2. Dinamika Kepribadian
a. Tendensi Aktualisasi
1 Pandangan Umum tentang Tendensi Aktualisasi
Rogers mengemukakan bahwa tendensi aktualisasi adalah motivasi dasar yang tidak hanya mempengaruhi tingkah laku manusia saja, tetapi semua
organisme yang hidup. Tendensi aktualisasi ini berusaha mewujudkan dan mengembangkan semua kemungkinan inheren bawaan dari organisme. Pada
umumnya, pada setiap organisme, baik yang berada pada perkembangan yang rendah ataupun tinggi, terdapat suatu daya yang mendorong organisme untuk
mengembangkan dan memenuhi potensi-potensi pembawaan lahirnya dalam Koeswara, 1989 dan Hall lindzey, 1993. Maslow 1976b juga
mengungkapkan bahwa hampir pada setiap bayi yang baru lahir terdapat kemauan yang aktif ke arah pertumbuhan atau aktualisasi potensi-potensi manusia dalam
Hall Lindzey, 1993. Pada keadaan normal, setiap organisme hidup bertujuan untuk
memperkuat dan mempertahankan diri melalui reproduksi dan mengatur diri. Tendensi otonomi ini tidak dapat dihilangkan oleh kontrol dari kekuatan-kekuatan
atau pengaruh-pengaruh eksternal. Hal ini disebabkan karena tendensi aktualisasi hanya dapat dihalangi tetapi tidak pernah dapat dihancurkan Rogers, dalam
Cremers, 1987. 2
Pengertian Tendensi Aktualisasi Rogers 1957 mengatakan bahwa tendensi aktualisasi adalah dorongan
yang paling menonjol dan memotivasi eksistensi serta mencakup tindakan yang 15
mempengaruhi keseluruhan kepribadian. Rogers 1951 mengemukakan bahwa organisme memiliki satu kecenderungan tendensi dasar yaitu
mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organisme yang mengalami. Sifat dari tendensi ini yaitu selektif, hanya memberi perhatian pada
aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan individu bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan dan kebulatan dalam Hall Lindzey, 1993.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tendensi aktualisasi adalah dorongan yang paling menonjol dan memotivasi tindakan untuk
mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organisme yang mengalami.
3 Proses Tendensi Aktualisasi pada Individu
Tendensi aktualisasi dibawa sejak lahir dan meliputi komponen- komponen pertumbuhan, baik fisiologis maupun psikologis. Pada masa awal
kehidupan individu, tendensi tersebut lebih terarah pada segi-segi fisiologis. Tendensi aktualisasi yang terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar yaitu akan
makanan, air, dan udara. Tendensi aktualisasi ini berfungsi untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dasar, serta memungkinkan
individu untuk terus hidup. Selain itu, tendensi aktualisasi juga penting untuk meningkatkan pematangan dan pertumbuhan individu Rogers, dalam Schultz,
1991. Rogers juga mengatakan bahwa tendensi aktualisasi pada tingkat
fisiologis tidak dapat dikekang. Tendensi ini mendorong individu ke arah depan, dari salah satu tingkat pematangan ke tingkat pematangan berikutnya. Usaha
individu dalam aktualisasi akan mengarahkan ke arah pertumbuhan dan peningkatan, serta ke arah tujuan yang berfungsi semakin kompleks sehingga
dapat menjadi semuanya menurut kemampuan untuk menjadi dalam Schultz, 1991.
b. Aktualisasi Diri
1 Pengertian Aktualisasi Diri
Rogers 1957, dalam Schultz, 1991 mengemukakan bahwa sejak bayi, setiap individu adalah orang yang sadar, terarah dari dalam inner directed dan
bergerak ke arah aktualisasi diri. Individu mengalami suatu proses aktualisasi diri, yang berorientasi ke depan sehingga mendorong individu untuk mengembangkan
segala segi dari dirinya. Aktualisasi diri diasumsikan sebagai suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologisnya
yang unik. Sejalan dengan aktualisasi diri menurut Rogers, Maslow mengemukakan bahwa semua individu memiliki kecenderungan yang dibawa
sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan diri yang dimiliki oleh individu dalam Schultz 1991. Perls juga
memandang bahwa aktualisasi diri menjadi ‘seseorang’ sebagai tujuan bawaan pada semua umat manusia, tumbuhan dan hewan. Hal itu merupakan kebutuhan
dasar semua makhluk hidup dalam Schultz, 1991. Rogers menyatakan bahwa individu yang mengalami aktualisasi diri
akan cenderung mampu untuk percaya pada dirinya sendiri dan berperilaku fleksibel dalam keputusan serta tindakan yang dipilihnya. Individu tersebut juga
dapat bertingkah secara spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai 17
respon dalam menghadapi berbagai stimulus kehidupan yang beragam di sekitar mereka. Berbeda dengan hal tersebut, individu yang tidak mengalami aktualisasi
diri maka akan cenderung defensif, berperilaku tidak fleksibel, tidak spontan, dan tidak kreatif. Hal ini menyebabkan individu itu cenderung memilih kehidupan
yang aman daripada mencari tantangan, dorongan, maupun rangsangan baru dalam hidupnya dalam Schultz, 1991. Dengan demikian, individu yang memiliki
fleksibilitas cenderung dapat menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang selalu berubah Rogers, dalam Suryabrata, 1993.
Rogers dan Maslow memiliki persamaan dan perbedaan mengenai teori aktualisasi diri. Persamaan konsep aktualisasi diri antara Rogers dan Maslow
yaitu kedua tokoh tersebut termasuk dalam teori kepribadian humanistik yang berpandangan secara positif dan optimistik terhadap pertumbuhan individu.
Individu yang berkepribadian sehat ditandai dengan adanya aktualisasi diri dalam Schultz, 1991. Menurut Hjelle Ziegler 1981, Rogers dan Maslow
menekankan hal yang sama mengenai pertumbuhan dan perubahan individu yaitu bertitik tolak dari konsep penjadian becoming dalam Koeswara, 1989. Rogers
dan Maslow juga mengakui kelebihan mendasar dari dimensi subjektif dan kecenderungan menuju aktualisasi diri. Aktualisasi diri menunjukkan realisasi
kapasitas inheren untuk tumbuh dan berkembangnya individu dalam Graham, 2005.
Perbedaan konsep aktualisasi diri antara Rogers dan Maslow yaitu bahwa menurut Rogers 1961, aktualisasi diri dipahami sebagai suatu proses atau
pergerakan ke arah individu yang berfungsi penuh fully functioning person yang 18
ditandai dengan karakteristik adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan peningkatan kepercayaan pada
organisme pada individu. Menurut Maslow, aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan universal individu. Pencapaian aktualisasi diri individu dipandang
secara hierarkis, yaitu individu baru akan mencapai aktualisasi diri ketika individu tersebut sudah memuaskan empat kebutuhan yang berada di tingkat lebih rendah
pada tingkatan sebelumnya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, dan kebutuhan akan harga diri.
Hal ini berarti bahwa pemuasan dari empat kebutuhan tersebut menjadi prasyarat individu untuk mencapai aktualisasi diri. Masing-masing dari keempat kebutuhan
itu, minimal harus dipuaskan sebagiannya sebelum muncul kebutuhan aktualisasi diri dalam Schultz, 1991.
Rogers mengatakan bahwa proses pengaktualisasian diri ini dibantu oleh pengalaman dan proses belajar seseorang terhadap pengalaman tersebut. Individu
bebas untuk mengaktualisasikan dirinya dan untuk mengembangkan seluruh potensinya dalam Schultz, 1991. Setelah aktualisasi diri berlangsung maka
individu dapat menuju ke tujuan terakhir yaitu menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Tujuan dari aktualisasi diri yaitu mencapai penentuan diri
semaksimal mungkin, berusaha untuk mengurangi ketergantungan, dan meningkatkan kedaulatan serta kreativitas Rogers, 1961.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aktualisasi diri menurut teori Carl Rogers adalah suatu proses individu untuk menjadi diri sendiri,
mengungkapkan potensi-potensi psikologis yang unik, dan berusaha ke arah 19
pertumbuhan diri yang optimal sehingga menjadi individu yang berfungsi penuh the fully functioning person.
2 Proses Terbentuknya Aktualisasi Diri
Rogers dalam Schultz, 1991 kemudian mengemukakan bahwa ketika individu bertambah besar usianya bertambah, maka “diri” mulai berkembang.
Pada masa ini, tekanan pada aktualisasi individu akan berubah dari segi fisiologis ke segi psikologis. Tubuh individu, bentuk, dan fungsi-fungsinya yang khusus
telah mencapai tingkat perkembangan dan pertumbuhan yang lebih dewasa. Individu mengalami perkembangan organ-organ tubuh dan proses fisiologis yang
semakin kompleks serta sampai pada perkembangan sifat-sifat jenis kelamin sekunder pada masa remaja.
Setelah itu, aktualisasi akan berpusat pada kepribadian psikologis. Perubahan tersebut mulai pada masa kanak-kanak dan selesai pada akhir masa
adolesensi remaja. Setelah “diri” mulai muncul, maka tendensi aktualisasi akan mulai menjadi aktualisasi diri. Fokus pencapaian aktualisasi adalah untuk
mencapai satu tujuan hidup yaitu menjadi pribadi yang teraktualisasikan dirinya atau pribadi yang utuh Rogers, 1951, dalam Schultz, 1991.
Rogers 1959 membedakan antara tendensi mengaktualisasikan pada organisme dengan tendensi mengaktualisasikan pada diri. Tendensi aktualisasi
akan tetap relatif selaras jika ‘diri’ dan seluruh pengalaman organisme relatif sesuai. Apabila terdapat ketidakselarasan antara ‘diri’ dan pengalaman maka
tendensi umum untuk mengaktualisasikan organisme akan membentuk tendensi untuk mengaktualisasikan diri dalam Hall Lindzey, 1993. Hal ini didukung
20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh Perls yang mengungkapkan bahwa aktualisasi diri hanya dapat terjadi melalui integrasi berbagai bagian dari diri. Dalam hal ini berarti bahwa aktualisasi
diri akan terjadi ketika adanya keselarasan atas bagian-bagian dari diri dalam Schultz, 1991.
Tendensi dasar pertumbuhan akan mengaktualisasikan dan mengekspansikan diri sendiri. Hal ini akan terlihat paling jelas ketika individu
diamati dalam jangka waktu yang lama. Tendensi dasar juga menjadikan adanya suatu gerak maju yang terus menerus pada kehidupan setiap individu Rogers,
dalam Hall Lindzey, 1993. 3
Hal-Hal Yang Dapat Membantu Terbentuknya Proses Aktualisasi Diri Rogers mengungkapkan bahwa proses aktualisasi diri ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan dari lingkungan sosial individu. Hal ini berarti bahwa proses aktualisasi diri ini dapat dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan
pembelajaran individu. Proses pembentukan oleh pengalaman dan belajar ini, terutama dalam masa kanak-kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan
perkembangan hidup individu dalam Schultz, 1991. Perls juga mengatakan bahwa masyarakat dapat mencegah aktualisasi diri yang wajar, spontan, dan
penuh. Perls menyebut aktualisasi diri dengan nama “pertumbuhan otentik” dalam Schultz, 1991. Sejalan dengan Rogers dan Perls, Maslow mengungkapkan
bahwa lingkungan budaya dapat dan sering menghambat perkembangan manusia ke arah aktualisasi diri dalam Goble, 1987.
Selain itu, Berkowitz 1980 juga mengatakan bahwa norma sosial menentukan perilaku individu pada suatu situasi yang dihadapi. Perilaku individu
terkait dengan apa yang dipikirkan atas apa yang akan dilakukan pada beberapa situasi berdasarkan harapan orang lain lebih pada harapan orang lain dan bukan
individu itu sendiri. Secara lebih khusus, apabila dilihat berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat, dalam konteks penelitian ini yaitu masyarakat Jawa,
maka perilaku individu masih dipengaruhi oleh etika Jawa. Meskipun etika Jawa sudah mengalami kemerosotan dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari,
namun masih tetap berpengaruh pada individu yang berada dalam masyarakat tersebut Hardjowirogo, 1983 dan Kartodirdjo, 19871988. Menurut Magnis
Suseno 1996, etika Jawa adalah seluruh norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana mereka harus bersikap
maupun bertindak dalam kehidupannya. Salah satu hal yang ditekankan dalam etika Jawa adalah menjaga keselarasan dengan orang lain. Hal ini didasari oleh
prinsip kerukunan yang mengacu pada keadaan masyarakat yang harmonis, selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, dan saling
membantu. Tuntutan kerukunan memiliki dua segi, segi yang pertama yaitu tidak mengganggu ketenangan dan keselarasan sosial atau menghindari terjadinya
konflik. Segi yang kedua yaitu menjaga keselarasan dalam pergaulan, dimana yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang tampak dan perlu
mencegah terjadinya konflik terbuka. Masyarakat memiliki harapan agar individu berperilaku yang selaras dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa individu Jawa dalam perilakunya cenderung akan memikirkan bagaimana pandangan sosial masyarakat atas akibat perilaku yang
dilakukannya. Kehidupan diri individu tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial. 22
Perilaku yang dipilih oleh individu tentunya akan terkait dengan perilaku keselarasan yang diharapkan masyarakatnya. Apabila terdapat ketidakselarasan
dengan lingkungan maka diri individu akan mengalami ketidakseimbangan, bahkan mendapat sanksi sosial.
Carl Gustav Jung 1945 mengemukakan pendapatnya mengenai mengenai persona. Menurut Jung, persona merupakan kepribadian publik. Persona
adalah topeng yang dipakai individu sebagai respon atas tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat dalam Hall Lindzey, 1993. Hal ini berarti
bahwa individu diharapkan oleh masyarakat untuk melakukan suatu peranan tertentu. Apabila individu mengidentifikasikan diri dengan persona maka ia akan
lebih sadar akan peran yang dimainkan daripada menjadi dirinya sendiri. Dalam hal ini, dapat terjadi individu tidak dapat mengaktualisasikan dirinya Jung
menyebut aktualisasi diri dengan sebutan realisasi diri. Rogers 1959 mengungkapkan secara lebih khusus bahwa dalam diri
individu terdapat kebutuhan yang penting dan mendasar yang menjadi prasyarat bagi pertumbuhan diri yang sehat. Kebutuhan tersebut dinamakan kebutuhan akan
penghargaan positif need for positive regard. Setiap individu memiliki kebutuhan akan penghargaan positif, yaitu untuk memperoleh penerimaan sikap
atau perlakuan yang baik, dihargai, dan dicintai secara hangat oleh orang lain. Kebutuhan akan pengharagaan positif bersifat inheren dan bawaan, namun dalam
perkembangan dan pemuasannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penghargaan positif tersebut dikatakan bisa menunjang tendensi pengaktualisasian
apabila diperoleh individu tanpa syarat. Penghargaan positif tanpa syarat 23
memungkinkan diri self individu untuk bebas dari ancaman-ancaman dan bebas untuk tumbuh dan berubah sehingga pada akhirnya individu dapat mencapai
pertumbuhan diri yang optimal menjadi orang yang berfungsi penuh fully functioning person dalam Hall Lindzey, 1993.
4 Sifat Aktualisasi Diri
Sifat aktualisasi diri menurut Rogers dalam Schultz, 1991, yaitu sebagai berikut:
a Aktualisasi diri berlangsung terus
Aktualisasi diri merupakan proses yang dialami oleh individu. Aktualisasi diri tidak pernah merupakan suatu kondisi yang statis atau selesai.
Individu memiliki orientasi ke masa yang akan datang untuk mengembangkan segala segi dari dirinya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi pusat
perhatian peneliti adalah manifestasi saat sekarang, dalam arti ketika subjek melibatkan diri dalam aktivitas yang dijalani ataupun kondisi terakhir individu
yang menjadi subjek penelitian. b Aktualisasi diri adalah suatu proses yang sukar dan terkadang menyakitkan
Aktualisasi diri merupakan suatu ujian, rentangan, dan pecutan terus- menerus terhadap semua kemampuan individu. Rogers mengungkapkan bahwa
aktualisasi diri merupakan keberanian untuk mengada dan berani meluncurkan diri sepenuhnya dalam arus kehidupan. Individu mengalami kehidupan dan
merasakan hal-hal yang jauh lebih dalam dibandingkan individu yang tidak teraktualisasikan dirinya. Kebahagiaan bukan merupakan tujuan dalam diri
individu yang mengaktualisasikan diri, tetapi merupakan hasil sampingan dan perjuangan dalam aktualisasi diri.
c Individu-individu yang mengaktualisasikan diri adalah benar-benar diri mereka sendiri
Pengaktualisasi diri tidak tersembunyi dibalik topeng atau kedok yang berbeda-beda menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan diri mereka
sendirimenyembunyikan sebagian diri mereka. Pengaktualisasi diri bebas dari harapan-harapan dan rintangan-rintangan yang diberikan masyarakat atau orang
tua mereka. Mereka telah mengatasi aturan-aturan tersebut. Akan tetapi individu yang mengaktualisasi diri ini tidaklah agresif atau dengan sengaja tidak
konvensional dalam mencemoohkan aturan-aturan dari orang tua atau masyarakat. Mereka menyadari bahwa diri mereka dapat berfungsi sebagai individu-individu
dalam sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari masyarakat. c.
Individu Yang Berfungsi Penuh The Fully Functioning Person Rogers mengemukakan bahwa individu yang berhasil mengikuti
tendensi aktualisasi ke arah aktualisasi diri, ia akan mengalami proses aktualisasi diri. Proses aktualisasi diri ini berlangsung menuju ke tujuan terakhir yaitu
menjadi individu yang berfungsi sepenuhnya dalam Schultz, 1991. Menurut Rogers 1961, individu yang berfungsi penuh the fully functioning person
memiliki tiga karakteristik atau ciri, yaitu sebagai berikut: 1
Peningkatan Keterbukaan pada Pengalaman Hal pertama pada proses menjadi individu yang berfungsi penuh yaitu
melibatkan adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman. Individu yang 25
mengalami keterbukaan pada pengalaman berarti melawan kedefensifan. Kedefensifan merupakan respon organisme terhadap pengalaman-pengalaman
yang dianggap sebagai sesuatu yang mengancam maupun tidak sesuai inkongruen dengan gambar diri individu, baik mengenai dirinya ataupun
mengenai hubungannya dengan dunia luar. Individu telah mengantisipasi pengalaman yang mengancam tersebut. Hal itu terjadi karena individu mendistorsi
atau menyangkalnya masuk ke kesadaran. Individu yang terbuka pada pengalaman akan sungguh dapat melihat secara akurat berbagai pengalaman,
perasaan, dan reaksi-reaksi yang tidak sesuai dengan gambar diri yang telah dimilikinya. Proses keterbukaan pada pengalaman merupakan pengungkapan yang
berkelanjutan terus-menerus. Hal ini berarti bahwa individu dapat mengalami berbagai perasaan dan sikap yang selama ini tidak pernah mampu disadarinya atau
tidak pernah ia terima sebagai milik dirinya. Individu yang secara penuh terbuka pada pengalaman akan menerima
setiap stimulus, baik yang berasal dari dalam organisme atau dari lingkungan. Stimulus-stimulus tersebut akan diterima dalam kesadaran tanpa terdistorsi oleh
mekanisme subsepsi. Mekanisme subsepsi merupakan mekanisme ketidaksadaran yaitu organisme diperingatkan akan adanya pengalaman yang mengancam dirinya.
Individu yang terbuka pada pengalaman akan menerima secara lengkap dalam kesadaran dan menghidupi setiap stimulus. Stimulus tersebut seperti warna, suara,
kenangan masa lalu, ataupun sensasi kengerian, jijik, atau kesenangan. Individu yang dapat menerima berbagai stimulus dari dalam dan luar
dirinya, menjadi lebih mampu mengalami apa yang terjadi dalam dirinya. Ia 26
menjadi lebih terbuka pada rasa senang, kagum, kelembutan hati, ataupun keberaniannya. Ia bebas menghidupi perasaannya secara subyektif, sebagaimana
perasaan-perasaan tersebut ada dalam dirinya. Hal ini mengarahkan individu menjadi semakin sadar atas perasaan-perasaan dan sikap-sikapnya sendiri,
sebagaimana perasaan dan sikap tersebut muncul padanya di tingkatan organik. Ia juga makin sadar pada realitas sebagaimana keberadaan realitas yang ada di luar
dirinya. Hal ini berarti bahwa individu tidak mempersepsi realitas secara a priori atau sesuai dengan apa yang sudah dipersepsikan sebelumnya.
Rogers juga mengungkapkan bahwa individu yang semakin memiliki keterbukaan pada pengalaman, ia akan jauh lebih realistik dalam berhadapan
dengan orang-orang, situasi, dan berbagai masalah baru. Hal ini berarti bahwa kepercayaannya tidak kaku dan dapat mentoleransi ambiguitas. Individu juga
dapat menerima berbagai pengalaman yang bertentangan dengan dirinya. Ia tidak memaksakan agar pengalaman yang dialami itu harus sesuai dengan situasi yang
dihadapinya. Keterbukaan kesadaran pada hal-hal yang terdapat dalam diri individu dan berada dalam situasi yang dihadapi saat ini merupakan sesuatu yang
penting. 2
Peningkatan Hidup secara Eksistensial Rogers mengungkapkan bahwa individu yang secara penuh terbuka pada
pengalamannya akan melihat tiap momen sebagai sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Konsekuensi dari hidup penuh dalam momen yaitu
individu akan menyadari bahwa “akan jadi apa saya di momen selanjutnya, dan 27
apa yang akan saya lakukan, tumbuh dari momen itu sendiri, tak akan dapat diramalkan, baik oleh saya ataupun oleh orang lain”.
Individu yang hidup dalam momen berarti bahwa diri dan kepribadian individu muncul dari pengalaman yang dialaminya. Pengalaman tersebut tidak
disesuaikan dengan struktur dirinya. Individu menjadi partisipan dalam, pengamat dari, dan menjadi proses pengalaman organismik yang terus menerus. Individu
yang hidup dalam momen berarti bahwa ia tidak kaku rigid atau tidak memiliki organisasi yang ketat, yang dipaksa masuk ke dalam pengalaman. Hal ini
mengarahkan individu untuk memiliki kemampuan adaptif yang maksimum dan memiliki organisasi diri yang mengalir Rogers, 1961.
Di sisi lain, kemampuan untuk bertahan dan penyesuaian diri individu juga didukung oleh adanya pengaruh kelompok minoritas terhadap mayoritas.
Kenworthy Miller 2001 mengungkapkan bahwa kelompok minoritas mempersepsikan bahwa mereka mendapatkan dukungan yang lebih besar dari
kelompok mayoritas atas pandangan yang dimiliki meskipun pada kenyataannya dukungan tersebut tidak seperti yang mereka bayangkan. Meskipun demikian, hal
itu berpengaruh positif bagi kelompok minoritas, yaitu berfungsi untuk meyakinkan kelompok minoritas agar bertahan pada kemungkinan situasi yang
dihadapi dalam Baron, 2005. Sejalan dengan kemampuan bertahannya suatu kelompok minoritas dalam lingkungan yang dihadapi, Sarwono 1978 dalam
penelitiannya menemukan bahwa aktivis gerakan protes berjumlah sedikit. Menurut Sarwono, secara kuantitatif terdapat perbedaan jumlah yang mencolok
antara aktivis gerakan protes dengan non aktivis. Dari 2500 responden penelitian, 28
diketahui kalau jumlah aktivis Gerakan hanya 5,4 , sisanya adalah mahasiswa yang tergolong pemimpin dan non aktivis. Data penelitian ini menggambarkan
bahwa aktivis gerakan merupakan kelompok minoritas di kampus dalam Musa, 2006.
Di samping itu, kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri atas situasi yang dihadapi juga didukung adanya perasaan harga diri. Hal ini
sesuai dengan Bednar, wells, Peterson, 1989 Lazarus 1991 yang mengungkapkan bahwa harga diri sering meningkat ketika individu berani
mencoba menghadapi masalahnya, bukan menghindarinya. Hal ini berarti bahwa individu yang berani menghadapi masalah artinya ia tidak defensif atas
pengalaman yang dihadapinya dalam Santrock, 2002. Selain itu, rendahnya harga diri dapat menyebabkan masalah penyesuaian diri pada individu Damon
Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter Marold, 1992, Markus Nurius, 1986, Pfeffer, 1986, dalam Santrock, 2002. Sejalan dengan hal tersebut, Snider
Miller 1993 juga mengungkapkan bahwa organisasi kepemudaan dapat memiliki pengaruh bagi perkembangan individu. Menurut Ericson 1982 terdapat lebih
dari 400 organisasi kepemudaan di Amerika. Selanjutnya, Erikson menjelaskan secara khusus bahwa remaja yang tergabung dalam kelompok organisasi
kepemudaan lebih mau berpartisipasi dalam aktivitas di masyarakat dan memiliki harga diri yang lebih tinggi di masa dewasanya dibandingkan dengan individu
yang tidak mengikuti organisasi kepemudaan dalam Santrock, 2003. Sejalan dengan adanya hubungan antara harga diri dengan keterlibatan individu dalam
suatu komunitas juga didukung oleh hasil penelitian Boys and Girls Club’s of 29
American 1989 yang menunjukkan bahwa individu yang berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan secara regular, terlihat lebih berpartisipasi dalam aktivitas
lingkungan masyarakat dan memiliki harga diri yang lebih tinggi dalam Santrock, 2003.
Kemampuan penyesuaian diri tersebut juga mengarahkan diri individu untuk sanggup berubah. Individu yang mengalami peningkatan hidup secara
eksistensial melibatkan pengungkapan struktur pengalamannya dalam proses menghidupi pengalaman. Ia tidak memaksakan evaluasi dan struktur a priori ke
pengalaman yang dialami. Ia juga tidak memasukkan pengalaman agar sesuai dengan prekonsepsinya. Selain itu, individu tidak merasa terganggu saat aliran
fluiditas pengalaman tak cocok dengan struktur prekonsepsi tersebut Rogers, 1961.
3 Peningkatan Kepercayaan pada Organismenya Rogers 1961 mengatakan bahwa individu yang mengalami peningkatan
kepercayaan pada organisme berarti bahwa individu memiliki kepercayaan pada dirinya ketika memilih arah perilaku yang harus diambil di setiap situasi. Individu
tidak mendasarkan arah perilakunya pada suatu prinsip pemandu atau hal-hal yang ditanamkan suatu kelompok atau institusi. Arah perilaku individu juga tidak
berdasarkan pada penilaian orang lain atau pengalaman masa lalu saat berhadapan dengan situasi yang sama. Keterbukaan pada pengalaman menyebabkan individu
memiliki peningkatan kepercayaan terhadap reaksi total organismiknya. Ketika menghadapi suatu situasi baru, individu yang cenderung terbuka pada pengalaman
akan melakukan apa yang “dirasa benar”. Hal inilah yang terbukti sebagai 30
panduan kompeten dan dapat dipercaya dalam memilih perilaku yang paling memuaskan.
Individu yang sepenuhnya terbuka pada pengalaman akan memiliki akses ke seluruh data yang tersedia di suatu situasi. Data tersebut digunakan
sebagai dasar perilakunya. Data ini dapat berupa tuntutan-tuntutan sosial, kebutuhan individu yang saling bertentangan, ingatan pada situasi yang sama,
maupun persepsi individu akan keunikan situasi yang dihadapi. Individu tersebut memilih arah perilaku yang paling memuaskan kebutuhannya. Hal ini dilakukan
dengan membiarkan organisme totalnya dan melibatkan kesadarannya untuk mempertimbangkan tiap stimulus, kebutuhan dan tuntutan, serta
mempertimbangkan intensitas relatif dan nilai penting masing-masing. Individu yang terbuka pada pengalaman akan menggunakan informasi
yang sesuai situasi yang dihadapi. Individu tidak memperlakukan kenangan- kenangan dan hal-hal yang telah dipelajari sebagai kenyataan saat ini yang
sedang terjadi, tetapi sebagai data yang harus diolah. Ia juga tidak menghalangi pengalaman-pengalaman mengancam untuk masuk ke dalam kesadaran. Individu
akan menemukan bahwa organismenya sungguh-sungguh dapat dipercaya. Hal ini terjadi karena seluruh data yang tersedia digunakan dan diolah berdasarkan bentuk
akuratnya, bukan bentuk yang telah terdistorsi. Oleh karena itu, perilaku yang dipilihnya akan cenderung memuaskan semua kebutuhannya, seperti kebutuhan
untuk mengembangkan diri, berafiliasi dengan orang lain, dan lain sebagainya Rogers, 1961.
Selain itu, Rogers 1961 juga mengatakan bahwa individu dalam proses mempertimbangkan arah perilakunya tidak akan melanggar organismenya. Proses
tersebut akan selalu menghasilkan jawaban terbaik yang paling mungkin didapatkan atas seluruh data yang ada, walaupun kadang-kadang data tertentu juga
dapat hilang. Akibat adanya unsur keterbukaan pada pengalaman, individu akan cepat mengoreksi tiap error kesalahan atau tiap hal yang terjadi karena arah
perilaku yang tak memuaskan. Dengan demikian, proses pemilihan arah perilaku akan juga selalu mengalami proses pengkoreksian. Hal ini disebabkan karena apa
yang dipilih individu akan diuji secara terus-menerus dalam perilaku nyata. Individu yang semakin terbuka pada seluruh pengalamannya semakin
mungkin percaya pada reaksi-reaksi yang dialami. Ketika individu merasa akan mengekspresikan kemarahan, ia akan mengekspresikan kemarahan itu dan
merasakan bahwa ekspresi ini memuaskan. Keinginan mengekspresikan kemarahan ini juga sama hidupnya sama adanya dengan keinginan individu
yang lain, seperti keinginan akan afeksi, afiliasi, atau berelasi. Individu merasa surprised terkejut bercampur bahagia dengan keterampilan intuitif yang dimiliki
dalam menemukan solusi-solusi berperilaku untuk menghadapi berbagai masalah yang ada. Setelah itu, individu baru dapat menyadari bahwa reaksi inner tersebut
bisa dipercaya dan dapat menghasilkan perilaku-perilaku yang memuaskan. Reaksi inner contohnya adalah dorongan sadar atau tidak sadar, dorongan
emosional, psikomotorik, reflek, kognitif, maupun perasaan Rogers, 1961. Di samping itu, peningkatan kepercayaan pada organisme juga dapat
didukung oleh kemampuannya dalam berpikir kritis. Hal ini diungkapkan oleh 32
Santrock 2002, bahwa berpikir kritis memampukan individu dalam menggali makna suatu masalah secara lebih mendalam dan berpikiran terbuka pada
berbagai pendekatan dan pandangan yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan individu dapat menetapkan apa yang akan diyakini atau dilakukannya untuk
dirinya sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri dalam mengambil suatu keputusan juga didukung oleh pengalaman. Jacobs Potenza 1990 dan Keating 1990a
yang mengemukakan bahwa keluasan pengalaman ikut berperan dalam kemampuan individu mengambil keputusan sendiri.
Alur proses dari ketiga karakteristik individu yang berfungsi penuh the fully functioning person menurut Rogers di atas dapat digambarkan pada skema
di bawah ini halaman 34. 33
Skema 1. Proses Aktualisasi Diri berdasarkan teori Carl Rogers
HE Peningkatan Hidup
secara Eksistensial MH
DK
T K
KP Peningkatan
Keterbukaan pada Pengalaman
MA
MS
BMS
KO Peningkatan
Kepercayaan pd Organisme
PP
PR
34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keterangan Skema: No
Karakteristik Aktualisasi Diri
Indikator Keterangan
MA Melihat secara akurat berbagai pengalaman, perasaan, reaksi-reaksi yang tidak sesuai dengan gambar
diri individu, baik mengenai dirinya atau hubungannya dengan dunia luar
MS Menerima dalam kesadarannya setiap stimulus, baik yang berasal dari dalam organisme atau dari
lingkungan. 1. KP:
Peningkatan Keterbukaan pada
Pengalaman
BMS Bebas menyadari dan menghidupi pengalaman, perasaan sikap secara subyektif atas apa yang sedang
dialami. MH
Setiap momen kehidupan dilihat sebagai sesuatu yang baru dan berfokus pada masa sekarang DK
Diri dan kepribadian muncul dari pengalaman menjadi partisipan dalam, pengamat dari, dan menyerahkan diri pada kemungkinan-kemungkinan yang sedang berkembang
2. HE: Peningkatan
Hidup secara Eksistensial
TK Tidak kaku
rigid, sanggup berubah, dan adaptif atas pengalaman PP
Percaya atas penilaian-penilaian keputusan yang akan diambil berdasar diri sendiri atas situasi yang dihadapi independent tidak menggantungkan pilihan hidup pada suatu peran atau pihak lain
3. KO: Peningkatan
Kepercayaan pada Organismenya
PR Percaya pada
reaksi-reaksi inner yang dialami bersifat intuitif dalam menghasilkan perilaku-perilaku
yang memuaskan untuk mengatasi masalahnya.
= menandakan satu rangkaian proses yang terjadi pada 1 karakteristik aktualisasi diri.
= menyebabkan terjadinya = karakteristik KP mengarahkan terjadinya karakteristik HE dan KO.
35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rogers 1961 mengemukakan bahwa tiap pandangan mengenai hal-hal yang ikut menentukan pergerakan ke arah the fully functioning person
mengandung dua implikasi. Dua implikasi dari ketiga karakteristik yang telah disebutkan di atas, yaitu sebagai berikut:
1 Kebebasan
Implikasi pertama yaitu kebebasan, terkait dengan ‘kehendak bebas’. Individu bebas untuk menjadi dirinya sendiri atau bersembunyi di balik topeng,
untuk bergerak maju atau justru mundur, untuk berperilaku yang merusak diri sendiri atau orang lain, atau menjadi bermanfaat, maupun bebas untuk mati atau
hidup. Individu memilih arah perilaku yang paling efektif, baik ketika menghadapi stimulus internal dari dalam individu maupun eksternal dari luar
individu. Hal ini disebabkan karena perilaku itulah yang akan paling memuaskannya secara mendalam. Individu yang berfungsi penuh akan mengalami
dan memanfaatkan kebebasan paling mutlak saat ia memilih atau menghendaki perilaku. Pemilihan perilaku ini dilakukan secara spontan, bebas, dan suka rela
meskipun sebenarnya perilaku tersebut secara mutlak juga terdeterminasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa individu yang
semakin berproses menuju the fully functioning person, ia akan semakin mengalami kebebasan dalam memilih. Pilihan individu tersebut akan semakin
terimplementasi secara efektif dalam perilakunya. 2
Kreativitas Rogers mengungkapkan bahwa individu yang bergerak ke arah the fully
functioning person merupakan individu-individu yang kreatif. Keterbukaan 36
individu pada dunia dan kepercayaan pada kemampuannya dalam membentuk hubungan baru dengan lingkungan akan menjadikan individu itu sebagai individu
yang kreatif. Individu tersebut tidak akan selalu harus ‘tersesuaikan’ ke dalam kebudayaannya. Pada tiap waktu dan tiap budaya, individu akan hidup secara
konstruktif ataupun selaras dengan kebudayaannya. Meskipun demikian, hal itu seimbang dengan kebutuhan yang telah terpuaskan. Dalam beberapa situasi
budaya, individu mungkin sangat tidak bahagia pada hal-hal tertentu, tapi ia akan terus bergerak maju menjadi dirinya sendiri. Individu akan berperilaku
sedemikian rupa sebagai cara untuk menyediakan pemuasan maksimum bagi kebutuhan terdalamnya. Individu tersebut paling mungkin dapat beradaptasi dan
bertahan di berbagai kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Individu juga akan mampu secara kreatif membuat penyesuaian yang benar pada kondisi-kondisi
yang baru maupun yang lama. Mihaly 1996 mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan tindakan
atau produk yang merupakan perubahan dari suatu keberadaan tertentu dan membutuhkan usaha untuk melakukan perubahan tersebut. Perubahan ini
dilakukan untuk melakukan penyesuaian diri. Piers 1970 juga mengemukakan bahwa ciri-ciri orang-orang kreatif diantaranya cenderung memiliki rasa ingin
tahu yang besar, tidak puas pada apa yang ada, percaya diri, otonom, bebas dalam pertimbangan, dan tertarik pada hal-hal yang kompleks dalam Supriadi, 1994.
Selain itu, Cashdan Welsh 1966, dalam Supriyadi, 1994 dalam penelitiannya juga menemukan bahwa siswa SMA yang kreativitasnya tinggi terlihat lebih
mandiri dan mengusahakan perubahan dalam lingkungan, sedangkan siswa yang 37
kreativitasnya lebih rendah memiliki otonomi yang rendah dan kurang menonjolkan diri.
Dilihat dari segi peranan pengalaman belajar terhadap kemampuan individu dalam berperilaku kreatif, dapat terlihat bahwa perilaku kreatif juga
dibantu oleh pengalaman keterlibatan individu dalam suatu organisasi. Salah satu hal yang didapatkan dari organisasi yaitu adanya budaya organisasi. Budaya
organisasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar yang dipelajari, baik sebagai hasil memecahkan masalah yang muncul dalam proses penyesuaian dengan lingkungan
maupun organisasi itu sendiri Schein, 1992, dalam Munandar, 2001. Sejalan dengan peranan pengalaman belajar individu terhadap kreatifitas juga didukung
oleh Supriadi 1989 dalam studi terhadap para finalis dan pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja. Hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa responden pemenang lomba lebih mempunyai pengalaman bermakna dan lebih beragam dibandingkan kelompok pembanding.
Mereka juga lebih unggul dalam kegemaran membaca dan mengarang, serta keaktifan dalam organisasi. Pengalaman-pengalaman kehidupan responden diduga
mampu menyebabkan mereka menjadi kreatif dalam Supriadi, 1994.
Sejalan dengan karakteristik-karakteristik dan implikasi karakteristik individu yang berfungsi penuh menurut teori asli Rogers, Koeswara 1989,
Schultz 1991, dan Cloninger 2004 juga mengemukakan bahwa karakteristik individu yang berfungsi penuh menurut Rogers ada lima, yaitu keterbukaan pada
pengalaman, hidup secara eksistensial, adanya kepercayaan pada organismenya, 38
adanya kebebasan, dan kreativitas. Meskipun demikian, peneliti hanya menggunakan tiga karakteristik individu yang berfungsi penuh, yang mana
menggunakan penjelasan teoritis berdasarkan pada teori asli Rogers 1961 agar tidak terjadi interpretasi yang berlebihan. Karakteristik tersebut yaitu adanya
peningkatan keterbukaan pada pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan peningkatan kepercayaan pada organismenya.
3. Aktualisasi Diri atau Proses Menuju Individu Yang Berfungsi Penuh