MUTIARA HIKMAH IBNU ATHAILLAH SEBUAH PENGANTAR WISATA HATI DALAM MEMAHAMI RAHASIA KETUHAANAN DAN KEHAMBAAN

MUTIARA HIKMAH IBNU ATHAILLAH SEBUAH PENGANTAR WISATA HATI DALAM MEMAHAMI RAHASIA KETUHAANAN DAN KEHAMBAAN

MEMET KURNIA, S.Ag S.Pdi YAYASAN KURNIA MANDALA ASIH (YAKUMALA) SUBANG - INDONESIA

KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Segala puji adalah milik Allah seru sekalian alam yang telah banyak memberikan nikmat kepada makhluk-Nya, Dia tidak pernah merasa rugi dimana diantara makhluk-Nya banyak yang tidak berterimakasih atas apa yang diberikan-Nya, Dia tidak pernah berkurang sedikit pun Kemaha Agungan-Nya dimana banyak makhluk-Nya yang tidak menyembah-Nya dan begitu pula tidak bertambah Kemaha Agungan-Nya dimana banyak diantara makhluk-Nya yang bersujud dan berbakti kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selamanya terlimpah curahkan kepada penghulu para Nabi, penegak kalimah thayyibah dari masyriq sampai maghrib Nabi Muhammad saw dan semoga rahmat dan salam terlimpahkan pula kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikut- pengikutnya sampai akhir dunia, amin.

Al- Hikam adalah merupakan karya besar seorang sufi tawadu‟ bernama Imam Tajuddin Abu Fadli Ahmad bin Abdul Karim bin Athaillah As-Sakandari, kitab ini mengandung petuah-petuah kehidupan sebagai bekal setiap muslim dalam membantu menemukan kebenaran yang hakiki, namun dalam perkembangan peradaban dan pemahaman akal yang terus melaju meningkat dalam pengkwalitasannya, banyak kaum muslimin yang memandang kitab ini controversi dengan ajaran Islam dan tidak sedikit diantara mereka yang menyatakan bahwa kitab Al-Hikam adalah merupakan kitab yang sesat dan menyesatkan, dan sebagian muslimin yang lainnya menyatakan bahwa al- hikam merupakan sebuah kitab tuntunan untuk membantu menjawab permasalahan yang dihadapinya dalam pendekatan diri kepada Allah swt, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat dalam memandang Al-hikam ini wajar terjadi dan tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Sementara dalam pandangan penyusun bahwa penilaian terhadap Al-hikam bisa melahirkan beberapa penilaian, tergantung orang tersebut memandang dari sisi mana dan literatur apa yang digunankan sebagai landasan dalam memandang Al-hikam.

Penyusun sendiri memandang Al-hikam ini adalah merupakan sebuah karya yang langka dan sangat luas khasanah ketauhidan yang terkandung di dalamnya, Al-hikam tidak dapat dipandang hanya dengan satu landasan literatur dan rangkaian petuahnya antara yang satu dengan yang lainnya sangat erat kaitannya sehingga dalam memahaminya tidak bisa terpisah dan dipisahkan antara petuah satu dengan yang lainnya, apabila dipisah-pisahkan atau diambil hanya sebagian-sebagian akan melahirkan makna yang jauh dari maksud dan tujuan Ibnu Atha sebenarnya dan terlihat seolah petuah tersebut dapat menyesatkan dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebenarnya penyusun mengenal Al-hikam dan rangkain petuahnya baru sekarang-sekarang ini, sementara saat mengangsu ilmu di beberapa pesantren hanya mendengar namanya saja dan kesan- kesan yang terekam dalam fikiran tentang Al-hikam dan ajarannya merupakan monster yang menakutkan untuk digeluti, sehingga tidak menerik perhatian untuk dipelajari.

Namun setelah banyak membaca dan merenungkan kandungan Al-hikam penyusun menemukan kematangan dan kedalaman makna yang terkandung, sehingga dengan penuh kerendahan dan kedhaifan ilmu serta amal penyusun memberanikan diri untuk mengungkap dan mengkaji Al-hikam ini agar dapat dibaca oleh mereka yang kesulitan membaca dalam bahasa aslinya.

Kajian Al-hikam ini sangat jauh dari nilai sempurna karena penyusun menyadari keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, Al-hikam dalam pengungkapannya penuh dengan bahasa bersayap, maka untuk memahaminya tidak cukup dengan ilmu hasil dari penela‟ahan dan kajian, namun sangat diperlukankan pula pengalaman hati yang sering disebut dengan rihlatulqulub yaitu berwisatanya hati dalam menelusuri pemahaman dan kefahaman.

Penyusun kajian Al- hikam ini bukanlah seorang alim yang tawadu‟ dalam tashauf dan thariqah apalagi dalam ilmu syariat, dan bukan seorang asyiq yang sudah mahir berselancar dilautan keindahan Tuhan, apalagi seorang muwahhid yang telah fana dalam Dzat, tapi hanyalah sosok manusia yang hanya memiliki keinginan hari esok lebih baik dari hari ini, namun kenyataan selamanya terdampar dalam belenggu kebingungan dan ketololan diri disahara yang amat luas dan tak pernah tampak dimana ujungnya.

Terakhir penyusun berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya penghuni rumah nestapa “rihlah al-qulub al-ghafilin”. Dan harapan lainnya dari saudara-saudaraku sudi

kiranya untuk memberikan kritik dan saran untuk tulisan ini, apabila isi kajian ini ada yang bertentangan dengan pemahaman kesepakatan para penghulu tashauf dan thariqah, maka yang salah adalah tulisan ini.

Semoga Allah melimpahkan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada seluruh kaum muslimin. Amin

Wassalam

Penyusun

1. AMAL DHAHIR DAN KETERGANTUNGAN HATI

“Sebagian dari ciri seseorang yang bersandar pada ikhtiyarnya sendiri (amal dhahir) yakni kurangnya pengharapan dirinya terhadap kurnia Allah saat terjadinya kesalahan dan alfa”.

Beramal / ikhtiar diwajibkan secara syari‟at namun hakikat dari syari‟at melarang bahwa manusia bersandar penuh terhadap amal / ikhtiyarnya. Setiap manusia dalam melakukan amal (perbuatan) sudah barang tentu berjalan dua kiprah amal yaitu amal dhahir dan amal bathin. Dalam petuah Ibnu Atha di atas mengajak untuk merenungi hakikat amal.

Dalam kehidupan banyak orang melakukan amal yang sama namun sudah barang tentu suasana hati mereka pasti berbeda satu sama lainnya, andai amal dhahir tersebut mempengaruhi suasana hati, maka hati tersebut termasuk terpengaruh dengan amalan dhahir, andai hati terpengaruh dengan amal hati yang terpengaruh dengan amal dhahir maka hati itu pun ter masuk dalam hati yang bersandar pada amal dhahir, maka orang yang seperti itu termasuk pada orang yang bersandar pada amal dhahir.

Hati yang telah lepas dari barsandar pada amal dhahir atau bathin adalah hati yang telah sepenuhnya menghadapkan dirinya kepada Allah swt, tanpa membawa permintaan dan tuntutan serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah tanpa setitik pun membawa beban dan harapan selain-Nya. Hati yang sudah sampai pada tahapan ini adalah hati yang tidak menjadikan amalnya sebagai alat perniagaan dengan Allah demi mendapatkan sesuatu yang sesuai keinginannya, dan tidak menjadikan amal sebagai perantara antara dia dengan Allah swt, tidak mengukur Kasih Sayang Allah dengan terpenuhinya keinginan duniawinya seolah membatasi kekuasaan Allah sesuai keinginannya. Allah Maha Kuasa tidak akan tunduk dengan tuntutan sang makhluk, segala sesuatu dalam kehidupan berjalan sesuai dengan taqdir-Nya. P ara „arifin menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt.

Allah berfirman dalam surat Al- Mu‟min ayat 44

“Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya".

Sebelum masuk dalam jajaran ahli ma‟rifat, hati manusia selalu terikat erat dengan ketergantungan akan amal dhahir maupun amal bathin, orang yang selalu menggantungkan

keberhasilan dengan amal dhahir maka orang tersebut masih dalam tarapan yang mencari manfaat duniawi dan mereka yang bersandar kepada amalan bathin adalah mereka yang mencari manfaat keakhiratan, tetapi pada intinya kedua orang tersebut masih dalam katagori sama yakni menggantungkan dan menyandarkan hasil dari amalannya (ikhtiyarnya) dan mempunyai keyakinan bahwa amalnya yang dapat menentukan apa yang akan diperoleh baik di dunia maupun akhirat. Keyakinan seperti ini akan melahirkan hati yang kurang atau bahkan hilang rasa ketergantungan keberhasilan dengan amal dhahir maka orang tersebut masih dalam tarapan yang mencari manfaat duniawi dan mereka yang bersandar kepada amalan bathin adalah mereka yang mencari manfaat keakhiratan, tetapi pada intinya kedua orang tersebut masih dalam katagori sama yakni menggantungkan dan menyandarkan hasil dari amalannya (ikhtiyarnya) dan mempunyai keyakinan bahwa amalnya yang dapat menentukan apa yang akan diperoleh baik di dunia maupun akhirat. Keyakinan seperti ini akan melahirkan hati yang kurang atau bahkan hilang rasa ketergantungan

Petuah Ibnu Atha di atas mengajak manusia untuk melihat jauh ke dalam diri agar memeriksa kondisi hati sejauh mana dan seberat apa ketergantungan hati pada Allah, bagaimana suasana hati seandainya terperosok dalam sebuah alfa dan dosa, jika perbuatan tersebut melahirkan putus asa akan rahmat Allah itu menandakan bahwa ketergantungan hati kepada Allah sangat lemah.

“Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(Q.S. Yusuf : 87)

Ayat tersebut mengajarkan bahwa orang yang beriman dan berkeyakinan harus tetap bergantung kepada Allah dalam situasi apa pun dan kondisi bagaimana pun, bersandar dan bergantung hanya kepada Allah menjauhkan hati dari rasa putus asa, apabila kehidupan tidak senada dengan keiginan dan harapan atau yang diusahakan seluruhnya di kembalikan pada ketentuan dan taqdir Allah semata, andai hati manusia sudah sampai pada tahapan ini hidup akan terasa indah dan selamanya hari-hari dunia laksana malam pengantin. Terpenuhi atau tidaknya harapan dan keinginan adalah sebatas warna kehidupan semata, susah dan senang hanyalah rona perjalanan anak manusia, berlimpah atau kurangnya harta hanyalah penggenap indahnya lukisan alam , tinggi dan rendahnya jabatan tak jauh hanya pelengkap dan penyempurna pesona. Mereka menganggap taqdir dan ketentuan Allah seluruhnya adalah baik bagi makhluknya dan selamanya berdo‟a sebagaiman al-qur‟an mengajarkanya

"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S Ali Imran : 191)

Termasuk orang tidak beriman kepada Allah mereka yang menggantungkan segalanya kepada amal perbuatannya baik dalam bentuk usaha dan do‟a, itu semua dilakukannya hanya untuk dirinya sendiri bukan karena Allah, mereka bermaksud dengan amalnya ingin meraih kemakmuran di dunia, perbuatan ibadahnya selalu dikaitkan agar bertambahnya kekayaan dan dihindarkankan dari mara bahaya dan kemelaratan sehingga lahirlah aurad- aurad untuk kemakmuran dan talak bala. Mereka menganggap bahwa taqdir Allah berupa kemiskinan, penyakit dan ajal adalah merupakan musibah yang harus dihindari dan dijauhi sebab akan melahirkan kesengsaraan hidup. Dan sebagian orang mempunyai anggapan bahwa amal kebaikan yang dilakukan akan melahirkan kemuliaan diakhirat dan sebagai surat sakti atau lisensi masuk surga dan di jauhkan dari siksa neraka.

Ketergantungan pada amal akan melahirkan pula pribadi yang rapuh, tidak tahan uji dan suka membanggakan diri, karena dalam menjalani kehidupan orang seperti ini selalu menginginkan bahwa hidupnya berjalan sesuai keinginannya, apabila terjadi kenyataan berseberangan dengan keinginannya maka segera gelisah mewarnai hari-harinya, apabila bencana merapat dalam kehidupannya mereka merasa makhluk paling malang di dunia. Dan apabila mereka mendapatkan Ketergantungan pada amal akan melahirkan pula pribadi yang rapuh, tidak tahan uji dan suka membanggakan diri, karena dalam menjalani kehidupan orang seperti ini selalu menginginkan bahwa hidupnya berjalan sesuai keinginannya, apabila terjadi kenyataan berseberangan dengan keinginannya maka segera gelisah mewarnai hari-harinya, apabila bencana merapat dalam kehidupannya mereka merasa makhluk paling malang di dunia. Dan apabila mereka mendapatkan

Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". (Q.S Al-Qashash : 78)

Bagi setiap manusia yang meniti jalan menuju Ilahi, apabila keyakinan dan keruhanian mulai kuncup kemudian merekah maka hati sudah mulai meramping, dia memandang amal sudah tidak lagi sebagai penentu alur kehidupan atau memandang faidah-faidah untuk dunia maupun akhirat, tetapi sudah dijadikannya sebagai jalan pendekatan diri dengan Allah swt, babak baru sudah dimulai dia hanya berharap kurnia Allah dengan dihantarkan amalnya dan tirai-tirai yang melilit halus dihatinya perlahan-lahan terurai. Orang di tahapan ini baru meniti bahwa amal bisa mengantar pada Allah, maka mereka selalu meningkatkan amalnya seperti dzikir, bangun malam, puasa dll, karena beranggapan bahwa pencapaian ruhani dapat di raih dengan amal ibadah yang tanpa lelah, sehingga apabila mereka terlewat satu amal saja yang biasa dilakukannya atau terperosok dalam jurang dosa dan kemaksiatan maka mereka merasa bahwa Allah jauh darinya. Hal ini merupakan tahap awal dalam meniti tangga menuju Allah.

Bersandar pada amal ini termasuk pula bersandar pada pengetahuan dan kekuatan bacaan- bacaan tertentu seperti halnya amalan, baik dari mistik islami berupa ayat Al- qur‟an dan doa-doa maupun dalam bentuk mantra (jangjawokan –sunda), Mayoritas orang selalu berkeyakinan bahwa atsar (refleksi) yang meluluskan permohonan bersandar pada ayat-ayat atau jampi-jampi sehingga mereka melupakan Allah yang telah menciptakan atsar tersebut.

Bagi mubtadi penempuh jalan Ilahi di atas (yang menyandarkan diri kepada Allah dengan amalnya) mereka terus berusaha meningkatkan amalnya melalui bangun malam, lapar, diam dll, seandainya Allah menghendaki untuk meningkatkan kerohaniannya maka maqam yang ditempuh selanjutnya adalah penerapan makna awal dari

Tiada daya untuk menghindar dari bahaya kesalahan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah swt

Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali) (Q.S Ar-Rum : 40)

Bagi mereka yang telah mencapai maqam ini tidak lagi memandang amalnya sebagai penentu keberhasilan atau sandaran hatinya, meskipun dilakukan dengan kapasitas tinggi semua itu dipandangnya semata kurnia Allah swt.

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia (Q.S An-Naml : 40).

Kondisi hati penempuh jalan Ilahi dalam tahap ini, bahwa semua yang terjadi adalah anugerah Allah dan milik-Nya, sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi mereka untuk bersandar dan

berbangga hati dengan amalnya, maqam ini sering disebut dengan maqam „Arifin, mereka menekankan pada ritual ibadah dengan disiplin yang tinggi tapi tidak berharap dan berkeyakinan bahwa itu amalnya melainkan taufiq dan hidayah Allah swt.

Mereka yang masuk dan berbaur dengan lentur dalam samudera taqdir, menerima segala ketentuan baginya, tidak terlihat bermuram durja saat kenyataan berbenturan dengan harapannya, tidak berduka cita andai ditinggalkan atau kehilangan sesuatu yang berarti bagi manusia, mereka tidak memandang makhluk sebagai musabibul-asbab.

Bagi mereka yang terus berjalan tak mundur dengan aral dan rintang terus melaju mempertebal amalnya sehingga sampai pada tersingkapnya hijab yang menyelimuti mata hatinya. Mereka sudah bulat memandang amal adalah semata kurnia Allah dan mulai dari sana mereka baru mengenal dirinya dan Tuhannya sedikit demi sedikit, Mereka merasa bahwa dirinya adalah hanya makhluk yang lemah dan hina, jahil dan bakhil, serba kurang dalam segala hal, sementara Allah adalah sang khalik yang Maha Gagah, Maha Kaya, Maha Kuasa; Maha Bijaksana dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya.

2. AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

Keinginanmu untuk tajrid (hanya ibadah tanpa bergantung kasab duniawi) padahal Allah masih

meletakkanmu pada barisan orang-orang yang mesti berusaha kasab untuk memenuhi kebutuhanmu sehari-hari maka keinginanmu itu merupakan syahwat (nafsu) yang samar, dan sebaliknya keinginanmu untuk berusaha kasab, sementara Allah telah menempatkanmu pada barisan orang yang selalu beribadah tanpa kasab, maka keinginanmu itu adalah menurun dari semangat dan tingkat yang lebih tinggi

Kehidupan dunia menjalani ketentuan yang diatur oleh Allah swt sering disebut “sunatullah”. Hukum yang berlaku untuk dunia adalah hukum kausalitas (sebab akibat). Dalam petuah Ibnu Atha yang pertama tentang ketergantungan manusia pada amal, bersandarnya manusia terhadap amal adalah sifat dasar (thabi‟i) manusia sendiri, apabila kehidupan dunia ini dilihat dan direnungi

dengan akal serta perangkatnya yakni pengetahuan, kehidupan dunia terlihat begitu tertata dan teratur dari system ke system yang lain termasuk dengan sub-sub sistemnya, maka dengan inilah dunia disebut pula alam asbab, asbab ini terkait erat dengan musabbab dan sudah barang tentu sangat erat kaitannya dengan Sang Musabbibul asbab (Al-Khalik)

Dengan adanya ketentuan keterkaitan antara asbab dan musabbab (sebab akibat) maka manusia dengan akalnya memandang dengan jelas adanya atsar (bekas pekerjaan) dari asabab (sebab) terhadap musabbab (akibat). Dengan kerapihan system asbab dan musabbab membolehkan manusia

mengambil manfaat dari anasir dan kejadian alam, manusia boleh mencari dan menentukan anasir yang menyebabkan penyakit dan mencarikan anasir yang mengandung obat dan menyatakannya sebagai obatnya, manusia boleh meramalkan cuaca, pasang surut air laut, adanya gelombang dan badai, gempa, gunung meletus dsb, karena system yang mengawali perjalanan anasir alam bersifat sangat rapi dan sempurna membentuk hubungan mata rantai yang padu antara sebab dan akibat.

Allah menciptakan hukum asbab musabbab ini berlaku untuk dunia adalah untuk memudahkan manusia dalam mengatur dan menata kehidupannya di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera mampu menguak kehidupan antara asbab dan musabbab, sayangnya manusia banyak terbius dengan rapinya system sebab akibat, mengakibatkan manusia bergantung kepada amal (asbab) dalam mendapatkan akibat (musabbab).

Sistem asbab musabbab sering melupakan manusia terhadap Allah swt selaku Musabbibul asbab, manusia selalu beranggapan bahwa asbab yang melahirkan musabbab seolah-olah Allah tidak ikut serta dalam permasalahan mereka, padahal dengan jelas dan gamlang Allah swt memproklamirkan sebagai tempat bergantung segala sesuatu dan tak ada sekutu bagi-Nya.

               ” Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa

. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. . Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, . dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."(Q.S Al-Ikhlas)

Allah sangat benci makhluk-Nya yang mempersekutukan kekuasaan-Nya dengan sesuatu yang lain dari makhluk-Nya berupa anasir alam dan hukum asbab musabbab yang diciptakan dan diatur- Nya. Dia yang telah menata dan merapikan hukum asbab musabbab dan hanya Dia yang mampu merombaknya, perombakan ini sering disebut dengan khawariq al- „adah (diluar kebiasaan).

Untuk mengembalikan pandangan manusia yang salah terhadap hukum asbab musabbab Allah menurunkan 104 kitab dis ertai dengan mu‟jizat-mu‟jizat bagi para utusan-Nya, tidak adanya kekuatan api untuk membakar saat Nabi Ibrahim as di dalamnya, terbelahnya air laut tatkala terkena pukulan tongkat Nabi Musa, yang sudah mati dapat dihidupkan kembali oleh Nabi Isa, ini memberi pelajaran bagi manusia bahwa tak ada kekuatan bagi selain Allah yang mampu berbuat. Ternyata tidak ada atsar (bekas dari pekerjaan) dari asbab kecuali dalam kendali dan ketentuan Allah swt, semestinya hukum asbab musabbab (sebab akibat) ini dan terjadinya contoh-contoh khawariq al- „adah dapat mengantar manusia untuk mengenal Tuhanannya termasuk mengenal dirinya sendiri,

bukan sebaliknya justru mempertebal hijab dan menyatakan sesuatu terjadi dikarenakan semata hal yang melatar belakanginya.

Dengan qudrat dan iradah Allah ada sebagian orang yang diselamatkan dari waham asbab musabbab (sebab akibat), mereka menjalani kehidupan masih terlingkupi kehidupan sebab akibat tetapi mereka tidak memandang atsar (bekas perbuatan) musabbab pada rakaian asbab, andai sesuatu asbab mampu mengeluarkan musabbab mereka meyakini bahwa Allah swt yang menyimpan kekuatan pada asbab tersebut dan Allah swt juga mengeluarkan musabbabnya.

Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S Al-Hadid : 1-2)

Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti (Q.S AlBaqarah : 73)

Melihat penjelasan di atas bahwa orang yang menyandarkan musabbab terjadi hanya semata asbab maka orang tersebut disebut ahli asbab dan bagi mereka yang memandang kekuasaan Allah yang melingkupi hukum asbab musabbab tidak menyandarkan bahwa musabbab terjadi karena asbab maka orang tersebut disebut ahli tajrid.

Dalam mengikuti alur kehidupannya semua manusia sama, baik ahli tajrid maupun ahli asbab, ahli tajrid menjalani kehidupannya tidak mengekslusifkan diri, mereka makan dan minum, berusaha mencari nafkah, memiliki kekayaan dll sebagimana ahli asbab pun seperti itu, sementara perbedaan diantara mereka adalah terletak pada hati memandang asbab musabbab, hati ahli asbab meyakini kepada kekuatan hukum alam, ahli tajrid melihat kekuasaan Allah dibalik hukum alam, meski ahli asbab meyakini pula kekuasaan Allah tetapi tidak sedalam dan sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan amal antara ahli asbab dan ahli tajrid berbeda dalam motivasi dan niat dalam hati, ahli asbab dalam melakukannya memerlukan pemaksaan diri dan mejaga amal mereka dari sesuatu yang dapat merusak amalnya, mereka berusaha dalam amalnya agar tidak ria, sombong, merasa diri lebih baik dari orang lain, merasa lebih pintar, lebih kuat, sam‟ah (mencari perhatian

orang lain agar dia disebut orang baik). Ahli asbab selalu menjaga kebaikan amalnya sebelum dan sesudah melakukannya. Berbeda dengan ahli tajrid, suasana hati mereka tidak memandang ikhlas atau tidaknya sebuah amal karena mereka tidak bersandar pada amal, apabila memandang amal ikhlas berarti memandang diri sendiri sudah ikhlas. Jika seseorang telah merasa bahwa dirinya telah ikhlas dalam amal, pada dirinya masih tersimpan keegoan yang besar yang bisa melahirkan riya, sombong dan sam‟ah.

Ada pepatah menyebutkan

Janganlah engkau bangga andai telah terasa ikhlas mendasari ibadahmu. Usah hatimu berbunga kalau merasa ikhlas telah menjadi bingkai ubudiahmu. Ketahuilah, 'abudah mustahil dapat diraih dengan sesuatu yang masih terasa dan merasa. Bila kedua rasa itu masih bercokol dalam kalbumu berarti engkau belum memahami makna ikhlas sesungguhnya.

Orang ikhlas dalam amalnya selalu melupakan amalnya, ikhlas sama halnya dengan harta dalam perumpamaan seorang miskin diberi harta oleh seorang hartawan, orang miskin itu pasti malu dan tak berani berunjuk gigi dan menepuk dada serta mengatakan bahwa saya sudah kaya dihadapan sang hartawan yang memberinya harta tersebut. Ahli tajrid dianugrahi ikhlas oleh Allah dalam amalnya mereka mengembalikan semuanya kepada Allah swt, andai harta si miskin adalah hak sang hartawan begitu pula ikhlasnya ahli tajrid adalah milik Allah swt, dengan demikian ahli asbab bergembira dalam ikhlasnya, ahli tajrid memandang Allah yang telah mengatur semua urusannya, ahli asbab diarahkan Allah pada syukur ahli tajrid dibimbing Allah dalam kepasrahan dan penyerahan.

Semestinya ahli asbab menyadari bahwa kebaikan yang dilakukannya adalah berupa teguran agar mereka ingat akan Allah selaku Musabbibul Asbab yang telah mengatur dengan sempurna antara asbab dan musabbab (sebab akibat). Kebaikan yang dilakukan ahli tajrid adalah karunia Allah, mereka tidak memandang dirinya dan kepentingannya sedikit pun. Diantara para ahli tajrid ada yang dipilih oleh Allah, mereka selain tidak memandang atsar (bekas pekerjaan) dari hukum asbab musabbab mereka pula diberi kekuatan mampu menguasai hukum sebab akibat itu, mereka adalah para nabi dianugerahi ma‟jizat dan para wali dengan karomahnya. Adanya mu‟jizat dan

karomah ini bertujuan untuk merombak pandangan ahli asbab terhadap hukum asbab musabbab.

Bagi pemula dalam thariqah dengan melihat karomah yang telah didapat para wali sebagai anugerah Allah swt, karena kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka cenderung untuk memilih jalan tajrid yang berarti meninggalkan semua ikhtiar dan hanya bertawakkal sepenuhnya kepada Allah swt, sikap tajrid seperti ini membuat seseorang meninggalkan jalan kasabnya, Bagi pemula dalam thariqah dengan melihat karomah yang telah didapat para wali sebagai anugerah Allah swt, karena kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka cenderung untuk memilih jalan tajrid yang berarti meninggalkan semua ikhtiar dan hanya bertawakkal sepenuhnya kepada Allah swt, sikap tajrid seperti ini membuat seseorang meninggalkan jalan kasabnya,

Perilaku mereka yang seperti ini tidak akan bertahan lama, sampai titik klimak kejenuhannya mereka akan meninggalkan kumpulan thariqahnya dan kembali pada kehidupan sebelumnya atau bahkan mereka berperilaku lebih buruk sebelum barthariqah, inilah potret kehidupan seorang sufi tak kesampaian karena salah melangkah dalam perjalanannya, mestinya mereka menyadari bahwa mereka adalah pemula dalam dunia latihan kerohanian sudah mau berbuat seperti para wali yang telah berpuluh tahun terbiasa dalam penempaan diri. Bertajrid dengan tergesa-gesa akan melahirkan prasangka dan dugaan yang dapat meluluh lantakkan imannya dan menghantar pada lembah putus asa.

Semestinya bagi para pemula penempuh jalan Ilahi hendaklah bercermin diri dan mengenali diri sendiri, daya dan kemampuan serta kedudukan, seandainya masih dalam golongan ahli asbab maka seseorang harus bertindak sesuai hukum asbab musabbab, dia harus berusaha untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula menghindar dari bahaya dan kecelakaan, karena perlu diketahui ahli tajrid pun masih mengikuti hukum alam. Ahli asbab masih terikat dengan kemanusiaan maka dengan itu wajar masih beranggapan bahwa tindakan makhluk akan memberi kesan pada dirinya maupun orang lain. Allah swt menetapkan seseorang sebagai ahli asbab yang kemudian bisa meraih ahli tajrid yaitu dimana segala permasalahan dan tindakannya menurut kesesuaian dengan hukum asbab musabbab tidak membuat mereka mengabaikan tuntutan agama, ringan dalam beribadah, tidak terlalu terbius dengan moleknya duniawi, tidak iri melihat orang lain. Seandainya ahli asbab seperti ini jiwanya akan terus berkembang dengan baik tidak akan menghadapi guncangan yang mengakibatkan putus asa akan rahmat Allah swt. Kerohaniannya akan bertamabah kuat sedikit demi sedikit dan menghindari tajrid secara dini, akhirnya ia bisa bertajrid dengan sepenuhnya.

Pribahasa mengatakan „1001 jalan menuju roma‟ begitu pula scenario Allah dalam mengantarkan manusia yang berada dalam wilayah asbab menuju arena tajrid, ada sebagian orang yang dihantarkan Allah menuju tajrid melalui pemaksaan taqdir kepadanya, seperti seseorang yang sebenarnya dia adalah ahli asbab yang menjalani kehidupannya sebagaimana kebanyakan orang yakni masih terkungkung dengan pola hidup asbab musabbab, Allah menghendaki orang tersebut supaya meningkat kerohaniannya maka takdir memaksanya untuk terjun di pangkuan tajrid.

Apabila seorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah sendiri yang mengatur urusan kehidupannya, Allah menerangkan jaminan untuk orang bertajrid dalam firman Allah

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( Q.S Al-Ankabut :60 )

Khalil Ghibran mengatakan : Burung memiliki kehormatan yang tidak dimiliki manusia, burung hidup dengan ketentuan hukum Tuhan sementara manusia hidup dengan hukum buatannya sendiri

Banyak sekali makhluk Allah swt di muka bumi ini yang menjalani hidupnya hanya memikirkan untuk saat ini seperti burung, ikan dll, mereka tidak memiliki tempat simpanan makanan, mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rizkinya oleh Allah, jaminan ini pun berlaku Banyak sekali makhluk Allah swt di muka bumi ini yang menjalani hidupnya hanya memikirkan untuk saat ini seperti burung, ikan dll, mereka tidak memiliki tempat simpanan makanan, mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rizkinya oleh Allah, jaminan ini pun berlaku

Apabila ahli tajrid memindahkan dirinya menuju maqam asbab, berarti dia melepaskan jaminan Allah dan beralih bersandar kepada makhluk, menunjukkan kebodohannya tentang kurnia Allah swt. Seharusnya sang hamba harus bisa menerima dengan apa yang ditentukan Allah baginya, Allah Yang Maha Tahu akan segala sesuatu tentang yang pantas bagi hambanya. Keinginan untuk menurunkan maqam merupakan tipu muslahat dan jerat yang sangat halus, di dalamnya terkandung nafsu yang sulit disadari, karena napsu ini sangat samar meliputi keinginan, asa dan harapan.

Orang yang baru pertama merasakan keterbukaan hati setelah sekian lama tenggelam dalam samudera kelalaian akan terus melaju dengan mudahnya menuju maqam tajrid meninggalkan maqam asbab, bagi mereka yang telah lama merasakan indahnya surga tajrid apabila lalai dimana kesadaran kemanusiaannya menyergap hatinya kembali, nafsu mencoba bangkit kembali.

Ahli asbab sesegera mungkin ingin memasuki maqam ahli tajrid secara halus digerakkan oleh egonya sendiri yang tersipan dalam lubuk hati yang dalam, begitu pula ahli tajrid seharusnya selalu mengingat bahwa dorongan untuk kembali ke maqam asbab dipengaruhi oleh nafsunya yang belum terpisahkan dari hatinya secara paripurna.

3. KEKUATAN TIRAI TAQDIR

“Kekuatan semangat (harapan, cita-cita, ikhtiyar) tak berdaya menembus tirai taqdir”

Kedua petuah di atas telah memberi kefahaman dan pembelajaran pada hati seseorang, sehingga mampu memahami bahwa bersandar pada amal bukanlah jalan yang harus terus ditempuh, hal tersebut mengantarkan manusia pada tahap kecenderungan dalam penyerahan diri sepenuhnya terhadap taqdir Allah swt, sikap menyerahkan diri tanpa penempaan hati dan kurang persiapan kerohanian akan menggoyangkan iman, terlebih dalam kondisi semangat beribadah sedang mengalami titik klimaks, agar tidak salah memilih jalan. Pengetahuan tentang maqam asbab dan tajrid diharapkan dapat mendidik seseorang agar menyerahkan diri kepada Allah dengan cara yang sesuai dengan aturan Allah sendiri (perlu melalui proses yang benar) bukan meyerah dan pasrah dengan cara instant.

Ibnu Athaillah dengan petuah ketiganya ini mengajak untuk merenung betapa tebal dan kuatnya tirai taqdir yang mengelilingi segala sesuatu. Dalam pandangan ahli tajrid bahwa kekuasaan Allah yang meletakkan kesan pada suatu asbab dan menetapkan sesuatu terjadi dalam akibatnya, semua ini memiliki makna bahwa segala sesuatu berada dalam pengurusan dan pengaturan Allah swt, tak ada yang lepas satu hal pun meski hanya sehelai daun yang jatuh. Oleh karena itu tidak ada yang terlepas dari taqdir Allah.

Kelalaian manusia dalam memahami taqdir karena dihijabi dengan ketidak mengertian akan hubungan yang hahiqiqi antara asbab dan musabbab. Egois dalam diri seseorang menjadi kendaraan asbab musabbab yang paling berbekas menghijab pandangan hati dari pada memandang taqdir. Apabila disimpulkan bahwa hijab keegoisan ini mencakup nafsu dan akal, nafsu melahirkan keinginan, harapan, cita-cita sementara akal sering dijadikan nafsu sebagai bala tentaranya. Dalam menjalani proses penyerahan diri secara total kepada Allah swt, maka yang harus dilakukan oleh seseorang adalah harus mampu menundukkan nafsu dan akal tunduk dibawah kekuatan taqdir, nafsu dan akal harus mengakui kelemahannya dan tak berdaya disaat berhadapan dengan tirai taqdir, seandainya kedua potensi manusia ini telah mampu tunduk pada taqdir barulah seseorang tersebut masuk dalam jajaran yang iman terhadap taqdir.

Keimanan seseorang terhadap taqdir semestinya dapat melahirkan penyerahan yang berlandas ilmu bukan penyerahan yang lahir dari kebodohan, seseorang yang bodoh tidak akan berserah diri kepada Allah swt dengan sesungguhnya karena dibalik kebodohannya, nafsu akan memanfaatkan akal untuk menimbulkan keraguan dalam hatinya. Hati orang bodoh masih terbelenggu kuat dengan rasa kemanusiaan, mereka masih mengedepankan rasa ingin senang dan tidak mau susah, mereka masih terpengaruh dengan tidakan orang lain sehingga mengacaukan jiwanya, kondisi seperti itu menimbulkan mereka tidak mampu bertahan lama dalam berserah diri, sementara dalam sebuah hadits disebutkan :

“Sesungguhnya seorang bertanya kepada Rasulullah : Ya Rasulullah saw, apa iman itu ? jwab Rasulullah aw : Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Raul-Rasul-Nya, hari kemudian dan kepada taqdir baik, buruk, manis dan pahit adalah dari Allah swt “

Mayoritas manusia sering keliru dalam memandang dan memahami taqdir, mereka memandang taqdir bahwa Allah hanya menentukan hal-hal dasar dan menentukan hasilnya nanti setelah Allah melihat, menimbang kemudian baru memutuskan, sebagai contoh, seseorang awalnya ditetapkan miskin tetapi kemudian dia berusaha dengan gigih melalui usaha lahir dan berdoa, karena kegigihannya Allah menjadi simpati kemudian dirubahnya takdir miskin menjadi kaya dengan pertimbangan sesuai dengan perjuangannya. Pandangan dan anggapan seperti itu adalah keliru dan akan mengantarkan dalam kesesatan, karena meletakkan diri setara dengan Allah bahkan memandang Allah dalam posisi lebih rendah sehingga menurut sesuai keinginan manusia.

Agar manusia lepas dari kesesatan di atas mereka harus memahami dengan sebenarnya tentang taqdir, segala yang terjadi tidak lepas dari ketentuan dan pengaturan Allah swt tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Al- qur‟an menjelaskan dengan jelas dan tegas.

“.Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya .

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.(Q.S Al-Hadid : 22)

“ Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-Mulku : 1)

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S At-Takwir : 29)

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Insan : 30)

” Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”(Q.S Al-Ala :3)

Segala sesuatu yang berada di bumi dan di langit serta diantara keduanya berada dalam , ketentuan dan pengaturan Allah swt, sementara ikhtiar, berusaha, perjuangan, doa, karomah, maunah, istidraj juga mukjizat dan irhash adalah berada dalam ketentuan Allah. Lingkup taqdir mengelilingi segalanya tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menembus tirai taqdir yang maha Segala sesuatu yang berada di bumi dan di langit serta diantara keduanya berada dalam , ketentuan dan pengaturan Allah swt, sementara ikhtiar, berusaha, perjuangan, doa, karomah, maunah, istidraj juga mukjizat dan irhash adalah berada dalam ketentuan Allah. Lingkup taqdir mengelilingi segalanya tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menembus tirai taqdir yang maha

Segala sesuatu awalnya dari Allah dan sudah barang tentu kembali juga kepada-Nya, seluruhnya berada dalam taqdir-Nya dan dalam menentukan atau mengurus dan mengaturnya, Allah tidak membutuhkan yang lain. Dia yang memastikan sesuatu dan tak ada yang mampu menghadang ketentuan-Nya.

Apabila seseorang telah mampu memahami taqdir dengan sesungguhnya maka orang tersebut sudah tidak dibingungkan dengan kehidupan baik dalam ikhtiyar maupun dalam berserah diri. Dalam menjalankannya tergantung masing-masing maqam, bagi mereka yang masih dalam maqam asbab berusaha dengan gigih dan penuh semangat adapun mengenai hasilnya apapun diterima dengan lapang dada dan senang karena itu adalah taqdir yang diberikan Allah, setiap yang Allah berikan adalah hal yang terbaik bagi manusia. Maka ahli asbab dituntut dalam menerima taqdir Allah apabila taqdir tersebut sesuai dengan harapannya maka semestinya dapat mengantarkannya pada rasa syukur, apabila sebaliknya taqdir yang diterimanya tidak sesuai dengan harapannya semestinya mereka bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Bagi mereka para penghunui maqam tajrid hendaknya ketentuan yang diberikan Allah diterima dengan penuh bahagia tidak perlu kecut hati andai kekurangan rizqi atau kesuasahan merapat dalam kehidupannya, apapun rona kehidupan yang mewarnai adalah dalam garis taqdir Allah, begitu pula andai Allah memberi kelebihan dalam bentuk karomah kepada dirinya semestinya dipandang sebagai anugerah Allah swt.

Masalah taqdir sangat erat kaitannya dengan hakikat yang dibawanya dan hakikat tersebut dapat menarik perhatian yang banyak tertuju pada yang satu, sebagai contoh satu buah buncis, buncis yang sekarang beredar di dunia, betapa banyak entah sampai berapa juta atau mungkin di atas milyar jumlahnya. Kalau direnungkan ternyata berasal dari satu buncis saja, setelah ditanam maka buncis yang satu itu tumbuh menjadi baik dan tentunya dapat menghasilkan buah buncis yang sama dengan dirinya, buncis yang satu milyar tidak ada bedanya dengan buncis yang pertama, benih buncis yang pertama bukan hanya dapat menjadi sebatang pohon tetapi mampu melahirkan generasi buncis selanjutnya, tapi ia hanya bisa melahirkan generasi buncis tidak bisa melahirkan yang lainnya.

Perkembangan dari satu buncis ke sekian banyak buncis tak lepas dari hakikat buncis pertama masuk dalam buncis-buncis kemudian, bukan arti bahwa buncis pertama mendiami pada buncis kemudian tetapi buncis yang kemudian tek lepas dari buncis yang pertama, tanpanya tak akan ada buncis-buncis tersebut. Itulah yang disebut dengan hakikat buncis, inilah warna ketuhanan yang mengurus dan mengawali pertumbuhan buncis dari awal sampai akhir tutup dunia, Allah awt telah menentukan kejadian buncis, sementara hakikat buncis tidak punya pilihan lain kecuali melahirkan buncis.

Begitu pula dengan taqdir Allah dalam proses perwujudan manusia, Allah mengatur dengan mengawali kewujudan manusia dan turunannya, manusia pun tak lepas dari hakikat manusia. Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama menurut hakikat manusia yang ada dalam ketentuan- Nya, Al- qur‟an menjelaskannya

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S An-Nisa : 1)

Dalam kejadian Adam Allah menyimpan kemampuan untuk melahirkan manusia karena sebagaimana buncis tadi Adam pun memiliki hakikat, karena hakikat manusia maka akan melahirkan manusia

Pada hakikat manusia terdapat pula yang menguasai hakikat masing-masing perseorangan yang kaitannya dengan alam yang lain, yang menunjukkan kedudukannya sebagai contoh, seseorang berhakikat Nabi maka dia akan menjadi nabi, hakikat wali ia kan menjadi wali, begitu pula dengan hakikat kafir ia akan menjadi kafir. Warna ketentuan Allah menguasai hakikat roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja menunjukan segala maklumat dan dokterin pada hakikat yang menguasainya. Kerja roh hanya melaksanakan urusan Allah yaitu menyatakan apa yang telah digariskan dalam taqdir-Nya.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S Al-Isra : 85)

Taqdir Allah menguasai roh dan mengatur roh untuk menunjukkan ketentuan-Nya sejak zaman azali, dan Allah menentukan segala sesuatu sejak zamam azali pula , tak ada perubahan dalan ketentuan-Nya. Segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi berserta yang ada diantara keduanya dikawal oleh hakikat yang berada dalam taqdir-Nya. Buncis tidak bisa meminta menjadi nangka, kera tak bisa berharap melahirkan manusia, manusia tak dapat meminta menjadi gajah.

4. SEGALA SESUATU DALAM PENGATURAN ALLAH

“Istirahatkanlah hatimu dari kerisauan mengatur kebutuhanmu, karena segala yang telah dijamin penyel asaiannya oleh selain dirimu, tak perlu engkau campur tangan mengurusnya”

Manusia memiliki dua potensi dalam menghadapi setiap sesuatu, akal dan hati adalah potensi yang tidak dimiliki makhluk lain. Akal membidangi banyak ilmu yang tidak terbatas jumlahnya, mulai dari berupa cabang-cabang sampai terbagi-bagi menjadi sekian banyak ranting-ranting ilmu. Kajian akal sifatnya relatif karena sering terjadi perbedaan hasil telaah akal dan kebenaran akal bisa berubah setelah muncul pendapat dan penemuan baru, yang dianggap benar pada awalnya kemudian dipersalahkan diakhirnya.

Fenomena tersebut menjadikan orang awam merasa kebingungan dalam mencerna setiap permasalahan dan selalu mengganggu dan mengacaukan fikirannya, di antara permasalahan yang sering menjadikan kebingungan adalah masalah taqdir / qadla dan qadar. Andai permasalahan qadla dan qadar dibahas sampai pada tingkat yang paling halus maka ilmu dan akal akan menemukan kebuntuan dalam menjawabnya, ilmu hanya untuk membuktikan apa yang diimani tetapi kalau seandainya ilmu justru menggoyangkan keimanan maka segera ilmu itu perlu disingkirkan. Segera hati dibawa untuk tunduk pada iman.

Beriman terhadap taqdir mustahil bisa diraih seandainya seseorang belum mampu menundukkan akal dan nafsunya, karena untuk menyingkap dan menguak taqdir yang sifatnya ghaib diperlukan ketundukan keduanya dibawah iman. Mata hati akan tajam dan diberi cahaya dalam memandang hal ghaib, cahaya bersumber dari Allah dan tak akan ada cahaya kalau seandainya tidak ada kaitannya dengan Allah swt.

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa

. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui

Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. . (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.(Q.S Asy-Syura : 52-53)

Sebuah hikayat menceritakan tentang kegalauan Imam Syafi‟I saat beliau belajar dan menemukan sebuah kendala, dimana mendapatkan kesusahan dalam menghafal dan mencerna ilmu, beliau mendatangi Imam waqi, dan imam waqi memberikan petunjuk dengan mengatakan : sesungguhnya ilmu adalah cahaya Allah dan cahaya Allah tidak akan pernah diberikan kepada orang pelaku maksiat.

Andai cahaya roh al- qur‟an selamanya menyinari hati akan mampu menyingkirkan hijab nafsu dan akal, sudah dipastikan akam mampu menyingkap rahasia keghaiban, penyaksian mata hati ini akan melahirkan keimanan yang kuat terhadap hal yang ghaib, tetapi perlu diketahui bahwa penyaksian mata hati tidak semua benar, karena iblis dan syetan beserta balatentaranya siap mengelabui dan membelokkan manusia ke jurang keraguan. Namun seseorang yang berusaha melaju mencari kebenaran tidak harus berkecil hati dan merasa takut salah mengambil jalan saat penyingkapan tabir, karena Allah telah memberi fasilitas yang sempurna yaitu diinul islam.

Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan nikmatKu kepadamu dan Aku radha islam menjadi agamamu (Q.S Al-Maidah : 3)

Islam adalah sebuah agama yang sangat lengkap mencakup segala urusan baik dhahir maupun bathin, sehingga penganutnya tidak perlu ragu dalam melangkah untuk meraih ridha Allah swt, dengan Allah berfirman “Aku ridha islam menjadi agamamu” sebuah jaminan barang siapa meniti jalan ini maka jaminan adalah keridhaan Allah.

Begitu pula segala penyelesaian ada dalam Islam, sehingga andai terjadi pertentangan diantara pengikutnya, Islam telah membentangkan penyelesaian, andai nafsu dan akal telah terbimbing iman telah tegak dan merujuk ke islam niscaya segala permasalahan akan terselesaikan, itulah nikmat Allah yag dititipkan pada Islam. Kewajiaban manusia hanyalah melakukan apa yang telah Allah taqdirkan, sementara hak mengatur dan mengurus mutlak milik Allah swt, andai ada aturan Allah berseberangan dengan keinginan nafsu, bukan berbuat melemehkan aturan tersebut kemudian Begitu pula segala penyelesaian ada dalam Islam, sehingga andai terjadi pertentangan diantara pengikutnya, Islam telah membentangkan penyelesaian, andai nafsu dan akal telah terbimbing iman telah tegak dan merujuk ke islam niscaya segala permasalahan akan terselesaikan, itulah nikmat Allah yag dititipkan pada Islam. Kewajiaban manusia hanyalah melakukan apa yang telah Allah taqdirkan, sementara hak mengatur dan mengurus mutlak milik Allah swt, andai ada aturan Allah berseberangan dengan keinginan nafsu, bukan berbuat melemehkan aturan tersebut kemudian