42
perkebunan tembakau jajahan Belanda. Namun ketika KK melakukan peninjauan lahan tersebut telah menjadi lahan terlantar yang ditumbuhi semak dan ilalang.
Selanjutnya dilakukan musyarawah bersama KK yang lain di Kampung Susuk Gunung Tanah Karo. Berdasarkan hasil musyawarah bersama 50 KK tersebut di
Kampung Susuk Gunung, maka diputuskan untuk menggarap tanah di Kampung Susuk dengan berbekal ongkos dan beras 4 kgKK.
Lima puluh KK tersebut memutuskan untuk membangun sebuah Rumah Panjang yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara. Setelah itu 50 KK
tersebut melakukan pembagian tanah seluas 80 ha dengan rincian 6.000m
2
120x50 m per KK dan dibangun gubuk pada patok yang telah ditentukan untuk
menjadi milik masing-masing KK. Oleh karena telah ada pembagian tanah dan pembangunan gubuk pada masing-masing lahan KK maka Rumah Panjang
dibongkar. Gubuk inilah yang menjadi tempat tinggal masing-masing KK. Masing-masing KK membawa anggota keluarganya dari Kampung Susuk
Gunung ke Kampung Susuk. Ada beberapa KK yang tidak dapat bertahan tinggal di Kampung Susuk karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup dan
memutuskan kembali ke Kampung Susuk Gunung.
2.5 Sejarah Pertanian Kampung Susuk
Berdasarkan pembagian tanah yang telah dilakukan oleh 50 KK maka kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah pengolahan tanah menjadi lahan
persawahan tingkat penyerapan air yang tinggi, topografinya datar dan berada di daerah aliran sungai. Faktor-faktor yang mendukung areal Kampung Susuk
menjadi lahan persawahan diantaranya adalah bulan basah yang lebih banyak
43
dibandingkan bulan kering, kondisi tanah yang lembab Tahun 1950-1952 pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan sistem manual tenaga
manusia dan jenis tanaman berupa padi darat. Tahun 1953-1968 pengolahan sawah sudah dibantu dengan irigasi tali air dan membajak menggunakan tenaga
hewan sapi. Irigasi ini berasal dari sungai Bekala yang berada di Simpang Kuala. Namun, pada tahun 1968, ditemukan adanya ledakan yang menyebabkan
pecahnya areal pembuangan. Masyarakat mengantisipasi kebocoran tersebut dengan membuat “rocok” atau patok dan penimbunan dengan tanah. Akan tetapi,
hal ini tidak bertahan lama karena adanya peluapan air sungai dan menghanyutkan patok dan timbunan tanah. Tahun 1970 pemerintah kota Medan tidak
menghendaki adanya areal persawahan sehingga masyarakat mengubah sistem pertanian menjadi sawah tadah hujan. Masing-masing KK membentuk cetakan
sawah berupa galangan-galangan sawah dengan tujuan untuk menutupi parit-parit aliran air yang dahulu digunakan pada areal perkebunan tembakau.
Jenis padi yang digunakan adalah padi lokal yaitu “padi anak bado” dan “padi simbo”. Petani Kampung Susuk dahulu menggunakan sistem gotong-royong
yang dinamakan “aron” dengan jumlah anggota 8-10 orang per kelompok gotong royong. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pengalihan fungsi lahan
menjadi lahan pemukiman dan perkebunan sawit di sekitar persawahan. Hal ini berdampak terhadap hasil pertanian sawah petani karena adanya hama
pengganggu yaitu tikus yang berasal dari areal perkebunan sawit. Selain varietas tanaman padi, masyarakat Kampung Susuk juga pernah
mencoba menanam tanaman palawija berupa kacang hijau, kacang tanah, akcang kedelai, dan jagung. Namun, kondisi tanah yang lembab tingkat penyerapan air
44
tinggi menyebabkan jenis-jenis tanaman ini tidak dapat hidup di lahan tersebut. Hal ini disebabkan karena tingkat penyerapan air yang tinggi oleh tanah sehingga
terjadi pembusukan akar.
2.6 Keadaan Umum Penduduk 2.6.1