Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan

53

BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL

DALAM ARENA KULTURAL Dalam bab ini penulis mau menjelaskan dan menggambarkan dua hal yang berkaitan dengan pembentukan identitas kaum intelektual secara umum. Pertama, bagaimana kaum intelektual menjalankan perannya dan menempatkan posisinya di dalam masyarakat. Kedua, bagaimana kaum intelektual mampu memanfaatkan modal-modal yang dimilikinya dalam arena intelektual atau kultural agar dapat membentuk identitas sebagai kaum intelektual. Selain dua hal di atas, dalam bab ini juga digunakan konsep “arena dan habitus” dari Pierre Bourdieu untuk dapat membantu penulis dalam meneropong peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan sosial. Berbekal gambaran itulah nantinya akan diuraikan tangung jawab kaum intelektual baik dalam dunia sosial-kebudayaan maupun akademik di Maluku Utara secara khusus pada bab kelima.

1. Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan

Di dalam kehidupan masyarakat yang memiliki struktur sosial, nilai, dan kebudayaan, terdapat pula kelompok yang memiliki peran untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai modal sosial untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai dan menjaga hubungan sosial diantara sesama. Kelompok yang di 54 maksud adalah kaum intelektual yang dipandang sebagai pembentuk discourses dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan intelektual tidak dapat terpisahkan dari struktur-struktur di masyarakat, sebab struktur sosial di masyarakatlah yang akan membentuk disposisi sebagai pelaku sosial atau intelektual. Dengan kalimat lain, kecakapan retorik, kemampuan bergaul, cara berpikir, dan cara bertindak kaum intelektual bukan terlahir tanpa ada objek masyarakat, melainkan terlahir atas respon objek tersebut yang dapat dijadikan landasan untuk bertindak dan berpikir sebagai agensi intelektual. Agar dapat menjalankan tugas intelektualnya sebagai pejabat kemanusiaan yang tidak hanya menjadikan ruang akademik atau universitas sebagai satu-satunya cara melakukan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan yang direpresentasikan oleh penguasa. Maka keterlibatan dalam arena sosial, juga menjadi tanggung jawab kaum intelektual untuk melakukan kritik sekaligus mengungkap budaya kebohongan penguasa. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat menunjukan keberfungsianya modal budaya yang dimiliki kaum intelektual sebagai strategi untuk mendapatkan, mempertahankan, dan mengubah posisi mereka di dalam arena intelektual. Dengan kata lain, seorang agensi atau intelektual membutuhkan modal budaya sebagai strategi untuk mengungkap mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat, sehingga posisinya sebagai intelektual dalam arena intelektual dapat dipertahankan ataupun dengan keberpihakannya pada masyarakat yang terdominasi dapat termanifestasi. 55 Bagi Bourdieu strategi merupakan salah satu konsep kunci dalam arena. Sebab strategi bisa dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik. Sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari diposisi tak-sadar. 66 Dengan kata lain kaum intelektual yang menempatkan diri di dalam arena, akan mengikuti aturan main dalam arena tersebut. Misalnya, jika seseorang ingin membentuk dirinya atau mencari pengakuan sebagai seorang intelektual, dia harus memiliki modal-modal yang dapat dipertaruhkan dalam arena entah arena intelektual, sosial, politik dan sebagainya sehingga ia dapat membentuk posisinya sebagai intelektual yang benar-benar dapat memproduksi wacana dan menjalankan wacana dalam arena tersebut. Dari kondisi tersebut maka terbentuklah habitusnya sebagai intelektual. Sebab habitus di bentuk dari pergulatan seorang agensi di dalam arena atau lingkungan tempat ia berada. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu habitus adalah suatu jenis desposisi: “kondisi yang terkait dengan syarat- syarat keberadaan suatu kelas menghasilkan suatu habitus. Sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang dimaksudkan untuk berfungsi struktur-struktur yang membentuk, artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hidup dan representasi-representasi, 66 Lihat Johnson. Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni, Sastra Dan Budaya. Dalam Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2011, hlm xxxvii. 56 yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar ”. 67 Di dalam arena produksi kultural terdapat dua modal paling penting yang dipertaruhkan untuk mendapatkan posisi sebagai seorang agensi tulis Bourdieu, yakni modal budaya dan simbolis. 68 Melalui modal simbolis, seorang agensi akan dapat mengakumulasi derajat, kehormatan serta dialektika pengetahuan, sedangan dengan modal budaya seorang agensi akan mengakumulasi pengetahuan, disposisi atau kecakapan, yang dapat membentuk kebermaknaan diri sebagai agensi dalam arena yang hendak ia tempati. Kedua modal ini merupakan representasi posisi kaum intelektual untuk menjalankan peran mereka di dalam kehidupan masyarakat yang kerap kali dijadikan objek eksploitasi oleh penguasa. Sejalan dengan ini, Oxford Advanced learners Dectionary menjelaskan bahwa intelektual merupakan orang-orang yang mampu mempunyai atau menunjukan kemampuan nalar reasoning power yang baik, yang memandang dirirnya sebagai intelektual, dan mempunyai kemampuan untuk sungguh-sungguh berpikir bebas. 69 kebebasan berpikir yang dimaksud, agar kaum intelektual dapat mencermati dan memahami setiap realitas kehidupan masyarakat yang menyimpan untuk dikritisi dan 67 Lihat Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, teori strukturasi Pierre Bourdieu dengan orientasi budaya. Bahan Kuliah Hermeneutika dan Analisis Wacana Kritis, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma 2014, hlm 4. 68 Lihat Johnson. Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni, Sastra Dan Budaya. Ibid., hlm xix. 69 Lihat Selo Soemardjan. Peran Cendekiawan dalam Pembangunan Nasional, dalam Aswab Mahasin Ismed Natsir editor. Op,cit,. Jakarta: LP3S, hlm 51. 57 dicarikan alternatif secara konseptual maupun praktik. Dengan ungkapam lain, ketika penguasa memaksakan kehendaknya untuk memenuhi kepentingannya di masyarakat, dan sekaligus memanfaatkan atau mendominasi masyarakat sebagai basis untuk memenuhi kepentingannya, disitulah kaum intelektual menjalankan fungsi dan memainkan perannya untuk mengungkap kepentingan terselubung penguasa kepada publik. Dikotomi antara kelompok dengan kelompok masyarakat, antara struktur dan asal-usul struktur dan atau objektif dan subjektif memungkinkan kaum intelektual harus benar-benar kritis dalam melihat situasi yang terjadi di dalam masyarakat dengan cara membongkar mekanisme kekerasaan dan dominasi, baik secara simbolik maupun praktik yang dilakukan penguasa. Dengan begitu, tingkat objektifitas kaum intelektual dalam melakukan pemetaan dengan relasi-relasi di dalam masyarakat telah menujukan logika keberfungsiannya posisi dan peran mereka di dalam kehidupan masyarakat. Dialektika hubungan antara yang subjektif dan objektif merupakan dua dimensi, pertama habitus yang terdiri dari dimensi prakseologis arah orientasi sosial. Kedua dimensi afeksi cita-cita, selera, dan sebagainya. Kedua dimensi habitus ini melukiskan adanya disposisi kaum atau suatu kelas sosial yang menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir dan sebagainya. Jadi, yang dimaksud disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempresepsi, 58 merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Lalu kemudian disposisi itu berfungsi sebagai prinsip tak sadar tindakan, persepsi dan refleksi. 70 Teori habitus yang dikembangkan Bourdieu ini merupakan kerangka epistemologi untuk mengatasi dualisme, yaitu kebebasan dan determinisme. Jika pada kebebasan, teori ini memberikan otonomi individu yang rasional sebagai seorang agensi, maka pada determinisme teori ini seakan memenjarakan tindakan-tindakan seorang agensi pada pembatasan. Dalam artian, pada satu sisi tindakan seorang agensi dalam masyarakat juga tidak terlepas dari kondisi lingkungan tertentu, tempat ia memanifestasikan dirinya. Pada sisi yang lain sebagai agensi, ia juga diarahkan oleh dialektika intelektualya atas tindakan yang terpatri di dalamnya untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakat. Dominasi dan kekerasan merupakan kerangka yang biasa dimainkan oleh penguasa atau elite dalam melanggengkan kekuasaannya. Dominasi atau kekerasan yang paling sulit diantisipasi atau dikendalikan adalah kekerasan simbolik melalui bahasa, pengetahuan, simbol dan bahkan dogmatis agama yang keliru. Dengan demikian menurut Bourdieu, dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan di derita sebagai kepatuhan. Efek dari kekerasan 70 Lihat Haryatmoko. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Majalah Basis Edisi Khusus Pierre Bourdieu Nomor 11-12, tahun ke-52 November-Desember 2003, hal 10-11. 59 simbolis, dan kekerasan halus tak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri. 71 Pada kondisi seperti ini, tentunya sebagai kaum intelektual ia harus mampu membaca kekerasan teks dan sekaligus mengungkap kekerasan teks tersebut ke publik. Cara mengungkap teks tersebut adalah dengan menunjukan dasar irasionalitas dari teks itu, sehingga dapat diketahui akar kekerasan yang dilakukan penguasa dalam membentuk kepatuhan pada masyarakat yang terdominasi. Hal ini, yang kemudian dijadikan rujukan dalam membangun kesadaran masyarakat. Peran kaum intelektual dalam membongkar budaya dominasi penguasa terhadap masyarakat yang selama ini dengan mudah di eksploitasi oleh kepentingan terselubung politik, ekonomi dan sebagainya dari penguasa, dimaksudkan agar dapat merepresentasikan identitasnya sebagai kaum intelektual dalam arena kultural mapupun sosial. Oleh sebab itu, arena kultural dan sosial merupakan arena perjuangan dari kaum intelektual untuk mempertahankan atau mengubah struktur- struktur yang terjadi di masyarakat, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat, serta untuk membentuk identitas mereka sebagai kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya menjadi penghasil wacana tetapi juga mampu menjaga wacana yang memiliki otoritas institusi, dalam artian bahwa intelektual bukan hanya diharapkan menggunakan pikirannya secara luas melainkan harus mampu mengarahkan pikiran dan tindakannya dalam keberpihakan pada nilai- nilai kemanusiaan yang universal lewat sebuah institusi kultural universitas. 71 Haryatmoko. Ibid., hlm 13. 60 Selain itu kaum intelektual yang telah dibekali modal budaya, simbolik, dan sosial 72 menentukan lingkup kelas sosial mereka untuk dapat mengembangkannya dalam arena kultural sebagai tempat pertarungan modal-modal demi mereproduksi posisi mereka sebagai intelektual. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, “kaum intelektual adalah mereka yang benar-benar menjal ankan esensi keintelektualnya”. 73 Dalam menjalankan esensi intelektualnya, dibutuhkan modal, habitus, dan arena bagi kaum intelektual untuk melegitimasi sikap dan tindakan mereka dalam mereproduksi peran dan posisinya sebagai intelektual. Tanggung jawab kaum intelektual bukan hanya berada dibalik meja akademik, melainkan juga terlibat di dalam masyarakat yang bertikai. Hal tersebut dimaksudkan, agar kaum intelektual benar-benar dapat mengkontekskan gagasannya dalam ruang sosial praxis masyarakat. Selain itu, hal ini dilakukan oleh kaum intelektual untuk menghindari disintegrasi di dalam masyarakat yang dapat menghambat jalannya demokrasi suatu bangsa dan negara. 72 Modal budaya ialah modal yang direpsentasikan melalui ijasah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul, yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Modal simbolik ialah tidak terlepas dari kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi [...] modal simbolik bisa berupa, status, gelar, cara mengafirmasi otoritas dll. Modal sosial berupa kemampuan bekerja sama karena budaya kerja sama melahirkan kepercayaan. Modal sosial juga merupakan jaringan sosial yang mereproduksi status sosial. Lihat Haryatmoko. Ibid., hlm 12. bdk, Haryatmoko. Op.cit., hlm 17. 73 Lihat Bourdieu. Op.cit., hlm 192. 61 Menurut Bourdieu dunia intelektual harus terlibat dalam kritik permanen terhadap penyalagunaan kekuasaan atau otoritas oleh penguasa. 74 keterlibatan seperti ini, menunjukan kemampuan intelektual untuk mempertahakan wacana di ranaharena kultural, di mana kekuasaan selalu mendiskriminasi masyarakat yang lemah. Ketika masyarakat di eksploitasi oleh penguasa yang berakibat pada saling bertikai dalam kehidupan sosial atas nama agama yang mengkerdilkan aspek kemanusiaan, maka peran kaum intelektual harus mampu membongkar setiap mekanisme kekerasaan tersebut melalui arena kultural. Dalam artian, jika seseorang yang tidak bertangung jawab menggunakan pengetahuannya untuk memprovokasi dan mengadu domba masyarakat, maka kaum intelektual juga harus melakukan resistensi terhadap provokator tersebut dengan pengetahuan, agar kebohongan povokator dapat terungkap ke publik. Dengan demikian, dirinya dapat membentuk identitas sebagai intelektual. Sejalan dengan ini, menurut Foucault panggilan utama pikiran kritis adalah menjawab tantangan untuk mengurai atau menganalisa hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. Dengan membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan akan mendorong tumbuhnya perlawanan agar semakin memperluas lingkup kebebasan. Lalu lingkup baru ini memungkinkan suara yang tercekik dan yang terpinggirkan bisa mengungkap. Dalam konteks inilah kebebasan kita ditantang untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam bertindak. Orang tidak 74 Lihat Arizal Mutahir. Op.cit., hlm 119. 62 terkungkung lagi oleh tradisi, norma atau aturan yang cenderung melawan perubahan. Hanya dalam suasana kebebasan di mana beragam bentuk dominasi dibongkar yang memungkinkan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat melawan cara memerintah yang dominan. 75 Hal ini membutuhkan kemampuan seorang agensi atau intelektual untuk melihat bagaimana kekuasaan membentuk kepatuhan masyarakat melalui wacana serta berani membongkar kedok dari kekuasaan tersebut yang mengkerdilkan sisi kemanusiaan. Kemampuan tersebut ini, akan bermakna dalam kehidupan masyarakat jika diikuti oleh peran yang dimainkan kaum intelektual dalam membentuk posisi mereka pada ranah kehidupan masyarakat. Untuk melihat peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan sosial, maka pada uraian berikut akan direpresentasikan hal tersebut.

2. Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial