Sudut Pandang Tokoh dan Penokohan

56

2. Tokoh dan penokohan

Penokohan dalam novel GJ dapat diketahui melalui perbuatan, kebiasaan, dialog yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Dalam sastra populer penokohan dapat berubah-ubah sesuai dengan kedalaman cerita tersebut. Perubahan itu terjadi dari jahat menjadi baik atau tokoh baik yang tetap baik. Dengan demikian tokoh dan penokohan tersebut dapat dikenali oleh pembaca. Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ diuraikan sebagai berikut: a. Tokoh Protagonis Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ diuraikan sebagai berikut: 1. Kejora Tokoh Kejora merupakan tokoh utama dari novel GJ. Tokoh Kejora berperan sebagai pencerita, sehingga ia selalu muncul dari awal hingga akhir cerita. Kejora memiliki porsi penceritaan yang sangat banyak tentang kehidupannya. Kejora digambarkan secara analitik melalui tokoh Nadia dan dirinya sendiri sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dengan matanya yang belok. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: ―Kamu tidak adil Kejora‖ kata Nadia, ―ayo ceritakan, alam seperti apa yang telah melahirkan gadis cantik sepertimu.…‖ GJ. h. 30 Kejora namaku, matakku belok, seperti boneka cantik dari negeri Antah….. GJ. h. 47 Kejora dibesarkan di lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya patriarki. Ia selalu dijadikan yang nomor dua dan harus selalu mengalah dari saudara laki-lakinya. Oleh sebab itulah Kejora menjadi sosok yang tidak mau mengalah, seperti pada kutipan berikut: ―……jika ditonjok hidungmu, ganti tonjok hidungnya. Jika dia meninjumu, tinju dia dengan kekuatan yang sama. Sebagaimana 57 Zakky mengiris hatiku, kuiris pula hatinya hingga luka berdara- darah oleh cemburu.. Pada usianya yang masih muda yaitu usia sembilan tahun, Kejora sudah dapat merefleksikan dirinya dan kaum perempuan di lingkungannya yang selalu di nomorduakan. Melalui dialog antara Kejora dan juga nenek, pengarang menggambarkan sikap kritis kejora yang sudah muncul dari usia Sembilan tahun: ―Jadi selama ini nenek selalu mengalah?‖ ―Itulah yang harus nenek lakukan cucu.‖ ―Pantas nenek tak pernah diperhitungkan.‖ ―Diperhitungkan?‖ Nenek terlonjak ―Benar, nenek tidak pernah diperhitungkan, nenek tahu apa sebabnya?‖ ―Sebab nenek mematok harga mati, dan harga mati nenek adalah kekalahan. GJ. h.81 Sikap kritis yang digambarkan oleh pengarang ini bertentangan dengan usia Kejora saat itu. Kejora yang masih berusia sembilan tahun sudah dapat berpikir tentang dia dan kaum perempuan yang selalu di nomorduakan. Pemikiran Kejora saat itu tidak sesuai dengan usianya pada saat itu. Kejora melanjutkan sekolahnya di pesantren. Kejora merupakan santri yang sangat pandai. Hal ini terbukti dari dia yang selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Bukan hanya itu dia bahkan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Damaskus. Padahal sekolah hanya memberikan beasiswa untuk satu orang saja. Pengarang secara analitik menggambarkan Kejora sebagai sosok yang tegas. Ini terbukti ketika Kejora menggantikan posisi Encik Rahmah petugas yang selalu memeriksa bawaan santri yang selalu melakukan pelanggaran. ―Telah berkali-kali kusaksikan perilaku Encik Rahmah yang melanggar itu. Saat tiba giliranku diangkat menjadi ketua majelis tahkim, aku pun bertindak untuk mengganjar kenakalan Encik Rahmah. Pada akhirnya, ia pun digeser kedudukannya oleh Encik yang lain.‖ GJ. h.161