47
bisnis, pemerataan income antar para pelaku, dan pemerataan dalam konsumsi ikan.
3. Kelestarian lingkungan dan bebas isu Hak Asasi Manusia HAM dengan indikator sasarannya antara lain: kelestarian sumberdaya ikan, kelestarian
usaha bagi para pelaku bisnis, dan perlindungan tenaga kerja. 4. Eksternality.
Menurut Timbergen 1956, yang diacu oleh Soemokaryo 2006, menyatakan bahwa goal dari suatu pembangunan ialah memaksimalkan social
welfare dengan variabelnya ialah pertumbuhan, pemerataan, dan kelestarian. Dari penjelasan diatas tujuan pembangunan sektor perikanan, ditentukan
keberhasilannya pada : 1. Aspek ekonomi, antara lain ; peningkatan ketahanan pangan Y1, devisa
Y2, pendapatan daerah Y3, dan pendapatan masyarakat Y4. 2. Aspek sosial antara lain ; penyerapan tenaga kerja Y5, pemerataan
kesempatan usaha antar pelaku bisnis Y6, dan pemerataan konsumsi ikan Y7.
3. Aspek ekologi antara lain; kelestarian lingkungan Y8 dan terpeliharanya plasma nutfah Y9.
4. Aspek eksternalitas antara lain; menumbuhkan bisnis yang lain Y10, dan menurunkan eksternalitas negatif seperti, keadaan yang kumuh limbah logam
berat, asam dan basa kuat limbah organik Y11.
2.7 Penelitian Terdahulu yang Terkait
Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisis tabel input output, dilakukan antara lain oleh Razali 1996, yang melakukan penelitian
di Kabupaten Sabang, dengan melihat sejauh mana peran sektor perikanan dalam perekonomian Sabang, penelitian tersebut menggunakan beberapa
metode analisis antar lain: 1 metode input output non survey-metode RAS, 2 analisis perubahan struktur perekonomian, yaitu melihat perubahan sumbangan
relatif sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kurun waktu tertentu, 3 analisis komponen utama, dan 4 metode deskriptif. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan, bahwa kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output, nilai tambah
bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor perikanan belum termasuk salah satu sektor yang memimpin leading sector, karena memiliki nilai
48
keterkaitan linkages dan multiplier effect yang kecil dibandingkan sektor yang lain dan bukan merupakan sektor unggulan.
O’Callaghan et.al 2000 melakukan pengamatan tentang keterkaitan antar sektor dan sektor-sektor kunci dalam perekonomian China selama periode 1987-
1997, dengan memakai sekaligus metode tradisional yang dikembangkan oleh Chenery-Watanabe dan Rasmussen, serta metode ekstrasi dari Cella dan
Dietzenbacher. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa selama periode 1987-1997 setiap sektor memiliki kecenderungan angka rasio backward linkage
dan forward linkage yang terus meningkat sepanjang tahun. Ini berarti ada indikasi terdapat suatu hubungan yang positif antar pertumbuhan aktifitas
produksi dan peningkatan di dalam keterkaitan antar sektor selama periode tersebut. Selain itu, mereka juga memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang
mendominasi perekonomian China sepanjang periode 1987-1997 adalah sektor kontruksi, industri dan pertambangan, karena dari hasil analisis I-O menunjukkan
ketiga sektor tersebut mempunyai rasio backward linkage dan forward linkage yang paling tinggi diantara semua sektor.
Penerapan ukuran backward dan forward linkage ratio dalam analisis IO dengan metode tradisional dan ekstrasi juga pernah dilakukan oleh Pfajfar dan
Dolinar 2000, yang melakukan studi tentang keterkaitan antar sektor di negara Slovania dalam periode 1990-1995. Dari hasil studinya ini menunjukkan bahwa
sektor perikanan dan kehutanan, serta sektor industri baja, merupakan sektor- sektor kunci di negara Slovania selama periode 1990-1995.
Masih dengan menggunakan ukuran backward dan forward linkage juga dilakukan oleh Guilhoto dan Fortuoso 2000. Mereka mencoba melukiskan
keberadaan agribisnis dalam pembangunan sektor-sektor produksi di negara Brazil. Dalam studinya ini komposisi sektor agribisnis dalam GDP gross
domestic product dilihat pada dua kelompok sektor yang sangat kompleks, yaitu produksi tanaman pangan dan peternakan. Masing-masing sektor agribisnis
tersebut kemudian diderivasi kedalam empat komponen agregat yang meliputi, 1 input, 2 sektor perikanan itu sendiri, 3 proses industri, dan 4 distribusi
dan jasa-jasa. Sektor-sektor industri dan jasa yang dapat dikelompokkan dalam agribisnis tanaman pangan dan peternakan menurut mereka adalah : wood and
wood products pulp, paper and printing, chemical elements alcohol, textile industry, clothing industry, footwear industry, coffee industry, vegetal products,
processing animal slaughtering, dairy industry, sugar industry, vegetal oil
49
processing, dan other food products. Berdasarkan semua derivasi ini diperoleh hasil bahwa dalam struktur input-output, sektor agribisnis rata-rata mampu
menyumbang 29 terhadap penciptaan GDP Brazil selama periode 1994-1995, yang kemudian menurun menjadi 27 pada tahun 1997, dan menurun lagi
menjadi 26 sepanjang periode 1998-1999. Penggunaan model I-O tidak hanya sebatas menggambarkan keterkaitan
antar sektor saja. Model I-O juga bisa dipakai untuk menganalisis bagaimana terjadinya perubahan struktur perekonomian di suatu negara atau wilayah,
seperti yang dilakukan oleh Guo dan Planting 2000. Studinya dilakukan untuk perekonomian Amerika Serikat dengan menggunakan analisis Multiplier Product
Matrix MPM. MPM ini merupakan suatu instrumen yang dikembangkan untuk melihat dampak suatu sektor secara keseluruhan dalam suatu perekonomian.
Selain itu MPM ini bisa juga memotret pengaruh suatu sektor berdasarkan backward linkage dan forward linkage, yang sekaligus pula bisa menjelaskan
hubungan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Dari hasil pengamatannya, kelihatan bahwa terjadinya perubahan struktur perekonomian
di Amerika Serikat selama periode 1972-1996 lebih banyak disebabkan karena 1 ketergantungan antarindustri domestik semakin menurun, 2 kenaikan impor
input-input produksi lebih tinggi dibandingkan produksi domestik, dan 3 peranan sektor industri non-manufacturing semakin bertambah, dengan tingkat
pertumbuhan yang sangat cepat. Analisis tentang perubahan struktur perekonomian melalui model I-O juga
dilakukan Okuyama et.al 2002 yang mengamati seberapa jauh perubahan struktur perekonomian itu terjadi di negara bagian Chicago selama periode 1980-
1997. Alat analisisnya adalah Temporal Leontief Inverse, yang pernah dibangun sebelumnya oleh Sonis dan Hewings 1998. Salah satu keuntungan dari
penggunaan alat tersebut adalah mampu menyelidiki perubahan-perubahan struktural dalam tabel input-output secara time series. Selain itu, yang paling
penting juga alat ini bisa memberikan satu set teknik explorasi dari sifat-sifat dasar time series dan membantu menggali hal-hal mendasar mengenai
perubahan teknologi dan perubahan-perubahan dalam trading-patter, khususnya dalam kasus sistem regional dan antar regional. Dengan menggunakan alat ini,
pengaruh dan perbedaan-perbedaan dari efek hollowing-out antar sektor bisa ditampilkan dan dianalisis. Dengan menggunakan rumus temporal inverse,
dampak dari kenaikan permintaan akhir final demand pada tahun 1997
50
terhadap beberapa sektor, dapat didekomposisi menjadi dampak temporal, yang selanjutnya dapat dilihat perubahan-perubahan struktur setiap tahun, dalam
kaitannya dengan hubungan antar sektor. Untuk hal ini Okuyama mengamatinya pada sektor-sektor perdagangan, konstruksi, industri mesin dan perlengkapan,
jasa transportasi, jasa-jasa perumahan, bisnis, engineering, management. Dari hasil pengamatannya Okuyama menemukan bahwa dalam proses hollowing-out
pada perekonomian Chicago, sektor industri merupakan sektor yang mempunyai perubahan struktural paling besar diantara periode 1980-1997, sementara sektor
yang lebih stabil dan relatif meningkat secara signifikan dalam hubungan antar sektor adalah sektor-sektor jasa.
Idenburg dan Harry 2000, dengan menggunakan Dynamic Input-Output Model mencoba menjelaskan dampak dari inovasi teknologi terhadap produksi
sektoral di negara Belanda yang menggunakan natural resources dan emissions terhadap lingkungan. Pemilihan analisis input-output secara nyata dianggap bisa
menjelaskan hubungan struktur ekonomi, penggunaan energi dan sumber daya lingkungan. Selain itu, analisis input-output juga dapat digunakan dalam
pembuatan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pencarian teknologi- teknologi baru. Studi ini mencoba menganalisis secara tentative dampak
perubahan-perubahan teknologi terhadap permintaan energi pada perekonomian Belanda selama periode 1980-1997.
Untuk Indonesia sendiri, boleh dikatakan Kaneko 1985 merupakan pelopor yang melakukan analisis keterkaitan antar sektor di negara kita ini. Ia
memperkenalkan konsep 1 derajad ketergantungan kegiatan tiap sektor terhadap setiap unsur permintaan akhir, 2 pengganda reaksi repercussion
multiplier pada kegiatan ekonomi yang diakibatkan oleh setiap unsur permintaan akhir, 3 rasio give and take sebagai koefisien keterkaitan ke depan dan
keterkaitan ke belakang sebagaimana dirumuskan oleh Hirschman. Dengan mengolah tabel I-O tahun 1971, 1975, 1980, dan 1983, ia menyimpulkan.
Pertama, selama periode 1971-1980, derajad ketergantungan kegiatan ekonomi pada konsumen cenderung menurun pada sektor primer dan tersier, namun
meningkat pada sektor industri. Kedua, derajad ketergantungan ekspor pada industri logam mengalami penurunan pada tahun 1980 dan 1983, terutama
karena kebijakan subsitusi impor dan kebijakan pemanfaatan produk dalam negeri yang telah dianut sejak awal dekade 1980. Ketiga, dalam tahun 1970-an,
pengganda reaksi yang diakibatkan oleh pembentukan modal tetap telah
51
menurun. Keempat, orientasi pembangunan industri Indonesia selama periode 1971-1980 lebih memiliki ciri kepada industri subsitusi impor. Kelima, besarnya
kebocoron impor menyebabkan produksi barang-barang modal tetap sangat kurang bersifat padat karya Kuncoro et.al 1997.
Studi lainnya tentang keterkaitan antar sektor di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Poot et.al 1991. Berdasarkan data input-ouput Indonesia tahun
1971, 1975, dan 1980, mereka menunjukkan keterkaitan antar industri pada perekonomian Indonesia yang dilihatnya melalui koefisien backward linkage dan
forward linkage. Dari hasil pengamatannya menunjukkan sektor-sektor industri yang mempunyai backward linkage tinggi terutama adalah sektor industri
makanan. Sedangkan sektor yang memiliki forward linkage paling tinggi adalah industri kimia, peralatan kertas, pupuk dan pestisida. Berdasarkan analisis I-O,
mereka juga memaparkan bahwa pembangunan industri di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen impor, terutama sekali
bagi sektor-sektor industri non makanan seperti industri baja, kertas, kendaraan bermotor, elektronik, perkapalan dan pesawat terbang, dimana semua industri ini
umumnya memiliki rasio ketergantungan impor di atas 50, dan yang paling tinggi adalah industri baja dengan rasionya sebesar 0,73.
Selain dua studi di atas, studi lainnya tentang analisis IO di Indonesia juga dilakukan oleh Kuncoro et.al 1997. Dimana dengan menggunakan tabel I-O
Indonesia tahun 1980, 1990, dan 1995, mereka melakukan pengamatan tentang struktur, perilaku, dan kinerja dari sektor agroindustri. Dalam studinya ini mereka
mengklasifikasikan sektor agroindustri di Indonesia kedalam tujuh kelompok, yang kemudian didisagregasi menjadi 47 sektor. Beberapa kesimpulan penting
yang dapat disampaikan dari hasil penelitiannya ini adalah : 1 agroindustri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang tinggi adalah
karet, industri pemintalan, industri barang dari kertas, industri pupuk dan pestisida, industri barang dari karet dan plastik, dan industri barang dari logam,
2 dilihat dari angka pengganda pendapatan dan tenaga kerja, hampir semua subsektor industri pengolah hasil perikanan memiliki angka pengganda yang
tinggi, dan 3 analisis kinerja membuktikan bahwa derajad ketergantungan ekspor bagi agroindustri menunjukkan perubahan yang amat substansial. Pada
tahun 1980, peringkat sepuluh besar dalam derajad ketergantungan ekspor didominasi oleh sektor perikanan primer. Sepuluh tahun kemudian, selain produk
52
sektor perikanan primer, dua subsektor industri pengolah perikanan mulai masuk sepuluh besar, yaitu industru kayu-bambu-rotan dan industri tekstil.
Untuk studi I-O Indonesia yang cakupannya regional pernah dilakukan oleh Imansyah 2000 dan Muchdie 1999 dan 2000. Studi yang dilakukan Imansyah
lebih menitikberatkan pada metodologinya, dimana ia mencoba memperkenalkan proses pembuatan I-O Regional Indonesia dengan metode hibrida hybrid
method, yang beranjak dari ide pemikiran West 1990, Van der Westhuizen 1992, dan Lahr 1998. Menurut Imansyah metode hibrida ini merupakan
metode yang paling menguntungkan untuk membangun tabel input-output regional. Karena biaya pembuatan tabel input-output dengan metode hibrida
kelihatan lebih efisien dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi. Metode hibrida ini berada ditengah-tengah antara metode input-output survei dan nonsurvei,
dimana tingkat akurasinya hampir sama dengan metode survei, sedangkan biaya pembuatannya sama rendahnya dengan metode nonsurvei. Ada tiga pendekatan
yang dapat digunakan dalam metode hibrida yaitu, 1 pendekatan top-down, 2 pendekatan bottom-up, dan 3 pendekatan horisontal. Imansyah lebih
menitikberatkan pada pendekatan horisontal, dengan penekanan terhadap identifikasi fundamental economic structure FES. Dalam studinya ia dapat
membuat I-O Regional melalui pendekatan tersebut untuk 10 propinsi di Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya, Maluku, Bali,
Lampung, Sulawesi Selatan , Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Dengan menggunakan model input-output antardaerah IOAD yang
dibuatnya melalui metode hibrida, Muchdie 1999 telah membahas struktur ruang perekonomian Indonesia yang dirinci menurut lima kelompok pulau besar,
yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi, serta Irian Jaya. Pembahasan struktur ruang difokuskan kepada angka pengganda spasial,
dampak bersih spasial, serta dampak luberan dan dampak balik spasial. Dari studinya ini ia memberi kesimpulan. Pertama, analisis pengganda menurut sektor
menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi pada sektor sendiri mencapai lebih dari 60 terhadap total karena besarnya dampak awal, selain itu
analisis pengganda spasial juga menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi di pulau sendiri lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di
pulau lain. Kedua, dengan menggunakan analisis dampak luberan dan dampak balik kondisi di atas dapat pula dijelaskan. Sumatra dan Jawa memiliki dampak
luberan yang relatif kecil yang berarti bahwa dampak yang terjadi di pulau sendiri
53
jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak luberan yang terjadi di pulau lain. Ini menunjukkan bahwa Sumatra dan Jawa relatif lebih mandiri. Nilai dampak
balik yang cukup besar untuk Jawa dan Sumatra menggambarkan bahwa hasil pembangunan yang mengalir dari Jawa, setelah beberapa saat, akan kembali
lagi ke Jawa. Peneder et al. 2000 menyatakan bahwa indikator kinerja industri adalah
produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah. Sedangkan Annacker and Hildebrandt 1998 menggunakan peubah return on investment untuk
menyatakan kinerja industri. Dengan menggunakan model persamaan simultan Annacker dan Hildebrandt 1998 menyatakan return on investment merupakan
fungsi dari variable-variabel strategis kualitas produk QUA dan pangsa pasar MS serta biaya langsung relative COST. Ray 2004 menyebutkan bahwa
penetapan kinerja industri dan kinerja perekonomian selalu bersifat kontroversial karena banyak sekali ukuran yang dapat digunakan. Mereka menggunakan
structural equation model untuk menganalisis yang menghubungkan beragam dimensi strategi perusahaan dan kinerja perusahaan. Ada lima dimensi kunci dari
strategi perusahaan, yaitu cakupan bisnis, cakupan geografi, skala operasi, diversitas operasi, dan pangsa sumberdaya. Kelima dimensi tersebut
mempengaruhi kinerja perusahaan, yang dalam hal ini kinerja perusahaan diukur berdasarkan indikator return on sales, return on assets, dan return on net worth.
Selanjutnya Audretsch et al. 2005 menyatakan bahwa kinerja perekonomian mengacu pada dimensi produktivitas yang diukur berdasarkan
indikator produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal kapita. Dalam model yang lengkap dinyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh dimensi
pengetahuan knowledge dan kewirausahaan entrepreneurship. Dimensi pengetahuan dan kewirausahaan dipengaruhi pula oleh dimensi RD. Dimensi
pengetahuan diukur berdasarkan indikator patent tahun 1995 dan patent tahun 1996. Sementara itu dimensi kewirausahaan diukur berdasarkan indicator high-
tech start ups dan ict start ups . Selanjutnya dimensi diukur berdasarkan indikator intensitas RD tahun 1987, intensitas RD tahun 1991, dan intensitas RD
tahun 1995.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran