Perumusan Masalah Lokasi Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

22 telah berpengalaman”. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya para petani memiliki pengetahuan dalam pengendalian hama berdasarkan pengalaman selama bertani. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua teori-teori ilmu pertanian dapat diterapkan pada semua lahan pertanian. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Chambers dalam Benley 1992 : 10 : ‘farmers know somethings that scientists don’t know while scientists know somethings that farmers don’t know.’ Tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan penduduk setempat tentang kondisi lingkungan hidupnya adalah rinci dan kaya. Pengetahuan lokal juga memiliki kesejalanan dengan prinsip-prinsip ilmiah, tetapi ia lebih kaya dalam hal terakumulasinya pengalaman–pengalaman penduduk setempat. Karena itu, Richards dalam Winarto 1994 : 166 menyatakan bahwa pengetahuan lokal itu memiliki kemampuan yang lebih baik daripada pengetahuan ilmiah. Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa beragamnya hama dan penyakit tanaman yang dihadapi petani juga dibarengi dengan beragamnya pengetahuan dan cara pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani Kampung Susuk. Hal ini disebabkan karena petani memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing dalam menghadapi hama dan penyakit selama bertani. Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengetahuan petani di Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi serta cara pengendaliannya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pengetahuan 23 petani Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi serta cara pengendaliannya. Masalah penelitian diperjelas dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Apa konsep petani tentang hama. 2. Apa konsep petani tentang penyakit. 3. Jenis-jenis hama dan penyakit apa saja yang menyerang tanaman padi di Kampung Susuk dan bagaimana petani mengklasifikasikan hama dan penyakit tersebut. 4. Darimana sumber pengetahuan petani tentang hama dan penyakit tanaman padi dan apa saja yang dilakukan petani untuk mengatasi hama dan penyakit tersebut.

1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian tentang hama dan penyakit tanaman padi ini dilakukan di Jalan Abdul Hakim Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat areal persawahan seluas 60 Ha dan terdapat beragamnya hama dan penyakit tanaman yang merupakan masalah utama yang dihadapi petani di daerah ini.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan petani di Kampung Susuk tentang hama dan penyakit tanaman padi. Pengetahuan petani ini juga 24 terlihat dari cara-cara yang dilakukan petani terhadap pengendalian terhadap hama dan penyakit tersebut. Hasil penelitian ini juga diharapkan mempunyai manfaat, baik secara praktis maupun secara akademis. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi masukan bagi masyarakat lokal terutama petani padi agar lebih menghargai pengetahuan lokal yang ada. Secara akademis, bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan di bidang Antropogi.

1.5 Tinjauan Pustaka

Hama dan penyakit tanaman padi bukanlah masalah yang baru bagi petani di Kampung Susuk. Petani memiliki pengetahuan dalam mengatasi masalah tersebut walaupun terkadang hasilnya tidak maksimal. Ini disebabkan karena petani memiliki banyak pengalaman selama bertani dalam menghadapi hama dan penyakit. Pengetahuan yang digunakan petani untuk mengendalikan hama dan penyakit tersebut dinamakan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan pendekatan Antropologi Kognitif dimana kebudayaan dianggap sebagai seperangkat pengetahuan yang diperoleh manusia yang dipergunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan menghasilkan tingkah laku . Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Asumsinya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Karena itu, 25 objek kajiannya bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomenal material tersebut diorganisasikan dalam pikiran mind manusia Spradley : 1997. Spradley menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran atau mind individu atau masyarakat. Dalam hal ini tugas seorang antropolog adalah mencoba menemukan dan menggambarkan fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran atau mind manusia melalui ‘folk taxonomy’. Dengan itu, peneliti mencoba ‘mengorek’ isi pikiran petani di Kampung Susuk untuk menjelaskan konsep mereka tentang hama dan penyakit tanaman padi. Untuk menjelaskan pikiran pengetahuan tentang hama dan penyakit padi yang ada dalam ‘kepala’ petani, dalam hal ini peneliti akan melihat dari aktivitas sehari- hari petani dalam pengolahan sawah terkhusus dalam pengendalian hama dan penyakit padi Spradley : 1997.. Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh W.H. Goodenough dalam Marzali 1997 dimana dalam meneliti sebuah masyarakat, peneliti harus melihat aktivitas-aktivitas sosial, kelompok sosial, juga bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk dapat memahami fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti. Untuk memperoleh semua itu, peneliti harus bisa mengerti bahasa setempat sehingga dapat berkomunikasi dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang diteliti. Marzali 1997 : xx 26 menyebutkan bahwa cara yang paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih khusus lagi melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa. Bahasa dan istilah-istilah nama sebutan yang digunakan oleh petani Kampung Susuk dalam hal ini menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran aspek bahasa ini untuk melihat bagaimana mereka membuat sistem pengkategorisasian dalam pikiran mereka untuk menjelaskan sistem pengetahuan mereka. Sri Ahimsa Putra 1985 menegaskan bahwa melalui bahasa ini lah berbagai pengetahuan baik tersembunyi tacit 12 maupun yang tidak explicit 13 terungkap pada si peneliti. Winarto mengatakan bahwa petani sebenarnya memiliki pengetahuan lokal yang sangat kaya. Pilihan-pilihan petani atas jenis tanaman mereka melibatkan pengetahuan ekologi yang cukup beragam. Winarto memberi contoh satu jenis padi yang dipilih petani memiliki karakteristik genetika tertentu yang perlu dikenali oleh petani, apakah itu menyangkut perlakuan air, pupuk, pengolahan tanah, pengendalian hama, umur padi, kemajuan produksi, kualitas gabah, serta citra rasa dari jenis padi yang ditanam adalah merupakan hal-hal yang sangat penting bagi petani dalam proses belajar mereka. Winarto mengatakan bahwa petani selalu melakukan pengamatan atas apa yang terjadi dengan tanaman mereka Winarto, 1999 :69 12 Tacit knowledge yaitu pengetahuan yang diketahui bersama, seperti pemahaman atau perasaan yang tidak dapat dinyatakan dengan kata‐kata. Pengetahuan tacit dapat berupa ide‐ide, gagasan dan bersifat abstrak. 13 Pengetahuan espicit terdiri dari keteraturan‐keteraturan dalam kata‐kata dan perbuatan yang dapat digeneralisasi dari tanggapan melalui mata dan telinga. Pengetahuan esplicit adalah pengetahuan yang dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa. 27 Terkait dengan penelitian mengenai pengetahuan petani tentang hama dan penyakit, Winarto 1998 : 53-97 menegaskan bahwa petani di dua desa di Kec.Ciasem, Kab. Subang, Jawa Barat mengkategorikan bahwa semua serangga itu adalah hama. Hama atau hewan pengganggu tanaman dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkannya pada padi ; 1 hewan yang merusak padi satoan nu ngarusak pare seperti tikus, wereng, walang sangit, lembing hitam dan ulat grayak, 2 hewan yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang parah satoan nu ngeganggu enteu ngarusak pare, seperti ulat daun, belalang daun, kepiting, anjing tanah, sejenis nyamuk rembetung, 3 hewan yang tidak mengganggu dan tidak merusak padi satoan nu enteu ngarusak jeung enteu ngeganggu pare, seperti ulat, katak, ikan, belut, cacing tanah dan laba-laba. Dari acuan penelitian tersebut, peneliti juga akan melihat bagaimana petani di Kampung Susuk mengkategorikan hama dan penyakit. Keller dan Keller dalam Winarto 1998 : 54 mengatakan bahwa pengetahuan selalu mengalami penyempurnaan, pengayaan ataupun perbaikan melalui pengalaman para pelakunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan tertentu. Berbicara tentang petani berarti juga berbicara tentang teknik dan hasil pertanian serta faktor-faktor pendukung lainnya, misalnya faktor alam, manusia, maupun sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat tentang alam atau lingkungan tersebut. Pengetahuan yang dimiliki oleh petani biasanya juga melalui pengalaman yang diperoleh dari nenek moyang mereka. Scott 1984 : 4 mengatakan bahwa ‘banyaknya padi yang dihasilkan suatu keluarga untuk sebagian tergantung 28 kepada nasib, akan tetapi tradisi setempat yang mengenal soal jenis bibit, cara menanam dan penetapan waktu telah digariskan berdasarkan pengalaman selama berabad-berabad, dengan tujuan mengahasilkan panen yang lebih mantap dan dapat diandalkan menurut keadaan’ Choesin 2002 memberikan sebuah model pengetahuan yaitu connectionism yaitu sebuah model pengetahuan yang memperlihatkan bahwa informasi diperoleh secara paralel, sehingga dapat dilihat bagaimana individu belajar, membuat skema-skema untuk memahami situasi dan mengatasi masalah. Dalam kerangka ini, pembentukan skema adalah hasil interaksi individu dengan unsur-unsur di sekitarnya, dan unsur-unsur dapat berasal dari masyarakat sendiri, dari luar maupun percampuran antara keduanya. Saat ini, banyak terjadi pertemuan antara pengetahuan ‘lokal’ dan pengetahuan ‘global’. Hal ini telah melahirkan kekhawatiran bahwa pengetahuan baru tersebut akan menghapus dan menggantikan pengetahuan masyarakat lokal yang selama ini telah menjadi acuan mereka dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.

1.6 Metode Penelitian