Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami peningkatan dalam jumlah dan kualitasnya. Perkembangan kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi sering kali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi lebih lambat dari potensinya. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat bernilai positif dan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan positif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami peningkatan. Sedangkan jika pada 2 suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan negatif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro. Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas, perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan pemerataan ekonomi economic stability melalui redistribusi pendapatan income redistribution akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia berdasarkan UU No.32 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagai revisi dari UU No.22 1999 dan UU No.25 1999, disadari bahwa kemampuan setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi guna peningkatan pertumbuhan ekonomi daerahnya tidak sama. Hal ini disambut baik bagi daerah yang memiliki sumber penerimaan potensial, namun bagi daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, maka mereka mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksanaan otonomi daerahnya. 3 UU No.32 2004 merupakan dasar hukum pendelegasian kekuasaan tertentu kepada pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah. Penyerahan fungsi, personil, dan aset dilakukan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan UU No.33 2004 mendorong desentralisasi dengan memberikan sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah, termasuk dalam hal penetapan besarnya tarif pajak dan retribusi daerah. Hal ini bertujuan untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adapun pelaksanaan otonomi daerah harus diimbangi dengan sejauh mana, instrumen atau kemampuan daerah saat ini mampu memberikan nuansa pengolahan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang otonomi daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU No.25 1999 yang disempurnakan dengan UU No.33 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada waktu ini, Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal pengelolaan pembangunan dan keuangan, daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi penerimaan, daerah kota kabupaten mendapat keleluasaan untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial di daerah, tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan di sisi pengeluaran, 4 daerah sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana perimbangan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan daerah. Propinsi Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan perekonomian yang cukup pesat. PDRB propinsi Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar US 27.26 Billion menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, merupakan angka tertinggi bagi sebuah propinsi. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, PDRB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 US644.24 termasuk minyak dan gas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas, bahkan lebih baik dari PDB Indonesia secara keseluruhan http:id.wikipedia.orgwikiJawa_Barat. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang bagi propinsi Jawa Barat untuk memiliki kemandirian guna membangun daerahnya. Kemandirian tersebut berpijak pada [1] prinsip demokrasi, [2] partisipasi dan peran serta masyarakat, [3] pemerataan keadilan, serta [4] memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat selama 14 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. 5 Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah kembali. Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 Dalam Persentase Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1995-2008. Namun, pada tahun 1998 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 17,77 persen, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia yang kemudian mengakibatkan krisis multidimensi sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yang negatif di propinsi Jawa Barat. Namun, pada tahun 2000-2008 pertumbuhan ekonomi dapat kembali pulih, meskipun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Selama periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1995-2000, rata- rata pertumbuhan ekonomi adalah 0,12 persen, sedangkan pada periode otonomi daerah di tahun 2001-2008, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,21 persen. Hal ini menggambarkan perbaikan yang cukup drastis sebagai dampak dari adanya kebijakan otonomi daerah yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001. 6 Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, terdapat indikator utama penentu perkembangan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yakni anggaran pemerintah daerah yang dilihat dari sisi penerimaan, yaitu pendapatan asli daerah PAD. PAD merupakan salah satu ukuran potensi fiskal daerah, dan sebagai sumber penerimaan yang penting guna peningkatan pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah semakin gencar untuk meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan berbagai macam cara, salah satu caranya adalah dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, ataupun menggali sumber-sumber baru. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yang disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami maupun karena migrasi masuk, Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, namun hal ini belum dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang dilihat dari jumlah pengangguran yang masih mengalami kenaikan. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan terhadap jumlah penduduk yang besar dengan cara penyediaan lapangan kerja yang memadai atau peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mengisi pasar kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan sebagai propinsi yang memiliki perguruan tinggi yang cukup banyak baik swasta maupun negeri, tingkat pendidikan di propinsi Jawa Barat juga memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonominya. Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan menitikberatkan 7 pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana serta prasarana pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan pendidikan luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan jumlah dan pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih cukup tinggi, kualitas dan relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan daya saing. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di propinsi Jawa Barat. Adapun judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat Periode 1995- 2008”.

B. Perumusan Masalah