Pengetahuan Petani Tentang Hama Dan Penyakit Tanaman Padi Di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang - Kota Medan

(1)

PENGETAHUAN PETANI TENTANG HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI DI KAMPUNG SUSUK, KECAMATAN MEDAN

SELAYANG - KOTA MEDAN

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

SKRIPSI

DISUSUN

OLEH:

TUTI RAHMAWATI NAIBAHO

050905047

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

 

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh

Nama : Tuti Rahmawati Naibaho Nim : 050905047

Judul : Pengetahuan Petani Tentang Hama dan Penyakit Tanaman Padi di Kampung

Susuk, Kecamatan Medan Selayang-Kota Medan

Pembimbing a.n Ketua Departemen Sekretaris

Dra. Sri Alem Br. Sembiring, M. Si. Drs. Agustrisno, MSP

NIP: 19690823 1994032001 NIP. 19600823 198702 1 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si NIP. 19680525 199203 1 002


(3)

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PENGETAHUAN PETANI TENTANG HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI DI KAMPUNG SUSUK, KECAMATAN MEDAN

SELAYANG – KOTA MEDAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, 14 Juni 2011

Tuti Rahmawati Naibaho  


(4)

ABSTRAK

Tuti Rahmawati Naibaho 2011, judul : Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit Tanaman Padi di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 117 halaman, 5 tabel, 3 box, 20 gambar, 13 daftar pustaka ditambah sumber lain dan 5 lampiran.

Penelitian ini mengkaji ” Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit tanaman Padi di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan”. Penelitian ini membahas tentang masalah hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi milik petani, apa konsep petani tentang hama dan penyakit, bagaimana petani mengklasifikasikan hama dan penyakit, darimana saja pengetahuan tentang hama dan penyakit diperoleh petani, dan apa saja yang dilakukan petani untuk mengendalikan hama dan penyakit.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat mendeskripsikan. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan petani tentang hama dan penyakit tanaman padi. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini menggunakan aliran antropologi kognitif yang digunakan oleh Spradley dengan cara menggunakan metode ‘folk taxonomy’ untuk menjelaskan pola fikir petani tersebut.

Petani Kampung Susuk memiliki pengetahuan tersendiri tentang hama dan penyakit tanaman padi, bahkan mereka mengklasifikasikannya dalam beberapa kategori. Petani memperoleh pengetahuan tentang hama dan penyakit dari berbagai sumber. Beberapa petani memodifikasi berbagai sumber pengetahuan tersebut tetapi beberapa petani lagi hanya belajar dari pengalaman yang diperoleh selama bertani. Pengetahuan petani bersifat dinamis karena petani selalu merekonstruksi kembali setiap pengetahuan yang telah dimiliki. Petani Kampung Susuk umumnya mengendalikan hama dan penyakit dengan menggunakan pupuk dan petisida. Penggunaan pupuk dan pestisida yang dilakukan petani umumnya tidak mengikuti aturan pemakaian, tetapi disesuaikan dengan kondisi sawah serta hama dan penyakit yang menyerang.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan karunia_Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah : Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit Tanaman Padi di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua tercinta, Ayahanda (Alm) E. Naibaho dan Ibunda S. Purba, juga kepada kakak tercinta K’Elfiana Naibaho beserta keluarga dan adik-adikku yaitu D’Rikki Naibaho dan D’Andi Naibaho. Terimakasih buat doa-doa dan semangat dari keluargaku selama ini. Skripsi ini kupersembahkan untuk kalian.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Badarrudin, M. Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antopologi FISIP USU, Drs. Agustrisno, M.SP sebagai Sekretaris Departemen Antopologi FISIP USU, Dra. Sri Alem Br Sembiring, M. Si sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini dan Drs. Irfan Simatupang sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis. Terimakasih kepada seluruh dosen-dosen antropologi yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam perkuliahan. Terimaka kasih juga kepada Kak Nur sebagai Staf Departemen Antropologi.


(6)

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini terutama kepada pelayanan KMKS, KPA M@P, KPA Providentia, KPA Ekklesia Marvelous, KPA Solavide (yang selalu setia memberikan semangat dan dukungan doa-doa), Kost ALC (yang mewarnai kehidupanku sehari-hari). Ucapan terima kasih juga kepada teman-teman satu angkatan Antropologi (2005) Vivian Junita, Sukmawati Simatupang, Ria Angelina Manalu, Meyni Saragih dan teman-teman yang lainnya yang telah memberikan dukungan. Terima kasih khusus saya ucapkan kepada seseorang yang selama ini telah banyak memberikan semangat, bantuan dan doa-doa. Terima kasih juga kepada seluruh informan di Kampung Susuk yang telah memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua orang yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Penulis telah banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu penulis selama ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pembangunan disiplin ilmu, khususnya di Antropologi FISIP USU.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Tuti Rahmawati Naibaho, lahir di Tembung, 25 Agustus 1986. Pada usia 1-7 tahun tinggal di Medan, usia 8-19 tahun tinggal di Padang Sidimpuan. Pada usia 7 tahun sekolah di SD Swasta Perguruan Sari Putera di Padang Sidimpuan, SMP Negeri 3 Padang Sidimpuan, dan SMA Negeri 1 Padang Sisimpuan. Lulus SMA (Jurusan IPA) pada tahun 2005.

Pada tahun 2005, kuliah di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU), Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Jurusan Antropologi Sosial. Selama menjadi Mahasiswi Antropologi, penulis bekerja sampingan sebagai pengajar les private dan mengikuti Organisasi Pelayanan Mahasiswa Kristen di Kampung Susuk (KMKS).


(8)

KATA PENGANTAR

Hama dan penyakit tanaman merupakan masalah yang cukup serius yang dihadapi petani padi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, tulisan ini berfokus pada pengetahuan petani mengenai hama dan penyakit tanaman padi. Pengetahuan petani tentang hama dan penyakit ini sangat besar artinya karena atas pengetahuan yang mereka miliki maka petani dapat bertindak untuk melakukan cara-cara pengendalian. Hal tersebut sangat penting karena hama dan penyakit tanaman merupakan masalah yang cukup menonjol yang dihadapi petani sejak awal masa pertumbuhan padi sampai dengan menjelang panen. Hama yang biasanya menyerang tanaman padi adalah hama perusak persemaian (tikus, ulat tanah), hama perusak akar, (nematoda, anjing tanah), hama perusak batang (tikus, penggerek batang), hama pemakan daun (tikus, burung) dan hama di penyimpanan (ulat, tikus). Selain itu, penyakit yang sering mengganggu tanaman padi yaitu : penyakit kresek, bercak daun, penyakit gosong, penyakit busuk batang dan penyakit virus

Banyak cara yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah hama dan penyakit sekalipun cara yang mereka lakukan belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Cara-cara yang dilakukan oleh petani biasanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Petani Kampung Susuk memiliki pengetahuan tersendiri tentang hama dan penyakit tanaman padi. Mereka juga memiliki cara tersendiri dalam mengendalikan hama dan penyakit. Pengendalian tersebut berdasarkan pengetahuan dari berbagai sumber dan pengalaman petani selama bertani.


(9)

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Akhir kata penulis sampaikan sekian dan terimakasih.

Medan, 14 Juni 2011 Hormat saya,


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN ORIGINALITAS

ABSTRAK ... i

UCAPAN TERIMAKASIH ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

`1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Lokasi Penelitian ... 11

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Tinjauan Pustaka ... 12

1.6 Metode Penelitian ... 16

1.7 Analisis Data ... 18

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian ... 20

2.2 Cara Mencapai Lokasi Penelitian... 21

2.3 Kondisi Pertanian di Kampung Susuk ... 26

2.4 Sejarah Kampung Susuk ... 28

2.5 Sejarah Pertanian Kampung Susuk ... 30

2.6 Keadaan Umum Penduduk ... 32

2.6.1 Kependudukan... 32

2.6.2 Mata Pencaharian ... 33

2.6.3 Agama ... 34

2.6.4 Fasilitas Umum ... 35

2.6.5 Akses Informasi ... 35

2.6.7 Kegiatan Sosial Masyarakat ... 36

BAB III PENGETAHUAN PETANI TENTANG HAMA DAN PENYAKIT 3.1 Pengetahuan Petani tentang Hama ... 40

3.1.1 Konsep Petani tentang Hama ... 40

3.1.2 Sumber Datangnya Hama ... 44

3.1.3 Gejala-gejala Padi Terserang Hama ... 45


(11)

3.1.4.1Klasifikasi Berdasarkan Waktu ... 49

3.1.4.2Klasifikasi Berdasarkan Ukuran Tubuh ... 53

3.1.4.3Klasifikasi Berdasarkan Bagian Padi ... 61

3.1.4.4Klasifikasi Berdasarkan Musim ... 62

3.1.4.5Klasifikasi Berdasarkan Keparahan Serangan 64 3.1.4.6Klasifikasi Berdasarkan Kesulitan Memberantas 65 3.2 Pengetahuan Petani tentang Penyakit ... 67

3.2.1 Konsep Petani tentang Penyakit ... 67

3.2.2 Sebab-sebab dan Gejala Padi Sakit ... 69

3.2.3 Klasifikasi Penyakit ... 73

3.2.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Bagian Padi ... 73

BAB IV SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN PETANI TENTANG HAMA DAN PENYAKIT SERTA PENGENDALIANNYA 4.1 Sumber-sumber Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit 4.1.1 Sumber Pengetahuan dari Kerabat ... 77

4.1.2 Sumber Pengetahuan dari Sesama Petani ... 80

4.1.3Sumber Pengetahuan dari PPL ... 82

4.1.4 Sumber Pengetahuan dari Penjual 4.1.5 Pupuk dan Pestisida ... 85

4.1.6 Sumber Pengetahuan dari Pengalaman Petani ... 87

4.2 Pengendalian Hama dan Penyakit ... 91

4.2.1 Pengendalian Melalui Tahap-tahap Pengolahan Sawah 4.2.1.1 Pemilihan dan Penyemaian Bibit ... 91

4.2.1.2 Ngeroro (Menyiangi / Merumputi) ... 96

4.2.1.3 Muro (Menghalau Burung) ... 97

4.2.2 Pengendalian Hama dan Penyakit Melalui Pemupukan 4.2.2.1 Jenis Pupuk yang Digunakan ... 100

4.2.2.2 Cara Pemakaian Pupuk ... 101

4.2.3 Pengendalian Hama dengan Menggunakan Pestisida 4.2.3.1 Jenis-jenis Pestisida dan Cara Penggunaannya BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 114

5.2 Saran ... 116 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : Daftar Pustaka Daftar Istilah


(12)

Interview guide (Instrument Penelitian) Daftar Informan

Peta


(13)

ABSTRAK

Tuti Rahmawati Naibaho 2011, judul : Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit Tanaman Padi di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 117 halaman, 5 tabel, 3 box, 20 gambar, 13 daftar pustaka ditambah sumber lain dan 5 lampiran.

Penelitian ini mengkaji ” Pengetahuan Petani tentang Hama dan Penyakit tanaman Padi di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan”. Penelitian ini membahas tentang masalah hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi milik petani, apa konsep petani tentang hama dan penyakit, bagaimana petani mengklasifikasikan hama dan penyakit, darimana saja pengetahuan tentang hama dan penyakit diperoleh petani, dan apa saja yang dilakukan petani untuk mengendalikan hama dan penyakit.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat mendeskripsikan. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan petani tentang hama dan penyakit tanaman padi. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini menggunakan aliran antropologi kognitif yang digunakan oleh Spradley dengan cara menggunakan metode ‘folk taxonomy’ untuk menjelaskan pola fikir petani tersebut.

Petani Kampung Susuk memiliki pengetahuan tersendiri tentang hama dan penyakit tanaman padi, bahkan mereka mengklasifikasikannya dalam beberapa kategori. Petani memperoleh pengetahuan tentang hama dan penyakit dari berbagai sumber. Beberapa petani memodifikasi berbagai sumber pengetahuan tersebut tetapi beberapa petani lagi hanya belajar dari pengalaman yang diperoleh selama bertani. Pengetahuan petani bersifat dinamis karena petani selalu merekonstruksi kembali setiap pengetahuan yang telah dimiliki. Petani Kampung Susuk umumnya mengendalikan hama dan penyakit dengan menggunakan pupuk dan petisida. Penggunaan pupuk dan pestisida yang dilakukan petani umumnya tidak mengikuti aturan pemakaian, tetapi disesuaikan dengan kondisi sawah serta hama dan penyakit yang menyerang.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya merupakan petani. Tanaman yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan bahan pangan pokok sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, padi sebagai penghasil beras harus mendapat perhatian baik mengenai lahan, benih, cara budidaya maupun pasca panen (Suparyono, 1997). Banyak permasalahan yang dihadapi petani padi saat ini, diantaranya adalah : rendahnya harga gabah, langka dan mahalnya harga pupuk, perubahan cuaca yang mulai tidak bisa diprediksi yang menyebabkan petani sulit untuk menentukan masa tanam, serangan hama dan penyakit, dan lain-lain. Terkadang, petani tidak berdaya untuk mengahadapi permasalahan tersebut, terkhusus masalah harga gabah dan pupuk karena oknum tertentu yang menentukan harga. Cuaca yang kurang menentu juga tidak bisa dihindari karena Tuhan Yang Maha Kuasa yang menetapkan. Petani hanya bisa melakukan perawatan dan pemeliharaan yang maksimal terhadap lahan padi yang dimiliki. Salah satunya adalah dalam mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi melalui pengetahuan dan pengalaman petani selama bertani.

Hama dan penyakit tanaman merupakan masalah yang cukup serius yang dihadapi petani padi akhir-akhir ini disamping permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, tulisan ini berfokus pada pengetahuan


(15)

petani mengenai hama dan penyakit tanaman padi. Pengetahuan petani tentang hama dan penyakit ini sangat besar artinya karena atas pengetahuan yang mereka miliki maka petani dapat bertindak untuk melakukan cara-cara pengendalian. Hal tersebut sangat penting karena hama dan penyakit tanaman merupakan masalah yang cukup menonjol yang dihadapi petani sejak awal masa pertumbuhan padi sampai dengan menjelang panen. Hama yang biasanya menyerang tanaman padi adalah hama perusak persemaian (tikus, ulat tanah), hama perusak akar, (nematoda, anjing tanah), hama perusak batang (tikus, penggerek batang), hama pemakan daun (tikus, burung) dan hama di penyimpanan (ulat, tikus). Selain itu, penyakit yang sering mengganggu tanaman padi yaitu : penyakit kresek, bercak daun, penyakit gosong, penyakit busuk batang dan penyakit virus (Tjahjadi, 1989).

Petani yang dikaji dalam penelitian ini adalah petani Kampung Susuk yang terletak di Jalan Abdul Hakim, Kecamatan Medan Selayang – Kota Medan. Daerah ini memiliki areal persawahan seluas 60 Ha. Areal sawah ini terbentang dari tembok Kampung Susuk menuju Pasar 1 Tanjung Sari dan terletak di antara bangunan rumah penduduk dan kawasan kost mahasiswa. Tanaman utama yang ditanam di sawah ini adalah tanaman padi. Selain itu, di pinggir sawah ada kalanya ditanami sawi dan kacang kedelai. Petani biasanya panen padi dua kali dalam setahun. Para petani mayoritas bersuku Karo (kurang lebih 80 %) dan selebihnya adalah suku Batak Toba dan Jawa. Di antara petani tersebut, hanya beberapa yang memiliki lahan sendiri, selebihnya adalah penyewa lahan. Rata-rata petani mengelola sawah seluas antara 0,5 – 1 Ha.


(16)

Kajian antropologi mengenai petani telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Situmorang (1988) terhadap sikap petani pada sistem tanam tumpang sari di Tiga Runggu yang mengatakan bahwa petani di Tiga Runggu sangat rasional dalam menghadapi usaha pertaniannya. Hal tersebut terlihat ketika pihak PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) menyuluh ke daerah tersebut menunjukka cara-cara bertani, namun petani Tiga Runggu lebih memilih cara yang dilakukannya karena cara yang dilakukannya tersebut lebih memberikan hasil yang diinginkan bila dibanding dengan cara-cara dari PPL. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan struktur tanah, iklim dari percobaan yang dilakukan dan juga oleh pengalaman-pengalaman petani.

Pengetahuan petani dalam memproduksi merupakan modal utama yang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Tanpa pengetahuan tentu saja petani tidak akan dapat mengerjakan lahannya dengan baik. Oleh sebab itu, maka pengetahuan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat petani karena sistem pengetahuan dalam mengelola suatu produksi sangat mempengaruhi baik tidaknya hasil yang diperoleh (Baramuli 1997 :38-39). Semakin banyak pengalaman seseorang dalam bertani maka semakin luas pengetahuannya untuk memproduksi.

Salah satu penelitian khusus mengenai hama dan penyakit adalah penelitian yang dilakukan oleh Winarto (1998). Winarto mengatakan bahwa sesungguhnya petani itu memiliki konsep dan pengetahuan sendiri tentang padi yang sehat dan padi yang sakit, tentang hama dan penyakit serta cara penanggulangannya. Petani Kampung Susuk juga memiliki pengetahuan tersendiri tentang hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi mereka.


(17)

Masalah hama dan penyakit tanaman padi mengalami perkembangan yang pesat akhir-akhir ini. Serangan hama dan penyakit tanaman padi menyebar di seluruh daerah pertanian padi di Indonesia. Berdasarkan data di Litbang Departemen Pertanian, serangan hama wereng di Yogyakarta, pertama kali dilaporkan pada tahun 1940. Sampai tahun 1951 luas areal di Jawa yang terserang sekitar 50-150 Ha padi sawah per musim. Sekitar tahun 1974 terjadi epidemi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur1. Pada bulan Juli 2005, serangan wereng cokelat di Pantura - Jawa telah memporakporandakan sedikitnya 10.644 Ha tanaman padi di Kabupaten Cirebon. Seluas 419 Ha diantaranya telah dinyatakan puso alias gagal panen2. Serangan hama dan penyakit tanaman yang sama juga terjadi di sentra produksi padi Kabupaten Indramayu, sedikitnya 8.000 Ha tanaman padi terancam terganggu produksinya akibat serangan hama wereng3.

Total serangan organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit) secara nasional pada periode Januari-Juni 2006 mencapai 135.988 Ha. Luas serangan ini lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Luas sawah yang terkena serangan 129.284 hektar pada Januari-Juni 2005. Beberapa jenis hama yang ditemukan antara lain penggerek batang padi (PBP), wereng batang coklat, tikus, dan tungro4.

       1 

www.taniindo.com/abdi4/hal3801.htm, 

2 

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option= content&task=view&id=Itemid=9  (Pikiran Rakyat, Rabu (28/7/2005) 

3 

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option= content&task=view&id=Itemid=9  (Pikiran Rakyat pada 6 Maret 2006) 

4 

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option= content&task=view&id=Itemid=9  (Kompas, Selasa 27 Juni 2006) 


(18)

Serangan keong mas juga sangat merugikan petani. Pada tahun 1992, di Indramayu dan Subang keong mas hanya terlihat di kolam-kolam sekitar rumah. Namun, pada 1996, sebanyak masing-masing 50 ha dan 65 ha padi di sawah di Subang dan Indramayu habis dimakan keong. Bahkan, luas wilayah serangan meluas masing-masing menjadi 604 ha dan 365 ha pada 1999. Peningkatan serangan juga terjadi di Karawang, Jawa Barat. Menurut data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, serangan keong mas di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di sebelah selatan itu meningkat 168 kali lebih tinggi dalam kurun waktu 3 tahun yang semula hanya 33 Ha pada tahun 1996 melonjak drastis menjadi 5.548 Ha pada tahun 19995.

Serangan hama juga menyebar di Sumatera Utara. Hingga bulan Desember 2008, hampir seluruh lahan pertanian sawah padi di Sumatera Utara rawan akan hama blas6. Selain itu, sejumlah petani di Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah mengalami gagal panen yang disebabkan oleh serangan tikus dan hama lainnya. Hal ini menyebabkan penghasilan panen petani di Sorkam menurun hingga 60 %7. Beberapa petani di Karo juga mengalami gagal panen karena serangan hama.8

Dari data di atas dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah pertanian di Indonesia mengalami serangan hama dan penyakit tanaman padi dan       

5 

http://www.trubus‐

omline.co.id/members/ma/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=653 

6 

http://www.bainfokomsumut.go.id/detail.php?id=3701 

7 

http://www.harian‐global.com/index.php?option=com 

content&view=article&id=2709%Apanen‐padi‐di‐sorkam‐menurun‐60‐persen&Itemid=56 

8 


(19)

perkembangannya terus meningkat. Petani Kampung Susuk juga menghadapi masalah yang sama dalam hal serangan hama. Menurut hasil penelitian yang dilakukan peneliti, hama yang biasa menyerang tanaman petani adalah wereng, keong mas, tikus, ulat, orong-orong, kepinding tanah, belalang, walang sangit dan burung. Serangan hama yang dihadapi petani dari musim ke musim adakalanya berbeda dan juga adakalanya jenis hama dan penyakit tersebut sama seperti musim sebelumnya.

Hama keong mas dulunya adalah hama biasa di Kampung Susuk, artinya kehadiran hama ini tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil produksi padi. Namun, sejak tahun 1990 keong mas mulai bermunculan di sawah petani dan mengalami perkembangbiakan yang sangat pesat. Keong mas tersebut memakan habis seluruh bagian padi yang baru ditanam baik batang maupun daun padi. Hal yang sangat membuat petani resah adalah ketika hujan terus-menerus turun pada saat padi baru ditanam hingga usia satu (1) bulan. Hal ini disebabkan karena jika hujan terus-menerus turun maka keong mas akan mengalami perkembangbiakan yang sangat cepat dan memakan padi yang masih sangat muda (1 bulan) tersebut. Hal ini sangat merugikan petani dan memaksa petani untuk menyediakan stok bibit yang cukup banyak. Menurut pengakuan petani, sebelum ada keong mas satu kaleng gabah (1 kaleng = 12 kg) sudah cukup untuk pembibitan sawah seluas 4 rante (1 rante = 400 meter). Namun setelah adanya keong mas, 1,5 kaleng padi pun terkadang kurang untuk pembibitan seluas 4 rante. Hal ini menunjukkan betapa hebatnya pengaruh serangan hama keong mas terhadap tanaman padi petani di Kampung Susuk.


(20)

Sebaliknya, hama wereng (N. lugens) dulunya merupakan hama yang sangat merugikan petani bahkan sering membuat petani gagal panen atau hasil produksi padinya kurang maksimal. Namun, lima tahun terakhir ini kehadiran hama wereng tidak terlalu mengkhawatirkan petani karena tidak terlalu berpengaruh besar terhadap produksi padi. Hama wereng ini menyebabkan batang padi busuk hingga padi tampak gosong dan padi tidak berbuah (kosong).

Hama tikus (Rattus rattus argentiventer) juga sangat mengkhawatirkan petani Kampung Susuk. Kehadiran hama tersebut tidak bisa ditebak atau diprediksi oleh petani. Beberapa petani mengatakan bahwa tikus sering menyerang tanaman padi pada saat musim hujan, namun adakalanya tikus tidak mengganggu sama sekali pada musim hujan bahkan adakalanya tikus menyerang tanaman padi pada saat musim kemarau. Menurut pengakuan salah seorang informan, pada tahun 2005 ia pernah gagal panen karena hampir seluruh padinya habis dimakan tikus. Pada musim tanam bulan Agustus tahun 2009 yang lalu, padinya juga diserang tikus namun tidak terlalu parah. Namun pada saat yang bersamaan padi tetangga sebelah lahan sawahnya habis dimakan padi. Pada akhir bulan Oktober tahun 2009 yang lalu juga terlihat sepetak sawah milik salah seorang petani di Kampung Susuk habis dimakan tikus.

Perubahan iklim dan cuaca akhir-akhir ini juga menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit tanaman. Hal ini disebabkan karena hama sama seperti mahluk hidup lainnya, perkembangan hidupnya dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti suhu, kelembaban udara, dan sebagainya. Faktor iklim tersebut berpengaruh terhadap siklus hidup, keperidian atau kemampuan untuk


(21)

menghasilkan keturunan, lama hidup, dan sebagainya. Pengaruh perubahan iklim juga akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit tanaman padi9. 

Beberapa daerah seperti Kerawang, Rembang dan Karangasem yang menjadi masalah utama terhadap perubahan cuaca akhir-akhir ini adala masalah ketidakpastian ketersediaan air. Hal ini sangat terkait dengan musim yang mulai berubah keteraturannya, pada suatu saat terjadi musim kering panjang namun pada saat lain terjadi musim hujan dengan intensitas sangat tinggi. Pada tahun 2007, musim kering panjang mengakibatkan petani di wilayah paling utara di lumbung padi Karawang terpaksa menunda tanam sampai satu bulan. Namun ketika air mulai tersedia, terjadi curah hujan yang sangat tinggi sehingga petani terpaksa menanam 2 sampai 3 kali, karena pembibitannya rusak karena terkena banjir. Pada tahun 2008 , kejadian menjadi terbalik dengan tahun sebelumnya. Petani di wilayah yang sama terpaksa menunda tanam hingga hampir 3 bulan karena intensitas hujan tidak kunjung reda sampai bulan Pebruari10. Petani Kampung Susuk juga menghadapi hal yang sama terkait dengan perubahan cuaca dan iklim. Akan tetapi, hal utama yang dihadapi petani di daerah ini terkait dengan perubahan cuaca adalah masalah hama dan penyakit. Beberapa petani mengatakan bahwa akhir-akhir ini ada penyakit aneh pada tanaman padi miliknya yaitu padi tersebut seperti berjamur dan belum diketahui pasti apa penyebab dan cara mengatasinya.

       9

 http://sekitarkita.com/2009/06/pertanian‐dan‐pemanasan‐global/ 

10 


(22)

Banyak cara yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah hama dan penyakit sekalipun cara yang mereka lakukan belum memberikan hasil yang maksimal. Cara-cara yang dilakukan oleh petani biasanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Untuk mengatasi serangan keong mas, petani di Kota Pekalongan melakukan penaburan obat hama lebih awal sebelum bibit ditanam. Saat melakukan penanaman, petani juga berusaha memunguti keong mas yang ada di sawah. Sementara itu, untuk mengatasi hama tikus petani di Kabupaten Kerawang melakukan gotong royong menjelang awal penanaman. Selain itu, petani di Kabupaten Jombang mengandalkan metode tradisional untuk mengatasi hama tikus. Para petani mengandalkan asap belerang yang dihembuskan ke dalam lubang-lubang persembunyian tikus. Petani di Kampung Susuk juga pasti memiliki cara-cara atau strategi untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman padi.11

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani pada saat peneliti melakukan penelitian, petani mengatakan bahwa pada tahun 2008 ada beberapa mahasiswa dari bagian pertanian yang melakukan uji coba tanam padi pada sebuah lahan petak sawah di Kampung Susuk. Padi tersebut tidak bertahan lama karena hampir semuanya habis dimakan keong mas (Pomacea canalicalata) dan hama lainnya pada saat padi berusia muda (1 bulan). Namun, pada saat yang bersamaan tanaman padi yang ditanam petani tumbuh seperti biasa (jikalaupun terserang hama, tidak sampai menyebabkan kerusakan yang parah). Petani mengatakan : “Tidak mungkin mereka lebih pintar daripada kami yang telah lama bertani dan

       11 


(23)

telah berpengalaman”. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya para petani memiliki pengetahuan dalam pengendalian hama berdasarkan pengalaman selama bertani. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua teori-teori ilmu pertanian dapat diterapkan pada semua lahan pertanian. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Chambers (dalam Benley 1992 : 10) : ‘farmers know somethings that scientists don’t know while scientists know somethings that farmers don’t know.’ Tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan penduduk setempat tentang kondisi lingkungan hidupnya adalah rinci dan kaya. Pengetahuan lokal juga memiliki kesejalanan dengan prinsip-prinsip ilmiah, tetapi ia lebih kaya dalam hal terakumulasinya pengalaman–pengalaman penduduk setempat. Karena itu, Richards (dalam Winarto 1994 : 166) menyatakan bahwa pengetahuan lokal itu memiliki kemampuan yang lebih baik daripada pengetahuan ilmiah.

Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa beragamnya hama dan penyakit tanaman yang dihadapi petani juga dibarengi dengan beragamnya pengetahuan dan cara pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani Kampung Susuk. Hal ini disebabkan karena petani memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing dalam menghadapi hama dan penyakit selama bertani. Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengetahuan petani di Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi serta cara pengendaliannya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pengetahuan


(24)

petani Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi serta cara pengendaliannya.

Masalah penelitian diperjelas dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa konsep petani tentang hama.

2. Apa konsep petani tentang penyakit.

3. Jenis-jenis hama dan penyakit apa saja yang menyerang tanaman padi di Kampung Susuk dan bagaimana petani mengklasifikasikan hama dan penyakit tersebut.

4. Darimana sumber pengetahuan petani tentang hama dan penyakit tanaman padi dan apa saja yang dilakukan petani untuk mengatasi hama dan penyakit tersebut.

1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian tentang hama dan penyakit tanaman padi ini dilakukan di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat areal persawahan seluas 60 Ha dan terdapat beragamnya hama dan penyakit tanaman yang merupakan masalah utama yang dihadapi petani di daerah ini.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan petani di Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi. Pengetahuan petani ini juga


(25)

terlihat dari cara-cara yang dilakukan petani terhadap pengendalian terhadap hama dan penyakit tersebut.

Hasil penelitian ini juga diharapkan mempunyai manfaat, baik secara praktis maupun secara akademis. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi masukan bagi masyarakat lokal terutama petani padi agar lebih menghargai pengetahuan lokal yang ada. Secara akademis, bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan di bidang Antropogi.

1.5 Tinjauan Pustaka

Hama dan penyakit tanaman padi bukanlah masalah yang baru bagi petani di Kampung Susuk. Petani memiliki pengetahuan dalam mengatasi masalah tersebut walaupun terkadang hasilnya tidak maksimal. Ini disebabkan karena petani memiliki banyak pengalaman selama bertani dalam menghadapi hama dan penyakit. Pengetahuan yang digunakan petani untuk mengendalikan hama dan penyakit tersebut dinamakan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan pendekatan Antropologi Kognitif dimana kebudayaan dianggap sebagai seperangkat pengetahuan yang diperoleh manusia yang dipergunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan menghasilkan tingkah laku . Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Asumsinya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Karena itu,


(26)

objek kajiannya bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomenal material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia (Spradley : 1997).

Spradley menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran atau mind individu atau masyarakat. Dalam hal ini tugas seorang antropolog adalah mencoba menemukan dan menggambarkan fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran atau mind manusia melalui ‘folk taxonomy’. Dengan itu, peneliti mencoba ‘mengorek’ isi pikiran petani di Kampung Susuk untuk menjelaskan konsep mereka tentang hama dan penyakit tanaman padi. Untuk menjelaskan pikiran (pengetahuan tentang hama dan penyakit padi) yang ada dalam ‘kepala’ petani, dalam hal ini peneliti akan melihat dari aktivitas sehari-hari petani dalam pengolahan sawah terkhusus dalam pengendalian hama dan penyakit padi (Spradley : 1997)..

Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh W.H. Goodenough dalam Marzali (1997) dimana dalam meneliti sebuah masyarakat, peneliti harus melihat aktivitas-aktivitas sosial, kelompok sosial, juga bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk dapat memahami fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti. Untuk memperoleh semua itu, peneliti harus bisa mengerti bahasa setempat sehingga dapat berkomunikasi dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang diteliti. Marzali (1997 : xx)


(27)

menyebutkan bahwa cara yang paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih khusus lagi melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa. Bahasa dan istilah-istilah (nama / sebutan) yang digunakan oleh petani Kampung Susuk dalam hal ini menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran aspek bahasa ini untuk melihat bagaimana mereka membuat sistem pengkategorisasian dalam pikiran mereka untuk menjelaskan sistem pengetahuan mereka. Sri Ahimsa Putra (1985) menegaskan bahwa melalui bahasa ini lah berbagai pengetahuan baik tersembunyi (tacit)12 maupun yang tidak (explicit13) terungkap pada si peneliti.

Winarto mengatakan bahwa petani sebenarnya memiliki pengetahuan lokal yang sangat kaya. Pilihan-pilihan petani atas jenis tanaman mereka melibatkan pengetahuan ekologi yang cukup beragam. Winarto memberi contoh satu jenis padi yang dipilih petani memiliki karakteristik genetika tertentu yang perlu dikenali oleh petani, apakah itu menyangkut perlakuan air, pupuk, pengolahan tanah, pengendalian hama, umur padi, kemajuan produksi, kualitas gabah, serta citra rasa dari jenis padi yang ditanam adalah merupakan hal-hal yang sangat penting bagi petani dalam proses belajar mereka. Winarto mengatakan bahwa petani selalu melakukan pengamatan atas apa yang terjadi dengan tanaman mereka (Winarto, 1999 :69)

       12 

Tacit knowledge yaitu pengetahuan yang diketahui bersama, seperti pemahaman atau  perasaan yang tidak dapat dinyatakan dengan kata‐kata. Pengetahuan tacit dapat berupa ide‐ide,  gagasan dan bersifat abstrak. 

13 

Pengetahuan espicit terdiri dari keteraturan‐keteraturan dalam kata‐kata dan perbuatan yang  dapat digeneralisasi dari tanggapan melalui mata dan telinga. Pengetahuan esplicit adalah  pengetahuan yang dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa. 


(28)

Terkait dengan penelitian mengenai pengetahuan petani tentang hama dan penyakit, Winarto (1998 : 53-97) menegaskan bahwa petani di dua desa di Kec.Ciasem, Kab. Subang, Jawa Barat mengkategorikan bahwa semua serangga itu adalah hama. Hama atau hewan pengganggu tanaman dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkannya pada padi ; (1) hewan yang merusak padi (satoan nu ngarusak pare) seperti tikus, wereng, walang sangit, lembing hitam dan ulat grayak, (2) hewan yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang parah (satoan nu ngeganggu enteu ngarusak pare), seperti ulat daun, belalang daun, kepiting, anjing tanah, sejenis nyamuk (rembetung), (3) hewan yang tidak mengganggu dan tidak merusak padi (satoan nu enteu ngarusak jeung enteu ngeganggu pare), seperti ulat, katak, ikan, belut, cacing tanah dan laba-laba. Dari acuan penelitian tersebut, peneliti juga akan melihat bagaimana petani di Kampung Susuk mengkategorikan hama dan penyakit.

Keller dan Keller (dalam Winarto 1998 : 54) mengatakan bahwa pengetahuan selalu mengalami penyempurnaan, pengayaan ataupun perbaikan melalui pengalaman para pelakunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan tertentu. Berbicara tentang petani berarti juga berbicara tentang teknik dan hasil pertanian serta faktor-faktor pendukung lainnya, misalnya faktor alam, manusia, maupun sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat tentang alam atau lingkungan tersebut.

Pengetahuan yang dimiliki oleh petani biasanya juga melalui pengalaman yang diperoleh dari nenek moyang mereka. Scott (1984 : 4) mengatakan bahwa ‘banyaknya padi yang dihasilkan suatu keluarga untuk sebagian tergantung


(29)

kepada nasib, akan tetapi tradisi setempat yang mengenal soal jenis bibit, cara menanam dan penetapan waktu telah digariskan berdasarkan pengalaman selama berabad-berabad, dengan tujuan mengahasilkan panen yang lebih mantap dan dapat diandalkan menurut keadaan’

Choesin (2002) memberikan sebuah model pengetahuan yaitu connectionism yaitu sebuah model pengetahuan yang memperlihatkan bahwa informasi diperoleh secara paralel, sehingga dapat dilihat bagaimana individu belajar, membuat skema-skema untuk memahami situasi dan mengatasi masalah. Dalam kerangka ini, pembentukan skema adalah hasil interaksi individu dengan unsur-unsur di sekitarnya, dan unsur-unsur dapat berasal dari masyarakat sendiri, dari luar maupun percampuran antara keduanya.

Saat ini, banyak terjadi pertemuan antara pengetahuan ‘lokal’ dan pengetahuan ‘global’. Hal ini telah melahirkan kekhawatiran bahwa pengetahuan baru tersebut akan menghapus dan menggantikan pengetahuan masyarakat lokal yang selama ini telah menjadi acuan mereka dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba mencari tahu pengetahuan petani Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi. Peneliti akan mendeskripsikan pengetahuan tentang hama dan penyakit yang ada di dalam pikiran atau ‘mind’ para petani di Kampung Susuk. Dalam penelitian kualitatif, data-data yang didapatkan di lapangan bisa berupa kata-kata maupun


(30)

tindakan. Data yang berupa kata-kata diperoleh melalui wawancara sedangkan data yang berupa tindakan-tindakan diperoleh melalui observasi. Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam pencarian data-data di lapangan antara lain :

a. Teknik Observasi

Observasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Observasi yang dilakukan peneliti sesuai dengan data yang dibutuhkan. Hal-hal yang menjadi fokus observasi adalah : peralatan apa saja yang digunakan petani dalam mengolah lahan, apa saja yang dikerjakan petani di sawah setiap hari, siapa saja yang melakukan pekerjaan di sawah (apakah anggota keluarga petani atau dengan menggaji buruh tani), jenis hama apa saja yang terdapat di lahan petani yang mengganggu tanaman padi, bagaimana perlakuan petani pada setiap pertumbuhan padi dari waktu ke waktu selama satu musim tanam, bagaimana pembagian dan pengontrolan air terhadap sawah petani, dan melihat cara-cara yang dilakukan petani terhadap pengendalian hama dan penyakit dan apa saja yang digunakan dalam pengendalian tersebut.

a. Teknik Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview). Wawancara mendalam akan terfokus kepada apa saja yang diketahui petani tentang hama, apa saja yang diketahui petani tentang penyakit tanaman padi, bagaimana petani menyebutnya dalam bahasa mereka, mengapa penyebutan tersebut sebagai pilihan mereka, apa dasar yang membedakan atau menghubungkan satu kelompok hama dengan kelompok lainnya, bagaimana cara petani menentukan cara-cara pengendalian hama dan


(31)

penyakit tersebut. Pertanyaan ini berpedoman pada interview guide sebagai acuan dalam wawancara. Wawancara ini dilakukan kapan saja bila informan memiliki kesempatan.

b. Penentuan Informan

Semua petani di Kampung Susuk dapat dijadikan sebagai informan. Petani bisa menjadi informan biasa dan bisa juga menjadi informan kunci. Bernard (1994 :165) menyatakan bahwa informan kunci yang baik adalah informan yang mudah untuk diminta informasi (diwawancari), memahami informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat bekerja sama dengan peneliti dengan baik. Untuk memilih informan kunci (key informan), peneliti memilih berdasarkan kategori-kategori yang telah dibuat yaitu petani yang telah cukup lama bertani di Kampung Susuk (minimal 4 tahun) dan petani yang banyak mengetahui tentang hama dan penyakit tanaman padi. Informan kunci bisa laki-laki dan juga bisa perempuan, tergantung dari informasi-informasi yang diberikan selama wawancara.

1.7 Analisa Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini diawali saat di lapangan pada tahap wawancara dan observasi berlangsung. Hal ini berarti bahwa analisis data tidak hanya dilakukan pada saat pulang dari lapangan saja akan tetapi di lapangan peneliti sudah mulai mengklasifikasikan data yang didapat.

Tahap awal yang dilakukan setelah pulang dari lapangan adalah menganalisa data yang sudah didapat dari lapangan dengan mengumpulkan data


(32)

yang sejenis ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan (pengklasifikasian yang sejenis).

Pada tahap akhir, peneliti memeriksa ulang kembali data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis secara kualitatif. Data yang dikumpulkan melalaui pengamatan dan wawancara disusun sesuai dengan sistematika penulisan.

Data yang dituliskan tersebut diperkuat dengan data kepustakaan terutama yang berupa teori-teori yang memperkuat data lapangan yang dianalisis. Dalam menulis dan menganalisis, peneliti juga menambahkan data-data berupa hasil observasi yang peneliti dapat pada saat berada di lapangan sebagai penguat data hasil wawancara yang telah diklasifikasikan tadi.


(33)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Lokasi Penelitian

Kecamatan Medan Selayang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan tersebut adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada di bagian barat daya wilayah Kota Medan. Kecamatan ini memiliki luas kurang lebih 23,89 km2 atau 4,83% dari seluruh luas wilayah Kota Medan dan berada pada ketinggian 26-50 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Medan Selayang merupakan pecahan dari Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal dan Medan Tuntungan. Sebelah Utara, kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru dan Medan Sunggal. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Johor. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Polonia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

Kampung Susuk yang menjadi lokasi penelitian berada di Lingkungan IX, Kelurahan Padang Bulan Selayang I - Kecamatan Medan Selayang14. Kampung Susuk terdiri dari13 bagian atau gang yaitu dimulai dari Susuk I (satu) hingga Susuk XIII (13). Susuk 1 dimulai dari Tembok Kampung Susuk dekat USU. Susuk 2 dan berikutnya mengikuti gang-gang yang ada setelah tembok tersebut

       14 

Kecamatan Medan Selayang terdiri dari 6 (enam) kelurahan yaitu Kelurahan Asam Kumbang dengan luas 400 Ha, Kelurahan Beringin (79 Ha), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1 (180 Ha), Kelurahan Padang Bulan Selayang II (700 Ha), Kelurahan Sempakata (510 Ha) dan Kelurahan Tanjung Sari (510 Ha).


(34)

secara berurutan. Kampung Susuk berbatasan dengan Kelurahan Medan Baru pada bagian timur. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari. Sebelah Utara berbatasan dengan Lingkungan VIII (delapan), Keluraha Padang Bulan Selayang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

2.2 Cara Mencapai Lokasi Penelitian

Kampung Susuk (Jalan Abdul Hakim) berada di dekat Kampus Universitas Sumatera Utara dan Politeknik Negeri Medan. Ada banyak jalur untuk mencapai Kampung Susuk. Jalur pertama adalah melalui Pasar 1 Padang Bulan. Jarak dari Pasar 1 ke Kampung Susuk adalah sekitar 1 km. Dari Pasar 1, tidak ada angkutan umum yang masuk ke Kampung Susuk. Kampung Susuk hanya bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) dan becak dayung serta becak mesin.

Jika menggunakan becak mesin, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mencapai lokasi. Ongkos yang dikeluarkan dengan menaiki becak mesin adalah sekitar Rp 6000 – Rp 8000, tergantung tawar-menawar dengan tukang becak. Dari Pasar 1, maka becak akan jalan terus dan kemudian belok kanan. Setelah belok kanan, becak melaju terus dan kemudian akan belok kiri dan memasuki Jalan Berdikari. Di sepanjang jalan Berdikari, jalan yang dilalui sudah diaspal namun ada beberapa lubang. Di kiri dan kanan jalan akan terlihat rumah penduduk dan rumah kost-kostan mahasiswa. Setelah itu, akan ada belokan sebelah kanan. Belokan ini sudah memasuki areal Kampung Susuk yaitu tembus ke Susuk 2 (dua). Jalan yang dilalui dari Susuk 2 ini bisa dikatakan buruk karena jalannya


(35)

belum diaspal dan banyak terdapat lobang. Jalan tersebut akan lebih parah lagi jika dimusim hujan. Jalan-jalan yang dilalui sangat becek dan licin. Hal ini menyebabkan setiap kenderaan harus berhati-hati melewati jalan tersebut. Akan tetapi, jalan tersebut telah diperbaiki dan diaspal pada tahun 2010. Di kiri dan kanan sepanjang jalan Susuk 2 akan terlihat rumah–rumah penduduk yang lumayan mewah dan kost-kostan mahasiswa. Di ujung Susuk 2 kemudian belok kiri dan jalan terus kira-kira 5 menit lagi hingga tiba di areal persawahan Kampung Susuk.

Jalur kedua yaitu melalui Simpang Sumber-Padang Bulan. Dari Simpang Sumber menuju lokasi penelitian juga hanya bisa dilalui oleh kendaraan motor dan becak dayung serta becak mesin. Jarak dari Simpang Sumber ke Kampung Susuk yaitu sekitar 700 meter dan jikalau naik becak mesin hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Ongkos yang dikeluarkan adalah sekitar Rp 5000-Rp 8000. Dari Simpang Sumber, becak yang dinaiki melaju terus dan belok kiri melewati Kampus Fakultas Hukum, kemudian belok kanan dan melewati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Pertanian. Setelah itu, kemudian becak belok kanan memasuki terusan jalur Pintu 4 USU dan kemudian belok kiri yang pada akhirnya akan memasuki tembok Kampung Susuk. Dari Tembok ini (Susuk 1), becak melaju terus sekitar 6 menit lagi dan kemudian akan tiba di areal pertanian Kampung Susuk.

Jalur ketiga yaitu melalui Pintu 4 Universitas Sumatera Utara. Dari Pintu 4 ini pun tidak ada angkutan umum masuk menuju Kampung Susuk, hanya dengan menggunakan kendaraan pribadi dan becak dayung serta becak mesin. Jarak dari Pintu 4 USU menuju areal pertanian Kampung Susuk adalah sekitar 500 meter


(36)

dan hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit jika menaiki becak mesin. Ongkos yang dikeluarkan adalah sekitar Rp 5000 - Rp 7000. Dari Pintu 4 USU jalannya hanya lurus saja dan di sepanjang jalan akan melewati kampus Politeknik Negeri Medan dan Hutan Tridarma USU kemudian belok ke kanan dan memasuki Tembok Kampung Susuk dan melaju terus hingga tiba di persawahan Kampung Susuk.

Jalur keempat yaitu melalui Jalan Dr. Mansur. Di jalan Dr. Mansur tersebut ada sebuah jembatan dan di seberangnya adalah Jalan Pembangunan. Dari simpang Jalan Pembangunan tersebut juga tidak ada angkutan umum menuju Kampung Susuk. Lokasi bisa dicapai dengan menggunakan kenderaan pribadi dan becak dayung serta becak mesin. Jarak dari Simpang Jalan Pembangunan menuju Kampung Susuk adalah sekitar 400 meter dan hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit jika menggunakan becak mesin. Ongkos yang dikeluarkan adalah sekitar Rp 4000 – Rp 7000. Tidak terlalu sulit untuk mencari becak dari jalur ini karena di simpang Jalan Pembangunan banyak tukang becak yang mangkal mencari sewa. Jalan melalui jalur ini bisa dikatakan bagus dan sudah diaspal dan jarang terdapat lobang. Di sepanjang Jalan Pembangunan di sebelah kiri dan kanan jalan adalah rumah penduduk dan kost-kostan mahasiswa. Dari simpang Jalan Pembangunan jalannya hanya lurus dan akan tembus ke seberang simpang Susuk 2 dan kemudian becak belok kanan dan melaju terus sekitar 5 menit lagi dan akan tiba di areal persawahan Kampung Susuk.

Jalur kelima adalah melalui Pintu 3 USU. Di sebelah Pintu 3 USU terdapat Bank SUMUT. Kenderaan menuju Kampung Susuk melalui jalur ini juga hanya dengan kenderaan pribadi dan becak. Jarak dari Pintu 3 ke Kampung Susuk adalah


(37)

sekitar 600 meter dan membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan menggunakan becak mesin. Ongkos yang dikeluarkan adalah sekitar Rp 5000 – Rp 7000. Dari Pintu 3, becak melaju lurus dan akan melewati Kampus Politeknik Negeri Medan, Fakultas Teknik–USU, kemudian belok kanan melewati Fakultas MIPA–USU dan lurus masuk ke Tembok Kampung Susuk dan terus menuju persawahan Kampung Susuk.

Jalur keenam adalah melalui Pintu 1 USU. Dari Pintu 1 ini juga hanya menggunakan kendaraan pribadi dan becak untuk mencapai Kampung Susuk. Jarak dari Pintu 1 USU ke Kampung Susuk adalah sekitar 750 meter dan membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mencapai lokasi dengan menggunkan becak mesin. Ongkos yang dikeluarkan sekitar Rp. 5000 – Rp. 7000. Dari Pintu 1 ini akan melewati Bank Mandiri dan Gelanggang Mahasiswa USU kemudian melaju lurus. Jalan yang dilalui berikutnya sama dengan jalan yang dilalui ketika melewati jalur dari Sumber.

Jalur terakhir adalah melalui Pasar 1 Kelurahan Tanjung Sari. Dari simpang Pasar 1 ini juga hanya menggunakan kendaraan pribadi dan becak untuk mencapai Kampung Susuk. Jarak dari Pasar 1 ke areal persawahan yaitu sekitar 300 meter. Dari Simpang Pasar 1 ini hanya melaju lurus sekitar 8 menit dengan menggunakan becak mesin dan akan segera tiba di areal persawahan. Ongkos yang dikeluarkan adalah sekitar Rp. 4000 – Rp. 6000. Di sepanjang jalan melalui jalur ini akan terlihat adanya beberapa kompleks perumahan yang sedang dalam proses pembangunan. Kompleks tersebut berada di dekat areal persawahan.


(38)

Semua jalur menuju Kampung Susuk tersebut dapat diakses selama 24 jam. Awal perjalanan melalui jalur Sumber, Pintu 1,3 dan 4 USU, Pasar 1 Padang Bulan dan Jalan Pembangunan jalan yang dilalui dapat dikatakan baik karena sudah diaspal dan tidak terlalu banyak terdapat lubang. Namun, ketika sudah memasuki Kampung Susuk, yaitu Susuk 6 (enam) mendekati areal persawahan hingga tembus ke Pasar 1 Tanjung Sari, jalan yang dilalui sangat buruk. Jalan tersebut telah diaspal namun banyak terdapat lubang. Hal tersebut menyebabkan setiap kenderaan khususnya becak dan motor harus berhati-hati melalui jalan tersebut karena banyak kenderaan pribadi yang melintasi jalan tersebut khususnya pukul 08.00 WIB-10.00 WIB dan pukul 17.00 WIB-18.30 WIB. Pada saat musim hujan, jalan dari Susuk 6 sangat becek sedangkan jika musim kemarau, jalan tersebut sangat berdebu.

Sawah Kampung Susuk terbentang mulai dari Susuk 7 hingga mendekati Pasar 1 Tanjung Sari. Bentangan sawah tersebut tidak terlalu luas hanya 60 Ha. Pada pinggir jalan di sekitar sawah tersebut terdapat gubuk-gubuk milik petani. Gubuk-gubuk ini sering digunakan oleh orang yang melewati Kampung Susuk (Jalan Abdul Hakim) sebagai tempat persinggahan sambil menatap sawah bahkan ada yang memang sengaja datang ke gubuk sawah tersebut untuk duduk-duduk Namun, di sekitar bentangan sawah tersebut sudah banyak terlihat bangunan kompleks perumahan mewah yang sedang dikerjakan bahkan tampak beberapa lahan sawah yang baru ditimbun untuk dibangun.


(39)

2.3 Kondisi Pertanian di Kampung Susuk

Jenis sawah yang dikelola oleh petani di Kampung Susuk adalah sawah tadah hujan. Hal ini berarti bahwa sumber pengairan sawah hanya diperoleh dari air hujan. Petani benar-benar tergantung kepada datangnya hujan untuk menentukan masa tanam. Di Susuk 8 terdapat sebuah sungai kecil yaitu aliran air dari Sungai Sei-Semayam, namun sungai tersebut juga hanya mengalir jika dimusim hujan. Jikalau musim kemarau, sungai tersebut juga akan kering. Sungai kecil tersebut hanya bisa dipergunakan oleh petani yang lahannya berada di dekat sungai tersebut. Sekalipun demikian, petani tetap melakukan masa tanam dua kali dalam setahun yaitu setiap bulan Mei dan bulan Oktober. Petani belum pernah mengalami keterlamabatan masa tanam yang terlalu lama. Kalaupun terjadi perubahan masa tanam biasanya tidak terlalu jauh berbeda dengan masa tanam seperti biasanya.

Seiring dengan berkembangnya pembangunan pemukiman di Kampung Susuk terkhusus pembangunan kompleks perumahan, luas lahan pertanian semakin lama semakin menyempit. Hal ini juga menyebabkan semakin sedikit jumlah petani di Kampung Susuk karena tidak memiliki lahan lagi untuk dikelola. Daftar petani di Kampung Susuk dapat dilihat dari tabel lampiran.

Jenis tanaman yang ditanam di sawah petani adalah padi. Sekitar 15 tahun yang lalu, petani pernah mencoba menanam palawija setelah panen untuk mengisi kekosongan lahan sampai tiba masa tanam padi berikutnya. Namun ternyata tanaman tersebut kurang berhasil. Menurut petani, jenis tanah dan cuaca kurang mendukung untuk menanam palawija di lahan tersebut. Sejak saat itu, petani


(40)

hanya menggunakan lahan ini untuk menanam padi. Namun, adakalanya petani menanam sayur sawi, kacang kedelai, kacang hijau dan kacang tanah di pinggiran jalan Kampung Susuk dekat lahan mereka. Umumnya tanaman tersebut tidak terlalu banyak dan hanya mereka manfaatkan untuk dikonsumsi keluarga.

Sejak awal bertani, petani hanya bisa memanen padi satu kali dalam setahun. Pada saat itu petani menanam jenis padi pulo. Pada saat itu tidak terlalu banyak masalah yang dihadapi petani termasuk daiantararnya masalah hama dan penyakit padi. Namun, setelah tahun 1980 petani mulai panen dua kali dalam setahun. Hal ini disebabkan karena petani sudah mulai mengganti jenis bibit mereka dengan bibit padi IR 64. Sejak tahun tersebutlah hama mulai banyak dihadapi para petani padi.

Berdasarkan data dari lampiran dapat dilihat bahwa rata-rata petani bertempat tinggal di Susuk 5 (lima) yaitu sebanyak 26 petani. Pada tahun 2008 saat data tersebut di buat, semua petani yang tertera masih mengelola lahan pertanian. Namun pada saat melakukan wawancara dengan ketua Kelompok Tani, didapati data bahwa petani yang masih terus bertani hanya tinggal 57 petani. Hal ini disebabkan karena lahan milik 22 petani lagi sudah ditimbun untuk dijadikan bangunan kompleks perumahan.

Hampir semua petani yang bertani di Kampung Susuk merupakan petani penyewa. Dari data di atas, hanya 2 (dua) orang petani yang mengelola lahan sendiri yaitu : Jenda Ngenda dan Prorama Ginting. Selebihnya, lahan yang dikelola petani bukanlah milik sendiri melainkan disewa dari PT IRA (BUMI MANSUR) dan pemilik yang lainnya. Pada umumnya lahan yang dikelola petani


(41)

tidak terlalu luas. Rata-rata petani hanya mengelola sawah seluas 0,76 Ha. Sistem sewa lahan di Kampung Susuk yaitu setiap kali panen petani harus membayar 10 kaleng padi per seribu meter tanah dan biasanya 10 kaleng padi tersebut dibayar dalam bentuk uang. Namun demikian, adakalanya biaya sewa lahan disesuaikan dengan kondisi hasil panen petani. Jika hasil penen petani tidak terlalu bagus (gagal panen), maka pihak penyewa tanah memberikan keringanan kepada petani.

2.4 Sejarah Kampung Susuk

Kampung Susuk berasal dari kata “susuk” yang diambil dari nama kampung asal penduduk Kampung Susuk yaitu Kampung Susuk Gunung. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk tetap mengingat kampung asal. Kampung Susuk merupakan salah satu kampung yang berada di Lingkungan IX, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang.

Batas-batas administrasi Kampung Susuk adalah : Utara : Jalan Abdul Hakim (Tanjung Sari) Timur : Universitas Sumatera Utara Selatan : Jalan Berdikari

Barat : Sei. Selayang

Topografi Kampung Susuk berupa dataran dengan curah hujan antara Bulan Juli-Desember. Sedangkan musim kemarau terjadi antara Januari-Maret. Luas Kampung Susuk adalah 80.000m 2 . Kampung Susuk terdiri dari 13 bagian yaitu Susuk 1 sampai dengan Susuk 13. Berdasarkan batas administrasi, awalnya Kampung Susuk berada di Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena adanya pemekaran wilayah pada tahun 1974, Kampung Susuk masuk ke dalam batas administrasi Kotamadya Medan. Pemerintah menganjurkan agar setiap daerah


(42)

memiliki nama dan jalan. Oleh karena itu, masyarakat Kampung Susuk memberikan nama “susuk” pada nama jalan dan gang dengan tujuan agar tetap menjaga keaslian nama kampung mereka. Selain itu, berdasarkan administrasi pemerintahan Jalan Abdul Hakim dianggap sama dengan Jalan Susuk Raya.

Areal Universitas Sumatera Utara pada awalnya merupakan areal milik penduduk asli Kampung Susuk. Panglima Jamin Ginting mengadakan musyawarah bersama penduduk dengan tujuan untuk membangun “rumah sekolah” (USU). Apabila tidak terjadi kesepakatan antara Panglima Jamin Ginting dan penduduk maka kemungkinan pembangunan rumah sekolah akan dialihkan ke Padang (Sumatera Barat). Berdasarkan kesepakatan bersama maka masyarakat mendapatkan ganti rugi sebesar dua rupiah lima puluh sen per meter tanah dan hunian (penampungan) untuk masyarakat kampung Susuk yang terletak di Pasar 2 seluas (20 x 23) m 2 . Latar belakang Panglima Jamin Ginting mendirikan rumah sekolah di Kampung Susuk adalah dengan tujuan untuk mempermudah akses pendidikan bagi anak-anak penduduk di Kampung Susuk.

Kampung Susuk berdiri pada tahun 1950 yang diawali dengan kedatangan 50 kepala keluarga (KK) yang berasal Kampung Susuk Gunung, Tanah Karo. Hal yang melatarbelakangi KK-KK ini adalah adanya penyempitan lahan pertanian di Kampung Susuk Gunung akibat pembagian tanah di lingkungan keluarga. Kepala-kepala keluarga terdiri dari kumpulan “Silima Marga” yaitu Marga Karo-karo, Perangin-angin, Ginting, Tarigan dan Sembiring.

Sebagian dari kepala-kepala keluarga tersebut melakukan peninjauan lokasi ke Kampung Susuk dengan tujuan mencari tanah garapan untuk diolah menjadi lahan pertanian. Pada awalnya Kampung Susuk merupakan lahan


(43)

perkebunan tembakau jajahan Belanda. Namun ketika KK melakukan peninjauan lahan tersebut telah menjadi lahan terlantar yang ditumbuhi semak dan ilalang. Selanjutnya dilakukan musyarawah bersama KK yang lain di Kampung Susuk Gunung Tanah Karo. Berdasarkan hasil musyawarah bersama 50 KK tersebut di Kampung Susuk Gunung, maka diputuskan untuk menggarap tanah di Kampung Susuk dengan berbekal ongkos dan beras 4 kg/KK.

Lima puluh KK tersebut memutuskan untuk membangun sebuah Rumah Panjang yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara. Setelah itu 50 KK tersebut melakukan pembagian tanah seluas 80 ha dengan rincian 6.000m2 (120x50) m per KK dan dibangun gubuk pada patok yang telah ditentukan untuk menjadi milik masing-masing KK. Oleh karena telah ada pembagian tanah dan pembangunan gubuk pada masing-masing lahan KK maka Rumah Panjang dibongkar. Gubuk inilah yang menjadi tempat tinggal masing-masing KK.

Masing-masing KK membawa anggota keluarganya dari Kampung Susuk Gunung ke Kampung Susuk. Ada beberapa KK yang tidak dapat bertahan tinggal di Kampung Susuk karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup dan memutuskan kembali ke Kampung Susuk Gunung.

2.5 Sejarah Pertanian Kampung Susuk

Berdasarkan pembagian tanah yang telah dilakukan oleh 50 KK maka kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah pengolahan tanah menjadi lahan persawahan (tingkat penyerapan air yang tinggi), topografinya datar dan berada di daerah aliran sungai. Faktor-faktor yang mendukung areal Kampung Susuk menjadi lahan persawahan diantaranya adalah bulan basah yang lebih banyak


(44)

dibandingkan bulan kering, kondisi tanah yang lembab Tahun 1950-1952 pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan sistem manual (tenaga manusia) dan jenis tanaman berupa padi darat. Tahun 1953-1968 pengolahan sawah sudah dibantu dengan irigasi (tali air) dan membajak menggunakan tenaga hewan (sapi). Irigasi ini berasal dari sungai Bekala yang berada di Simpang Kuala. Namun, pada tahun 1968, ditemukan adanya ledakan yang menyebabkan pecahnya areal pembuangan. Masyarakat mengantisipasi kebocoran tersebut dengan membuat “rocok” atau patok dan penimbunan dengan tanah. Akan tetapi, hal ini tidak bertahan lama karena adanya peluapan air sungai dan menghanyutkan patok dan timbunan tanah. Tahun 1970 pemerintah kota Medan tidak menghendaki adanya areal persawahan sehingga masyarakat mengubah sistem pertanian menjadi sawah tadah hujan. Masing-masing KK membentuk cetakan sawah berupa galangan-galangan sawah dengan tujuan untuk menutupi parit-parit aliran air yang dahulu digunakan pada areal perkebunan tembakau.

Jenis padi yang digunakan adalah padi lokal yaitu “padi anak bado” dan “padi simbo”. Petani Kampung Susuk dahulu menggunakan sistem gotong-royong yang dinamakan “aron” dengan jumlah anggota 8-10 orang per kelompok gotong royong. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pengalihan fungsi lahan menjadi lahan pemukiman dan perkebunan sawit di sekitar persawahan. Hal ini berdampak terhadap hasil pertanian sawah petani karena adanya hama pengganggu yaitu tikus yang berasal dari areal perkebunan sawit.

Selain varietas tanaman padi, masyarakat Kampung Susuk juga pernah mencoba menanam tanaman palawija berupa kacang hijau, kacang tanah, akcang kedelai, dan jagung. Namun, kondisi tanah yang lembab (tingkat penyerapan air


(45)

tinggi) menyebabkan jenis-jenis tanaman ini tidak dapat hidup di lahan tersebut. Hal ini disebabkan karena tingkat penyerapan air yang tinggi oleh tanah sehingga terjadi pembusukan akar.

2.6 Keadaan Umum Penduduk 2.6.1 Kependudukan

Jumlah penduduk Kampung Susuk (Lingkungan IX) ± 1.000 jiwa, dengan persentase ±300 jiwa penduduk tetap dan ±700 jiwa mahasiswa. Penduduk Kampung Susuk terdiri dari suku asli yaitu Batak Karo dan suku pendatang yang terdiri dari suku Nias, Batak Toba yang berasal dari Tapanuli (merupakan suku yang paling dominan). Jumlah penduduk suku asli ±80 KK, dan sisanya ± Suku Nias mulai ada di Kampung Susuk sejak ±10 tahun yang lalu. Persebaran penduduk asli didominasi di Susuk 4 dan Susuk 5. Persebaran suku Nias terdapat di Susuk 2, 3 dan 6 dengan membangun perumahan kecil mengelompok, sedangkan suku minoritas lainnya berada di sela-sela perumahan suku asli/Karo. Hubungan sosial antar suku terjalin dengan baik, tidak terdapat konflik.

Penduduk pendatang yakni mahasiswa di Kampung Susuk didominasi oleh suku Batak Toba dan selebihnya terdiri dari suku Karo, Simalungun, Nias, Mandailing dan Jawa. Hal yang melatarbelakangi mahasiswa memilih tempat tinggal di Kampung Susuk karena memiliki akses yang dekat dengan Universitas Sumatera Utara. Hubungan sosial antara penduduk setempat dengan mahasiswa terjalin dengan baik.


(46)

2.6.2 Mata Pencaharian

Penduduk Kampung Susuk pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Namun, seiring perkembangan zaman mata pencaharian penduduk mulai beragam diantaranya berdagang, pegawai kantoran, buruh dan tukang becak.

Keberadaan anak kost yang tinggal di Kampung Susuk membawa dampak yang positif, salah satunya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar kampung. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah bangunan yang dimanfaatkan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Lokasi Kampung Susuk yang sangat strategis membuat warga-warga pendatang membuka usaha dengan menjual berbagai macam paganan (warung nasi). Warung-warung nasi tersebut hampir dapat ditemui disetiap gang Kampung Susuk. Warga-warga tersebut menyewa bangunan yang dimanfaatkan sebagai warung nasi tersebut.

Bertani merupakan pekerjaan sampingan warga Kampung Susuk. Sebagian besar yang berprofesi sebagai petani tersebut adalah kaum wanita (istri). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Sedangkan kaum lelaki (suami) memiliki pekerjaan lain yaitu menarik becak, buruh bangunan, wirausaha, dan lain-lain.

Kegiatan bertani di sawah dimulai dari pagi hari hingga sore hari dengan membawa bekal makanan untuk bekal makan siang. Namun, kebanyakan petani umumnya pulang ke rumah pada siang hari karena jarak sawah ke rumah mereka tidak terlalu jauh. Hasil pertanian dari kegiatan bertani digunakan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga dan bukan merupakan mata


(47)

pencaharian pokok. Oleh karena itu, para petani di Kampung Susuk telah memiliki kesiapan apabila suatu saat lahan yang dikelola diambil alih oleh pemilik tanah dengan beberapa tujuan diantaranya pembangunan perumahan, jalan dan fasilitas lainnya.

Adapun bentuk mata pencaharian lainnya adalah wirausaha yaitu warung dan toko. Pemilik warung-warung tersebut adalah penduduk setempat yang bersuku Karo dan biasanya menjual kebutuhan sehari-hari. Oleh karena keberadaan mahasiswa di daerah ini, maka bentuk usaha yang mendominasi diantaranya terdiri dari toko alat-alat tulis, warung internet, fotokopi, warung nasi dan warung yang menyediakan bahan mentah kebutuhan sehari-hari.

2.6.3 Agama

Agama yang menjadi mayoritas di Kampung Susuk adalah agama Kristen Protestan dengan persentase sekitar ± 80%. Selain itu, terdapat pula agama Katholik dan agama Islam (± 20%). Agama Kristen Protestan beribadah di gereja yakni Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang terletak di Susuk 3 dan adapula yang beragama kharismatik. Umat Katholik beribadah di Gereja St. Yoseph di Jalan Dr. Mansyur. Sedangkan umat Islam beribadah di mesjid terdekat yakni di Susuk 6.

Adapun mahasiswa dan masyarakat pendatang beribadah bersama penduduk setempat di gereja sesuai keyakinan masing-masing. Kerukunan dan hubungan sosial antar umat beragama terjalin dengan baik dan tidak pernah terjadi konflik.


(48)

2.6.4 Fasilitas Umum

Kampung Susuk belum memiliki fasilitas umum yang memadai. Hal ini disebabkan karena Kampung Susuk hanya merupakan sebuah lingkungan yang tidak terlalu luas hanya 80 Ha. Adapun sarana yang telah ada diantaranya yaitu satu gereja tempat ibadah masyarakat Karo yang beragama Kristen yaitu gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) yang terletak di Susuk 3 (tiga), satu unit mesjid yang terletak di Susuk 6 (enam), satu unit klinik bidan yang terletak di Susuk 4 (empat) dan lapangan futsal yang terletak di Susuk 7 (tujuh). Fasilitas-fasilitas lainnya yang dibutuhkan masyarakat dapat diperoleh di luar Kampung Susuk yang letaknya masih mudah dijangkau dan tidak terlalu jauh, misalnya sarana sekolah, puskemas, rumah sakit dan lain-lain.

Lapangan futsal Kampung Susuk berdiri pada tahun 2009. Lapangan ini didirikan oleh orang Cina namun menggunakan lahan Kampung Susuk. Lapangan futsal ini terdiri dari 4 lapangan dan selalu dikunjungi oleh banyak orang. Orang yang hendak memakai lapangan tersebut harus membayar sewa. Sewa lapangan pada pagi, siang dan malam hari berbeda-beda. Pada pagi hari (pukul 08.00 WIB-12.00 WIB) biaya sewanya adalah Rp 75.000 per jam. Pada siang hari (pukul 13.00 WIB-18.00 WIB) biaya sewanya adalah Rp 120.000 per jam. Pada malam hari (pukul 18.00 WIB-22.00 WIB) biaya sewanya adalah Rp 150.000 per jam.

2.6.5 Akses Informasi

Akses informasi di Kampung Susuk sudah tergolong memadai. Setiap kepala keluarga telah memiliki televisi (TV) dan radio di rumahnya masing-masing. Televisi di daerah ini tidak perlu menggunakan parabola karena semua


(49)

siaran dapat diterima. Siaran radio juga banyak yang diterima di daerah ini dan sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk mengikuti perkembangan dunia informasi yang terjadi.

Selain itu, sumber informasi yang juga dapat dirasakan warga adalah berupa alat komunikasi Handphone (HP). Beberapa operator yang dapat dijangkau misalnya Telkomsel, Indosat, Smart dan lain-lain. Akses internet juga terdapat di daerah ini. Akses ini dapat dijangkau oleh semua warga dan dari semua umur mulai dari orangtua, remaja dan anak-anak.

2.6.6 Kegiatan sosial masyarakat

Walaupun lingkungan Kampung Susuk tidak terlalu luas, namun masyarakat di daerah ini memiliki beberapa organisasi kemasyarakatan baik di bidang keagamaan maupun di bidang pertanian. Organisasi tersebut sampai saat ini masih terus dilaksanakan dan berjalan dengan baik.

a. Organisasi di bidang keagamaan

Banyak kegiatan di bidang keagamaan yang terdapat Kampung Susuk, diantaranya kegiatan yang berasal dari gereja maupun kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh para anak kost yang beragama Kristen. Hal ini disebabkan karena umumnya penduduk Kampung Susuk mayoritas beragama Kristen.

b. Organisasi keagamaan yang berasal dari gereja

Kegiatan keagamaan yang berasal dari gereja meliputi kegiatan remaja, kegitan para kaum ibu dan kegiatan para kaum bapak. Kegiatan untuk remaja disebut dengan PERMATA (Persadaan Anak Gerejanta) yaitu perkumpulan anak


(50)

gereja. Permata biasanya mengadakan pertemuan sekaligus ibadah setiap hari Jum’at pukul 19.30 WIB yang diadakan di rumah penduduk secara berganti-gantian. Umumnya dalam setiap acara adat di Kampung Susuk baik acara adat pernikahan maupun kematian, PERMATA selalu turut ambil bagian dalam membantu kegiatan tersebut.

Perkumpulan orang tua meliputi PJJ (Perpulungan Jabu-Jabu) yaitu perkumpulan jemaat gereja Kampung Susuk yang diadakan setiap hari Selasa pukul 20.00 WIB dan diadakan di rumah penduduk secara bergantian. Perkumpulan orang tua ini dispesifikasikan lagi menjadi 2 (dua) yaitu Moria dan Mamre. Moria merupakan perkumpulan ibu-ibu yang diadakan setiap hari Minggu pukul 19.30 WIB sedangkan Mamre merupakan perkumpulan bapak-bapak yang diadakan setiap hari Rabu pukul 20.00 WIB.

c. Kegiatan keagamaan yang dilakukan anak kost Kampung Susuk

Anak kost yang beragama kristen yang tinggal di Kampung Susuk memiliki suatu perkumpulan yaitu KMKS (Kebaktian Muda-Mudi Kampung Susuk). Umumnya mereka adalah mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai gereja. KMKS ini sangat aktif dalam melakukan kegiatan ibadah. Ibadah kebaktiannya dilakukan setiap hari Minggu pukul 19.30 di rumah penduduk secara bergantian dan biasanya dihadiri oleh anak kost sebanyak 150 orang. KMKS ini juga sangat didukung oleh penduduk setempat karena menurut penduduk, KMKS ini memiliki peran dan dampak yang sangat baik dalam perkembangan keagamaan di Kampung Susuk. KMKS juga menjalin hubungan yang baik terhadap pemuda dan orang tua setempat.


(51)

d. Organisasi di bidang pertanian

Organisasi pertanian/Kelompok Tani pertama kali dibentuk pada tahun 1975. Organisasi ini didirikan oleh walikota di bawah Dinas Pertanian Tingkat I dan II. Adapun kegiatan yang dilakukan berupa kelompok tani nelayan, kelompok tani unggas, kelompok tani hewan dan kelompok tani pangan. Pada tahun 1976 juga dibentuk koperasi masyarakat dengan nama “Loh Ji Nawi”. Namun tidak berfungsi dengan baik karena saham dari anggota tidak berjalan, kurangnya keterlibatan anggota yang dilihat dari kurangnya partisipasi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh pengurus koperasi. Kegiatan dari koperasi ini meliputi penerapan tanggal pembibitan dan penanaman secara serentak.

Petani di Kampung Susuk memiliki suatu perkumpulan yaitu Kelompok Tani Harapan yang diketuai oleh Bapak Purba hingga tahun 1997. Kemudian kelompok tani ini berganti nama menjadi Kelompok Tani Mulia dan diketuai oleh Ibu Sabarmin Bangun. Namun pada saat ini kelompok tani ini kurang berjalan dengan baik. Ketua kelompok tani selalu aktif mendata setiap perubahan luas lahan, jenis tanaman pada petani dan setiap kebutuhan akan pupuk yang nantinya akan dibuat dalam Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).

Praktek Penyuluh Lapangan (PPL) bersama dengan Ketua Kelompok Tani bekerjasama dan sejalan untuk membantu petani untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan pertanian kepada masyarakat Kampung Susuk. Adapun kegiatan PPL adalah meninjau kegiatan bertani secara langsung ke persawahan dan membicarakan tentang gangguan dan serangan hama serta gangguan-gangguan pertanian lainnya. Setelah itu, PPL akan memberikan penyuluhan untuk


(52)

membantu masyarakat dalam mengatasi gangguan-gangguan tersebut. Namun, kegiatan PPL saat ini tidak semaksimal dahulu karena kegiatan penyuluhan dan peninjauan secara langsung ke lapangan tidak lagi dilakukan.


(53)

B A B III

PENGETAHUAN PETANI TENTANG HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI

3.1 Pengetahuan Petani tentang Hama

3.1.1 Konsep Petani tentang Hama

Masing-masing petani Kampung Susuk memiliki konsep yang berbeda tentang hama. Konsep yang berbeda tersebut disebabkan karena pengetahuan dan pengalaman yang dialami petani selama bertani berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lain. Beberapa petani Kampung Susuk mengartikan bahwa hama merupakan semua binatang pengganggu yang dapat merusak tanaman padi yang penyebabnya dapat dilihat secara kasat mata. Petani Kampung Susuk memberi sebutan binatang untuk segala jenis hewan, baik yang berukuran kecil maupun berukuran besar. Kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh binatang

pengganggu (hama) tersebut dapat terjadi pada bagian daun, batang, akar dan

bulir padi. Petani juga mengartikan hama sebagai binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman padi. Hal tersebut sesuai dengan beberapa pendapat yang diungkapkan oleh informan. Bapak M. Purba (60 tahun) mengatakan:

“Hama emekep kerina binatang simengganggu ras ncedai sinuan page kami sibanci inin mata bagepe sibanci erban pinakit. Si termasuk hama emekap nipe-nipe, wereng, kacinano, singke, belalang, menci, burung.”

Artinya : Hama yaitu semua binatang yang mengganggu dan merusak tanaman padi kami yang dapat dilihat oleh mata dan dapat


(54)

menyebabkan penyakit. Yang termasuk hama yaitu : ulat,

wereng, walang sangit, orong-orong, belalang, tikus dan burung. Nande Melda Br Karo (50 tahun) juga mengatakan :

“Andiko...nggas-nggas i hama. Hama banci ncedaken page kami...”

Artinya : Wah...hama itu jahat. Serangan hama terhadap padi kami

bisa mengakibatkan kerusakan.

Nande Anto Br Tarigan (61 tahun) mengatakan :

Hama emekap kerina binatang ncedaken ras singkurangi hasil sinuan-sinuan. Si termasuk hama emekap nipe-nipe, kacinano, wereng, singke, keong mas, menci, belalang. Perik pe ikataken hama perban ipanna page si banci ngurangi hasil page.

Hama yaitu semua binatang yang merusak dan mengurangi hasil tanam-tanaman. Yang termasuk hama yaitu ulat, walang sangit, wereng, orong-orong, keong mas, belalang. Burung pun dikatakan hama karena burung memakan padi yang dapat mengurangi hasil padi.

Beberapa pendapat petani tersebut menunjukkan bahwa semua binatang yang dapat merusak dan mengurangi hasil tanaman padi serta yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman padi disebut dengan hama. Hama yang dimaksud petani yaitu semua binatang pengganggu tanaman padi yaitu binatang yang ukuran tubuhnya kecil sampai ukuran besar.

Beberapa petani mengatakan bahwa yang termasuk hama adalah

binatang-binatang kecil (binatang-binatang sikitik-kitik) yang menempel pada tanaman padi dan binatang-binatang kecil yang berterbangan di sekitar tanaman padi. Jenis binatang yang termasuk kategori hama menurut petani tersebut yaitu berbagai


(55)

jenis ulat (nipe-nipe) dan serangga. Binatang-binatang lain yang mengganggu tanaman padi seperti keong mas, tikus dan burung tidak dikatakan sebagai hama tetapi petani menyebutnya dengan istilah binatang pengganggu tanaman padi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam beberapa pikiran petani terdapat perbedaan antara hama dan binatang pengganggu.

Petani mengklasifikasikan nipe-nipe dan serangga menjadi hama karena menurut petani nipe-nipe dan serangga menempel dan melekat pada tanaman padi. Hama tersebut juga mengganggu dan merusak tanaman padi selama masa pertumbuhan. Selain itu, petani juga mengklasifikasikan binatang tersebut sebagai hama karena binatang tersebut tidak dapat diusir begitu saja tetapi harus dibasmi dengan menggunakan pestisida (obat) atau petani Kampung Susuk menyebutnya dengan istilah diracuni.

Keong mas, tikus dan burung tidak diklasifikasikan petani sebagai hama tetapi sebagai binatang pengganggu. Hal tersebut karena menurut petani binatang

pengganggu tidak akan mengganggu dan merusak tanaman padi milik petani jika

petani rajin menjaga dan mengontrol tanaman padi. Artinya, pembasmian

binatang pengganggu tersebut tidak harus menggunakan pestisida tetapi

tergantung bagaimana petani memelihara tanaman padinya. Salah seorang informan yaitu Nande Perangin-angin (60 tahun) mengatakan :

“Hama eme kap ….binatang sikitik-kitik eme kap nipe-nipe bas page ras ncedai sinuan page, adi bagi keong mas, menci ras perik labo termasuk hama tapi binatang ncedai page.”

Artinya :

Hama itu ya…. binatang-binatang kecil seperti ulat-ulat yang menempel pada padi dan merusak tanaman padi sedangkan


(56)

hewan-hewan yang memakan padi seperti keong mas, tikus dan burung bukan merupakan hama tetapi hewan yang mengganggu. 

 

Bapak Samion Tarigan (32 tahun) mengatakan :

Hama emekap binatang si keri banna page kerina adi la i racuni. Perik ras menci la ikataken hama perban perik la banci i racuni, sedangken hama si banci i racuni emekap nipe-nipe, kacinano, singke, belalang, keong mas, menci.

Hama yaitu binatang yang membuat padi habis jika tidak diracuni. Burung dan tikus tidak dikatakan hama karena burung dan tikus tidak dapat diracuni sedangkan hama dapat diracuni yaitu ulat, walang sangit, orong-orong, belalang, keong mas dan tikus.

Beberapa petani juga mengatakan bahwa semua binatang yang mengganggu tanaman padi dikatakan hama kecuali burung (perik). Perik tidak dikategorikan petani sebagai hama karena perik hanya memakan bulir padi yang telah menguning dan perik tidak dapat diracuni. Bapak Calvin Bangun (62 tahun) mengatakan:

Hama enda binatang ncedaken page arah awal pertumbuhan mgasa galang ras menempel ku page. Hama ergerak janah banci i pernen, la bagi jamur ia memang ngganggu page tapi la banci i pernen e maka jamur enda labo ikataken hama. Si termasuk hama emekap nipe-nipe, wereng, kacinano, singke, menci, keong mas, belalang. Adi burung la ikataken hama sebab labo ia menempel ku page arah awal pertumbuhen. Ia pendatang, nge kenca man-lawes.

Hama yaitu binatang yang merusak tanaman padi sejak awal pertumbuhan sampai besar (tua) dan menempel pada tanaman padi. Hama dapat bergerak dan dapat dilihat mata, tidak seperti jamur yang memang mengganggu tanaman padi tetapi tetapi tidak dapat dilihat mata. Itulah sebabnya jamur tidak dikatakan hama. Yang termasuk hama yaitu ulat, wereng, walang sangit, orong-orong, tikus, keong


(57)

mas dan belalang. Kalau burung tidak dikatakan hama karena burung tidak menempel pada tanaman padi dari awal pertumbuhan. Burung hanyalah pendatang, setelah makan-pergi.

Nande Vina Br Bangun (62 tahun) mengatakan :

Hama emekap binatang si ncedaken page. Si termasuk hama emekap wereng, nipe-nipe, menci, kacinano, keong mas, singke,, belalang. Perik la ikataken hama, sebab perik labo ncedai pertumbuhen page, man panganen na saja nge ibuat na janahpe si panna emekap page si nggo metua banci ikataken si nggo gersing nge si ipanna.

Artinya : hama yaitu binatang yang merusak padi. Yang termasuk hama yaitu wereng, ulat, tikus, walang sangit dan keong mas. Burung tidak dikatakan hama karena burung tidak merusak pertumbuhan padi. Burung mengambil padi hanya untuk makanannya saja yaitu padi yang sudah menguning (tua).

3.1.2 Sumber datangnya Hama

Petani Kampung Susuk mengungkapkan bahwa berbagai jenis hama yang menyerang tanaman padi mereka berasal dari dua sumber yaitu hama yang berasal dan berada di areal sawah dan hama yang berasal dari luar areal sawah. Jenis hama yang berada di areal sawah yaitu nipe-nipe (ulat), hama putih, walang sangit, wereng, orong-orong, keong mas tikus dan belalang. Jenis hama tersebut dikatakan petani sebagai hama yang berada di areal sawah karena hama-hama tersebut berada dan mengalami perkembangbiakan di sekitar tanaman padi yang berada di dalam petak sawah yang dimiliki petani. Benteng-benteng (galangan) sawah tempat berkembang biak tikus juga termasuk dalam areal sawah.


(1)

pestisida secara berlebihan. Hal tersebut disebabkan karena beberapa jenis pestisida mulai tidak mampu memberantas hama dengan jumlah dosis yang biasanya atau yang tertera pada aturan pemakaian. Langkah pertama yang dilakukan petani untuk menghindari gagal panen adalah dengan meningkatkan dosis pestisida. Hal tersebut menyebabkan kondisi tanah lahan pertanian semakin tidak baik dan hama yang menyerang tanaman padi semakin resisten (kebal) terhadap pestisida.

5.2 Saran

Peran petani sangat besar dalam memproduksi bahan pangan. Akan tetapi, lahan pertanian di Kampung Susuk semakin hari semakin sempit karena beralih fungsi menjadi lahan pemukiman. Oleh karena itu, petani Kampung Susuk seharusnya mempertahankan lahan pertaniannya dan tidak mudah tergiur untuk menjual lahan tersebut.

Selama melakukan penelitian, peneliti melihat bahwa pihak Dinas Pertanian kurang memperhatikan kondisi pertanian di Kampung Susuk. Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya pihak PPL yang melakukan penyuluhan di Kampung Susuk saat ini. Padahal, petani Kampung Susuk semakin menghadapi masalah pertanian yang semakin parah khususnya dalam menghadapi hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi.

Pengendalian hama dan penyakit tanaman padi yang dilakukan petani Kampung Susuk umumnya menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut akan mempengaruhi kerusakan tanah dan lingkungan. Oleh


(2)

karena itu, pihak Dinas Pertanian seharusnya memberikan penyuluhan alternatif lain tentang cara pengendalian hama tanpa harus menggunakan pestisida.


(3)

DAFTAR PUSTAKA 

Baramuli, 1997. Kearifan Tradisional Masyarakat Tradisional Irian Jaya. Depdikbud Irian  Jaya. 

Bennagen, Ponciano, 1996, Consulting The Spirits, Working with Nature, Sharing with  Others, Philippines : Sentro Para sa Ganap Pamayanan. 

Bernard Russel, 1994, Reasearch Methods in Anthropology, London : Sage Publication. 

Marzali, Amri,  1997  "Kata Pengantar"  dalam James P.Spradley Metode  Etnografi  (terjemahan.). Yogya: Tiara Wacana Yogya, hal. xv‐xxiv 

Moleong,  Lexy,  2005,  Metodologi  Penelitian  Kualitatif,  Bandung  :  PT.  Remaja  Rosdakarya. 

Scoones, Ian, 1994, Beyond Farmer First, London : Intermediate Technology Publication. 

 

Simatupang, Landung, 2000, Teori Budaya, Yogyakarta :Pustaka Pelajar Offset. 

Simanihuruk,  Muba,  2002,  Beras  di  Asia,  Kisah  Kehidupan  Tujuh  Petani. Medan  :Universitas Sumatera Utara press. 

Situmorang, Lisbet, 1986. Sikap Petani terhadap Tanaman Tumpang Sari. Skripsi, Medan  : FISIP USU. 

Suparyono, 1997, Mengatasi Permasalahan Budi Daya Padi. Jakarta : Penebar Swadaya 


(4)

Winarto,  Yunita,  1998,  “Hama  dan  Musuh  Alami,  ‘Obat  dan  Racun’  Dinamika  Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama”. Jurnal Antropologi Indonesia  No 55 Th XII. 

Sumber‐sumber lain 

www.taniindo.com/abdi4/hal3801.htm 

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option=

content&task=view&id=Itemid=9 (Pikiran Rakyat, Rabu (28/7/2005)

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option=

content&task=view&id=Itemid=9 (Pikiran Rakyat pada 6 Maret 2006)

http:/balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option=

content&task=view&id=Itemid=9 (Kompas, Selasa 27 Juni 2006)

http://www.trubus-omline.co.id/members/ma/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=653

http://sekitarkita.com/2009/06/pertanian-dan-pemanasan-global/

http://deardhian4u.wordpress.com/2009/02/13/adaptasi-petani-untuk-perubahan-iklim/ 

Gerungan, 1986, Psikologi Sosial, Bandung : PT. Eresco. 

 

Haviland, W.A, 1988, Antropologi, Jakarta : Erlangga. 


(5)

Koentjaraningrat, 1988, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan. 

  1990, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta : UI Press. 

 

Landsberger, Henry A, 1981, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta : CV.  Rajawali. 

   

Nasoetion, L.I. dan Wagner, M. 1985. Struktur Tata Ruang Wilayah yang Memusat:  Penyebab dan Pengaruhnya pada Daerah Belakang. Studi Kasus Kodya Tebing  Tinggi Sumatera Utara. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB 

 

Redfield, 1982, Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta : CV. Rajawali. 

 

Siahaan, H. 1983, Pokok‐Pokok Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung : Alumni. 

Spradley, James, 1997, Metode Etnografi, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Suparlan,  Parsudi,  1987,  Kebudayaan  dan  Pembangunan  dalam  Kajian‐Kajian  Antropologi Masa Kini, Jakarta : IKA UI. 

Wolf, Eric, 1983, Petani, Suatu Tinjauan Antropologi, Jakarta : CV. Rajawali. 


(6)

Sumber‐sumber lain: 

http://padang‐today.com/index.php?today=news&id=4731 

http://www.ipard.com/art_perkebun/apr03‐05_dhg+isr.asp 

Kompas, Rabu, 21 September 2005  

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2004/1011/keu2.html

http://dinpertantph.jawatengah.go.id/index.php?option=com_content&view=articl e&id=186:pertanian-di-masa-depan&catid=58:artikel

http://egahsukma.blogspot.com/2009/01/sawahku-sumber-kehidupanku.html

http://pla.deptan.go.id/sub_content.php?p=statistik&id=5

http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=538

http://nad.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22 5&Itemid=187

http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=7199&coid=2&caid=19