Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa

29 Untuk menciptakan identitas sebagai intelektual, tentunya kaum intelektual harus memiliki modal budaya sebagai legitimasinya. Sejalan dengan ini, menurut Hall identitas ini dapat dikategorikan sebagai identitas sosiologis di mana inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh significant other, yang jadi perantara subjek dengan nilai, makna simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup. 40 Pembentukan identitas kaum intelektual merupakan keberfungsian atas modal budaya dan simbolik atau menempatkan modal-modal tersebut sesuai dengan arena yang ada, misalnya arena sosial maupun arena intelektual. Dan ini menjadi salah satu hal yang paling mendasar ketika mereka berada dalam arena, sebab dari sini dapat dibedakan identitas sebagai intelektual, dari elite politik dan warga masyarakat.

c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa

Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara dengan tindakan kekerasan merupakan konflik yang bukan terjadi secara alamiah, apalagi setelah agama digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Konflik tersebut terjadi melalui skenario maupun provokasi dari oknum-oknum yang biasanya memiliki kepentingan kekuasaan politis. Kekuasaan politis bukan hanya ditafsir sebagai jabatan partai politik maupun jabatan di pemerintahan saja, namun juga sebagai tempat kekuasaan ekonomi dan perebutan sumber daya alam. 40 Lihat Chris Barker. Culture Studies, teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet ke tujuh 2011, hal 177. 30 Kekerasaan yang terjadi di Maluku Utara juga tidak terlepas dari permainan dominasi simbolik, di mana pengetahuan, bahasa dan agama menjadi ruang habitus untuk membentuk kepatuhan seseorang. Dilihat dari kacamata Bourdieu, dominasi ini terlaksana melalui jalan simbolik komunikasi dan pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan karena ketidaktahuan dan pengakuan korban. 41 Konflik agama bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena faktor di luar agama, misalnya faktor, sosial-ekonomi seperti ketidakadilan dan kemiskinan. Di satu desa, ternyata tingkat ekonomi warga yang beragama Kristen lebih baik dari Islam atau sebaliknya. Keadaan ini dapat menimbulkan kecemburuan, apalagi bila ada tindakan-tindakan tidak adil dari penguasa setempat terhadap warga masyarakat menurut kategori kelompok agama. Faktor politik: agama dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan, atau kekuatan untuk berpolitik dan mengorbankan orang atau kelompok lawan politik. Kedua, faktor dari dalam, di dalam dirinya sendiri mengandung potensi konflik. Contohnya, ada teks-teks Kitab Suci agama yang sering dijadikan kekuatan legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama yang lain bahkan pembunuhan. 42 Daerah-daerah yang berkonflik biasanya masih memiliki trauma dan selalu dibayangi oleh kekerasan, sehingga dengan mudah terbuka ruang bagi terjadinya konflik yang berkepanjangan. Hannah Arendt Haryatmoko:2004, seorang filsuf 41 Lihat Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010, hlm 13. 42 Tanuwibowo S Budi et al. Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian studi Bersama Antar Iman. Yogyakarta:DIANInterfidei dan The Asia Foundation, Cetakan pertama 2002, hlm 10-11. 31 politik, menyebut fenomena semacam itu sebagai banalisasi kejahatan menjadi biasanya suatu tindak kejahatan. Bagaimana kejahatan bisa dilakukan oleh orang- orang tanpa ada perasaan bersalah? Beberapa hal dapat menjawab pertanyaan ini: korban kekerasan dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif para pelaku kekerasan, impunity, dan fanatisme. 43 Posisi intelektual dalam konflik di Maluku Utara mencerminkan suatu upaya untuk membentuk identitas sosial sebagai individu yang mengkonstruksi dunia di sekitar mereka. Mereka dapat bertindak dalam pengertian praktis dengan cara mengorganisasi tindakan mereka. Intelektual terdominasi melalui arena yang dikuasai oleh elite lokal. Sebab dalam semua masyarakat prinsip dominasi dalam pengorganisasian sosial selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Semuanya tergantung dari pertarungan modal di dalam arena yang dimiliki untuk mendapat pengakuan sosial.

7. Metodologi penelitian