48
3. Tradisi perjodohan Masyarakat pesantren yang masih menjunjung kebudayaan
patriarki menjadikan adanya sekat antara perempuan dan laki-laki. Para Kyai yang menjadi sosok yang dipercayai oleh masyarakat masih
terikat dengan pola pikir yang sangat tua yaitu perempuan harus diajarkan menjadi seorang ibu rumah tangga dan menjadi pelayan
suami bahkan untuk suami yang bukan merupakan pilihannya sendiri. Dalam tradisi pesantren, perempuan diajarkan untuk selalu menerima
posisinya sebagai seorang ibu, istri dan seorang perempuan yang mempunyai posisi kedua setelah laki-laki.
Tradisi perjodohan ini juga sangat melekat dalam budaya Jawa yang diangkat dalam novel PBS ini yaitu ketika Annisa harus dengan
terpaksa menerima perjodohan dengan Samsudin saat dirinya masih duduk di bangku MTs setara dengan SMP seperti pada kutipan
berikut: Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa
depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Begitu riangnya mereka menggambari masa depanku semau-maunya.
Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu
lagi mereka melibatkanku.
PBS. h. 81
Dalam novel ini perempuan menikah pada usia yang relatif muda sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka tidak perlu menunggu sesuatu,
seperti menunggu menuntut ilmu, karena menuntut ilmu bukanlah hal yang diwajibkan untu perempuan. Perempuan hanya diwajibkan
menuntut ilmu yang berkaitan dengan tugasnya sebagai perempuan yang nantinya akan mendampingi laki-laki. Dalam novel ini pengarang
mengungkap tradisi dalam pesantren yang lebih mementingkan mengaji kitab-kitab kuning, dan ironisnya dalam novel ini pengarang
menggambarkan interpretasi terhadap kitab-kitab kuning itu dilakukan oleh kaum lelaki sehinga menjadi suatu kewajaran jika keadilan untuk
49
perempuan menjadi sangat bias. Keberadaan laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang.
Konflik mencapai klimaksnya ketika Annisa selalu mendapatkan penyiksaan secara bertubi-tubi yang dilakukan oleh suami pertamaya,
Samsudin. Annisa mendapat kekerasan secara pisik mupun psikis yang membuat Annisa mengalami trauma. Leraian dalam novel ini yaitu
ketika keluarga Annisa mengetahui kekejaman yang telah dilakukan oleh Samsudin, dan pada akhirnya mencari jalan keluar untuk
permasalahan Samsudin dan Annisa yaitu dengan cara perceraian. Pada tahap ini keluarga Annisa mulai tidak bersikap keras pada Annisa,
ruang lingkupnya yang dulu dibatasi mulai direnggangkan sedikit demi sedikit, dan pada akhirnya diberikan izin untuk menikah dengan
Khudhori Bagian terakhir dari novel ini yaitu pengarang memberikan
penyelesaian yang sangat jelas. Pengarang meniadakan tokoh Khudhori yang selama ini menjadi tokoh yang selalu ada untuk mendukung tokoh
utama, dan mengharuskan Annisa hidup berdua dengan putra semata wayangnya. Pada tahap penelesaian ini pengarang menjadikan tokoh
utama sebagai perempuan yang harus hidup mandiri tanpa sosok laki- laki yang selalu mendukungnya.
4. Latar
Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Latar mencakup latar tempat dan waktu yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar dalam novel PBS
adalah sebagai berikut: a.
Latar Tempat Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa dalam
sebuah karya fiksi. Adapun latar tempat utama dalam novel ini
50
yaitu di Jawa Timur, ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan pengarang yaitu bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa
Jawa, seperti pada kutipan berikut: ―O.... jadi rupanya kamu yang
mempunyai inisiatif, bocah wedok. Kamu yang mengajarkan kakakmu jadi penyelam seperti ini? Kamu yang membujuk
kakakmu mengembara?‖
PBS. h. 21
Pada kutipan di atas terdapat kata wedok yang berarti perempuan dalam bahasa Jawa terutama Jawa Timur. Selain pada
kutipan tersebut, kata-kata yang memakai bahasa Jawa seperti bumblang, kecemplung, pencikalan dan lain-lain. Selain dengan
penggunaan kosakata dalam bahasa Jawa, latar belakang penulis juga mempengaruhi latar tempat dalam novel ini. Seperti yang telah
diketahui, bahwa Abidah El-Khalieqy berasa dari Jawa Timur. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peristiwa
dalam cerita ini berlangsung di daerah Jawa Timur. Pengarang juga menggunakan beberapa latar tempat untuk
novel PBS ini. Latar tempat yang digunakan pengarang yaitu: 1 Pesantren
Dalam cerpen ini digambarkan bahwa Annisa merupakan anak dari pemilik pesantren putri di Jawa Timur. Pesantren
seringkali dianggap sebagai sub-kultur yang memiliki aturan main dan sistem nilai sendiri di dalam kultur besar di negeri
ini. Dalam masyarakat kesalapahaman antara gender dan seks seringkali terjadi dan bahkan semuanya dianggap sebagai
kodrat. Kesahlakaprahan semacam ini, juga seringkali terjadi di kalangan pesantren khususnya dalam pola pemikiran Kyai
dan santri.
3
Hal tersebut terlihat sekali dalam novel PBS ini. Pola pikir para Kyai yang cenderung kolot, dengan menjadikan
perempuan sebagai sosok nomor dua setelah laki-laki membuat perempuan
tidak dapat
melakukan hal
sesuai dengan
3
Asnal Mala, op, cit.
51
keinginannya. Melalui penjelasan secara deskriptif dan juga melalui
dialog-dialog yang
ada, latar
pesantren ini
mempengaruhi pola pikir masyarakat di sekitar pesantren. Pola pikir yang keliru inilah yang diajarkan juga di pesantren putri
milik ayah Annisa, sehingga dalam penerapan terhadap santrinya, para ustadz dan Kyai selalu mendoktrin santrinya
agar berpola pikir yang sama dengan pola pikir mereka, seperti pada kutipan berikut:
―Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh bapakku, Kyai Haji Hanan Abdul Malik memiliki cita-cita dan
harapan untuk mendidik dan menjadikan remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi bangsa
dan Negara. Meskipun pada prakteknya pondok kami selalu menekankan pendidikan akhlak perempuan dalam
bermasyarakat dan berumah tangga.‖
PBS. h. 53
Dari kutipan
di atas
terlihat bahwa
pengarang menggambarkan kehidupan pesantren yang dimiliki oleh ayah
Annisa merupakan pesantren yang masih kental dengan budaya
patriarki. Dalam
budaya pesantren,
laki-laki digambarkan sebagai sosok yang bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan tanpa adanya batasan, aturan dan larangan yang berlaku. Sementara itu perempuan dimarginalisasikan dengan
adanya interpretasi tentang kitab-kitab yang menjadi bacaan wajib di pesantren. Ini dapat dilihat dari kebebasan kedua
saudara laki-laki Annisa, yaitu Rizal dan Wildan. Mereka berdua dapat dengan bebas melakukan apa saja yang
diinginkan tanpa mendapat tentangan dari orang-orang sekitarnya termasuk kedua orang tuanya yang merupakan
pemilik pondok pesantren. Menurut Ayah Annisa antara laki-laki dan perempuan
mempunyai dunianya masing-masing. Dunia perempuan merupakan dunia rumah tangga yang nanti pada akhirnya
perempuan dididik dengan pola pikir bahwa perempuan
52
diciptakan untuk menjadi pelayan laki-laki suami. Tidak sepantasnya laki-laki melakukan tugas perempuan yaitu tugas
rumah tangga.
2 Rumah Samsudin Melalui penggambaran secara deskriptif dan melalui
dilalog yang ada, latar tempat yang ada pada cerita ini terdapat di rumah Samsudin. Sesuai dengan kutipan: ―Selain Samsudin,
hanya akulah satu-satunya penghuni rumah ini. Jika ia pergi perasaanku menjadi seluasa untuk berbuat apa saja yang
kusuka. Mau masak dulu atau mencuci dulu, sama sekali tidak masalah. Akan menjadi masalah jika tetangganya yang datang
dan menanyakan ke mana Samsudin pergi.....‖
PBS. h. 96
Kutipan tersebut, memperlihatkan Annisa yang telah menikah dan mendiami rumah Samsudin. Semua kekerasan dan
penyiksaan yang terjadi pada Annisa terjadi di rumah Samsudin. Karena hanya di rumahnya lah Samsudin dapat melakukan
kekerasan terhadap Annisa tanpa bisa diketahui oleh orang lain.
3 Yogyakarta Secara deskriptif, pengarang menggambarkan latar tempat
yang lainnya, yaitu di daerah Yogyakarta. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar menjadi pilihan latar tempat
selanjutnya oleh pengarang. ‖Yogyakarta mendapat julukan kota
pelajar, kota budaya dan kota wisata. Disebut sebagai kota pelajar karena banyak terdapat sekolah dan tempat kursus,
sehingga banyak penduduk yang menetap untuk menuntut ilmu.
‖
4
Latar Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dipilih pengarang untuk dijadikan simbol pendidikan yang