133
Pernyataan dan kritik yang disampaikan kaum intelektual ini merupakan salah satu cara untuk membongkar mekanisme kekerasan yang begitu halus dilakukan oleh
elite politik. Masyarakat hanya dijadikan tumbal kekerasaan untuk memenuhi libido kekuasaan elite di Maluku Utara. Kritik ini merupakan upaya dari intelektual Maluku
Utara untuk memenuhi tanggung jawab akademiknya sehingga dapat melahirkan identitas mereka di tengah kehidupan masyarakat yang berkonflik.
Gerakan intelektual sebagai kelompok tercerahkan yang memproduksi wacana untuk kepentingan publik di Maluku Utara telah mereproduksi serta membedakan
identitas mereka dengan elite politik dan masyarakat setempat yang bertikai. Gerekan ini disebabkan karena pengaruh kesadaran intelektual internal dalam memandang
konflik eksternal yang telah terjadi di dalam masyarakat sebagai penghancuran nilai kemanusiaan yang dengan susah payah dikonstruksi oleh nenek moyang pada saat itu.
4. Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum
Intelektual dalam Konflik
Kehidupan dan perkembangan suatu masyarakat akan ikut ditentukan oleh sejauh mana peran kaum intelektual menggunakan modal budaya dan simbolik untuk
mengkritisi permasalahan yang dialami masyarakat. Modal budaya dan simbolik dari kaum intelektual ini akan menentukan sejauh mana kepeduliaan mereka kepada
masyarakat yang terdominasi, selama kedua modal tersebut dapat berjalan dengan
134
baik di dalam arena sosial. Modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelekual pada saat konflik di Maluku Utara direpresentasikan dengan menuliskan tulisan
mereka, ketika konflik dipresepsikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai konflik antar agama.
Modal budaya dan modal simbolik yang dimiliki kaum intelektual menjadi penting dalam menggungkap asal-usul kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat
dengan cara mereproduksi wacana yang objektif dan mendorong perdamaian melalui arena sosial, dalam artian mempertemukan masyarakat yang bertikai dan menjelaskan
bahwa konflik atas nama agama merupakan desain dari para elite yang kepentingan politiknya tidak terpenuhi, sehingga dari situ masyarakat dapat sadar bahwa selama
ini mereka berkonflik adalah bukan konflik agama melainkan agama diekploitasi untuk menciptakan konflik. Dengan demikian modal budaya dan simbolik dari kaum
intelektual dapat berjalan secara baik, dan dapat menjadi kekuatan dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya hidup berdampingan dan mau
membangun hubungan kekerabatan kembali dalam semangat nilai budaya lokal. Sebagaimana yang dilakukan Tonirio sebagai berikut:
Iya, saat tahap rekonsiliasi mulai berjalan, saya, bersama beberapa teman dan beberapa tentara yang mengawal kami pada waktu itu tahun 2000 berperan
dalam mempertemukan masyarakat, khusunya masyarakat Mamuya Kristen dan masyarakt Galela Islam di Halmahera Utara. Wakil dari kedua warga
tersebut kami jumlahkan Sekitar 70-orang lebih. Pertemuan itu kami lakukan jauh dari kampung mereka masing-masing dan masing-masing dari kedua
kelompok harus membawa peralatan perang. Di sana saya sengaja menyuru mereka saling membunuh, namun karena masing-masing dari mereka ketika
135
memandang diantara mereka ada yang memiliki hubungan persaudaraan dari garis keturunan, mereka pun membuang peralatan perang dan saling
memeluk. Dari situlah kami memberikan pemahaman bahwa konflik yang selama ini kalian alamai hanyalah permaianan dari para elite politik kita untuk
memaksakan ambisi politik mereka.
152
Representasi di atas menunjukan bahwa dalam mengambil tindakan untuk mendorong perdamaian, kaum intelektual tidak dapat terlaksana apabila modal
budaya dan modal simbolik yang mereka miliki tidak dijalankan secara maksimal. Sebab dari kedua modal tersebut, mereka akan dengan leluasa mereproduksi wacana
kemanusiaan bagi masyarakat yang selama ini bertingkai karena diprovokasi oleh para elite dan provokator yang berkepentingan dari konflik yang dialami masyarakat.
Kepentingan untuk memproduksi wacana tidak terlahir begitu saja, namun didasarkan presepsi, kesadaran, tindakan yang terhabituskan pada ruang arena
produksi kultural,
153
yang akan menentukan posisi intelektual di dalam masyarakat. Sejalan dengan ini menurut salah satu akademisi Maluku Utara,
Dengan pengatahuan dan kapasitas yang kita miliki, pada awalnya kita mengali masalah atau sebab-musababnya konflik itu. Lalu kita sampaikan
kepada masyarakat akar masalahnya. Bukan karena saya Islam saya harus membela Islam atau saya orang Makian saya membeli orang Makian. Tetapi
saya pada waktu itu yang berada di dunia kampusakademik, lebih pada membela kebenaran atau menyampaikan kepada masyarakat bahwa konflik ini
152
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio Pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis Yogyakarta.
153
Ruang arena produksi kultural yang dimaksud disini adalah ruang pembentukan wacana oleh intelektual di dalam masyarakat yang bertikai dengan kekuatan modal budaya pengetahuan,
kecakapan, dan sebagainya.
136
bukanlah konflik agama. Misalnya, saat itu saya sampaikan pada masyarakat Islam di Ternate.
154
Penjelasan di atas merepresentasikan bahwa dengan modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelektual, membuat mereka memiliki otoritas untuk
menyampaikan kepada masyarakat, bahwa konflik ini hanyalah by desain yang dilakukan olah oknum tertentu untuk mengadu domba masyarakat. Dengan modal
budaya dan simbolik, mereka mencari serta menganalisis akar masalah dari konflik Maluku Utara untuk diungkap ke publik agar dapat melahirkan kesadaran
masyarakat. Ge
lar sebagai “auctor”
155
dan “lector”
156
yang dimiliki oleh kaum intelektual dalam ranah sosial di Maluku Utara, merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka.
Untuk dapat memperlihatkan dominasi yang dilakukan oleh elit lokal dan pusat. Di mana dominasi tersebut terjadi secara non fisik atau melalui bahasa dan sebagainya.
Akibatnya masyarakat yang tidak memahami konflik ini, rela mempertahakan subjektifitas mereka pandang masing-masing benar dengan dalil pembelaan terhadap
agama mereka baik Islam maupun Kristen. Kekuatan pengetahuan, kapasitas, dan gelar yang dimiliki intelektual di dalam
dunia akademik menjadikan mereka tidak sekedar hanya beromogan di ranah sosial
154
Wawacara dengan akademisi Unkhair Sahril Muhammad SHM pada tanggal 19 januari 2013.
155
Yang dimaksud auctor disini adalah mereka yang memproduksi wacana di dalam kerja intelektualnya. Bdk Bourdieu. Op.cit hlm 146.
156
Yang dimaksud lector di sini adalah mereka yang menjalankan atau mengomentari wacana yang sudah ada. Bdk Bourdieu. Ibid hlm 146.
137
tanpa ada makna sosial dan kemanusian. Melainkan menuliskan tragedi ini secara nyata sebagai sebuah pertangung jawaban atas modal budaya dan simbolis yang
dimiliki di dunia akademik untuk dijalankan dalam ranah sosial. Sebagaimana dilakukan oleh Nanere sebagai berikut:
Selama hampir dua tahun di lapangan, menunjukan bahwa ada dua kejadian pokok yang menjadi pemicu kerusuhan di Maluku Utara. Pertama manipulasi
dan penyebaran surat palsu yang di buat oleh pihak-pihak tertentu atas nama ketua Sinode GPM kepada Sinode GHIM yang berisi peta penyerangan
Gereja Protestan di Ternate. Surat ini ditangani secara rapih dan terencana oleh provokator untuk menyelut api kemarahan dan amukan massa yang
sekaligus menghadirkan tamu kerusuhan yang berkedok agama. Kedua konflik di Malifut Halmahera Utara akibat pemaksaan kehendak politik
penguasa untuk memekarkan Malifut menjadi kecamatan tersendiri yang lepas dari konteks kekuasaan masyarakat adat setempat. Apalagi daerah tersebut
mengandung sumber daya alam yang menjanjikan.
157
Dari penjelasan di atas memperlihatan bahwa intelektual Maluku Utara pada saat itu, juga tidak tingal diam untuk merespon dan melihat akar masalah konflik
yang berkepanjangan tersebut. Dengan menggunakan modal budaya pengetahuan dan simbolik gelar, status, dan sebagainya mereka mengungkap atau membongkar
mekanisme kekerasan, yang pada waktu itu telah dikonstruksi oleh provokator sebagai konflik agama dalam pikiran masyarakat Maluku Utara. Otoritas intelektual
seperti inilah yang dilakukan intelektual Maluku Utara.
157
Penelitian lapangan yang dilakukan Jan Nanere et al. dalam Halmahera berdarah 2000, yang diolah penulis sebagai data untuk memperkuat analisis penulis tentang peran dan posisi intelektual
dalam konflik Malut 1999-2000. Dengan alasan penullis sulit mendapatkan informasi untuk bertemu Jan Nanere pada saat penelitian yang dilakukan penulis selama hampir lebih tiga bulan di Maluku
Utara Januari – Maret 2013.
138
Dengan melakukan penelitian mereka dapat memproduksi dan mendistribusi wacana pada masyarakat untuk menjelaskan akar konflik yang selama ini dipahami
sebagai konflik antar agama. Agama yang dijadikan alasan untuk berperang oleh masyarakat merupakan konstruksi secara terorganisir dan rapih oleh elite di dalam
masyarakat modern oleh karena itu intelektual harus menggunakan kekuatan epistemologi dan data emperik sebagai cara melihat atau membongkar kenyataan
yang terjadi. Sebagaimana menurut Vasquez dalam bukunya More Than Belief, A
Materialist Theory of Religion 2011, melihat bahwa ada dua hal yang menjadi asal-
usul dan perubahan dalam konstruksi masyarakat modern. Pertama, jika dibukanya suatu realitas dengan prinsip universal terstruktur, yang mana kemajuannya hanya
memenjarakan akal-budi dalam epistemologi. Untuk mencari kebenaran harus memulai dengan mengakses data emperik ke semua manusia rasional. Kedua,
pengetahuan menjadi penting untuk pencerahan yang menekankan akitifitas untuk mengatur manusia rasional dengan mendasarkan pada kehidupan kita, di mana sejak
manusia menjadi ukuran segalah sesuatu.
158
Pengetahuan dan kenyataan merupakan modal untuk melihat secara eksplisit sebuah peristiwa yang terjadi di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dengan legitimasi modal dan identitas sebagai intelektual, mereka dapat menyampaikan kepada masyarakat dengan jelas, bahwa
158
Lihat Manuel A. Vasquez, dalam G.Budi Subanar A. Bagus Laksana. Bahan Bacaan Kuliah Kajian Religi, pada bagian Agama, Materialitas dan Tubuh. Yogyakarta, Program Magister Ilmu Reigi dan
Budaya, hlm 124.
139
konflik ini adalah sebuah rekayasa politik dari sejumlah provokator yang sengaja mengadu domba masyarakat.
5. Catatan Penutup