Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
pendekatan-pendekatan baru dalam membantu korban bencana alam maupun mencari alternatif lain dalam aktivitasnya di medan eksperimentasi GM. Munculnya
perilaku kreatif ini dapat disebabkan karena sebagai individu subjek memiliki sifat ‘kedekatan antara diri real diri yang sesungguhnya dan diri ideal diri yang
diharapkan. Menurut Rogers, 1959, ‘kedekatan antara diri real dan diri ideal’ memiliki sifat yang lentur dan berubah-ubah dalam Hall Lindzey, 1993.
Kelenturan dan berubahnya ‘diri’ disebabkan karena adanya proses penilaian- penilaian dari individu. Oleh karena itu, ‘kedekatan diri real dan diri ideal’ yang
bersifat khas ini dapat mempengaruhi keterampilan penyesuaian diri individu dalam menghadapi lingkungan sesuai dengan kemampuannya. Sejalan dengan hal
tersebut, Rogers dalam Suryabrata, 2003 mengemukakan bahwa organisme mempunyai satu motif dasar yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan
mengembangkan diri. Motif dasar itu dapat muncul teraktualisasikan atau tidak muncul tidak teraktualisasikan. Dalam hal ini, terlihat bahwa dalam diri subjek
aktivis GM muncul motif-motif dasar tersebut. Hal itu mengarahkan subjek yang berperilaku kreatif dengan berusaha mencari alternatif cara baru ketika mereka
mengalami kegagalan dalam memperjuangkan aspirasi sosialnya. Cashdan Welsh 1966 menemukan bahwa siswa SMA yang
kreativitasnya tinggi terlihat lebih mandiri dan mengusahakan perubahan dalam lingkungan, sedangkan siswa yang kreativitasnya lebih rendah memiliki otonomi
yang rendah dan kurang menonjolkan diri. Piers 1970 menemukan bahwa ciri-ciri orang-orang kreatif diantaranya cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar,
tidak puas pada apa yang ada, percaya diri, otonom, bebas dalam pertimbangan, dan 149
tertarik pada hal-hal yang kompleks dalam Supriadi, 1994. Selain itu, Mihaly 1996 juga mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan tindakan atau produk
yang merupakan perubahan dari suatu keberadaan tertentu dan membutuhkan usaha untuk perubahan tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan perbandingan bahwa aktivis GM yang cenderung sanggup melakukan perubahan dalam situasi yang dihadapi, memiliki rasa ingin tahu, maupun otonom
dapat disebabkan karena ia memiliki kreativitas. Perilaku kreatif aktivis GM juga diperoleh dari pembelajaran organisasi.
Pembelajaran perilaku kreatif ini dinamakan budaya organisasi. Aktivis GM yang terbiasa dengan aktivitas berdiskusi, tentunya akan melakukan pembicaraan-
pembicaraan dalam forum terkait alternatif cara yang dilakukan ketika menghadapi kegagalan. Budaya organisasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar yang dipelajari, baik
sebagai hasil memecahkan masalah yang muncul dalam proses penyesuaian dengan lingkungan maupun organisasi itu sendiri Schein, 1992, dalam Munandar, 2001.
Dalam hal ini, terlihat bahwa subjek melakukan pembelajaran mengenai cara pemecahan masalah dari organisasinya yaitu ketika subjek menghadapi kegagalan
maka akan melakukan cara baru yang mungkin efektif dilakukan oleh anggota aktivis GM yang lain. Di samping itu, forum diskusi GM juga memungkinkan
terjadinya interaksi antar aktivis GM untuk menemukan berbagai pemikiran dan tindakan yang kreatif. Hal ini didukung oleh pendapat Rogers dalam Suryabrata,
2003 yang mengungkapkan bahwa self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungannya. Hal ini dapat berarti bahwa perilaku kreatif subjek
didapatkan dari interaksinya dengan organisasi. Perilaku kreatif berhubungan 150
dengan pengalaman individu. Hal ini juga didukung Supriadi 1989 dalam studi terhadap para finalis dan pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja dan Lomba
Penelitian Ilmiah Remaja, membuktikan bahwa responden lebih mempunyai pengalaman bermakna dan lebih beragam dibandingkan kelompok pembanding.
Mereka juga lebih unggul dalam kegemaran membaca dan mengarang, serta keaktifan dalam organisasi. Pengalaman-pengalaman kehidupan responden diduga
mampu menyebabkan mereka menjadi kreatif dalam Supriadi, 1994. Sejalan dengan hasil penelitian ini, dapat menunjukkan bahwa perilaku kreatif aktivis GM
juga dapat didukung dengan adanya berbagai pengalaman yang dimilikinya. Sebagian besar subjek aktivis GM juga banyak terlibat dalam pengalaman
berorganisasi dan memiliki hobi membaca serta menulis. Berkaitan dengan peningkatan kepercayaan pada organisme, hal ini terjadi
dalam dua dinamika. Dinamika pertama yaitu bahwa aktivis GM cenderung tidak mengalami peningkatan kepercayaan pada organismenya terkait dengan dirinya
ketika menghadapi norma sosial. Aktivis GM cenderung terlihat merasa takut akan penilaian negatif dari pihak lain. Secara umum, persamaan ketakutan yang dialami
ketiga aktivis GM ini terkait dengan adanya stigma negatif yang berasal dari masyarakat umum publik. Hal ini menunjukkan bahwa proses aktualisasi diri dapat
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari lingkungan sosial seorang individu Rogers dalam Schultz, 1991. Dalam hal ini terlihat bahwa stigma atau penilaian negatif
dari masyarakat merupakan kekuatan sosial yang dapat menghalangi proses aktualisasi diri subjek. Perasaan takut subjek akan stigma komunis maupun reaksi
verbal negatif atau dinilai bodoh dari orang lain cenderung membuat diri subjek 151
tidak dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hal ini juga didukung oleh Perls dalam Schultz, 1991, bahwa masyarakat dapat mencegah
aktualisasi diri yang wajar, spontan, dan penuh Perls menyebut aktualisasi diri dengan nama “pertumbuhan otentik”. Subjek cenderung tidak dapat berperilaku
spontan karena merasa nantinya akan mendapat penilaian negatif dari orang lain. Perasaan takut subjek akan penilaian negatif dari masyarakat ini juga dapat
disebabkan karena adanya tuntutan peran atas dirinya sebagai aktivis GM. Kecenderungan masyarakat yang menilai bahwa aktivis dapat berperan dalam
membantu mengatasi persoalan-persoalan real yang terjadi dalam masyarakat juga menentukan pola perilaku tertentu pada diri aktivis GM. Subjek cenderung
melakukan perilaku-perilaku yang sesuai dengan peran tersebut. Hal itu mungkin saja terjadi karena masyarakat cenderung memberikan penilaian positif jika subjek
berhasil dalam melakukan peranan sosialnya. Keinginan akan penilaian positif dari masyarakat atas apa yang dilakukan tersebut dinamakan Rogers 1961 sebagai
kebutuhan akan penghargaan positif need for positive regard. Menurut Rogers, penghargaan positif yang tanpa syarat memungkinkan diri self individu untuk
bebas dari ancaman-ancaman dan bebas untuk tumbuh dan berubah. Berkebalikan dengan hal tersebut, dalam hal ini terlihat bahwa subjek mendapatkan penghargaan
positif yang bersyarat dari masyarakat. Penghargaan positif bersyarat dari masyarakat hanya akan didapatkan jika subjek melakukan peran sesuai harapan
masyarakat. Penghargaan akan pandangan positif yang bersyarat ini menyebabkan individu tidak dapat mencapai aktualisasi diri atau pertumbuhan diri yang optimal
menjadi orang yang berfungsi penuh fully functioning person. Secara umum dapat 152
dilihat bahwa subjek menganggap penilaian negatif dari masyarakat itu sebagai ancaman sehingga mereka berusaha untuk mengatasinya. Sejalan dengan Rogers,
Maslow dalam Goble, 1987 mengungkapkan bahwa lingkungan budaya dapat dan sering menghambat perkembangan manusia ke arah aktualisasi diri.
Subjek sebagai individu sosial tentunya memiliki peranan bagi masyarakat sosialnya. Ketika subjek melakukan peranan sosial itu, akan terkait dengan harapan
masyarakat atas peran tersebut. Keberhasilan atau kegagalan atas peran yang dilakukan memiliki konsekuensi penilaian sosial. Pembahasan hal ini digunakan
asumsi Carl Gustav Jung mengenai persona. yang mana merupakan kepribadian publik. Jung 1945 mengemukakan bahwa persona adalah topeng yang dipakai
individu sebagai respon atas tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat. Hal ini berarti bahwa individu diharapkan oleh masyarakat untuk melakukan suatu
peranan tertentu dalam Hall Lindzey, 1993. Hal ini juga didukung oleh Berkowitz 1980 yang mengatakan bahwa norma sosial menentukan perilaku
individu pada suatu situasi. Perilaku individu itu terkait dengan apa yang dipikirkannya atas apa yang menjadi harapan orang lain untuk ia lakukan pada
beberapa situasi lebih pada harapan orang lain dan bukan individu itu sendiri. Dalam hal ini berarti bahwa subjek cenderung memperlihatkan dirinya yang sesuai
dengan harapan masyarakat, yaitu sebagai agen perubahan sosial agent of social change yang dapat berperan mengatasi masalah real dalam masyarakat. Ketika
mereka mengalami kegagalan, maka berusaha untuk tidak menampakkan kegagalan atas peranan yang dilakukan. Untuk mendukung hal ini, pada salah satu kasus
subjek juga mengakui bahwa dirinya cenderung tidak memperlihatkan kegagalan akan perjuangan yang dilakukan karena nantinya akan dianggap bodoh oleh publik.
Salah satu aktivitas subjek aktivis GM yaitu demonstrasi. Demonstrasi dilakukan sebagai salah satu cara untuk melakukan protes atas kebijakan
pemerintah yang dinilai merugikan kepentingan publik. Sejalan dengan hal tersebut, Sarwono 1978, dalam Musa, 2006 juga mengungkapkan bahwa aktivis diartikan
sebagai mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes minimum satu kali. Ketika subjek aktivis GM melakukan suatu protes, mereka cenderung berpikir
bahwa apa yang dilakukannya itu akan mendapat penilaian dari orang lain. Hal ini dapat terkait dengan faktor budaya. Semua subjek dalam penelitian ini berasal dari
suku Jawa dan sampai saat ini mereka tinggal dalam lingkungan masyarakat Jawa. Meskipun saat ini etika Jawa sudah mengalami pergeseran, generasi muda dianggap
kurang menghargai nilai-nilai warisan leluhur dan tidak berperilaku sesuai dengan citra yang diidealkan masyarakat Jawa namun etika Jawa masih berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Hal itu diungkapkan oleh Hardjowirogo 1983 dan Kartodirdjo 19871988. Oleh karena itu, etika Jawa yang masih berlaku tersebut
dapat menyebabkan adanya rasa takut akan penilaian orang lain pada diri subjek. Menurut Suseno 1996, individu Jawa memiliki pandangan dan sikap hidup yang
berdasarkan etika Jawa. Salah satu hal yang ditekankan dalam etika Jawa adalah menjaga keselarasan dengan orang lain. Hal ini didasari oleh prinsip kerukunan
yang mengacu pada keadaan masyarakat yang harmonis, selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Salah satu segi yang ditekankan
yaitu menjaga keselarasan dalam pergaulan dan perlu mencegah terjadinya konflik 154
terbuka. Masyarakat memiliki harapan agar individu berperilaku yang selaras dengan lingkungan sosialnya. Aksi demonstrasi atau gerakan protes dapat dianggap
sebagai konflik terbuka sehingga masyarakat orang lain cenderung melakukan penilaian negatif atas aksi yang mereka lakukan. Aksi tersebut dapat dikatakan
sebagai perilaku yang tidak mendukung keselarasan dalam masyarakat. Menurut Magnis Suseno 1996 apabila terdapat ketidakselarasan dengan lingkungan maka
diri individu akan mengalami ketidakseimbangan, bahkan mendapat sanksi sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa penilaian atau reaksi negatif masyarakat dapat
dikatakan sebagai konsekuensi atau sanksi sosial atas perilaku yang dilakukan oleh aktivis GM. Hal ini menyebabkan adanya perasaan takut pada diri subjek atas aksi
yang dilakukannya. Dinamika kedua dari peningkatan kepercayaan pada organismenya, yaitu
bahwa aktivis GM cenderung mengalami peningkatan kepercayaan pada organismenya. Mereka memiliki kepercayaan pada dirinya ketika memutuskan
pilihan hidupnya. Ketika subjek mendapatkan masukan dari orang lain akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Pengambilan keputusan di tangan aktivis
GM atas suatu pilihan hidupnya, terlihat seperti memutuskan untuk membiayai pendidikan sendiri, menjadi koordinator GM, dan memilih solusi atas masalah yang
sedang dihadapi secara sendiri. Kecenderungan aktivis GM dalam berpikir kritis mungkin dapat mendukung pemilihan keputusan ditangan sendiri. Sarwono 1978
mengungkapkan bahwa menurut penelitiannya diketahui kalau aktivis lebih berpengalaman dan lebih kritis dibandingkan non aktivis dalam Musa, 2006.
Berpikir kritis memampukan individu dalam menggali makna suatu masalah secara 155
lebih mendalam dan berpikiran terbuka pada berbagai pendekatan dan pandangan yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan individu dapat menetapkan apa yang akan
diyakini atau dilakukannya untuk dirinya sendiri Santrock, 2002. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa subjek aktivis GM memiliki kepercayaan pada dirinya untuk
memutuskan pilihan hidup sendiri karena memiliki kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis pada subjek juga dapat dipelajari dari pembelajaran
organisasi dengan melakukan berbagai diskusi dan analisa. Selain itu, kepercayaan pada diri subjek atas pilihan hidupnya dapat disebabkan karena adanya pengalaman
menghadapi masalah-masalah dalam organisasi. Bernard, Wells, Peterson 1989 Lazarus 1991 mengungkapkan bahwa rasa percaya diri individu akan
meningkat ketika individu bersedia menghadapi masalah-masalahnya daripada menghindarinya. Perilaku ini menghasilkan suatu evaluasi diri yang menyenangkan
yang dapat mendorong terjadinya persetujuan terhadap diri sendiri, yang akhirnya bisa meningkatkan rasa percaya dirinya dalam Santrock, 2002. Hal ini juga
didukung oleh Jacobs Potenza 1990 dan Keating 1990a bahwa keluasan pengalaman ikut berperan dalam kemampuan individu mengambil keputusan
sendiri. Dalam hal ini terlihat bahwa subjek aktivis GM yang sering mengalami pengalaman berupa permasalahan atau konflik dan mereka mau berusaha untuk
mengatasinya akan dapat meningkatkan kepercayaan pada dirinya. Rogers 1961 juga mengungkapkan bahwa adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman
akan mengarahkan individu mengalami peningkatan kepercayaan pada dirinya. Keberanian aktivis GM dalam menghadapi masalah atau pengalaman baru
menunjukkan adanya keterbukaan pada pengalaman. 156