Unsur Intrinsik Novel LANDASAN TEORI

16 diekspresikan dalam ucapan dan tindakan. 16 Dari penjelasan Abrams tersebut, sudah jelas bahwa pengertian ―Tokoh‖ mengacu pada orangnya pelaku cerita. Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengertian tokoh. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca. 17 Dengan demikian Nurgiyantoro berpendapat bahwa penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh, cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu: 18 a. Tokoh protagonis Altenberhand dan Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bahwa tokoh protagonis sebagai tokoh yang kita kagumi, tokoh yang berpendirian pada norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. b. Tokoh antagonis Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Biasanya berbanding terbalik dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung. 16 M.H. Abrams, A Glosaary Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, h. 20. 17 Burhan Nuriyantoro. Op. cit ., h. 166. 18 Ibid., h. 178. 17 4. Latar Latar adalah segala keterangan, petunjuk atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. 19 Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. 20 Rusnaya mengatakan bahwa latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan dalam hal menimbulkan kesungguhan. 21 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu atau suasana yang memperjelas kondisi peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya sastra. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta cerita, sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajenasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab-akibat dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.‖ 22 Secara garis besar, latar dalam fisik dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis latar, diantaranya adalah: a. Latar tempat Gambaran tentang peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pelosok, pantai, hutan, rumah, kapal laut, mobil, kereta, di udara, di darat. 19 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1991, h.30. 20 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 217. 21 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, Bandung: Gunung Larang, 1982, h. 48. 22 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 216. 18 b. Latar waktu Unsur yang menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat, gambaran suatu tempat pada waktu, masa, zaman, atau musim tertentu. Latar waktu mempunyai kaitan erat dengan sejarah. Latar waktu juga bisa dihubungkan dengan yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah hari, pagi, sore dan lain sebagainya. 23 Adapun fungsi latar adalah memberikan informasi sebagaimana adanya, selain itu latar berfungsi sebagai pemerjelas konflik, pemerjelas tokoh, dan adanya latar juga berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh. Menurut Panuti Sudjiman latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh. 24 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar memberikan landasan berpijak secara konkret dan jelas. Hal itu akan memberikan kesan realis kepada pembaca, bahwa cerita yang dikisahkan seolah-olah ada dan sungguh-sungguh terjadi. 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. 25 Sudut pandang point of view dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Menurut Robert Stanton dalam Adib Sofia dan Sugihastuti mengartikan sudut pandang sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita untuk melihat secara hati-hati agar ceritanya memiliki hasil yang sangat memadai. 26 23 Tuloli. Teori Fiksi. Gorontalo, BMT Nurul Jannah. 2000, h. 155 24 Sudjiman, op. cit., h. 46. 25 Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Bandung: Yrama Widya, 2012, h.69. 26 Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang, Bandung: Katarsis, 2003, h. 16 19 Secara garis besar sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat. Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, pengarang memakai istilah ―aku‖ dalam ceritanya, ia menjadi tokoh utama. Dalam hal ini narator ikut terlibat dalam cerita. Narator masuk ke dalam cerita menjadi tokoh ―aku‖, yaitu tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri, serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh aku. Adapun sudut pandang orang ketiga, narator menjadi seorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebutkan nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus tersebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menentukan posisinya dalam suatu karyanya sastra. Dan caranya pun bermacam-macam, hal tersebut disesuaikan dengan penceritaan dan peristiwa yang akan diciptakan oleh pengarang.

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Materi atau bahan pelajaran merupakan salah satu komponen penting selain komponen pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran bisa disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tercapai tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan 20 pembelajaran. 27 Pelajaran-pelajaran yang dirancang tentunya memiliki peranan yang sangat penting bagi terlaksananya tujuan pendidikan. Tujuan dari pembelajaran tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan kognitif, tujuan afektif, dan tujuan psikomotorik. Ada banyak materi pembelajaran di sekolah, salah satunya adalah pembelajaran sastra. Kaitannya dengan pembelajaran, sastra memiliki konstribusi yang sangat besar dalam dunia pendidikan khususnya bagi pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana yang disebutkan dalam kurikulum 1994 dan Garis-garis Besar Program Pengajaran bahasa Indonesian tentang pembelajaran sastra tertera bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Berdasarkan pedoman tersebut, jelas sekali bahwa pembelajaran sastra memiliki tujuan yang jelas, secara tidak langsung melalui pembelajaran sastra. Peserta didik dituntut untuk mengapresiasikan karya sastra yang dibaca dan dipelajarinya. Mengapresiasi berarti menilai dan memaknai dari karya sastra itu sendiri, mengungkapkan nilai dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya. Oemarjati mengungkapkan bahwa: Mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang disatu pihat peka terhadap nilai-nilai yang dikandung sastra yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dan kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu kepada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif. 28 27 Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008, h. 202. 28 Boen, S Oemarjati, ―PembinaanApresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar‖ dalam Bambang Kaswanti Purwa ed, ―Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pembelajaran‖, Yogyakarta: Kanisisus, 1991, h. 58. 21 Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Pengajaran tersebut berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah yang mempunyai intruksional khusus bagi pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu 1 Agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan berbahasa; 2 peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektuan manusia Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik selalu mengandung sesuatu yang patut direnungkan. Hasil perenungan itu pada akhirnya dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dan menumbuhkan semacam emosi dan dorongan positif terhadap perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna. 29 Pengertian ini menunjukan bahwa fungsi karya sastra bukan hanya untuk mengibur, tetapi juga karya sastra dapat mengajarkan sesuatu yang berguna. Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa melatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit kemampuan menyimak, berbicara, dan menulis yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atu lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan bicara dengan ikut berperan dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra itu 29 Achadiati Ikram, dkk, ―Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara‖, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 33. 22 menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis. 30 Dengan demikian, kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Karena dengan pembelajaran sastra siswa dapat menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan itu dapat berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti, nilai moral, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Bahkan dapat lebih dari itu, dengan pembelajaran sastra, siswa dapat melatih kemampuan dalam menganalisis dan merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial. 31 Dalam pelaksanaan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah: 1. Kecakapan mengenal diri self awarenesses atau kecakapan personal 2. Kecakapan berpikir rasional thinking skill 3. Kecakapan sosial social skill 4. Kecakapan akademik academic skill 5. Kecakapan vokasional cocasional skill 32 30 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 2000, Cet VIII, h. 17. 31 Ibid., h. 19. 32 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: 2008, h. 171-173.