Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial

74 Strategi merupakan cara untuk mendapatkan tujuan mereka dalam hal mereproduksi identitas intelektual yang dapat diinvestasikan pada arena intelektual maupun sosial. Oleh karena itu, identitas sebagai intelektual merupakan berjalannya relasi antara modal dan praktik di dalam arena intelektualkultural yang dapat melahirkan habitus mereka. Arena intelektual atau kultural ini merupakan salah satu medan pertarungan intelektual untuk melegitimasi kemampuan dan posisi mereka ketika berhadapan dengan kondisi dan situasi yang ada di dalam masyarakat maupun ranah ilmiah.

3. Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial

Setiap masyarakat memiliki stratifikasi atau struktur-struktur sosial yang dibentuk oleh posisi, status, kepemilikan atas modal-modal dalam ruang sosial dan akademiki sehingga dari situ dapat terlahir habitus dan identitas seseorang. Di dalam masyarakat inilah salah satu posisi yang ditempatkan sebagai posisi pembentuk wacana ialah kaum intelektual itu sendiri. Kaum intelektual merupakan mereka yang berpikir kritis, mampu menelaah persoalan yang terjadi di masyarakat dan berpihak pada mereka yang lemah. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, intelektual itu harus berusaha untuk bertindak sebagai pejabat kemanusiaan. 92 Tindakan tersebut, dengan 92 Lihat Bourdieu et al. Op.cit., hlm 207. 75 mudah akan melahirkan identitasnya sebagai pembentuk wacana dan pelaksana wacana kritis yang dapat mereproduksi pengetahuan untuk kepentingan sosial . Peran yang dilakukan kaum intelektual di dalam arena intelektual untuk merespon kepentingan sosial akan sendirinya dapat mencerminkan identitas dirinya sebagai kaum intelektual yang kritis dan benar-benar mendorong perkembangan pembangunan masyarakat dan negara yang bermartabat. Dengan demikian menurut Giddens, identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab pertanyaan kritis; “apa yang harus dilakukan? bagaimana bertindak dan ingin jadi siapa?” dengan begitu seoarnag individu akan berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana „diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan‟. Identitas tidak terlahir secara kebetulan melainkan diciptakan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat di dalam arena sosial dengan berbagai modal-modal yang dimiliki. 93 Pembentukan identitas intelektual bukan hanya dilakukan dengan nalarnya saja, melainkan ikut mengambil bagian di dalam masyarakat dengan membumikan nalarnya secara kritis pada kepentingan sosial. Oleh karena itu, menurut Soemardjan yang membuat intelektual menonjol di tengah yang non intelektual ialah kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan menggikuti saja pikiran orang lain. 93 L ihat Chris Barker. Op.cit., hlm 175. 76 Konsep berpikir bebas dalam artian ini mencakup pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala di suatu lingkungan, pemahaman tentang sebab gejala-gejala itu dan korelasinya dengan gejala lain, sehingga perumusan suatu kesimpulan dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bahasa yang jelas. 94 Secara jelas dapat dikatakan bahwa kaum intelektual tidak hanya berada di menara gading, melainkan harus terlibat dalam soa-soal kemasyarakatan, bilamana mereka ingin membentuk identitas sebagai intelektual yang berpihak pada kemanusiaan. Sebab, kehadiran kaum intelektual tidak terlepas dari kehadiran masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan ini menurut Jim Merod, intelektual bukan hanya mempersoalkan kebenaran sebagaimana anggapan saat ini. Tugas mereka menentukan cara-cara untuk menempatkan serpihan-serpihan pengetahuan, pandangan-pandangan yang parsial dan disiplin-disiplin ilmu yang terpisah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan menyangkut manfaat, yang pada akhirnya, dunia tempat kita tinggal ini bisa diketahui tujuannya. 95 Dengan bahasa lain, seorang intelektual sejatinya adalah mereka yang menjalankan pengetahuan dan sekaligus mempraktikkan pengetahuan itu dalam kehidupan sosial, agar dapat membentuk indentitasnya. Dengan demikian pembentukan identitas intelektual dalam kehidupan sosial tidak terlahir secara sendiri dalam subjektifitasnya. Akan tetapi identitas tersebut di 94 Lihat Aswab Mahasin Ismed Natsir editor. Op.cit., hlm 51-52. 95 Lihat M. Escobar et al. Op.cit., hlm xxii. 77 bentuk oleh lingkungan eksternal atau objektifitas di dalam masyarakat yang juga dikembangan melalui modal-modal yang dimiliki oleh para intelektual untuk melegitimasi peran dan posisi mereka. Peran dan posisi tersebut di implementasikan dalam ruang sosial untuk melakukan kritik dan sekaligus membongkar setiap mekanisme penyimpangan atau kebohongan penguasa di dalam masyarakat. Hal ini, kemudian dengan sendirinya dapat melahirkan identitasnya dan atau dapat melahirkan habitus intelektualnya sebagai penggerak tindakan, presepsi, dan pemikiran yang digunakan di arena sosial untuk kepentingan masyarakat dan intelektualnya. Dengan begitu, sebagai agensi atau kaum intelektual tentunya ia dapat melakukan upaya-upaya untuk merepresentasikan dirinya dengan modal yang dimiliki dalam kehidupan sosial. Namun dengan modal yang ia miliki ketika menjalankan kehendaknya dalam ruang tertentu, tentunya tidak terlepas dari asal-usul sosial. Asal-usul sosial ini bagi Bourdieu memiliki dua sisi. Pertama, asal-usul berupa skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang membentuk habitus. Kedua, asal- usul ini berupa struktur sosial atau Arena. 96 Kedua asal-usul ini, tampaknya tidak dapat dihindari oleh kaum intelektual dalam membentuk identitasnya di dalam ranah budaya yang ia tempati. 96 Lihat Pierre Bourdieu. Op.cit., hlm 164. 78

4. Catatan Penutup