Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah 2001-

19 dampak penurunan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah menjalankan program jaring pengaman sosial. Akan tetapi adanya tingkat pengangguran yang tinggi dan nilai rupiah yang melemah sampai pada batas terendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp.18.000 per US mengakibatkan pogram ini tidak bermakna dan bermanfaat. Kurs dollar yang tinggi mengakibatkan kegiatan produksi yang bahan bakunya merupakan barang impor menjadi terganggu. Terhentinya kegiatan impor karena kurs devisa yang tinggi juga memukul sektor manufacturing dan transportasi yang disebabkan oleh mahalnya komponen suku cadang yang harus diimpor. Kondisi pasar yang tidak menentu ini menyebabkan perusahaan banyak yang berhenti beroperasi dan memberhentikan para karyawannya. Kedua , kebijakan moneter di Indonesia pada saat itu diatur oleh IMF, sehingga sesuai dengan saran IMF untuk dilakukan peningkatan suku bunga hingga mencapai 67 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan adanya negative spread pada sektor perbankan sehingga banyak bank yang harus dilikuidasi atau dinyatakan beku operasi.

3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah 2001-

Sekarang Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Salah satu catatan sejarah pada era reformasi adalah 20 diperkenalkannya UU No. 22 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat: 1 menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, 2 meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, dan 3 membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan Zainuddin; 2010. Kebijakan otonomi daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana- mana sebenarnya bukanlah merupakan ―barang baru‖ dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan otonomi daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers negara ini telah menuangkan ide-ide otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18. Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan otonomi daerah telah dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya zeitgeist. Mulai dari UU No.1 1945, UU No.22 1948, UU No.1 1957, UU No.18 1965, Penpres No.6 1969, UU No.5 1974 dan terakhir dengan UU No.22 1999. Selama masa itu pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat otonomi daerah antara lain; otonomi daerah yang seluas-luasnya, otonomi daerah yang nyata dan 21 bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Jadi inti dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi maksudnya adalah adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat. Sedangkan otonomi daerah sebagai pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mampu mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakatnya sendiri. Dengan demikian daerah secara bertahap akan berupaya untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada pemerintah pusat. Namun otonomi daerah juga telah menimbulkan berbagai kebijakan yang bersifat kontra produktif terhadap iklim perdagangan dan investasi di daerah. Adanya target untuk meningkatkan PAD menyebabkan terjadinya pungutan tambahan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Sebagai contoh; pengoperasian kembali jembatan timbang di Sulawesi Selatan yang telah dicabut berdasarkan UU No.18 1997, perdagangan kayu cendana di NTT yang sarat dengan kontrol dan pajak pemda, Perda No.6 2000 propinsi 22 Lampung tentang retribusi izin komoditas keluar propinsi Lampung, dan lain- lain Boyke; 2007. Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal. Keinginan tersebut bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67 persen porsi anggaran belanja negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian, terdapat lebih banyak urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama dengan berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, hal ini dibuktikan dengan jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan dimana-mana. Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial. Sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan sebanyak 205 yang terdiri dari 7 propinsi, 165 kabupaten, dan 33 kota, 23 sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota A. Yani; 2009.

B. Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah