Kekerasan Violence terhadap Perempuan

90 yang menjijikkan dalam jiwa Annisa, dan pada akhirnya ini menjadi tekanan mental yang dialami oleh Annisa ketika menikah dengan Samsudin. Lewat tokoh Annisa, Abidah ingin memberi gambaran tentang bagaimana seorang istri yang selalu di siksa secara lahir maupun batin oleh suaminya. Dalam PBS, Abidah memunculkan sosok tokoh utama yang selalu melawan kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh suaminya. Sosok Samsudin yang digambarkan sebagai putra seorang Kyai dan telah menjadi sarjana hukum, namun perangainya tidaklah seperti orang yang mengerti agama dan hukum. Menunjukkan bahwa tidak semua orang yang berasal dari keluarga Kyai atau pun ulama merupakan orang yang arif yang mengerti dan mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora. Abidah mengangkat pelecehan seksual pada perempuan yang sering terjadi. Hampir sama dengan PBS, dalam GJ tokoh utama beserta kakaknya mengalami tindak pelecehan seksual. Jika dalam PBS tokoh utama dan sahabatnya dilecehkan oleh orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dan pelecehan itu terjadi di tempat umum, dalam GJ pelecehan itu dilakukan oleh pamannya sendiri, dan terjadi di rumah Kejora. Seperti yang ditunjukkan pada kutipan berikut. ..sore itu senja hampir turun, tetapi pandanganku masih terlalu jelas untuk mengintip tangan paman Hasan yang memegang pundak Lola, dan secepat kilat Lola menepisnya. Kulihat paman mengucapkan sesuatu dan Lola menggeleng. Paman bangkit berdiri di belakang Lola tetapi tangannya menjulur cepat ke payudaranya. Lola tersentak, tetapi paman Khalil di sampingnya malah tertawa. GJ. h. 90 Kutipan di atas menyatakan bahwa penegasan pandangan Abidah tentang pelecehan yang terjadi pada perempuan. Memiliki hubungan darah tidak menutup kemungkinan untuk untuk melakukan tindak 91 pelecehan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi penghuninya berubah menjadi tempat yang tidak aman bagi penghuninya. Dalam novel ini dominasi patriarki yang terwujud dalam tindak semena-semena dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan dilakukan oleh orang terdekat keluarga sendiri.. Pelecehan seksual yang sering dilakukan oleh kedua paman Kejora terhadap Kejora dan Bianglala menunjukkan adanya dominasi patriarki tersebut. Kejora dan Bianglala tidak mau melaporkan perbuatan tersebut kepada ayahnya, karena mereka tidak yakin ayahnya akan berpihak padanya. Oleh karena itu, keduanya bersepakat pada suatu hari harus dapat membalas perbuatan tersebut. ―Kau akan membalasnya? Kapan?‖ ―Nanti, tunggu saja,‖ jawab Lola dingin, namun tegas dan pasti. Aku merinding, tak kusangka, kakakku Bianglala yang pendiam, ternyata dalam dirinya menyimpan magma. Tak kubayangkan saat magma itu meledak, seratus prahara bakal menderak-derak, melantakkan paman Hasan si biludak burik. Aku senang mendengar ucapan kakakku dan ―hari pembalasan‖ terus kutunggu-tunggu. GJ. h. 122 Kutipan di atas menggambarkan bahwa Jora dan Lola menunjukkan sikap perlawanan yang ingin dilakukannya, untuk membalaskan dendam kepada pamannya yang telah melecehkan ia dan adiknya. Tetapi di sini tidak diceritakan bagaimana Lola membalaskan dendamnya. Di sini hanya di jelaskan ketika sudah besar saat Kejora bertemu dengan pamannya, cara pandangannya kepada Kejora penuh hormat dan rasa takut. Seakan pernah terjadi suatu kejadian antara mereka. Dari kedua novel karyanya, dapat disimpulkan bahwa pengarang mengangkat isu kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam bentuk pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Terdapat perbedaan pandangan kekerasan yang terlihat dalam PBS dan GJ. 92 Dalam PBS Abidah mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Sedangkan dalam GJ Abidah hanya mengangkat peleceh seksual yang sering terjadi pada perempuan. Kekerasan yang digambarkan dalam PBS sering kita jumpai dalam realitas kehidupan sosial yang ada, di mana hak-hak reproduksi perempuan seakan dicabut dan perempuan yang kehilangan hak-hak reproduksinya diperlakukan secara semena-mena.

5. Beban Kerja Terhadap Perempuan

Bentuk ketidakadilan yang terakhir terdapat dalam PBS dan GJ adalah beban kerja. Anggapan yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. 20 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa sudah sejak lama anggapan mengenai perempuan yang hanya boleh memiliki pekerjaan yang hanya di area domestik saja Menurut Sugihastuti Citra wanita dalam aspek keluarga dgambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga. 21 Pencitraan perempuan yang lemah lembut membuat dia harus berada di sektor domestik. Pandangan inilah yang membuat perempuan sulit bergerak di ruang publik. Dikaitkan dengan novel PBS terdapat gambaran mengenai beban kerja ditunjukan melalui tokoh utama dalam novel PBS. Dalam PBS tokoh utama yang dari kecil sudah ditekankan bahwa pekerjaan perempuan adalah di rumah menjadi ibu rumah tangga, seperti pada 20 Riant Nugroho, op,cit, h. 16 21 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, Bandung: Nuansa, 2000, h. 123. 93 kutipan berikut: ―Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran dalam kuasanya. Main bola, layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka...‖ PBS. h. 49 Kutipan di atas menyatakan bahwa beban kerja pada perempuan memang sekitar pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lainnya. Sebenarnya pekerjaan rumah tangga itu bukanlah kodrat yang harus dijalani oleh perempuan seperti yang dijelaskan oleh Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat ―Memang benar perempuan mempunyai kodrat haid, mengandung, melahirkan dan menyusui, tetapi mengasuh anak yang dikandung bukanlah kodrat. Begitu pula memasak, mencuci dan seterusnya adalah bukan kodrat.‖ 22 Dari kutipat tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan perempuan untuk memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya bukan merupakan kodrat yang diterimanya dari lahir. Tapi semua itu adalah sistem budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini juga diperlihatkan pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, seperti pada tokoh Lek Umi dan ibu Annisa yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun mereka dalam keadaan lelah. Dalam novel ini ditunjukkan juga bahwa pekerjaan dalam sektor domestik bukan merupakan kodrat yang harus diterima perempuan dengan memasukkan tokoh ibu Dita yang selalu bekerja mencari nafkah sedangkan suaminya hanya bermalas-malasan di rumah di awal cerita PBS. ‖Tetapi ibunya Dita juga pergi ke kantor, pak guru, dan tidak pernah ke pasar.‖ ―Oya? Siapa itu Dita?‖ ―Tetangga saya, pak.‖ 22 Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat Rahz, Perempuan dengan Bebaskan Tumbuh dalam Perempuan yang menuntun, Ashoka Indonesia, 2000 h. 91 94 ―Baik.. baik.. jad anak-anak, memang ada seorang ibu yang juga pergi ke kantor, mungkin karena suaminya sudah meninggal sehingga si ibu harus mencari nafkah sendiri untuk....‖ ―Tetapi ayahnya Dita belum meninggal, pak. Ayahnya Dita memiliki banyak burung dan setiap burungnya diberi makan burung dan mengajarinya kalimat... rezeki nomplok, rezeki nomplok, rezeki nomplok.‖ PBS. h. 25 —25 Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bisa mencari nafkah di luar sana, tetapi di perempuan juga bisa melakukannya. Dengan memunculkan cerita ibu Dita yang membanting tulang untuk mencari nafkah sedangkan ayahnya hanya asik-asikan di rumah dengan burung-burung peliharaannya. Sindiran yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa beban kerja yang dialami perempuan kian bertambah ketika suami yang seharusnya mencari nafkan malah bersantai-santai di rumah, dan menganggap semua burung-burung yang dipeliharanya itu yang mendatangkan rezeki. Pandangan lain tentang berban kerja oleh perempuan ditunjukkan ketika tokoh Annisa menikah dengan Khudori. Annisa tidak menanggung beban kerja rumah tangga sendiri. Sebelum ia mempunyai pembantu rumah tangga, Khudhori selalu membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. ―Nisa... Nisa... eh, tak kulihat suamimu sejak tadi, apa ia sedang pergi? Sedang nyuci popok di belakang, sebentar lagi juga selesai. Maklum PRT-nya belum dapat juga, Mbak. Mungkin besok didatangkan dari kampung, ibu yang carikan..‖ PBS. h. 230 Pada kutipan tersebut terlihat beban rumah tangga tidak ditanggung oleh Annisa sendiri, tetapi terkadang dibantu juga oleh suaminya dan itu semua mereka lakukan bersama sebelum datangnya pembantu rumah tangga. Karena setelah adanya pembantu rumah tangga pekerjaan Annisa lebih ringan lagi. Dua tahun kemudian dalam novelnya GJ, terlihat perbedaan yang terjadi dalam penceritaan beban kerja untuk perempuan. Dalam GJ 95 tokoh-tokoh perempuannya tidak diberikan beban kerja yang menumpuk seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, karena di sini diceritakan bahwa keluarga Kejora adalah keluarga yang kaya raya, dan mereka mampu mempekerjakan tiga pembantu untuk satu rumah. ―Kini Wak Girun, dan Wak Tiwar dua dari enam pembantu kami, telah siap dengan lawakannya sebelum mempertontonkan kobolehannya untuk menari zapin.‖ GJ. h. 86 Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam GJ, Abidah tidak menyinggung masalah beban kerja terhadap perempuan. Tidak semestinya semua beban kerja di di terima oleh pihak perempuan. Apalagi jika perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga, maka beban kerja itu akan semakin menumpuk dan membebani. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada perbedaan pengangkatan masalah beban kerja pada perempuan dalam PBS dan GJ. Dalam PBS, Abidah menceritakan bahwa tokoh utama dan tokoh-tokoh perempuan yang ada di PBS ini diberikan beban kerja yang amat banyak. Seluruh pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan oleh perempuan tanpa adanya campur tangan laki-laki. Ini dikarenakan faktor lingkungan dan kebiasaan mereka yang memang patuh pada budaya patriarki. Tetapi melalui tokoh Khudhori yang akhirnya menjadi suami Annisa. Pandangan tersebut mulai ditepiskan. Sebagai suami Annisa Khudhori tidak segan segan untuk membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berbeda dengan GJ, dalam GJ, tokoh perempuan tidak diberikan beban kerja. Ini sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam GJ digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa, berwibawa, dan menguasai ilmu agama. Jadi dalam ceritanya tidak ada penggambaran beban kerja terhadap perempuan. Dari paparan mengenai ketidakadilan gender terhadap perempuan yang meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, violence, dan beban