Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Barat (periode 1995-2008

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Ayu Zakya Lestari

1060840002791

JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh : Ayu Zakya Lestari Nim: 106084002791

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE. MBA.

Nip: 195605052000121001

JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVESRITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Hari ini, Tanggal 23 Bulan Juli Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791,

dengan judul skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Juli 2010

Tim Penguji Komprehensif

Drs. Lukman, M.Si. Utami Baroroh, M.Si.

Ketua Sekretaris

Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D.


(4)

Hari ini, Tanggal 6 Bulan September Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Sidang Skripsi atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791, dengan judul

skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 September 2010

Tim Penguji Skripsi

Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE, MBA. Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Utami Baroroh, M.Si.


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Ayu Zakya Lestari

NIM : 106084002791

Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)” adalah hasil karya saya sendiri yang

merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya serta bukan merupakan replika maupun saduran dari hasil karya atau penelitian orang lain.

Apabila terbukti skripsi ini plagiat atau replika maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 15 September 2010


(6)

i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Ayu Zakya Lestari

2. Tempat & Tgl Lahir : Jakarta, 8 November 1988

3. Alamat : Jl. Bratasena VI BC 4/16 Reni Jaya

4. Telepon : 0856 934 63634/ 021 741 0140

II. PENDIDIKAN

1. SD : SD Muhammadiyah 12 Pamulang

2. SMP : SMP Negeri 2 Ciputat

3. SMA : SMA Negeri 46 Jakarta

III.PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota Div. Seni dan Budaya BEMJ IESP Tahun 2007

2. Sekretaris II BEMJ IESP Tahun 2008

3. Ketua SEIS Dance (Saman Ekonomi dan Ilmu Sosial) Tahun 2008 4. Ketua Propesa Jurusan IESP FEIS Tahun 2008

5. Sekretaris I BEMJ IESP Tahun 2009

6. Bendahara II HMI Komisariat Fak. Ekonomi dan Bisnis Tahun 2010

IV.LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Drs. A. Rahim Mahmud

2. Tempat & Tgl Lahir : Sumbawa Besar, 19 November 1958

3. Alamat : Reni Jaya, Pamulang

4. Telepon : 021 741 0140

5. Ibu : Nur Indah

6. Tempat & Tgl Lahir : Surabaya, 7 November 1962

7. Alamat : Reni Jaya, Pamulang

8. Telepon : 021 741 0140


(7)

ii

ABSTRACT

The aim of this research is to know the effects of local government budget from the revenue side, which is local income, number of population and human capital ratio, by adding variable dummy as a regional autonomy policy to regional economic growth in province of West Java.

The samples are choosen on the basis of purposive sampling method which is using cluster sampling technique. There are 3 regions which are being researched; Bandung, Cianjur, and Sukabumi. The data are collected from 1995 to 2008. This research is using analysis on panel data estimation which combines time series analysis and cross-section analysis. The panel data estimation technique is utilized on the case of West Java data, covering three classified periods, namely all period, period before, recent and after regional autonomy. The data which are being used for this research is secondary data, with constant data based on year 1993, and other data available from regions or town. The main source of data comes from Statistic Bureau of Indonesia and West Java.

The study results show that all independent variables in the model can explain the variation of dependent variable, which is regional economic growth in province of West Java for 96,15%. So, throughout the research period, there are policy changes which give the effect on regional economic growth. It can be seen from dummy variabel of regional autonomy that influences regional economic growth for significant t-value on up to 95%. Then, about local income variable which do not give effect, but the other variables; number of population gives effect and negative for 7,61% and human capital ratio which gives positive effect for 1,95% on regional economic growth.

Keyword: Economic Growth, Local Income, Number of Population, Human Capital Ratio, Regional Autonomy Policy.


(8)

iii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan yaitu pendapatan asli daerah, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, dengan menambahkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan menggunakan teknik cluster sampling. Dalam penentuan sampel terdapat 3 kota/ kabupaten yang diteliti, yakni kabupaten Bandung, kabupaten Cianjur, dan kota Sukabumi. Data yang dihimpun dari tahun 1995-2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode data panel yang menggabungkan antara analisis time series dan cross section. Teknik estimasi data panel juga membagi data kedalam tiga periode waktu, yaitu periode keseluruhan, periode sebelum otonomi daerah, dan periode otonomi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data atas dasar harga konstan tahun 1993 dan berupa data level pada tingkat kabupaten/ kota. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi dari variabel tergantung, yakni pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat sebesar 96,15%. Jadi, selama periode penelitian adanya shock berupa perubahan kebijakan yakni kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini dapat dilihat dari variabel dummy kebijakan otonomi daerah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional berupa nilai t-hitung yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% . Lalu variabel PAD yang tidak berpengaruh signifikan. Namun tidak dengan variabel jumlah penduduk yang berpengaruh signifikan namun bernilai negatif yaitu sebesar 7,61% dan tingkat pendidikan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1,95%.

Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Jumlah Penduduk, Kebijakan Otonomi Daerah.


(9)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasululllah SAW beserta kepada para sahabat dan seluruh pengikut Beliau yang insya Allah tetap istiqomah hingga akhir zaman kelak, Amin.

Dengan selesainya penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Adapun ungkapan terima kasih ini penulis tujukan kepada:

1. Bapak A. Rahim dan Ibu Nur Indah, sumber inspirasi, motivasi, dan ambisi penulis dalam hidup. Terima kasih untuk pengajaran dan penghargaan yang sudah dan selalu diberikan. Semoga suatu saat, semua keringat, darah dan airmata mama dan papa dapat ayu balas jauh lebih besar, amin.

2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan FEB. 3. Bapak Drs. Lukman, M.Si. selaku Ketua Jurusan IESP.

4. Bapak Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I atas kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.

5. Bapak Fahmi Wibawa, SE, MBA. Selaku Dosen Pembimbing II atas kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.

6. Seluruh Dosen FEB atas ilmunya yang bermanfaat, semoga dapat menjadi amalan di akhirat kelak, esp for: Ibu Ami yang cantik dan sabar untuk curhat, konsultasi, revisi skripsi.. Ibu Rahmawati yang cantik dan pintar, terima kasih untuk pertanyaan kapan skripsi saya akan selesai. Ibu Isna yang baik hatinya. Ibu Fitri untuk revisi seminar yang luar biasa dan Ibu Lili yang begitu baik dan murah hati untuk memudahkan saya dalam mengurus nilai dll.


(10)

v

7. Keluarga kecil mba gita, bang aip, dan baby kai.. Hope one day, i’ll find my lil fam like yours.. Adinda Meutia Rizqina, adik kecilku tersayang.. Terima kasih untuk teh lemon hangat dan vanilla lattenya..

8. My 2nd fam..Mel.Ryn.Nul.Tot.El.Dam..terima kasih untuk 4 tahun yang luar biasa dan begitu indah, menangis dan tertawa bersama kamu semua adalah anugerah yang luar biasa..

9. GLOSHE “gitayutitanisavibunskali” terima kasih untuk doa, dukungan, dan kebersamaan yang begitu hangat..

10. Teman-teman kkn 78, esp boy+adit.. terima kasih untuk 30 hari yang indah dan begitu bermakna..

11. Sahabat terbaik sepanjang masa, Ihda Maulidah.. Teman kecilku lidya, prima, nuning, prima, erna, nova..

12. Bapak dan Ibu Akademik FEIS, Bu Siska, Pak Rahmat, Pak Udin, Pak Sugeng, Bu Yulia

13. Teman-teman IESP A 2006, SEIS Dance (keep on dancing girls!), HMI KAFEIS (Yakusa!), Rimbassa, Sodara2ku (kaka kembar, lala, mba put). 14. Teman seperjuangan, Upi Lutfiah..untuk rasa optimis yang luarbiasa.

Dan untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih yang terdalam untuk bantuan, dukungan, dan doanya. Semoga keberkahan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin.

Akhirnya, semoga bantuan, doa, dan semangat yang diberikan dapat menjadi amalan bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan serta penyusunan skripsi ini.

Jakarta, Agustus 2010

Ayu Zakya Lestari Penulis


(11)

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... i

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN………...……... 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B.Perumusan Masalah ………... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...……...………….…... 10

A.Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia…….. 10

1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru.. 12

2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi.. 17

3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah ... 19

B.Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah…... 23

C.Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah…... 26

D.Hakikat Pertumbuhan Ekonomi ……….…... 36

E. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi …………..……... 38

1. Teori Pendapatan Asli Daerah …...…….... 38

2. Teori Jumlah Penduduk ... 41

3. Teori Tingkat Pendidikan ... 42

F. Penelitian Terdahulu ……….... 45


(12)

vii

H.Hipotesis Penelitian ………... 64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….……... 67

A.Ruang Lingkup Penelitian ………. 67

B.Metode Penentuan Sampel ……….... 67

C.Metode Pengumpulan Data ………... 68

1. Sumber Data ………...… 68

2. Metode Pengumpulan Data ……….………. 69

D.Metode Analisis Data ……… 69

1. Metode Data Panel ...……… 69

2. Estimasi Model Data Panel ... 71

3. Pemilihan Metode Estimasi dengan Data Panel ... 73

4. Metode Dummy Variabel ………... 76

5. Model Empiris ... 77

6. Pengujian Hipotesis ……….. 78

E. Operasional Variabel Penelitian ……….... 82

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84

A.Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 84

1. Kabupaten Bandung ... 84

2. Kabupaten Cianjur ... 86

3. Kota Sukabumi ... 88

B.Penemuan dan Pembahasan ... 91

1. Analisa Deskriptif ... 91

a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto ... 91

b. Analisa Deskriptif PAD ... 93

c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk... 94

d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan ... 96

2. Estimasi Model Data Panel ... 97

a. Pendekatan Pooled Least Square ... 97


(13)

viii

c. PLS vs FEM ... 98

d. Pendekatan Random Effect Model ... 99

3. Pengujian Hipotesis ... 100

a. Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) ... 100

1. Uji t ... 101

2. Uji F ... 104

3. Keofisien Determinasi ... 105

4. Interpretasi Hasil Analisis ... 106

b. Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) .. 113

c. Periode Otonomi Daerah (2001-2008) ... 115

d. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen ... 118

BAB V PENUTUP ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B.Implikasi ... 123

DAFTAR PUSTAKA…...………... 125


(14)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Struktur APBD Propinsi/ Kota/ Kabupaten Pendekatan Kinerja 33

2.2 Penelitian Terdahulu 54

3.1 Perbedaan Fixed Effect Model dan Random Effect Model 73

3.2 Operasional Variabel Penelitian 83

4.1 Regresi Data Panel: Pooled Least Square 97

4.2 Regresi Data Panel: Fixed Effect Model 98

4.3 F- Restricted 98

4.4 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) 101

4.5 Interpretasi Koefisien Fixed Effect Model 106

4.6 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) 113

4.7 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Periode Otonomi Daerah (2001-2008) 115

4.8 Arah Hubungan Variabel-variabel Kebijakan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat 118

n Estimasi Data P

anel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008)


(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 5

2.1 Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008) 28

2.2 Bagan Kerangka Pemikiran 63

3.1 t-Statistik 79

3.2 F-Statistik 81

4.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 92

4.2 Pendapatan Asli Daerah di Jawa Barat Tahun 1995-2008 94

4.3 Jumlah Penduduk di Jawa Barat Tahun 1995-2008 95

4.4 Tingkat Pendidikan di Jawa Barat Tahun 1995-2008 96

4.5 F-Restricted 99

4.6 Hasil Uji t-Statistik 102


(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan Halaman

1. Data Observasi 129

2. Output Pooled Least Square 131

3. Output Fixed Effect Model Periode Keseluruhan (1995-2008)`132

4. Output Fixed Effect Model Sebelum Otonomi Daerah

(1995-2000)` 133

5. Output Fixed Effect Model Periode Otonomi Daerah


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami peningkatan dalam jumlah dan kualitasnya.

Perkembangan kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi sering kali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi lebih lambat dari potensinya.

Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat bernilai positif dan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan positif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami peningkatan. Sedangkan jika pada


(18)

2

suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan negatif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami penurunan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro. Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas, perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan pemerataan ekonomi (economic stability) melalui redistribusi pendapatan (income redistribution) akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia berdasarkan UU No.32/ 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagai revisi dari UU No.22/ 1999 dan UU No.25/ 1999, disadari bahwa kemampuan setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi guna peningkatan pertumbuhan ekonomi daerahnya tidak sama. Hal ini disambut baik bagi daerah yang memiliki sumber penerimaan potensial, namun bagi daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, maka mereka mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksanaan otonomi daerahnya.


(19)

3

UU No.32/ 2004 merupakan dasar hukum pendelegasian kekuasaan tertentu kepada pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah. Penyerahan fungsi, personil, dan aset dilakukan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan UU No.33/ 2004 mendorong desentralisasi dengan memberikan sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah, termasuk dalam hal penetapan besarnya tarif pajak dan retribusi daerah. Hal ini bertujuan untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Adapun pelaksanaan otonomi daerah harus diimbangi dengan sejauh mana, instrumen atau kemampuan daerah saat ini mampu memberikan nuansa pengolahan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang otonomi daerah tersebut.

Kebijakan otonomi daerah baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU No.25/ 1999 yang disempurnakan dengan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada waktu ini, Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal pengelolaan pembangunan dan keuangan, daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran.

Pada sisi penerimaan, daerah kota/ kabupaten mendapat keleluasaan untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial di daerah, tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan di sisi pengeluaran,


(20)

4

daerah sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana perimbangan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan daerah.

Propinsi Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan perekonomian yang cukup pesat. PDRB propinsi Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, merupakan angka tertinggi bagi sebuah propinsi. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, PDRB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas, bahkan lebih baik dari PDB Indonesia secara keseluruhan (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat).

Dengan adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang bagi propinsi Jawa Barat untuk memiliki kemandirian guna membangun daerahnya. Kemandirian tersebut berpijak pada [1] prinsip demokrasi, [2] partisipasi dan peran serta masyarakat, [3] pemerataan keadilan, serta [4]

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam upaya

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.

Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat selama 14 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.


(21)

5

Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah kembali.

Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Persentase)

Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat

menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1995-2008. Namun, pada tahun 1998 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 17,77 persen, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia yang kemudian mengakibatkan krisis multidimensi sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yang negatif di propinsi Jawa Barat. Namun, pada tahun 2000-2008 pertumbuhan ekonomi dapat kembali pulih, meskipun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya.

Selama periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1995-2000, rata-rata pertumbuhan ekonomi adalah 0,12 persen, sedangkan pada periode otonomi daerah di tahun 2001-2008, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,21 persen. Hal ini menggambarkan perbaikan yang cukup drastis sebagai dampak dari adanya kebijakan otonomi daerah yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001.


(22)

6

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, terdapat indikator utama penentu perkembangan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yakni anggaran pemerintah daerah yang dilihat dari sisi penerimaan, yaitu pendapatan asli daerah (PAD). PAD merupakan salah satu ukuran potensi fiskal daerah, dan sebagai sumber penerimaan yang penting guna peningkatan pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah semakin gencar untuk meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan berbagai macam cara, salah satu caranya adalah dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, ataupun menggali sumber-sumber baru.

Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yang disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami maupun karena migrasi masuk, Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, namun hal ini belum dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang dilihat dari jumlah pengangguran yang masih mengalami kenaikan. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan terhadap jumlah penduduk yang besar dengan cara penyediaan lapangan kerja yang memadai atau peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mengisi pasar kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan sebagai propinsi yang memiliki perguruan tinggi yang cukup banyak baik swasta maupun negeri, tingkat pendidikan di propinsi Jawa Barat juga memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonominya. Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan menitikberatkan


(23)

7

pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana serta prasarana pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan pendidikan luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan jumlah dan pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih cukup tinggi, kualitas dan relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan daya saing.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya di propinsi Jawa Barat. Adapun judul dalam penelitian ini

adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”.

B.Perumusan Masalah

Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah di propinsi Jawa Barat diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kemandirian daerah dalam mengelola dan mengalokasikan sumber pendanaannya. Hal ini sangat diharapkan sehingga dapat tercapai tujuan utama dari kebijakan tersebut yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah kearah yang lebih baik.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?


(24)

8

2. Apakah jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

3. Apakah tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

4. Apakah kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

5. Apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk

terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

4. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.


(25)

9

5. Mengetahui apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat

pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan pertimbangan oleh decision maker (pengambil kebijakan) baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota dalam pengambilan keputusan yang terkait yakni mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Adapun bagi penulis sendiri manfaat yang dapat diambil adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.


(26)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia

Dalam mengamati sejarah perkembangan ekonomi di Indonesia, terutama konsep kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan daerah, sejak lahirnya orde baru sampai saat sekarang ini, kita perlu memperhatikan pokok-pokok pemikiran yang mendasari pola perkembangan ekonomi yang terjadi pada masing-masing era tersebut. Pada dasarnya setiap pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia bertujuan mengembangkan perekonomiannya demi tercapainya peningkatan taraf hidup masyarakat banyak. Taraf hidup yang lebih baik dicerminkan oleh dua indikator utama, yaitu growth dan equity.

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan perhatian utama masyarakat perekonomian dunia. Para ekonom dan politisi di semua negara, baik negara kaya maupun miskin, yang menganut sistem kapitalis, sosialis, maupun campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan ekonomi. Evaluasi akhir tahun dari pemerintahan dalam sebuah negara selalu memunculkan data-data statistik yang berkaitan dengan pertumbuhan Gross National Product (GNP). Indikator keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Bahkan, baik buruknya kinerja


(27)

11

dan kualitas kebijakan pemerintah di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan yang dihasilkan.

Sedangkan equity merupakan indikator efektivitas dari sebuah kebijakan pemerintah di masa tersebut, yang artinya bahwa pencapaian dari tujuan kebijakan tersebut berhasil atau tidak dapat dinikmati oleh semua komponen bangsa tanpa ada yang terdistorsi.

Namun demikian, dua hal tersebut tidak mudah untuk diraih secara bersamaan karena pencapaian pertumbuhan tidak secara otomatis diikuti oleh pencapaian tujuan keadilan, ataupun sebaliknya. Bahkan seringkali dijumpai

antara kedua tujuan tersebut memiliki ―trade off‖ yang artinya apabila sebuah

kebijakan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan, maka mau tidak mau tujuan keadilan tersebut harus dikorbankan; dan sebaliknya apabila tujuan keadilan atau distribusi yang merata ingin dicapai terlebih dahulu, maka tujuan pertumbuhan harus dikorbankan.

Penganut teori pertumbuhan mengatakan bahwa dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi, maka secara otomatis akan terjadi trickledown effect sehingga kelompok miskin atau golongan berpendapatan rendah akan mendapatkan cipratan penghasilan dari golongan yang berpendapatan tinggi, baik melalui sistem donasi, sistem perpajakan progressif, serta sistem subsidi bagi kelompok miskin.

Sebaliknya, penganut teori keadilan menghendaki adanya pemerataan pendapatan terlebih dahulu agar semua kebutuhan dasar penduduk dapat terpenuhi secara adil dan merata, sehingga tidak akan terjadi kecemburuan sosial


(28)

12

dan kesenjangan ekonomi. Dengan demikian semua orang akan memiliki semangat membangun bersama guna mencapai taraf hidup yang lebih tinggi ataupun tingkat perekonomian yang lebih baik.

Diantara kedua kelompok penganut teori pertumbuhan dan keadilan tersebut, terdapat kelompok yang mengambil jalan tengah dengan menghendaki tercapainya kedua tujuan tersebut secara sekaligus. Adapun tujuannya adalah terciptanya perbaikan taraf hidup yang berkeadilan (growth with equity). Dengan pendekatan ini, pada umumnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah (lambat), tetapi dapat dibarengi dengan keadilan atau pemerataan penghasilan dan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan.

Di Indonesia, arah dan tujuan sebuah kebijakan bergerak sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang pada suatu era pemerintahan. Sehingga selain mengaburkan mazhab kebijakan yang dibuat, konsep kebijakan juga cenderung prematur dan memerlukan penyempurnaan di tengah jalan. Sekilas penulis ingin membahas perkembangan kebijakan selama era orde baru sampai dengan era otonomi daerah.

1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru (1968-1998)

Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era pemerintahan Presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini.


(29)

13

Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan lima tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan dan

pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.

Pada masa awal orde baru, kemajuan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Saat permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 persen setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Setelah itu dikeluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaruan kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.

Lalu kabinet AMPERA membuat kebijakan yang mengacu pada Tap MPRS tersebut yakni sebagai berikut:

1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti: rendahnya penerimaan negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara, terlalu banyak dan tidak


(30)

14

produktifnya ekspansi kredit bank serta terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.

2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. 3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara-cara yaitu sebagai berikut:

1) Mengadakan operasi pajak

2) Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang

3) Dalam era orde baru, pembangunan dilandaskan pada trilogi

pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.

Untuk itu pemerintah melakukan ―Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang‖ (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita. 1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian. Adapun keberhasilan dalam Pelita I yaitu sebagai berikut: a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4persen setahun b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil

c. Perbaikan jalan raya

d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik e. Semakin majunya sektor pendidikan


(31)

15

2) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)

Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7 persen setahun serta perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.

3) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)

Pelita III lebih menekankan pada ―Trilogi Pembangunan‖. Asas-asas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, dan lain-lain.

4) Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)

Pada Pelita IV lebih dititikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV adalah swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Selain itu juga dilakukan program KB dan rumah untuk keluarga.

5) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)

Pada Pelita V ini lebih menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan


(32)

16

produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang tahap kedua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI.

6) Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)

Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997. Hal ini berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.

Kondisi ekonomi menjadi kian terpuruk ditambah dengan kkn yang merajalela. Pembangunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat karena cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Terjadi kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan


(33)

17

(marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.

Pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997. Namun pembangunan ekonomi pada masa orde baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Adapun kelebihan sistem pemerintahan orde baru antara lain: [1] perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari US$1.000, [2] sukses transmigrasi, [3] sukses KB, dan [4] sukses memerangi buta huruf. Sedangkan kekurangan sistem pemerintahan orde baru yaitu: [1] maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, [2] pembangunan Indonesia yang tidak merata, [3] bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin), [4] kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, [5] kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.

2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi (1998-Sekarang)

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi yang juga dibarengi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir, serta harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.


(34)

18

Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal (capital flight) dipercepat. Para demonstran yang pada awalnya dipimpin para mahasiswa meminta pengunduran diri Presiden Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang wakil presiden, B.J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda berakhirnya era orde baru, untuk kemudian digantikan dengan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa orde baru di jajaran pemerintahan pada masa reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa orde baru masih belum berakhir. Oleh karena itu era reformasi atau orde reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Dalam era reformasi, pola sistem pemerintahan dan kebijakan tidak banyak berubah bila dibandingkan dengan era orde baru. Hal ini disebabkan karena sebagian besar para pejabat merupakan bekas pejabat pada masa orde baru. Akibatnya proses penegakan hukum bagi para penyeleweng kekuasaan, perampok uang rakyat, dan pencoleng negara pada era sebelumnya berjalan dengan sangat lambat.

Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi masa reformasi yang tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi perekonomian pada masa orde reformasi dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, untuk mengurangi


(35)

19

dampak penurunan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah menjalankan program jaring pengaman sosial. Akan tetapi adanya tingkat pengangguran yang tinggi dan nilai rupiah yang melemah sampai pada batas terendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp.18.000 per US$ mengakibatkan pogram ini tidak bermakna dan bermanfaat. Kurs dollar yang tinggi mengakibatkan kegiatan produksi yang bahan bakunya merupakan barang impor menjadi terganggu. Terhentinya kegiatan impor karena kurs devisa yang tinggi juga memukul sektor manufacturing dan transportasi yang disebabkan oleh mahalnya komponen suku cadang yang harus diimpor. Kondisi pasar yang tidak menentu ini menyebabkan perusahaan banyak yang berhenti beroperasi dan memberhentikan para karyawannya.

Kedua, kebijakan moneter di Indonesia pada saat itu diatur oleh IMF, sehingga sesuai dengan saran IMF untuk dilakukan peningkatan suku bunga hingga mencapai 67 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan adanya negative spread pada sektor perbankan sehingga banyak bank yang harus dilikuidasi atau dinyatakan beku operasi.

3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah (2001-Sekarang)

Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Salah satu catatan sejarah pada era reformasi adalah


(36)

20

diperkenalkannya UU No. 22/ 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/ 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat: (1) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, dan (3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan (Zainuddin; 2010).

Kebijakan otonomi daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan

dimana-mana sebenarnya bukanlah merupakan ―barang baru‖ dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan otonomi daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers negara ini telah menuangkan ide-ide otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18.

Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan otonomi daerah telah dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU No.1/ 1945, UU No.22/ 1948, UU No.1/ 1957, UU No.18/ 1965, Penpres No.6/ 1969, UU No.5/ 1974 dan terakhir dengan UU No.22/ 1999. Selama masa itu pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat otonomi daerah antara lain; otonomi daerah yang seluas-luasnya, otonomi daerah yang nyata dan


(37)

21

bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Jadi inti dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi maksudnya adalah adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat.

Sedangkan otonomi daerah sebagai pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mampu mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakatnya sendiri. Dengan demikian daerah secara bertahap akan berupaya untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada pemerintah pusat.

Namun otonomi daerah juga telah menimbulkan berbagai kebijakan yang bersifat kontra produktif terhadap iklim perdagangan dan investasi di daerah. Adanya target untuk meningkatkan PAD menyebabkan terjadinya pungutan tambahan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Sebagai contoh; pengoperasian kembali jembatan timbang di Sulawesi Selatan yang telah dicabut berdasarkan UU No.18/ 1997, perdagangan kayu cendana di NTT yang sarat dengan kontrol dan pajak pemda, Perda No.6/ 2000 propinsi


(38)

22

Lampung tentang retribusi izin komoditas keluar propinsi Lampung, dan lain-lain (Boyke; 2007).

Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal. Keinginan tersebut bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67 persen porsi anggaran belanja negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian, terdapat lebih banyak urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama dengan berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, hal ini dibuktikan dengan jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan dimana-mana.

Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial. Sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan sebanyak 205 yang terdiri dari 7 propinsi, 165 kabupaten, dan 33 kota,


(39)

23

sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota (A. Yani; 2009).

B.Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah

Berlakunya undang-undang otonomi daerah di Indonesia yang salah satunya ditujukan sebagai langkah percepatan pembangunan, memberikan dan memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini peran daerah lebih besar daripada peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilitator dan dinamisator. Sementara pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, menjadi perencana, pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah, baik struktur maupun infrastrukturnya.

Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, misalnya new public management yang berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya perubahan pendekatan dalam penganggaran, yakni dari penganggaran tradisional


(40)

24

(traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract).

Adanya kebijakan ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan. Secara lebih detail, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/ 2004 dengan beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa orde baru.

Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal keduanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar serta mempunyai kewenangan berbeda.

Kedua, UU No.22/ 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan kabupaten dan kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan kepala daerah otonom (local self-government) dan kepala wilayah administratif (field administration). Bupati dan walikota adalah kepada daerah otonom saja. Sementara itu jabatan kepala wilayah pada kabupaten dan kota (dulu kotamadya) sudah tidak dikenal lagi.


(41)

25 Ketiga, Bupati dan walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat. Dalam UU No.22/ 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, bupati/ walikota harus bertanggung jawab kepada DPRD dan juga dapat diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (presiden) hanya

diberi kekuasaan untuk ‗memberhentikan sementara‘ seorang bupati/ walikota

jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkan pilkada langsung dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/ 2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada langsung.

Keempat, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/ 2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada level daerah kabupaten dan daerah kota. Integrated prefectoral system yang sentralistis yang digunakan UU No.5/ 1974 diubah menjadi functional system, dan bukan sekedar unintegrated prefectoral system yang dikenal pada UU No.1/ 1957.

Kelima, Undang-undang tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.


(42)

26 Keenam, Undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta

‗kewenangan bidang lain‘. Hanya saja, definisi ‗kewenangan bidang lain‘ ini

ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

C.Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah

1. Struktur Keuangan Daerah menurut UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004

Tujuan pokok UU No.25/ 1999 adalah upaya memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Namun dalam penerapannya, UU No.25/ 1999 menimbulkan berbagai masalah di daerah. Pertama, mengenai kemampuan keuangan atau kapasitas/ potensi fiskal daerah. Masalah kedua adalah mengenai tingkat efektifitas dan efisiensi dari PAD maupun yang diterima dari pemerintah pusat (dana perimbangan).


(43)

27

Dengan keluarnya UU No.25/1999, struktur keuangan daerah mengalami perubahan, yakni sumber baru yang penting adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat. Faktor yang digunakan dalam menentukan besarnya bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mencakup beberapa perumusan yang berkaitan dengan berbagai faktor seperti upaya pajak (tax effort). Setelah diketahui upaya pajak dari suatu daerah, maka kemudian dapat dilihat pelaksanaan pajak (tax performance) dari suatu daerah.

Pajak dalam berbagai unit tingkat pemerintahan baik negara maupun daerah menggambarkan sebuah konsep mengenai kapasitas wajib pajak (taxable capacity). Untuk menyediakan kebutuhan barang dan jasa publik pemerintah daerah sangat membutuhkan dana, dan oleh karena pemerintah daerah juga memiliki kebutuhan fiskal (fiscal need) yang digunakan untuk membiayai penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi. Oleh karena itu transfer dana dan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut harus memberikan dampak pemerataan (equalization effect).

Perbandingan yang dilakukan terhadap tax ratio memberikan beberapa indikasi adanya nilai-nilai relatif pajak pada suatu daerah. Dengan mengetahui tax performance dalam hal ini dengan mengetahui tax effort akan dapat diketahui daerah yang memiliki kemungkinan lebih besar hasilnya bila dilakukan pemungutan pajak, atau disebut juga yang memiliki taxable capacity yang lebih besar.


(44)

28

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004, secara makro

sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan

dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel berikut menunjukkan peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah selama era desentralisasi.

Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI; 2007.

Gambar 2.1. Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)

8 1 ,1 3,5 9 4 ,7 9,2 1 1 1 ,1 6,9 1 2 2 ,9 7,2 1 4 3 ,2 4,0 2 2 2 ,1 9,5 2 4 4 ,7 14,4 2 6 6 ,8 0,0 40,0 80,0 120,0 160,0 200,0 240,0 280,0 T ri li u n R p

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

REALISASI APBN APBN-P APBN

TREN TRANSFER KE DAERAH

(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS DAN PENYESUAIAN) TAHUN 2001-2008

DANA PERIMBANGAN OTSUS DAN PENYESUAIAN

2001 2002 2003 2004 2005 2006

DANA DESENTRALI

SASI

81,1 98,1 120,3 129,7 150,5 226,2 254,2 281,2

% dari thn

sebelumnya - 21,1% 22,6% 7,8% 16,0% 50,3% 12,4% 10,6%

APBN 2008

REALISASI APBN APBN-P

2007

Keterangan : - Realisasi 2001 s.d 2003 berdasarkan PAN, 2004, 2005, dan 2006 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2007 menggunakan angka APBN-P 2007 ; - Tahun 2008 angka APBN 2008


(45)

29

Ada sejumlah studi yang telah dilakukan mengenai besarnya dana yang akan disalurkan dari pusat ke daerah akibat penerapan UU No.25/ 1999, diantaranya dari Bappenas. Didasarkan pada sejumlah asumsinya, hasil studi tersebut menunjukkan bahwa penerimaan propinsi secara total meningkat sebesar 17 persen. Ada juga studi lanilla yang merupakan suatu kajian dari Yayasan Indonesia Forum tahun 2000, menemukan dampak diberlakukannya UU No.25/ 1999, yaitu:

1. Umumnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) di propinsi yang diteliti, dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan financial daerah terhadap pemerintah pusat.

2. Adanya korelasi positif antara daerah yang kaya sumber daya alam (SDA) dan/ atau sumber daya manusia (SDM) dalam peranan PAD pada APBD. 3. Pada tahun 1998/ 1999 sebagian besar daerah yang diteliti mengalami

penurunan PAD di dalam pembentukan APBD-nya dikarenakan adanya krisis ekonomi.

Salah satu komponen pendapatan daerah yang diharapkan menjadi sumber utama keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah PAD. Di antara kelima sumber utama PAD yang ada, pajak daerah dan retribusi menjadi sumber andalan PAD. Sedangkan pajak pendapatan, pajak nilai tambah dan pajak barang mewah merupakan tiga jenis pajak yang paling penting bagi pendapatan propinsi.


(46)

30

Pengelolaan keuangan daerah harus transparan yang dimulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah gambaran dari kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang meliputi kebijakan pengeluaran maupun penerimaan pemerintah daerah, serta realisasi anggaran tahun yang lalu. Sementara itu, pengertian APBD yang dimuat dalam Kepmendagri No.29/ 2002, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.


(47)

31

APBD memiliki tiga fungsi bila dilihat dari perspektif administrasi negara, yaitu [1] sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah, terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan datang, [2] sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah, dan [3] sebagai instrumen untuk menilai kinerja pemerintah. Sedangkan fungsi APBD dalam pendekatan ekonomi yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi alokasi; kegiatan penyusunan anggaran merupakan sarana penyediaan barang dan jasa sosial dalam rangka pemenuhan pelayanan publik.

b. Fungsi distribusi; penyusunan anggaran merupakan mekanisme pembagian secara merata dan berkeadilan atas berbagai sumber daya dan pemanfaatannya.

c. Fungsi stabilisasi; pajak dan pengeluaran akan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Dalam penyusunan APBD, ada beberapa prinsip dasar yang harus diakomodir yaitu:

a. Transparan; APBD yang baik hendaknya dapat memberikan informasi tentang tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan.

b. Partisipatif; Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap proses penganggaran, demi menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan peruntukkan anggaran.


(48)

32

c. Disiplin; Penyusunan APBD harusnya berorientasi pada kebutuhan masyarakat, tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. d. Keadilan; Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme

pajak dan retribusi yang dibebankan oleh segenap lapisan masyarakat. e. Efisiensi dan efektivitas; Penggunaan dana yang tersedia harus

dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

f. Rasional dan terukur; Jumlah pendapatan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, dan jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.

Dalam penyusunan dan penetapan APBD, ada empat aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Aspek perencanaan, karena melibatkan pembuatan keputusan politik yang memiliki dampak pada masa yang akan datang.

b. Aspek politik, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses politik yang memuat mekanisme kolektif untuk menentukan

pengambilan keputusan tentang ―siapa yang akan memperoleh apa‖ dan ―siapa yang akan menanggung bebannya‖.

c. Aspek ekonomi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses ekonomi dimana alokasi sumber daya merupakan fungsi ekonomi yang penting.


(49)

33

d. Aspek akuntansi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses akuntansi dimana informasi tentang pengeluaran dan penerimaan disusun berdasarkan item penerimaan dan pengeluaran anggaran.

Sedangkan format APBD disusun bertolak belakang dari prinsip anggaran defisit. Metodenya adalah metode performance budget (anggaran kinerja), dengan titik tekan pada output. Bentuk struktur APBD dapat dilihat seperti dibawah ini:

Tabel 2.1

Struktur APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota Pendekatan Kinerja

Uraian Anggaran (Rp)

Realisasi (Rp)

I. Pendapatan

1. Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah

b. Retribusi Daerah

c. Bagian Laba Usaha Daerah d. Lain-lain Pendapatan Asli

Daerah

2. Dana Perimbangan

a. Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak

b. Dana Alokasi Umum

c. Dana Alokasi Khusus d. Dana Perimbangan dari

Propinsi

3. Lain-lain Pendapatan yang Sah Total Pendapatan


(50)

34

II.Belanja

A. A. Belanja Aparatur Daerah B. 1. Belanja Administrasi Umum

a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan

1. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 2. 3. Belanja Modal/ Pembangunan

Total Belanja Aparatur Daerah C. B. Pelayanan Publik

1. 1. Belanja Administrasi Umum a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan

2. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 3. 3. Belanja Modal/ Pembangunan

Total Belanja Pelayanan Publik D. Belanja Bagi Hasil & Bantuan

Keuangan


(51)

35

Total Belanja Pelayanan Publik Total Belanja

Surplus/ Defisit = (I-II) III. Pembiayaan

1. Penerimaan Daerah

a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu

b. Transfer dari Dana Cadangan c. Penerimaan dan Obligasi

d. Hasil Penjualan Aset Daerah yang dipisahkan

Jumlah Total Penerimaan 2. Pengeluaran Daerah

a. Transfer ke Dana Cadangan b. Penyertaan Modal

c. Pembayaran Utang Pokok yang jatuh tempo

d. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun sekarang

Jumlah Total Pengeluaran Jumlah Pembiayaan

Sumber: Panduan Praktis Mengontrol APBD; 2005.

Dari format di atas dapat dilihat bahwa belanja dapat dibagi dua, yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Belanja aparatur adalah setiap bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Sedangkan belanja publik adalah setiap bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan


(52)

36

dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Hal penting lainnya dalam format ini adalah anggaran disusun dengan indikator input, out come, output, benefit, dan impact.

D.Hakikat Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah suatu ukuran kuantitafif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu bila dibandingkan dengan tahun yang sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi juga menggambarkan sampai dimana barang dan jasa telah bertambah pada suatu tahun tertentu bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sedangkan pengertian pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.

Profesor Kuznets juga mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui di hampir semua negara maju, yakni:

a. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi

b. Tingkat kenaikan total produktivitas yang tinggi c. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi


(53)

37

d. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi

e. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru

f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia

Adapun tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa yaitu antara lain:

a. Akumulasi modal (capital accumulation)

Terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan

diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari. Adanya pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku meningkatkan stok modal (capital stock) secara fisik suatu negara sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan output di masa mendatang. b. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja

Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar.

c. Kemajuan teknologi

Ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu: [1] kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technological progress); yakni teknologi memungkinkan pencapaian tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama, [2]


(54)

38

kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor saving technological progress); yakni penggunaan teknologi yang memungkinkan untuk memperoleh output lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang sama, [3] kemajuan teknologi yang hemat modal (capital saving technological progress); yakni menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien.

Sedangkan sumber-sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah adanya investasi-investasi yang mampu memperbaiki kualitas modal atau sumber daya manusia dan fisik, yang selanjutnya berhasil meningkatkan kuantitas sumber daya produktif yang bisa meningkatkan produktivitas seluruh sumber daya melalui penemuan-penemuan baru, inovasi, dan kemajuan teknologi.

E.Teori – teori Pertumbuhan Ekonomi 1. Teori Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Keynesianisme atau ekonomi Keynesian atau Teori Keynesian, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keyness. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.


(55)

39

Teori ini menyatakan bahwa tren ekonomi makro dapat mempengaruhi perilaku individu ekonomi mikro. Keyness menekankan

pentingnya permintaan agregat sebagai faktor utama penggerak

perekonomian, terutama dalam perekonomian yang sedang lesu. Ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan permintaan pada level makro, untuk mengurangi pengangguran dan deflasi.

Jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi, dan kondisi perekonomian akan kembali ke tingkat normal.

Kesimpulan utama dari teori ini adalah bahwa tidak ada kecenderungan otomatis untuk menggerakan output dan lapangan pekerjaan ke kondisi full employment (lapangan kerja penuh). Kesimpulan ini bertentangan dengan prinsip ekonomi klasik seperti ekonomi supply-side yang menganjurkan untuk tidak menambah peredaran uang di masyarakat untuk menjaga titik keseimbangan di titik yang ideal.

Berdasarkan teori Keyness tersebut, APBD dan APBN merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan


(56)

40

permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri.

Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas agenda-agenda pembangunan tahunan. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah, akan terus diarahkan pada peningkatan PAD.

Untuk merealisasikan hal tersebut akan dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada maupun menggali sumber-sumber baru.

Sebagai langkah awal untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah beberapa hal penting yang perlu dilakukan antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara pada sisi belanja, kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur.

Dalam kaitannya dengan pembiayaan, akan terus diupayakan peningkatan penyertaan modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat menghasilkan peningkatan PAD.


(57)

41

2. Teori Jumlah Penduduk

a. Pandangan Adam Smith

Ia berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar yang dapat meninggikan tingkat spesialisasi dalam perekonomian. Akibatnya, tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah.

Perkembangan spesialisasi dan pembagian kerja diantara tenaga kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi karena akan meninggikan tingkat produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi. Ia juga mengatakan bahwa bila pembangunan sudah terjadi, maka proses pertumbuhan ekonomi akan terus menerus berlangsung secara kumulatif.

b. Pandangan David Ricardo dan Thomas Robert Malthus

Kedua ahli ekonomi klasik ini berpendapat bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan mencapai stationary state atau suatu keadaan dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Pandangan yang berbeda ini, yaitu diantara Smith di satu pihak dengan Ricardo dan Malthus di lain pihak, bersumber dari perbedaan pandangan mereka mengenai peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi.

Menurut Smith, yang belum menyadari law of diminishing returns (hukum hasil lebih makin berkurang), perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi karena dapat memperluas pasar. Sedangkan menurut Ricardo dan Malthus, perkembangan penduduk yang


(58)

42

berjalan dengan cepat akan memperbesar pertumbuhan jumlah penduduk hingga menjadi dua kali lipat dalam waktu satu generasi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minim yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup (subsistences level). Pada saat ini bila dinyatakan teori pertumbuhan kaum klasik, maka yang dimaksud adalah teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Ricardo dan Malthus.

3. Teori Tingkat Pendidikan

Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial. (Elwin Tobing; Suara Pembaruan; 1994).

Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini.

Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding


(1)

129 LAMPIRAN I

DATA OBSERVASI

Kab Tahun PDRB PAD POPRATE SMAPT

BDG 1995 6797686 20275664 3383233 401172

BDG 1996 7513143 24816772 3422000 351388

BDG 1997 7883717 39889065 3452300 391042

BDG 1998 6382883 39772419 3480900 368092

BDG 1999 6530365 48174124 3507700 445200

BDG 2000 6871874 50367254 4158083 733176

BDG 2001 6125739 73771365 4235146 641790

BDG 2002 6428772 66119438 4335578 748580

BDG 2003 6754824,9 99760580 4504387 593332

BDG 2004 7133781,35 108065258 4002290 675660

BDG 2005 7529875,67 108322350 4263934 755124

BDG 2006 5832801,41 123650270 4399128 659039

BDG 2007 6177948,49 151857290 3038038 544054

BDG 2008 6505296,44 144660409 3116056 498443

CNJR 1995 1862700 6012126 1757430 64638

CNJR 1996 1992995 6882145 1775200 119344

CNJR 1997 2066086 9486744 1790700 77573

CNJR 1998 1943145 7515807 1805400 84398

CNJR 1999 1972143 8409721 1818900 98707

CNJR 2000 2035917 10190422 1946405 145871

CNJR 2001 2109118 17397384 1955100 86925

CNJR 2002 2187068 22560362 1993727 108582

CNJR 2003 2262655,1 31717983 2041131 122984

CNJR 2004 2352463,2 34435227 2079306 103806


(2)

130

CNJR 2006 2523693,96 56520108 2125023 145817

CNJR 2007 2629324,68 66675210 2149121 116271

CNJR 2008 2735672,14 65780144 2169984 177057

SKBM 1995 479948 5410944 125766 25850

SKBM 1996 514818 5491663 126600 35649

SKBM 1997 531312 6802239 127700 22800

SKBM 1998 368738 9917041 128800 58449

SKBM 1999 457169 8346075 130000 58788

SKBM 2000 479190 8336680 252420 64505

SKBM 2001 503224 13234590 257675 56679

SKBM 2002 529421 15073724 261861 63193

SKBM 2003 557639,8 25523466 267807 61315

SKBM 2004 589811,5 24955460 272736 67914

SKBM 2005 624917,5 36577623 287760 68452

SKBM 2006 663846,43 31599368 294646 75247

SKBM 2007 706959,06 43847983 300694 67976


(3)

131 LAMPIRAN 2

OUTPUT POOLED LEAST SQUARE

Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 00:43 Sample: 1995 2008

Included observations: 14 Cross-sections included: 3

Total pool (balanced) observations: 42

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PAD? 0.018648 0.009721 1.918343 0.0626

POPRATE? -2.632573 1.087076 -2.421702 0.0203

SMAPT? 1.826233 0.158338 11.53379 0.0000

DOTDA? 976363.3 321101.0 3.040674 0.0043

R-squared 0.921273 Mean dependent var 3236690.

Adjusted R-squared 0.915058 S.D. dependent var 2606083.

S.E. of regression 759537.9 Akaike info criterion 30.00920

Sum squared resid 2.19E+13 Schwarz criterion 30.17469

Log likelihood -626.1932 Hannan-Quinn criter. 30.06986


(4)

132 LAMPIRAN 3

OUTPUT FIXED EFFECT MODEL PERIODE KESELURUHAN (1995-2008)

Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 00:43 Sample: 1995 2008

Included observations: 14 Cross-sections included: 3

Total pool (balanced) observations: 42

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 999870.8 518655.3 1.927814 0.0620

PAD? 0.015125 0.007503 2.015751 0.0516

POPRATE? -7.607050 1.213274 -6.269852 0.0000

SMAPT? 1.949714 0.323129 6.033851 0.0000

DOTDA? 727688.9 267913.3 2.716136 0.0102

Fixed Effects (Cross)

_BDG--C 1537164.

_CNJR--C -1121650.

_SKBM--C -415514.3

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.961490 Mean dependent var 3236690.

Adjusted R-squared 0.954889 S.D. dependent var 2606083.

S.E. of regression 553517.6 Akaike info criterion 29.43699

Sum squared resid 1.07E+13 Schwarz criterion 29.72660

Log likelihood -611.1767 Hannan-Quinn criter. 29.54314

F-statistic 145.6435 Durbin-Watson stat 1.746349


(5)

133 LAMPIRAN IV

FIXED EFFECT MODEL

PERIODE SEBELUM OTONOMI DAERAH (1995-2000)

Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 02:29 Sample: 1995 2000

Included observations: 6 Cross-sections included: 3

Total pool (balanced) observations: 18

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2855146. 957705.1 2.981237 0.0115

PAD? -0.010346 0.016245 -0.636895 0.5362

POPRATE? -0.945376 1.945040 -0.486045 0.6357

SMAPT? 0.378137 0.713892 0.529683 0.6060

Fixed Effects (Cross)

_BDG--C 3601406.

_CNJR--C -1261360.

_SKBM--C -2340046.

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.988600 Mean dependent var 3149102.

Adjusted R-squared 0.983851 S.D. dependent var 2887987.

S.E. of regression 367007.2 Akaike info criterion 28.72535

Sum squared resid 1.62E+12 Schwarz criterion 29.02214

Log likelihood -252.5282 Hannan-Quinn criter. 28.76628

F-statistic 208.1330 Durbin-Watson stat 2.414101


(6)

134 LAMPIRAN V

FIXED EFFECT MODEL

PERIODE OTONOMI DAERAH (2001-2008)

Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 02:32 Sample: 2001 2008

Included observations: 8 Cross-sections included: 3

Total pool (balanced) observations: 24

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1243381. 931917.4 -1.334218 0.1988

PAD? 0.011001 0.007547 1.457646 0.1622

POPRATE? -5.313933 2.069767 -2.567406 0.0194

SMAPT? 2.425561 0.376537 6.441757 0.0000

Fixed Effects (Cross)

_BDG--C -422477.6

_CNJR--C -722609.6

_SKBM--C 1145087.

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.966203 Mean dependent var 3302382.

Adjusted R-squared 0.956815 S.D. dependent var 2435504.

S.E. of regression 506123.2 Akaike info criterion 29.31927

Sum squared resid 4.61E+12 Schwarz criterion 29.61378

Log likelihood -345.8312 Hannan-Quinn criter. 29.39740

F-statistic 102.9180 Durbin-Watson stat 2.107667