahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetapi penulis yakin tanpa adanya saran dan bantuan maupun dorongan dari beberapa pihak maka skripsi ini tidak akan mungkin dapat tersusun sebagaimana mestinya.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP., selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Dr. Dany Ichsanudin Nur, MM., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangungan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si., selaku Ketua Program Studi Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Dra.Ec. Dwi Suhartini, M.Aks., selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan petunjuk, bimbingan dan waktu luangnya di tengah kesibukan


(5)

umumnya, dan di bidang sektor publik/pemerintah pada khususunya yang telah memberikan ilmu-ilmunya dari pengalamannya.

6. Ayahku, yang selalu memberikan dukungan kepada saya, baik secara moril, spirituil, maupun materiil, yang nilainya tidak dapat dibayangkan, sehingga skripsi ini selesai, dan agar saya menjadi seseorang yang betul-betul bermanfaat dalam arti yang sesungguhnya.

7. Rezka, Mbak Wati, Mas Agung, Mbak Ratna, yang telah sangat banyak memberikan rujukan dan referensi serta waktu, fikiran, tenaga, dan kebesaran hatinya untuk membantu penyusunan skripsi ini.

8. Pakde, Bude, Mas Luki, Adit, Mas Roni, Mbak Yeni, Agus dan sahabat AK, yang ikut memberikan inspirasi besar agar saya terus mengerahkan segenap kemampuan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

9. Segenap staf pengajar, karyawan dan seluruh rekan-rekan mahasiswa terutama Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

10. Serta untuk semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang ikut membantu, baik langsung maupun tidak langsung, dalam rangka menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terimakasih.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala membalas semua kebaikan dan selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kalian semua. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, walaupun demikian saran-saran dan


(6)

(7)

KATA PENGANTAR ………...………... i

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ……...………. ix

DAFTAR GAMBAR ……… x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

ABSTRAKSI ………...… xii

BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………...………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………...……… 7

1.3. Tujuan Penelitian ………...………... 8

1.4. Manfaat Penelitian ………. 8

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ………..………... 10

2.2. Landasan Teori ………...……… 17

2.2.1. Pengertian Otonomi Daerah dan Desentralisasi ……… 17

2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) …………. 18

2.2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ……...… 18


(8)

2.2.2.6. Pengertian Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) ………... 26

2.2.2.7. Pendekatan Perhitungan PDRB ……… 27

2.2.2.8. Kegunaan Statistik PDRB ………..…. 29

2.2.3. Pengertian Anggaran (Budgeting) ………. 29

2.2.4. Anggaran Pendapatan (Revenue Budgeting) …………. 31

2.2.4.1. Pengertian Anggaran Penapatan dan Pendapatan Asli Daerah ………... 31

2.2.4.2. Struktur Pendapatan Asli Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah ………... 33

2.2.5. Anggaran Belanja (Expenditure Budgeting) …………. 38

2.2.5.1. Pengertian Anggaran Belanja Daerah …….. 38

2.2.5.2. Komponen Anggaran Belanja Daerah …... 39

2.2.6. Pengertian Anggaran Belanja Modal …………..……. 40

2.2.7. Pengertian Anggaran Belanja Rutin ………..…... 41

2.2.8. Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonom …..…. 42

2.2.9. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……… 44

2.2.10. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Rutin terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……….. 47


(9)

BAB III: METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ………. 51

3.1.1. Pertumbuhan Ekonomi (Y) ………...………... 51

3.1.2. Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (X1) …... 52

3.1.3. Realisasi Anggaran Belanja Modal (X2) …………... 52

3.1.4. Realisasi Anggaran Belanja Rutin (X3) …………..… 52

3.2. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel ………..…. 53

3.2.1. Populasi ………..…. 53

3.2.2. Sampel ……….. 53

3.3. Teknik Pengumpulan Data ……… 54

3.3.1. Jenis Data ………... 54

3.3.2. Sumber Data ………...…….. 54

3.4. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ………..…... 55

3.4.1. Teknik Analisis ………...……. 55

3.4.2. Uji Asumsi Klasik ……… 55

3.4.3. Uji Hipotesis ………...…….. 60

3.4.3.1. Uji-t ………...……... 60

3.4.3.2. Uji-F ………...……... 61

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ……… 63


(10)

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian …………...……….. 67

4.2.1. Pertumbuhan Ekonomi (Y) …...………... 67

4.2.2. Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (X1) ……. 68

4.2.3. Realisasi Anggaran Belanja Modal (X2) ………...…… 70

4.2.4. Realisasi Anggaran Belanja Rutin (X3) ………. 71

4.3. Analisis Regresi Linier Berganda ………...…... 73

4.3.1. Asumsi Klasik ………...…... 73

4.3.2. Persamaan Regresi Linier Berganda …………...……. 79

4.3.3. Uji F ………...…... 80

4.3.4. Koefisien Determinasi ………... 81

4.3.5. Uji t ………...……. 82

4.4. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 84

4.4.1. Implikasi Penelitian ……….. 84

4.4.2. Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi ….. 84

4.4.3. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……….. 89

4.4.4. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Rutin Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……… 93

4.4.5. Perbedaan Hasil Penelitian Sekarang dengan Penelitian Terdahulu ……… 96


(11)

5.1. Kesimpulan ………...…… 98 5.2. Saran ………. 98

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

di Propinsi Bali 2001-2005 ………... 6

Tabel 3.1 Kriteria Uji Durbin Watson ……….. 56

Tabel 4.1 Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Propinsi Bali ……… 66

Tabel 4.2 Data Pertumbuhan Ekonomi ………. 67

Tabel 4.3 Data Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah ……… 68

Tabel 4.4 Data Realisasi Anggaran Belanja Modal ………... 70

Tabel 4.5 Data Realisasi Anggaran Belanja Rutin ……… 71

Tabel 4.6 Hasul Dari Uji Rank Spearman ………. 75

Tabel 4.7 Nilai VIF ………... 76

Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas ………. 78

Tabel 4.9 Persamaan Regresi Linier Berganda ………. 78

Tabel 4.10 Hasil Uji F ………. 80

Tabel 4.11 Nilai Koefisien Determinasi ……….. 81

Tabel 4.12 Hasil Uji t ……….. 82

Tabel 4.13 Perbedaan-Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu ……….. 95


(13)

Gambar 4.1 Kurva Pertumbuhan Ekonomi ………. 67

Gambar 4.2 Kurva Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah ……… 69

Gambar 4.3 Kurva Realisasi Anggaran Belanja Modal ………. 70

Gambar 4.4 Kurva Realisasi Anggaran Belanja Rutin ………. 72

Gambar 4.5 Kurva PAD dan Pertumbuhan Ekonomi (Jembrana) ………. 86

Gambar 4.6 Kurva Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi (Tabanan) …… 90


(14)

ABSTRAKSI

Semenjak dorongan reformasi birokrasi yang digulirkan pada tahun 1999, telah mendekonstruksi sistem kepemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi. Semangat reformasi birokrasi mencapai puncaknya pada tanggal 1 Januari 2001, yaitu sebagai tonggak awal pelaksanaan Otonomi Daerah yang merupakan konsekuensi logis dari asas desentralisasi. Kondisi tersebut merupakan babak baru bagi Negara Indonesia dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara yang berorientasikan pada pencapaian kinerja dengan memfokuskan pada output dan outcome. Tujuan otonomi daerah adalah diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan publik, memajukan perekonomian, dan percepatan pertumbuhan eknomi serta kemandirian yang merupakan implementasi dari output dan outcome

(Mardiasmo, 2002: 59, Bastian, 2006: 354). Segala kegiatan pemerintah dalam ruang lingkup Otonomi Daerah dibiayai oleh APBD. Penelitian ini dilakukan bermaksud untuk melihat sejauh mana efek pelaksanaan otonomi daerah yang dibiayai APBD berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Objek penelitian ini adalah data-data keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali dari tahun 2001-2008, yang datanya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data-data keuangan yang diteliti meliputi Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah, Realisasi Pengeluaran Anggaran Belanja Modal, Realisasi Pengeluaran Anggaran Belanja Rutin dan Pertumbuhan Ekonomi. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian secara simultan untuk Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah, Realisasi Anggaran Belanja Modal, Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Rutin berpengaruh secara signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Sedangkan secara parsial menunjukkan hanya Realisasi Anggaran Belanja Rutin yang berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, sedangkan Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah dan Realisasi Anggaran Belanja Rutin tidak berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi.

Keyword: Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah, Realisasi Anggaran Belanja Modal, Realisasi Anggaran Belanja Rutin, Pertumbuhan Ekonomi


(15)

1.1. Latar Belakang Masalah

Tiga dekade yang lalu perekonomian masyarakat Bali sangat didominasi oleh pertanian, baik dalam produksi maupun lapangan kerja. Saat ini pariwisata adalah satu-satunya industri yang paling besar di sana yang pada akhirnya menyebabkan Bali sebagai salah satu daerah paling kaya di Indonesia. Sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada pariwisata (Baker, 2003: 1). Di akhir Juni 2011, kredit bermasalah atas semua Bank di Bali rata-rata sebesar 2,23%, relatif lebih kecil dibandingkan dengan sekitar rata-rata 5% dari kredit bermasalah industri perbankan Indonesia (http://www.thejakartapost.com).

Perekonomian Bali mengalami keterpurukan yang cukup berarti saat terjadi bom teroris pada tahun 2002 dan 2005, namun industri pariwisata perlahan pulih lagi, hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam website

http://www.thebalitimes.com bahwa pariwisata Bali bertahan terhadap bom teroris tahun 2002 dan 2005, dan faktanya telah perlahan pulih bahkan mengungguli level sebelum pengeboman. Tren jangka panjang tetap menunjukkan peningkatan jumlah kedatangan pengunjung, pada tahun 2010, Bali menerima 2,57 juta turis asing. Ini mengungguli target 2-2,3 juta turis.

TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” merupakan landasan


(16)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mardiasmo, 2002: 24). Kedua undang-undang tersebut merupakan payung hukum pelaksanaan dan tonggak awal diselenggarakannya otonomi daerah (Bastian, 2006: 2), yang secara resmi diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001 (Saragih, 2003: 29; Kuncoro, 2004: 18).

Menurut Mardiasmo (2002: 59), tujuan utama pelaksanaan dan pemberlakuan undang-undang otonomi daerah diprioritaskan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Menurut Bastian (2006: 354), tujuan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antardaerah, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing.

Yuliati (2001: 16) menyatakan bahwa dalam usaha mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah dibutuhkan modal untuk digunakan pada kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung aspek kehidupan masyarakat sebagai usaha pemerintah menggerakkan sektor perekonomian. Pendapat tersebut didukung Malthus (Irawan dan Suparmoko, 2002: 27), bahwa untuk adanya perkembangan ekonomi diperlukan adanya kenaikan jumlah kapital untuk investasi yang terus-menerus.


(17)

modal biasanya disebut investasi (Kamaluddin, 1996: 71-72). Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (2005), investasi dalam kerangka pemerintah didefinisikan sebagai belanja modal/pembangunan yang memberi manfaat lebih dari satu tahun. Pengertian tersebut ditekankan pada penggunaan aset untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat/publik. Suatu aset di pemerintah (pusat atau daerah), khususnya aset tetap seperti dalam bentuk tanah, bangunan, infrastruktur sarana dan prasarana publik, dan aset tetap lainnya diperoleh melalui proses pengeluaran dana yang disebut Belanja Modal (Halim dan Subiyanto, 2008: 4-5).

Penginvestasian pemerintah yang berasal dari belanja modal dari tahun ke tahun akan berakumulasi menjadi akumulasi modal yang merupakan keharusan bagi pembangunan perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang sedang berkembang untuk menjadi negara yang lebih maju, hal ini sejalan dengan pendapat Suryana (2000: 72) bahwa semakin besar modal yang tersedia maka akan mempercepat pembangunan ekomomi.

Menurut model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan Walt Whitman Rostow dengan menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah seiring tahap-tahap pembangunan ekonomi atau yang lebih dikenal dengan Teori Dorongan Kuat (big push theory), pada tahap awal perkembangan ekonomi pemerintah akan membutuhkan investasi yang besar (Mangkoesoebroto, 1993: 170). Musgrave


(18)

kemudian diharapkan peranan pemerintah dalam pembentukan modal akan menurun setelah berlangsungnya proses pertumbuhan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993: 170).

Teori pengeluaran yang dikemukakan oleh Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran dan kegiatan pemerintah yang semakin meningkat telah lama dirasakan. Tendensi makin meningkatnya pengeluaran pemerintah oleh Wagner dinamakan “Gesetz der wachsenden Ausdenhmung den Staatstatigkeiten” atau hukum selalu makin meningkatnya kegiata-kegiatan negara (law of ever increasing state activities). Hukum Wagner tersebut oleh R.A. Musgrave disebut hukum “growing public expenditure” atau hukum makin meningkatnya pengeluaran-pengeluaran pemerintah (Soetrisno, 1984: 364). Peningkatan kegiatan pemerintah difokuskan untuk membangun infrastruktur sarana dan prasarana dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu tujuan otonomi daerah diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Teori hukum Wagner yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan-kegiatan pemerintah dalam rangka memacu laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pelayanan publik merupakan salah satu pelaksanaan tujuan otonomi daerah yang diimplementasikan pada pengeluaran belanja rutin (Soetrisno, 1984: 364).


(19)

66). Pendapat tersebut didukung teori Walt Whitman Rostow tentang pengeluaran pemerintah yang didasarkan pada tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dan hukum Wagner yang menyatakan bahwa pengeluaran semakin meningkat berdasarkan kegiatannya dalam menjalankan tugas kepemerintahan dalam rangka pelayanan publik untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah (Mangkoesoebroto, 1993: 170; Soetrisno, 1984: 364).

Tujuan utama penerapan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Mardiasmo, 2002: 59; Bastian, 2002: 354). Daerah yang pertumbuhan ekonominya positif mempunyai kemungkinan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau dengan kata lain adanya peningkatan PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan diyakini antara PAD dan pertumbuhan ekonomi terdapat adanya korelasi (Saragih, 2003: 55-58). Pendapat tersebut didukung Teori Peacock dan Wiseman yang mengemukakan suatu teori “bahwa perkembangan ekonomi meyebabkan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah akan memberikan dampak pada meningkatnya penerimaan pajak sehingga menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar pula” (Mangkoesoebroto, 1993: 173).


(20)

Tabel 1.1: Prosentase Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Propinsi Bali 2001-2005

   Pertumbuhan Ekonomi  2001 2002 2003 2004 2005

1  Kab. Badung  3.14 3.06 3.58 4.86 5.00

2  Kab. Bangli  3.27 3.03 3.38 4.03 4.46

3  Kab. Buleleng  4.09 4.06 4.84 4.98 5.60

4  Kab. Gianyar  4.45 3.48 3.33 4.95 5.47

5  Kab. Jembrana  3.14 3.06 3.58 4.86 5.00

6  Kab. Karangasem  2.90 3.09 4.05 4.49 5.13

7  Kab. Klunkung  5.78 5.53 3.10 4.67 5.41

8  Kab. Tabanan  3.07 4.54 4.91 4.73 5.96

9  Kota Denpasar  5.12 5.03 5.31 5.83 6.05

Sumber: Badan Pusat Statistik

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut: Grafik 1.1: Prosentase Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Bali 2001-2005

Pertumbuhan ekonomi tertinggi di Bali selama lima tahun (2001-2005) diraih oleh dua kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Klunkung dan Kota Denpasar. Untuk tahun 2001 dan 2002 pertumbuhan ekonomi tertinggi diraih


(21)

masing sebesar 5,31%, 5,83% dan 6,05%.

Pertumbuhan ekonomi terendah di Bali tahun 2001-2005 dialami oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Karangasem untuk tahun 2001 sebesar 2,90%, Kabupaten Bangli untuk tahun 2002 sebesar 3,03%, tahun 2004 sebesar 4,03%, dan tahun 2005 sebesar 4,46%, serta Kabupaten Klunkung untuk tahun 2003 sebesar 3,10%.

Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi tertinggi dan terendah dari tahun 2001 sampai dengan 2005 di Propinsi Bali tersebut maka dapat dilihat bahwa terjadi fluktuasi pertumbuhan ekonomi oleh kabupaten/kota di Bali. Dan dapat dilihat pula bahwa terdapat perubahan yang cukup drastis yang dialami Kabupaten Klunkung yang pada tahun 2001 meraih pertumbuhan ekonomi tertinggi namun pada tahun berikutnya justru menjadi yang terendah.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota di Propinsi Bali”.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan yang dikemukakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut adalah untuk mengetahui apakah realisasi anggaran pendapatan asli daerah, realisasi anggaran belanja modal, dan realisasi anggaran belanja rutin berpengaruh


(22)

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empirik pengaruh realisasi anggaran pendapatan asli daerah, realisasi anggaran belanja modal, dan realisasi anggaran belanja rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Era Otonomi Daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Bali tahun 2001-2008. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan berbagai manfaat untuk beberapa pihak sebagai berikut:

a. Peneliti

Untuk memperdalam keilmuan di bidang sektor publik, baik akuntansi/keuangan pemerintah maupun organisasi nirlaba.

b. Universitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga sebagai Dharma Bhakti perguruan tinggi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada umumnya dan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada khususnya untuk konsentrasi Sektor Publik sebagai tambahan perbendaharaan referensi dan mungkin dapat memberikan ide atau inspirasi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut bagi rekan-rekan yang mungkin mengadakan penelitian di bidang yang sama berkaitan dengan tujuan penelitian di masa yang akan datang.


(23)

daerah serta pengukuran kinerja pemerintah. d. Pemerintah.

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bukti empiris keterkaitan tentang realisasi anggaran pendapatan asli daerah, realisasi anggaran belanja modal dan realisasi anggaran belanja rutin berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. 


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta pertumbuhan ekonomi telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya adalah sebagai berikut:

a. Andi Luthfi Kurniawan (2008) 1) Judul penelitian:

“Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Ponorogo Tahun 1993-2006”.

2) Rumusan masalah:

a) Apakah pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan berpenaruh terhadap pertumbuhan ekonomi PDRB di Kabupaten Ponorogo tahun 1996-2006?

b) Lebih besar manakah pengaruh antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dalam mempengaruhi perubahan PDRB di Kabupaten Ponorogo tahun 1993-2006?

3) Hipotesis penelitian:

a) Variabel pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh signifikan


(25)

terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Ponorogo.

b) Variabel pengeluaran pembangunan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Ponorogo.

4) Metode penbelitian:

Model analisis ini menggunakan regresi linier berganda, dengan variabel yang diuji adalah pertumbuhan PDRB, pengeluaran ruitin dan pengeluaran pembangunan. 5) Hasil dan kesimpulan:

a) Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo tahun 1993-2006 dipengaruhi secara signifikan opeh pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Hasul analisis statistik menunjukkan bahwa fator-faktor tersebut secara parsial maupun simultan menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Ponorogo. b) Variabel pengeluaran pembangunan mempunyai

pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Ponorogo tahun 1993-2006, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien pengeluaran pembangunan yang lebih besar daripada variabel pengeluaran rutin. Hal tersebut berarti semakin meningkatnya pengeluaran pembangunan maka


(26)

pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo juga akan meningkat.

b. Asnafiah Yuliati (2001) 1) Judul penelitian:

“Kemandirian dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Menyongsong Otonomi Daerah”.

2) Rumusan masalah:

Bagaimana pengaruh peranan pemerintah daerah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi (PDRB rill) digunakan variabel PAD, PR, PP secara rill serta variabel lain yaitu angkatan kerja dengan rentang waktu penelitian tahun 1982/1983-1999/2000?

3) Metode penelitian:

Variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian adalah rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Bantuan Pemerintah (B) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), rasio PAD terhadap Pengeluaran Rutin (PR) dan rasio PAD terhadap Pengeluaran Pembangunan (PP).

4) Hasil penelitian:

a) Hasil analisis statistik untuk uji kemandirian menghasilkan kecenderungan dari rasio PAD/TPD, PAD/PR signifikan, artinya kecenderungan peningkatan kemandirian dilihat dari proporsi


(27)

PAD terhadap TPD dan kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran rutinnya selama tahun 1982/1983-1995/1996 menjelang otonomi daerah terbukti.

b) Kecenderungan rasio B/TPD signifikan yang berarti kecenderungan peningkatan bantuan atau ketergantungan daerah masih nyata.

c) Kecenderungan rasio PAD/PP tidak signifikan, artinya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran pembangunan tidak terbukti.

d) Hasil analisis statistik untuk pengaruh variabel PAD dan pengeluaran pembangunan riil terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan.

e) Variabel pengeluaran rutin tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

c. David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) 1) Judul penelitian:

“Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita”. 2) Rumusan permasalahan:

a) Bagaimana hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal?


(28)

b) Bagaimana hubungan Belanja Modal dengan Pendapatan Asli Daerah?

c) Bagaimana hubungan Belanja Modal dengan Pendapatan Per Kapita?

d) Bagaimana hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Pendapatan Per Kapita?

3) Hipotesis penelitian:

H1: Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap

Belanja Modal

H2: Belanja Modal berpengaruh positif terhadap

Pendapatan Asli Daerah

H3: Belanja Modal berpengaruh positif terhadap

Pendapatan Per Kapita

H4: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif

terhadap Pendapatan Per Kapita 4) Metode Penelitian:

Untuk menganalisis hubungan antara variabel menggunakan model structural dengan analisis desktriptif dan analisis jalur (path analysis). Variabel yang diteliti

yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Per Kapita (PDRB Per Kapita), Belanja Modal (BM), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan rentang waktu penelitian dari tahun 2001-2004.


(29)

5) Hasil penelitian:

Hasil penelitian memberikan bukti empiris secara statistic bahwa DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap BM, sedangkan BM berpengaruh signifikan dan negative terhadap PDRB Per Kapita, tetapo mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalaui PAD terhadap PDRB Per Kapita, kemudian PAD berpengaruh signifikan dan psitif terhadap PDRB Per Kapita, dan DAU mempunyai dampak yang signifikan terhadap PAD melalui BM (efek tidak langsung).

d. Priyo Hari Adi (2006) 1) Judul penelitian:

“Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangungan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kabupaten Kota Se Jawa-Bali)”.

2) Rumusan masalah:

a) Bagaimana dampak belanja pembanunan terhadap pertumbuhan ekonomi?

b) Bagaimana dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemandirian daerah?

3) Metode penelitian:

Alat uji penelitian menggunakan analisis deskriptif dan analisis jalur (path analysis), dengan


(30)

variabel yang diteliti adalah pertumbuhan ekonomi (PDRB), Belanja Modal/Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah dengan rentang waktu penelitian dari tahun 1998-2003.

4) Hasil penelitian:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pembangunan memberikan dampak yang positif terhadap PAD maupun pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak secara signifikan terhadap peningkatan PAD yang nantinya dengan sendirinya akan membuat daerah dapat menjalankan roda kepemerintahan melalui pembiayaan secara mandiri. Penelitian sekarang atau penelitian yang dilakukan kali ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaannya adalah rentang waktunya, objeknya, dan sumber datanya, sedangkan persamaannya adalah variabel yang diteliti, yaitu pertumbuhan ekonomi (PDRB), realisasi anggaran pendapatan asli daerah (PAD), realisasi anggaran belanja modal (BM), dan realisasi anggaran belanja rutin (BR). Walaupun variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu sama dengan penelitian sekarang, secara keseluruhan content penelitian ini tidak

identik dengan yang terdahulu, sehingga penelitian ini terlepas dan terbebas dari plagiat/penjiplakan.


(31)

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Pengertian otonomi daerah tidak bisa lepas dari pemaknaan asas desentralisasi. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian ini sesuai dengan definisi desentralisasi yang dikemukakan oleh Rondinelli yaitu perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dari tingkat nasional ke tingkat regional. Penafsiran dan pemaknaan berupa pelimpahan atau perpindahan kewenangan dalam pengaturan dan kepengurusan rumah tangganya sendiri merupakan prinsip utama daerah (Bastian, 2006: 331).

Abdul Halim (2007: 328) berpendapat bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Indra Bastian (2006: 2), otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas dan potensi daerah tersebut berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.

Menurut UU No. 32 tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus


(32)

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengertian di atas maka otonomi daerah dimaknai sebagai perpanjangan konsep desentralisasi yaitu pemberian atau pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta pengambilan keputusan untuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam rangka pengelolaan potensi sumber daya dan dana daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan serta terintegrasi pada visi, misi, dan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) 2.2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menurut Sumitro Djojohadikusumo (1991: 1) adalah suatu proses yang berpokok pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat (Pirade, 2006: 9).

Menurut Dr. Boediono (1985: 1) pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang

(Kuncoro, 2004: 129; Tarigan, 2007: 46). Jadi prosentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dibanding prosentase pertambahan

jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan akan berlanjut. Menurut Boediono ada ahli ekonomi yang


(33)

membuat definisi yang lebih ketat, yaitu pertumbuhan ekonomi haruslah “bersumber dari proses intern perekonomian tersebut” (Tarigan, 2007: 46).

Todaro (1994: 282) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses yang mantap di mana kapasitas produktif dari suatu perekonomian meningkat sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan nasional/lokal yang semaki besar (Pirade, 2006: 11). Prof. Kuznet, orang yang menerima Hadiah Nobel dalam “Ilmu Ekonomi” pada tahun 1871, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai barang ekonomi yang terus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas dasar kemajuan teknologi, institusional, dan ideologis yang diperlukan (Suryana, 2000: 64).

Dari pengertian di atas, Pertumbuhan ekonomi dapat disimpulkan bahwa peningkatan proses kenaikan kapasitas produktif berupa peningkatan produksi barang dan jasa yang bersifat dan berasal dari kegiatan ekonomi atau output perkapita dalam jangka panjang dari

suatu perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pendapatan nasional/regional dari tahun ke tahun.

2.2.2.2. Faktor-Faktor Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan adaya kenaikan produk domestik regional bruto (PDRB), sangat ditentukan oleh faktor-faktor pertumbuhan ekonomi itu sendiri, yaitu tenaga kerja,


(34)

kapital, tanah dan kekayaan alam sekitarnya, serta teknologi dan faktor sosial.

Faktor tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dalam kaitannya dengan meningkatkan PDRB suatu negara dari segi jumlahnya, semakin banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi semakin tinggi pula tingkat aktivitas memproduksi barang dan jasa dalam peredaran perekonomian daerah tersebut. Namun, faktor tenaga kerja tidak cukup dilihat dari segi jumlahnya saja, melainkan harus diperhatikan kualitas tenaga kerja tersebut.

Faktor kapital juga merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam menentukan tinggi rendahnya pendapatan nasional. Namun seiring disalahartikan bahwa tanpa kapital, perekonomian suatu negara dikatakan tidak berkembang sama sekali. Memang kapital itu penting, tetapi bukan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan pertumbuhan ekonomi, bahwa sesungguhnya kapital sering sekai merupakan pelengkap dari berbagai faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi pada permulaa pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Agar dapat ditingkatkan penggunaan kapital, maka harus diketahui pula sumber kapital untuk pembangunan. Kapital dapat terbentuk melalui berbagai sumber, di antaranya tabungan masyarakat, pajak, pinjaman, dan sumber-sumber pembiayaan lainnya

Kekayaan alam suatu negara/daerah meliputi luas sumber daya alam dan sumber dana yang terdapat pada negara/daerah tersebut.


(35)

Kekayaan alam akan dapat mempermudah usaha untuk membangun perekonomian sesuatu negara, terutama pada masa-masa permulaan proses pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknologi. Teknologi adalah cara untuk mengolah atau menghasilkan suatu jenis barang atau jasa tertentu. Teknologi mempunyai hubungan dengan inovasi, yaitu permulaan baru yang telah diterapkan dalam proses produksi, seperti menemukan daerah pemasaran baru, menemukan komoditi baru, menentukan barang produksi baru, dan sebagainya.

Faktor sosial mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya dalam pertumbuhan ekonomi. Faktor sosial ini penting sekali dan juga sering dilupakan atau dianggap tidak begitu penting dalam pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi. Namun faktor ini dapat menjadi hambatan dalam mencapai sasaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Faktor sosial di antaranya adalah adat istiadat, keamanan, politik, dan sebagainya (Pirade, 2006: 15).

2.2.2.3. Ciri Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Kuznet dalam buku Todaro, karakteristik dalam proses pertumbuhan ekonomi ada 6 (enam), yaitu: 1) Tingginya tingkat perkembangan output perkapita penduduk; 2) Tingginya penambahan jumlah faktor produksi, terutama tenaga kerja; 3) Tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi; 4) Tingginya tingkat transformasi sosial ideology; 5) Kecenderungan Negara-negara yang ekonominya sudah


(36)

maju untuk pergi ke seluruh pelosok dunia guna mendapatkan pasaran dan bahan bak; dan 6) Pertambahan penduduk terbatas.

Ke-6 karakterisitik tersebut saling memperkuat dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya akan membawa penemuan-penemuan baru yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya (Pirade, 2006: 16).

2.2.2.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi sudah dimulai semenjak didengungkannya Revolusi Industri di Inggris. Perkembangan teori pertumbuhan ekonomi dipelopori oleh Kaum Klasik yang disempurnakan seiring berkembangnya perekonomian dunia.

Teori Horrard-Domar tetap mempertahankan pendapat dari ahli ekonomi terdahulu yang menekankan tentang peranan pembentukan modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Tetapi berbeda dengan pendapat Kaum Klasik dan Keynes, yang memberikan perhatian pada aspek pembentukan modal saja. Menurut pendapat Kaum Klasik, pembentukan modal merupakan suatu pengeluaran yang akan menambah kesanggupan masyarakat untuk menambah produksi. Dalam analisis Keynes, mengabaika peranan pembentukan modal sebagai pengeluaran yang akan mempertinggi kesanggupan sektor produksi untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan masyarakat, karena dianggap tingkat kegiatan ekonomi ditentukan oleh tingkat pengeluaran seluruh masyarakat dan bukan pada kesanggupan alat-alat modal untuk memproduksi barang.


(37)

Teori Harrord-Domar memperhatikan kedua fungsi dari pembentukan modal tersebut dalam kegiatan ekonomi. Pembentukan modal dianggap sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang dan sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif dari masyarakat. Analisis ini bertujuan untuk menunjukkan syarat yang diperlukan agar dalam jangka panjang kemampuan memproduksi yang bertambah dari tahun ke tahun akan selalu digunakan (Pirade, 2006: 20).

Teori Harrord-Domar mempunyai beberapa asumsi, yaitu: 1) Perekonomian dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment)

dan barang-barang modal yang ada dalam masyarakat digunakan secara penuh; 2) Perekonomian dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan sektor perusahaan; 3) Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan pendapatan nasional/regional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik 0 (nol); 4) Kecenderungan untuk menabung (marginal prosperity to save = MPS) besarannya tetap (Arsyad, 2004:

64-65).

Asumsi dasar model Kaldor adalah: 1) Model ini didasarkan pada asumsi kinerja penuh seperti dalam model Keynes, yaitu penawaran agregat jangka pendek barang jasa adalah inelastik dan tidak peka terhadap segala perubahan di dalam permintaan moneter; 2) Kemajuan teknologi tergantung pada akumulasi modal. Untuk hal ini, Kaldor mendefinisikan fungsi kemajuan teknologi sebagai hasil


(38)

bersama dua kecenderungan pertumbuhan modal dan pertumbuhan produktifitas; 3) Pendapatan dari upah dan keuntungan. Upah terdiri dari upah dan penghasilan serta keuntungan terdiri dari pendapatan pengusaha dan pemilik harta.

Model Kaldor bekerja dalam dua tahap, yaitu: 1) Penduduk yang bekerja konstan. Laju pertumbuhan proporsional dalam keseluruhan pendapatan akan sama cepatnya dengan laju pertumbuhan proporsional dalam output perkapita; 2) Penduduk bertambah besar. Perubahan proporsional dalam keseluruhan pendapatan nyata merupakan jumlah dari perubahan proporsional output perkapita dan perubahan proporsional keseluruhan penduduk yang bekerja.

Salah satu ciri terpenting pada model Kaldor adalah memperkenalkan fungsi kemajuan teknik yang dihubungkan dengan pertumbuhan produktifitas dan akumulasi modal. Fungsi produksi menghubungkan output perkapita dengan modal perkapita (Pirade, 2006: 21).

2.2.2.5. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi

Program utama diberlakukannya otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002: 59) dan Bastian (2006: 354) adalah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan pembangunan infrastruktur demi mewujudkan pelayanan publik. Pertumbuhan ekonomi dipergunakan untuk menerangkan dan mengukur perkembangan dari kinerja perekonomian atau kegiatan makroekonomi serta pembangunan infrastruktur suatu negara/daerah yang


(39)

mempresentasikan perwujudan pelayanan publik dari pemerintah (Nanga, 2005: 13l; Pracoyo dkk, 2005: 25), di samping itu juga merupakan alat ukur indikator keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi daerah (Bastian, 2006: 342).

Indikator pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional ditunjukkan pada Gross National Product (GNP) atau Produk Nasional

Bruto (PNB) yang merupakan suatu ukuran dari output barang dan jasa dari suatu negara tanpa menghiraukan apakah tenaga kerja dan faktor-faktor lainnya berlokasi di dalam negara itu ataukah terdapat di luar negeri. Maka untuk mengukur produksi domestik, para juru hitung pendapatan nasional maupun lokal menggunakan konsep lain, yaitu produk domestik bruto (gross domestic product) atau Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) (Nanga, 2005: 15).

Selain itu, kinerja perekonomian suatu negara/daerah dalam periode tertentu dapat diukur melalui satu indikator penting, yaitu data pendapatan nasional/regional. Konsep kunci dalam laporan pendapatan nasional/regional adalah Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (Pracoyo dkk, 2005: 25).

Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan pada PDRB (Kuncoro, 2004: 62). Sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) riil merupakan salah satu indikator alat ukur keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah yang mewakili kenaikan pendapatan perkapita penduduk suatu daerah dan kinerja perekonomian/kegiatan


(40)

makroekonomi suatu daerah (Mardiasmo, 2002: 221; Nanga, 2005: 13; Bastian, 2006: 342; Purbadharmaja, 2006: 81).

2.2.2.6. Pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah suatu cara perhitungan jumlah produksi ekonomi suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Produk Domestik Bruto merupakan salah satu perhitungan pendapatan riil suatu negara (Pirade, 2006: 23)

Selain itu, menurut Lincolin Arsyad, Gross Domestic

Product (GDP) yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Produk

Domestik Bruto diartikan sebagai jumlah nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh sektor-sektor produktif, yaitu: 1) pertanian; 2) industri pengolahan; 3) pertambangan dan galian; 4) listrik; 5) air dan gas; 6) bangunan; 7) pengangkutan dan komunikasi; 8) perdagangan; 9) bank dan lembaga keuangan; 10) sewa rumah; 11) pertahanan; dan 11) jasa-jasa lainnya selama satu tahun fiskal (Arsyad, 2004: 14).

Menurut Muana Nanga, PDB didefinisikan sebagai total nilai atau harga pasar dari seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian suatu negara selama kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun (Nanga, 2005: 13).

Sehingga PDRB, yang merupakan alat ukur PDRB di tingkat lokal, dapat disimpulkan sebagai suatu cara perhitungan total nilai produksi atau harga pasar dari seluruh jumlah produksi ekonomi suatu wilayah/daerah berupa barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh


(41)

sektor-sektor produktif pada 11 sektor ekonomi dalam jangka waktu tertentu, biasanya 1 tahun.

2.2.2.7. Pendekatan Perhitungan PDRB

Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui tiga pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan produksi

Menurut pendekatan produksi PDRB diartikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan mejadi 11 sektor atau lapangan usaha, yaitu: 1) Sektor pertanian

2) Sektor pertambangan dan penggalian 3) Sektor industri pengolahan

4) Sektor listrik, gas dan air bersih 5) Sektor bangunan dan konstruksi 6) Sektor perdagangan, hotel dan restoran 7) Sektor pengangkutan dan komunikasi 8) Sektor bank dan lembaga keuangan lainnya 9) Sektor sewa rumah

10) Sektor pemerintah 11)Sektor jasa


(42)

b. Pendekatan pendapatan

Menurut pendekatan pendapatan PDRB diartikan sebagai jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan yang semuanya belum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.

c. Pendekatan pengeluaran

Menurut pendekatan pengeluaran, perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi suatu negara pada periode tertentu. Secara matematis ditunjukkan dengan persamaan berikut:

GDP = C + I + G + (X-M)

Persamaan di atas menunjukkan pengeluaran pada empat pelaku ekonomi, yang dikategorikan sebagai berikut:

1) C (consumption) yang diidentitaskan sebagai pengeluaran

(konsumsi) rumah tangga untuk barang konsumen.

2) I (investment) dimaksudkan sebagai pengeluaran

perusahaan atau investasi untuk modal baru dalam bentuk persediaan peralatan pabrik.

3) G (government) diartikan sebagai pengeluaran dan


(43)

4) (X-M) diartikan sebagai pengeluaran netto oleh luar negeri, atau ekspor dikurangi impor (Pracoyo dkk, 2005: 26; Pirade, 2006: 27).

Oleh karena itu hasil ketiga perhitungan untuk PDRB tersebut, secara konsep seharusnya pengeluaran harus sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor lainnya.

2.2.2.8. Kegunaan Statistik PDRB

Selain sebagai indikator makro perekonomian nasional setiap tahun, kegunaan PDRB lainnya adalah:

a. Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dengan melihat prosentase atas harga konstan tahun tertentu.

b. Untuk mengetahui tingkat kemakmuran daerah dibanding daerah lain.

c. Untuk mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam jangka waktu tertentu (1 tahun).

d. Untuk mengetahui komposisi struktur ekonomi suatu daerah. e. Untuk mengetahui potensi suatu wilayah terhadap regional secara

keseluruhan maupun sektoral (Pirade, 2006: 27)

2.2.3. Pengertian Anggaran (Budgeting)

Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2002: 61) adalah pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Bastian (2006: 163) berpendapat bahwa angaran dapat diinterpretasikan sebagai paket


(44)

pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Selain itu, menurut National Committee on Governmental Accounting Standard Board

(GASB), mendefinisikan anggaran adalah “ . . . . rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode tertentu (Bastian, 2006: 164).

Munandar (1986: 1) mengatakan bahwa anggaran adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis, meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan unit moneter dan berlaku untuk jangka waktu tertentu (Suhadak dan Nugroho, 2007: 5). Selain itu, anggaran negara menurut John F. Due dalam Rinusu (2003: 1) merupakan suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam satu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa lalu (Suhadak dan Nugroho, 2007: 5).

Sementara itu, yang dimaksud dengan anggaran menurut Suparmoko (1992: 49) adalah suatu daftar atau pernyataan terperinci tentang pendapatan dan belanja daerah yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Halim (2007: 15) berpendapat bahwa anggaran negara terbagi menjadi 2 pengertian, yaitu dalam luas dan sempit. Dalam arti luas, anggaran belanja negara berarti jangka waktu perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran. Jadi, anggaran dalam arti


(45)

luas meliputi suatu daur anggaran. Dalam arti sempit, anggaran diartikan rencana pengeluaran dan penerimaan hanya dalam kurun waktu satu tahun.

Sehingga anggaran di atas dapat disimpulkan sebagai suatu daftar atau pernyataan terperinci mengenai suatu estimasi kinerja yang hendak dicapai dan disusun secara sistematis, meliputi semua kegiatan/operasi organisasi berupa perkiraan penerimaan/pendapatan dan pengeluaran/belanja yang dinyatakan dalam unit moneter/finansial yang diharapkan akan terjadi dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam kurun waktu satu tahun) atau untuk periode waktu mendatang.

2.2.4. Anggaran Pendapatan (Revenue Budgeting)

2.2.4.1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah

Penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007) sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan (income)

meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain).

Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa.

Ketika pengertian pendapatan dipakai dalam sudut pandang organisasi Sektor Publik, maka akan berbeda pengertian dan maknanya, walaupun secara konsep dasar (fundamental concept) dan


(46)

(2005), pendapatan adalah semua penerimaan Rekening Kas umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Pengertian pendapatan menurut Bastian (2006: 146) adalah arus masuk atau peningkatan lain atas harta dari satu kesatuan atau penyelesaian kewajibannya selama satu periode dari penyerahan atau produksi barang, jasa, atau aktivitas lain yang merupakan operasi pokok atau utama yang berkelanjutan dari kesatuan tersebut. Menurut UU No. 32 tahun 2004 Pasal I disebutkan bahwa penerimaan daerah adalah semua uang yang masuk ke kas daerah. Pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anggaran pendapatan asli daerah (regional owned revenue) adalah

suatu pernyataan dalam bentuk daftar untuk semua usaha peningkatan manfaat ekonomik yang dinilai berupa arus kas masuk pada Rekening Kas Umum Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam tahun anggaran atau peningkatan lain atas harta yang menjadi hak pemerintah atau penyelesaian kewajibannya selama satu periode dan penyerahan atau produksi barang, jasa atau aktivitas lain yang dipungut


(47)

berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.2.4.2. Struktur Pendapatan Asli Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan kegiatan/aktivitas kepemerintahan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah didanai APBD yang bersumber dari penerimaan daerah yang meliputi pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pada era otonomi daerah, daerah diharapkan bermandiri dalam membiayai aktivitas kepemerintahan-nya yang dibiayai dari pendapatan asli daerahnya untuk melaksanakan program otonomi daerah.

Struktur pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, Halim (2007: 96-98), Bastian (2006: 314-323) serta Suhadak dan Nugroho (2007: 123-125) adalah sebagai berikut:

a. Pajak Daerah

Menurut UU No. 34 tahun 2000 tentang perubahan UU No. 18 tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendefinisikan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan


(48)

untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah meliputi:

1) Pajak hotel 2) Pajak reklame 3) Pajak restoran 4) Pajak hiburan

5) Pajak penerangan jalan 6) Pajak parkir

7) Pajak bahan galian golongan C b. Retribusi daerah

Menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan UU No. l8 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mendefinisikan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi menurut undang-undang dikelompokkan menjadi:

1) Retribusi jasa umum

Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Retribusi jasa umum terdiri dari: a) Retribusi pelayanan kesehatan


(49)

b) Retribusi persampahan/ kebersihan

c) Retribusi penggantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil.

d) Retribusi pelayanan pemakaman. e) Retribusi pasar

f) Retribusi air bersih

g) Retribusi pengujian kendaraan bermotor 2) Retribusi jasa usaha

Retribusi jasa usaha adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

Retribusi jasa usaha terdiri dari.

a) Retribusi pemakaian kekayaan daerah b) Retribusi terminal

c) Retribusi pasar grosir dan atau pertokoan d) Retribusi penitipan anak

e) Retribusi tempat penginapan/ pesanggrahan/ vila f) Retribusi penyedotan kakus

g) Retribusi rumah potong hewan h) Retribusi tempat pendaratan kapal i) Retribusi tempat rekreasi dan olah raga j) Retribusi penyeberangan di atas air k) Retribusi penjualan produk usaha daerah


(50)

l) dst.

3) Retribusi perizinan tertentu

Retribusi perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Retribusi perizinan tertentu terdiri dari:

a) Retribusi izin penentuan penggunaan tanah b) Retribusi izin mendirikan bangunan

c) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol d) Retribusi izin gangguan

e) Retribusi izin trayek

f) Retribusi izin pengambilan hasil hutan g) Retribusi izin usaha ikan

h) dst.

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:


(51)

1) Bagian laba atas penyertaan modal pada BUMD 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada BUMN

3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan swasta d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah yang berasal dari selain pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan sebagai berikut: 1) Hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan 2) Komisi, potongan, dan selisih nilai tukar rupiah

3) Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.

4) Penerimaan jasa giro 5) Pendapatan bunga

6) Tuntutan ganti kerugian daerah 7) Pendapatan denda pajak

8) Pendapatan atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan 9) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan

10) Pendapatan dari pengembalian 11) Fasilitas sosial dan fasilitas umum

12) Pendapatan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 13) Pendapatan dari jasa raharja


(52)

2.2.5. Anggaran Belanja (Expenditure Budgeting) 2.2.5.1. Pengertian Anggaran Belanja Daerah

Anggaran belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskrimanasi, khususnya dalam pelayanan publik (Bastian, 2006: 45) Menurut Halim (2007: 330) pengeluaran daerah didefinisikan sebagai uang yang keluar dari kas daerah. Selain itu, menurut Suhadak dan Nugroho (2007; 102), anggaran belanja daerah meliputi semua pengeluaran rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran serta tidak diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Menurut UU No. 32 tahun 2005, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian di atas, pengeluaran anggaran belanja daerah dapat disimpulkan bahwa semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang dari rekening kas umum daerah yang dicatat pada perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan daerah.


(53)

2.2.5.2. Komponen Anggaran Belanja Daerah

Menurut Suhadak dan Nugroho (2007: 97) bahwa belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik, yang masing-masing belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Selain itu Halim (2007: 100) menyatakan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ini meliputi belanja operasi, belanja modal, belanja tidak terduga, dan belanja transfer. Klasifikasi kedua menurut organisasi, yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi penggunaan anggaran. Sementara itu klasifikasi menurut fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Mardiasmo (2002: 66), anggaran publik dibagi menjadi anggaran operasional atau yang sering disebut sebagai pengeluaran anggaran belanja rutin dan pengeluaran anggaran belanja modal atau yang dulu dikenal dengan nama belanja pembangunan.

Pengklasifikasian belanja, dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi ekonomi menurut Halim dan Mardiasmo yang membagi belanja berdasarkan belanja operasional/ belanja rutin dan belanja modal/investasi atau belanja pembangunan.


(54)

2.2.6. Pengertian Anggaran Belanja Modal

Pengertian anggaran belanja modal/investasi menurut Mardiasmo (2002: 67) dan Halim (2007: 101) adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan pemerintah. Menurut Halim dan Subiyanto (2008: 5), investasi didefinisikan sebagai penggunaan asset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, royalti, manfaat sosial/manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat. Dalam PP No. 58 Tahun 2005 disebutkan bahwa belanja modal (capital expenditure) adalah pengeluaran yang dilakukan dalam

rangka pembelian/pengadaan asset tetap dan asset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Selanjutnya, pengertian Belanja Modal dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 didefinisikan sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atas pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Kelompok belanja modal ini terdiri dari:

a. Belanja tanah b. Belanja kendaraan

c. Belanja peralatan dan mesin

d. Belanja modal gedung dan bangunan e. Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan f. Belanja asset tetap lainnya


(55)

2.2.7. Pengertian Anggaran Belanja Rutin

Pengertian anggaran operasional menurut Mardiasmo (2002: 66) adalah anggaran yang digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan kegiatan kepemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan dalam anggaran operasional adalah belanja rutin. Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk 1 tahun anggaran dan tidak dapat menambah asset atau kekayaan bagi pemerintah. Secara umum, pengeluaran yang masuk kategori anggaran rutin/operasional ini adalah antara lain Belanja Administrasi Umum dan Belanja Operasi dan Pemeliharaan.

Halim (2007: 101) mendefinisikan belanja rutin sebagai belanja operasi, yaitu pengeluaran anggaran kegiatan sehari-hari pemda yang memberi manfaat jangka pendek. Kelompok belanja ini terdiri atas:

a) Belanja pegawai b) Bunga, subsidi, hibah

c) Hibah

d) Bantuan sosial e) Belanja bagi hasil f) Bantuan keuangan g) Belanja tak terduga h) Belanja perjalanan dinas i) Belanja pemeliharaan


(56)

2.2.8. Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Menurut UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan dan kegiatan/aktivitas kepemerintahan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah didanai APBD yang bersumber dari pemerintahan daerah, meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Secara teori, perubahan jumlah pajak yang mempresentasikan jumlah pendapatan atau penerimaan daerah mempunyai dampak terhadap permintaan agregat dari barang dan jasa di dalam perekonomian (Nanga, 2005: 90 dan 95). Pengertian permintaan agregat atau istilah lainnya adalah PDRB merupakan jumlah barang dan jasa akhir (final goods and services)

yang dihasilkan di dalam perekonomian yang diminta pada berbagai tingkat harga (Nanga, 2005: 138). Sehingga permintaan agregat atau PDRB yang dihasilkan oleh suatu negara selama kurun waktu tertentu, biasanya 1 tahun, menunjukkan tahap pertumbuhan perekonomian suatu daerah (Nanga, 2005: 13).

Selain itu, menurut teori pengeluaran pemerintah yang didasarkan pada Hukum Wagner, menurut Musgrave, dinyatakan bahwa pengeluaran pemerintah bersifat relatif, sehingga hukum Wagner adalah “bila dalam perekonomian, pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat”. Teori Wagner tersebut disempurnakan oleh Peacock dan Wiseman yang mengemukakan sebuah


(57)

teori bahwa “perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar pula” (Mangkoesoebroto, 1993: 173).

Indikator kinerja perekonomian dan keberhasilan suatu daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah ditunjukkan dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi/PDRB riil (Nanga, 2005: 13; Bastian, 2006: 342). Suatu daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan pendapatan daerah tersebut, dengan kata lain PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi (Saragih, 2003: 55-58). Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan PDRB. Berdasarkan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB yang dilakukan oleh Bappenas (2003) pada pemerintah propinsi di Indonesia, 12 propinsi (41,37%) mempunyai nilai elastisitas ≥ 1 (lebih atau sama dengan satu), hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi perubahan pada PDRB akan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap perubahan PAD (Adi, 2006: 6).

Temuan empiris Bappenas tersebut didukung oleh penelitian Yuliati (2001: 22) yang menyimpulkan bahwa PAD berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Adi (2006) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki dampak yang


(58)

sangat signifikan terhadap peningkatan PAD. Penelitian Harianto dan Adi (2007) mengkonfirmasi penelitian Yuliati dan Adi bahwa PAD sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita.

2.2.9. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah diprioritaskan untuk pelayanan publik dan peningkatan pertumbuhan serta pemerataan program pembangunan daerah yang diwakili oleh PDRB (Mardiasmo, 2002: 59 dan 221; Bastian, 2006: 342 dan 354). Sehingga pengeluaran riil untuk anggaran belanja modal dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan daerah nantinya secara berkelanjutan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Kaum Klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas Malthus, dan John Stuart Mill), pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bersumber utama dari modal (Suryana, 2000: 59). Sependapat dengan Ekonom Kaum Klasik, Walt Whitman Rostow dalam bukunya “The Stages of Economic” (1960)

mengemukakan teori 5 tahapan proses pertumbuhan ekonomi untuk menuntut alur proses pertumbuhan atau pembangunan ekonomi suatu negara yang salah satu tahapannya untuk mencapai tahap lepas landas (take

off) adalah berlakunya kenaikan laju investsi/penanaman modal yang

produktif kurang lebih 5-10% dari pendapatan nasional atau produk nasional netto (Jhingan, 1990: 182; Suryana, 2000: 62). Selain itu, model pertumbuhan ekonomi Harrod Domar tentang Teori Pertumbuhan Mantap


(59)

(steady growth theory) adalah pengembangan analisis Keynes yang

menekankan atau memberikan peranan kunci tentang perlunya penanaman modal dalam proses penciptaan pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1990: 291; 2000: 66). Akumulasi modal merupakan keharusan bagi pembangunan ekonomi negara yang sedang berkembang untuk menjadi negara yang lebih maju, sehingga semakin besar modal yang tersedia maka akan mempercepat pembangunan ekonomi (Suryana, 2000: 72). Oleh karena itu Malthus berpendapat, untuk adanya perkembangan ekonomi diperlukan adanya kenaikan jumlah kapital untuk investasi yang terus menerus (Irawan dan Suparmoko, 2002: 27).

Investasi di sektor produktif adalah semua jenis investasi atau barang modal yang menambah sumberdaya-sumberdaya baru yang nantinya akan meningkatkan stok modal suatu negara sehingga yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat output dan pendapatan nasional yang

merupakan tolok ukur tingkat pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 2004: 214-215). Modal atau capital sebagai faktor produksi pada pembangunan

ekonomi bukan dalam bentuk uang (money) tetapi real capital atau capital

goods(barang-barang modal). Penanaman modal atau penambahan terhadap

persediaan barang modal biasanya disebut investasi (Kamaluddin, 1996: 71-72). Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (2005) investasi dalam kerangka pemerintah didefinisikan sebagai belanja modal/pembangunan karena memberi manfaat lebih dari satu tahun. Pengertian tersebut ditekankan pada penggunaan asset untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Suatu asset di


(60)

pemerintah (pusat atau daerah), khususnya asset tetap seperti dalam bentuk tanah, bangunan, infrastruktur sarana dan prasarana publik, dan asset tetap lainnya diperoleh melalui proses pengeluaran dana yang disebut Belanja Modal.

Menurut model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang dikembangkan W.W. Rostow dengan menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah seiring tahap-tahap pembangunan ekonomi, pada tahap-tahap awal perkembangan ekonomi pemerintah membutuhkan investasi yang besar. Teori ini lebih dikenal dengan teori “dorongan kuat” (big push theory) (Mangkoesoebroto, 1993:

170).

Teori pengeluaran yang dikemukakan oleh Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran dan kegiatan pemerintah yang semakin meningkat telah lama dirasakan, tendensi makin meningkatnya pengeluaran pemerintah oleh Wagner dinamakan “Gesetz der wachsenden Ausdenhnung

den Staatstatigkeiten” atau hukum selalu makin meningkatnya

kegitan-kegitan negara (law of ever increasing state activities). Sehingga hukum

Wagner tersebut oleh R.A Musgrave disebut hukum “growing public

expenditure” atau hukum makin meningkatnya pengeluaran-pengeluaran

pemerintah (Soetrisno, 1984: 364). Selain itu, teori pengeluaran pemerintah lainnya yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman menyatakan kaitannya bahwa meningkatnya penerimaan daerah menyebabkan meningkatnya pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, dalam keadaan


(61)

normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar (Mengkoesoebroto, 1993: 173).

Penelitian Yuliati (2001: 22) menyimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Adi (2006: 14) mengkonfirmasi penelitian Yuliati (2001) yang menyimpulkan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Dritsakis dan Adamopoulus (2004) juga membuktikan secara empiris bahwa belanja negara berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Yunani (Hamzah, 2007: 2). Selain itu studi yang dilakukan oleh Putri (2006: 62) dan Kurniawan (2008: 77) memberikan hasil yang sama bahwa konsumsi pemerintah/belanja pembangunan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.2.10. Pengaruh Realisasi Anggaran Belanja Rutin terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi bahwa pada tahap awal pemerintah lebih ditekankan pengeluarannya di bidang barang modal, padahal di sisi lain membutuhkan penggerak untuk barang modal dalam rangka mewujudkan pelayanan publik, yaitu tenaga kerja. Tenaga kerja di pemerintahan yang dimaksud adalah pegawai negeri sipil atau PNS, hal ini mengindikasikan bahwa realisasi anggaran belanja rutin, berupa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kegiatan kepemerintahan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.


(62)

Selain itu, menurut Hukum Wagner yang berbunyi “kegiatan pemerintah selalu meningkat, baik kegiatan rutin yang terprogram maupun yang tidak, akan memiliki pengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993: 173; Soetrisno, 1984: 364). Peningkatan kegiatan pemerintah ini dalam rangka meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Teori tersebut didukung oleh penelitian Kurniawan (2008) yang menyimpulkan bahwa realisasi anggaran belanja rutin berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan pengembangan dari teori dan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil premis yang kemudian dari premis tersebut akan disimpulkan sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengemukakan hipotesis. Premis-premis tersebut adalah sebagai brikut :

Premis 1: Penerimaan dan Pengeluaran belanja daerah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah (UU No. 33 tahun 2004 pasal 3, 4, dan 5).

Premis 2: Ada hubungan positif antara pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993: 173-174; Saragih, 2003: 55-58).

Premis 3: Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang bersifat produktif sehingga memilik hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993: 173-174; Soetrisno, 1984: 364).


(63)

Premis 4: Belanja Rutin merupakan pengeluaran yang berkaitan erat dengan kegiatan kepemerintahan, sehingga belanja rutin memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993: 173-174 dan Soetrisno, 1984: 364). Berdasarkan pada perumusan masalah, landasan teori, penelitian terdahulu dan premis, maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat diilustrasikan pada Gambar. sebagai berikut:

Analisis Regresi

Linear Berganda

Gambar. 1: Kerangka Pikir

2.4. Hipotesis (Hypothesis)

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diambil untuk penelitian ini adalah:

X

1

Realisasi Anggaran Pendapatan Asli

Daerah

X

2

Realisasi Anggaran Belanja Modal

X

3

Realisasi Anggaran Belanja Rutin

Y


(64)

a. Diduga Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB)

b. Diduga Realisasi Anggaran Belanja Modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB)

c.

Diduga Realisasi Anggaran Belanja Rutin berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB)


(65)

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut (Nazir, 1988: 152).

Pengukuran adalah penetapan atau pemberian angka atau nilai terhadap obyek atau fenomena menurut aturan tertentu (Nazir, 1988: 154). Variabel adalah sesuatu yang menjadi obyek pengamatan penelitian atau gejala yang diteliti. Terdapat dua macam variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen, dan variabel independen adalah variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain (Indriantoro dan Supomo, 1999. 61-65).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (X1), Realisasi Anggaran Belanja Modal

(X2), Realisasi Anggaran Belanja Rutin (X3), sebagai variabel bebas atau

independent variable dan Pertumbuhan Ekonomi (Y) sebagai variabel terikat

atau dependent variable.

3.1.1. Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Pertumbuhan Ekonomi yaitu jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi yang diukur melalui


(66)

3.1.2. Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah (X1)

Realisasi anggaran pendapatan asli daerah adalah nilai riil atas semua pendapatan yang diterima oleh daerah dan yang menjadi hak daerah tanpa perlu dibayar kembali oleh daerah. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah satuan rupiah, dengan skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio.

3.1.3. Realisasi Anggaran Belanja Modal (X2)

Realisasi anggaran belanja modal adalah nilai riil pengeluaran yang telah dianggarkan oleh pemerintah dengan memiliki masa manfaat ekonomis lebih dari satu tahun anggaran dan akan menambah kekayaan/asset pemerintah. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah satuan rupiah, dengan skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio.

3.1.4. Realisasi Anggaran Belanja Rutin (X3)

Realisasi anggaran belanja rutin adalah nilai riil pengeluaran pemerintah yang telah dianggarkan untuk membiayai kegiatan rutin dalam satu tahun anggaran dan tidak menambah kekayaan bagi pemerintah. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah satuan rupiah, dengan skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio.


(67)

orang, benda-benda, dan ukuran lain dari objek yang menjadi perhatian (Suharyadi dan Purwanto, 2003: 9).

Populasi dalam penelitian ini adalah data-data keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali tahun 2001-2010, dengan 9 wilayah sehingga berjumlah 90 data keuangan.

3.2.2. Sampel

Menurut Suharyadi dan Purwanto (2003: 9), sampel adalah suatu bagian dari populasi tertentu yang menjadi perhatian. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik judgement sampling,

yaitu penarikan sampel menggunakan pertimbangan yang sekiranya dapat memberikan prospek yang baik bagi perolehan data yang akurat (Djarwanto, 2001: 19).

Sampel dalam penelitian ini adalah data-data keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Bali tahun 200l-2008. Pertimbangan yang diambil dikarenakan:

1) Pelaksanaan otonomi daerah secara efektif diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001.

2) Ketersediaan data-data keuangan pemerintah Propinsi Bali tahun 2001-2008 yang diperoleh meliputi realisasi anggaran pendapatan asli daerah, realisasi anggaran belanja modal dan realisasi anggaran


(1)

100

2. Bagi penelitian selanjutnya, hendaknya memperluas jangkauan populasi, memperpanjang tahun pengamatan, menambah variabel bebas dan menggunakan analisis regresi panel.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Priyo Hari, 2006, Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali), Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX, Padang, 23-26 Agustus 2006, Hal. 1-21.

Ardani, Rezka Prakarsa, 2009, Analisis Pengaruh Realisasi Anggaran Pendapatan Asli Daerah, Pengeluaran Anggaran Belanja Modal, Dan Pengeluaran Anggaran Belanja Rutin Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Propinsi Jawa Timur Tahun

2001-2008), Skripsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Arsyad, Lincolin, 2004, Ekonomi Pembangunan, Edisi ke-4, Cetakan kedua, Penerbit STIE YKPN, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, 2003, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Tahun 2001-2003, Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta.

__________, 2004, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2003-2004, Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta.

__________, 2006, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2005-2006, Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta.

__________, 2008, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2007-2008, Penerbit Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Bastian, Indra, 2006, Sistem Akuntansi Sektor Publik, Edisi ke-2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

__________, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga, Jakarta. __________, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di

Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Djarwanto, 2001, Mengenal Beberapa Uji Statistik dalam Penelitian, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Ghozali, Imam, 2005, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

Gujarati, Damodar, 1995, Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa Sumarno Zain, Penerbit Erlangga, Jakarta.


(3)

Halim, Abdul, 2004, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Penyunting Prof. Dr. Abdul Halim, MBA. Ak., Edisi Revisi, Penerbit UPP AMP YPKN, Yogyakarta.

__________, 2007, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi 3, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Halim, Abdul, dan Subiyanto, Ibnu, 2008, Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah: Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintah

Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit UPP STIM YKPN,

Yogyakarta.

Hamzah, Ardi, 2007, Pengaruh Belanja dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran (Studi Pada APBN 1999-2006), Konferensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama: Membangun Pondasi Komunikasi Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Publik,

Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Vetaran” Jatim,

Surabaya, 25-26 April 2007, Hal. 1-18.

Harianto, David dan Adi, Priyo, 2007, Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita, Simposium

Nasional Akuntansi (SNA) X, Universitas Hassanudin (Unhas), Makasar,

26-28 Juli 2007, Hal. 1-26.

Ikatan Akuntan Indonesia, 2007, Standar Akuntansi Keuangan: per 1 September 2007, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang, 1999, Metodologi Penelitian Bisnis Untuk

Akuntansi dan Manajemen, Yayasan BPFE, Yogyakarta.

Irawan dan Suparmoko, 2002, Ekonomika Pembangunan, Edisi 6, Cet.1, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Jhingan, M.L., 1990, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Diterjemahkan oleh D. Guritno, Edisi ke-1, Cetakan ke-2, Penerbit Rajawali, Jakarta.

Kamaluddin, Rustian, 1996, Pengantar Ekonomi Pembangunan: Dilengkapi dengan

Analisis Beberapa Aspek Pembangunan Ekonomi Nasional, Penerbit LPFE

UI, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi Dan Pembangunan Daerah: Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi Dan Pembangunan Daerah: Reformasi,


(4)

Kurniawan, Andi Luthfi, 2008, Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Ponorogo Tahun

1993-2006, Skripsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unair, Surabaya,

Unpublished.

Mangkoesoebroto, Guritno, 1993, Ekonomi Publik, Edisi ke-3, Cetakan ke-1, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta.

__________, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. Musgrave, Richard A dan Musgrave, Peggy E, 1991, Keuangan Negara dalam Teori dan

Praktek, Alih Bahasa Drs. Alfonso Sirait, Ak., dkk, Edisi Kelima, Cetakan

Pertama, Penerbit PT. Erlangga, Jakarta.

Nanga, Muana, 2005, Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi ke-2, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nazir, M, Ph.D., 1988, Metodologi Penelitian, Edisi Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Peraturan Pemerintah, 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang

Standar Akuntansi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah, 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang

Standar Akuntansi Pemerintah.

Pirade, Ramon Diaz, 2006, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi di Jawa Timur, Skripsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya, unpublished.

Pracoyo, Tri Kunawangsih dan Pracoyo, Antyo, 2005, Aspek Dasar Ekonomi Makro di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.

Purbadharmaja, Ida Bagus Putu, 2006, Implikasi Variabel Pengeluaran dan Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Bali, Buletin Studi Ekonomi, Vol. 11 No. 1 Tahun 2006.

Putri, Ratih Dwimbantari, 2006, Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia Periode 1996-2003, Skripsi

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unair, Surabaya, unpublished.

Republik Indonesia, 2004, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah.

__________, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang


(5)

Santoso, Singgih, 2001, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Cetakan Kedua, Penerbit PT. Elex Media Computindo, Jakarta.

Saragih, Juli Panglima, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam

Otonomi, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soetrisno, 1984, Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, Cetakan Ketiga, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta.

Sudjana, 2002, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Edisi Pertama, Penerbit Tarsito, Bandung.

Suhadak dan Nugroho, Trilaksono, 2007, Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan

Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi Daerah, Edisi Pertama,

Cetakan Pertama, Penerbit Bayu Media dan Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA-Unbraw, Malang.

Suharyadi dan Purwanto S.K., 2003, Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Sumarsono, 2002, Metodologi Penelitian Akuntansi, Edisi Revisi, Penerbit Fakultas Ekonomi UPN “Veteran”, Surabaya.

Suparmoko, 1992, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi Keempat, Cetakan Keempat, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Supranto, J. 1984, Ekonometrik, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Suryana, 2000, Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan, Edisi Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Tarigan, 2007, Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan, Edisi Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

The Bali Times, 2011, Up to 2.8m Foreign Tourist This Year, http://www.thebalitimes.com/2011/02/17/up-to-2-8m-foreign-tourists-this-year/. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.

Yuliati, Asnafiah, 2001, “Kemandirian dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Menyongsong Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Sleman, DIY)”, Jurnal Kajian

Ekonomi dan Bisnis (KEBI), Vol. 6, Edisi April-Juli 2001, STIE Kerjasama

(Stiekers).

Baker, Aryn, 2003, Desperately Seeking Survival,

http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,393799,00.html

. Diakses pada tanggal 4 November 2011.


(6)

Kurniawan, Deny, 2008, Regresi Linier (Linear Regression), http://ineddeni.files.wordpress.com/2008/07/regresi_linier.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012.

The Jakarta Post, 2011, Only 2.23 Percent Of Loans In Bali Are Bad,

http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/25/only-223-percent-loans-bali-are-bad.html

. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.