95
tokoh-tokoh perempuannya tidak diberikan beban kerja yang menumpuk seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, karena di
sini diceritakan bahwa keluarga Kejora adalah keluarga yang kaya raya, dan mereka mampu mempekerjakan tiga pembantu untuk satu rumah.
―Kini Wak Girun, dan Wak Tiwar dua dari enam pembantu kami, telah siap dengan lawakannya sebelum mempertontonkan kobolehannya untuk
menari zapin.‖
GJ. h. 86
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam GJ, Abidah tidak menyinggung
masalah beban
kerja terhadap
perempuan. Tidak
semestinya semua beban kerja di di terima oleh pihak perempuan. Apalagi jika perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga,
maka beban kerja itu akan semakin menumpuk dan membebani. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada perbedaan pengangkatan
masalah beban kerja pada perempuan dalam PBS dan GJ. Dalam PBS, Abidah menceritakan bahwa tokoh utama dan tokoh-tokoh perempuan
yang ada di PBS ini diberikan beban kerja yang amat banyak. Seluruh pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan oleh perempuan tanpa adanya
campur tangan laki-laki. Ini dikarenakan faktor lingkungan dan kebiasaan mereka yang memang patuh pada budaya patriarki. Tetapi melalui tokoh
Khudhori yang akhirnya menjadi suami Annisa. Pandangan tersebut mulai ditepiskan. Sebagai suami Annisa Khudhori tidak segan segan
untuk membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berbeda dengan GJ, dalam GJ, tokoh perempuan tidak diberikan beban
kerja. Ini sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam GJ digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa, berwibawa, dan
menguasai ilmu agama. Jadi dalam ceritanya tidak ada penggambaran beban kerja terhadap perempuan.
Dari paparan mengenai ketidakadilan gender terhadap perempuan yang meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, violence, dan beban
96
kerja dalam PBS dan GJ, dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender yang selalu dibahas dan muncul dalam kedua novel tersebut meliputi,
diskriminasi terhadap perempuan, praktik poligami yang dilakukan laki- laki, dan pelecehan seksual. Penulis dapat menyimpulkan bahwa
pengarang tetap konsisten membahas diskriminasi terhadap perempuan, praktik poligami yang dilakukan laki-laki, dan pelecehan seksual dan
itulah isu ketidakadilan gender yang ingin dipertahankan oleh pengarang. Perempuan masih dikurung secara normatif sebagai penunggu
rumah, pengasuh anak, dan ’thengak-thenguk’ di depan tungku api.
Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah di tengah pasar , di jalan dan kantor. Realitas demikian memperlihatkan bahwa hasil
keringat dan darah perempuan bukan mereupakan milik mereka sepenuhnya. Hak-hak reproduksi perempuan, keselamatan dan
kebahagiaan dalam menjalani kehidupan, masih saja dicuri dan diselewengkan oleh kaum partriarki dan oleh berbagai alasan yang
diambil dari ayat-ayat suci, kitab-kitab keagamaan, dan fatwa para K
iai.‖
23
Kutipan di atas menjelaskan mengapa dalam novelnya Abidah mengangkat tema Ketidakadilan gender terhadap perempuan yang
didasarkan nilai-nilai partriarki yang melekat dan penyalahartian ayat- ayat suci seperti pada surat An-Nisa ayat 3 yang menyatakan laki-laki
dapat menikahi empat perempuan dengan berbagai syarat: Nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi masing-masing
dua, tiga, atau empat —kemudian jika kalian takut tidak akan
berlaku adil, kawinilah seorang saja —atau kawinilah budak-budak
yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan pada tidak berbuat aniaya. QS, An-Nisa; 3
Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan. Dengan diturunkannya
ayat ini, seorang muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu.
24
Dari kutipan di atas, dapatlah dipahami turunnya ayat itu karena untuk memberi batasan menikah terhadap laki-laki tetapi untuk
23
AD. Eridani, Perawan Kumpulan Fiksi Pembela Perempuan, Jakarta: Rahima, 2009, h. 7.
24
Wiyatmi, op.cit. h. 157-158.
97
melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki yang terjadi dahulu. Karena dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa jika seseorang
hendak melakukan poligami, dia harus bisa berlaku adil pada setiap istrinya, namun pada dasarnya seadil-adilnya pernikahan adalah
pernikahan yang monogami. Hal ini yang kemudian diangkat oleh Abidah dalam novelnya PBS.
D. Impikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pendidikan merupakan salah satu faktor kemajuan bangsa. Bangsa bisa maju karena didukung oleh sumber daya manusia SDM yang berkualitas.
Maka dari itu diperlukan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan pendidikan guna menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Pendidikan
berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh setiap individu. Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan,
terlihat upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha dengan melakukan beberapa perubahan
untuk kemajuan pendidikan, khususnya perubahan dalam kurikulum. Perubahan kurikulum ini bertujuan untuk menjadikan pendidikan semakin
berkembang sesuai zamannya. Sebagai proses kemanusiaan manusia pendidikan menjadi esensi untuk memberdayakan manusia sebagai individu
yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tonggak kokohnya peradaban bangsa.
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra indonesia bidang sastra adalah: 1 Peserta didik mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2 Peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual
98
manusia Indonesia.
Tujuan itu
dijabarkan ke
dalam kompetensi
mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra.
25
Sesuai dengan tujuan pembelajaran di atas, telihat bahwa peserta didik haruslah mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan. Tujuan ini berhubungan dengan pembentukan dan pengembangan
karakter peserta
didik yang
sejalan dengan
sistem pembelajaran di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai upaya pembentukan
karakter peserta didik, diperlukan campur tangan dari berbagai pihak, terutama pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, memberi arahan,
membimbing, dan mendukung peserta didik agar menjadi kepribadian yang baik.
Pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik dapat memberikan pembelajaran
dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pembentukan karakter juga dapat dilakukan dengan pengenalan saatra kepada
peserta didik. Dengan mengajarkan sastra pada peserta didik, diharapkan peserta didik mampu menyerap nilai-nilai positif yang terkandung dalam
karya sastra tersebut. Tetapi pendidik haruslah cermat dalam menentukan karya sastra mana yang bisa dijadikan pembelajaran di sekolah, karena setiap
bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang membacanya. Oleh karena itu, pendidik harus pandai dalam memilah dan
memilih bacaan mana yang tepat dan mengandung nilai-nilai positif untuk diberikan pada peserta didiknya. Salah satu karya yang cocok dan dapat
dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah karya dari Abidah El- Khalieqy. Ia merupakan sastrawan yang dalam setiap karyanya mengandung
nilai-nilai religi, moral, sosial dan budaya. Contoh karya Abidah yang dapat menjadi rujukan untuk pembelajaran sastra di sekolah adalah novel PBS dan
GJ.
25
Siswanto, op.cit. h. 171
99
Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel seperti tema,
alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan latar, dan juga unsur ekstrinsik yang meliputi latar belakan tentang pembuatan karya tersebut.
Dalam novel PBS dan GJ, pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membacanya, kemudian menemukan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, serta mengetahui apa latar belakang penulis membuat novel tersebut. Maka dengan demikian, peserta didik dapat
mengambil manfaat dan contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan karakter yang ada pada novel tersebut.
Nilai positif dapat dilihat dari penggambaran tokoh utama dalam PBS yang mempunyai rasa ingintahu yang tinggi, ia ilmu pengetahuan yang
menjadikannya pandai dan cerdas. Selain itu ia juga mempunyai tekat yang kuat
dan pantang
menyerah dalam
menghadapi masalah
yang menyudutkannya. Selain itu nilai positif juga dapat diambil dari tokoh
Khudhori yang mempunyai sifat bijaksana, tenang dalam menghadapi suatu permasalahan dan berpikiran positif. Apabila kita melihat sikap dari tokoh
Samsudin yang pemalas, kasar dan suka memfitnah ini, siswa dapat mengetahui bahwa itu merupakan sifat yang negatif yang jangan sampai
ditiru oleh siswa. Nilai positif dalam GJ juga bisa kita ambil dari tokoh Kejora yang
memiliki kecerdasan tinggi dan memiliki jiwa kepemimpinan. Ini dapat dijadikan sebagai contoh untuk siswa agar karaktenya dapat terbentuk dengan
sifat-sifat pisitif. Dengan mengetahui sikap-sikap dari beberapa tokoh dalam novel PBS
dan GJ ini diharapkan peserta didik mampu mengembangkan karakter yang ada di dirinya dan mampu menyerap nilai-nilai positif yang ada. Pada
dasarnya pembelajaran pembacaan novel ini diharapkan dapat membantu siswa dalam membentuk karakternya menjadi lebih baik.
99
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy,
dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Sruktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban meliputi
tema yang diangkat dari perjuangan seorang perempuan untuk
memperoleh hak dan kebebasan dari budaya patriarki. Alur yang digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Annisa. Selain tokoh
utama Annisa, tokoh-tokoh tambahan yang ada pada novel ini adalah, Khudhori, Samsudin, ayah Annisa, ibu Annisa, Rizal, dan Wildan. Latar
tempat yang terdapat dalam novel ini yaitu bertempat di daerah Jawa, sedangkan latar waktu terjadinya peristiwa cerita dalam novel adalah pada
tahun 1980-an. Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama, tokoh utama. Selanjutnya ialah struktur
yang membangun bovel Geni Jora. Tema yang diangkat dalam novel ini adalah tentang gugatan yang menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum
perempuan dengan tokoh utama Kejora. Tokoh tambahan yang mendukung novel ini adalah, Zakky, Elya, Asaav,Lola, Sonya dan Nenek.
Alur yang digunakan pengarang adalah alur maju dengan memunculkan peristiwa batin di dalamnya. Latar tempat yang dipakai dalam novel ini
adalah daerah-daerah negara Timur tengah seperti Damaskus, Tangier, dan Cassablanca, selain di negara Timur Tengah, Geni Jora juga
mengambil latar tempat di indonesia, yaitu Yogyakarta. Latar waktu pada novel Geni Jora tidak diketahui kapan tepatnya terjadi, hanya
menunjukkan malam, siang, sore dan pagi hari saja. Dalam novel ini sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama tokoh
utama.
99