Karakteristik Konflik di Maluku Utara

87 tidak dikelolah secara baik, akabitanya melahirkan konflik sosial yang menjadikan masyarakat sebagai kekuatan politiknya.

2. Karakteristik Konflik di Maluku Utara

Konflik sosial di Maluku Utara merupakan konflik yang memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Mulai dari warisan kultural, pertarungan elite lokal, pertikaian etnis, perebutan sumber daya alam dan yang memperparah adalah konflik yang menjadikan agama sebagai simbol atau dalil untuk berperang. Pada hal konflik antara agama di Maluku Utara dalam sejarahnya tidak pernah terjadi, kecuali pertarungan kekuasaan antara Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Secara historis, sudah sejak lama Maluku Utara di landa konflik kekuasaan yang bernuansa kekerasan yang terjadi pada masa kerajaan, yakni pertarungan antara kesultanan Ternate dan Tidore. Di mana kedua kerajaan tersebut selalu memainkan peran untuk tampil lebih superior sekaligus berupaya melakukan ekspansi kekuasaannya sehingga ketika masing-masing mengalami perbedaan pendapat dalam suatu wilayah yang mau dijadikan tanah adat, maka benturan secara fisik tidak dapat dihindari. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sofyan: Sekitar 1500-an konflik ini sudah terjadi di mana pertarungan kerajaan Ternate dengan kerajaan Tidore berlangsung untuk memperkuat posisi mereka. Dengan demikian konflik di Maluku Utara dengan sendirinya telah menjadi warisan kultural di masyarakat. 109 109 Wawancara dengan Sofyan Daud Sastrawan Maluku Utara, tanggal 06 februari 2013. 88 Sebuah warisan kultural seperti ini yang dimanfaatkan oleh elite lokal baik dari Makian-Tidore maupun Ternate di Maluku Utara untuk menciptakan konflik sebagai representasi posisi, seketika posisi untuk menggendalikan kekuasaan lewat jabatan gubernur terancam tidak di dapat. Konflik elite politik lokal yang merembes dan mengatasnamakan masyarakat bawah semakin membesar, karena Agama diikutsertakan dalam persaingan tersebut, sehingga kelompok Sultan Ternate mendapat dukungan dari masyarakat Kao, Galela, dan Tobelo sementara Sultan Tidore dan elite Makian mendapat dukungan dari Makian, Tidore, Sanana dan Bacan. Menurut M.G.H. Kordi, perebutan pengaruh kedua Kerajaan besar itu, melahirkan dendam dan dikotomi. Pada suatu saat masyarakat Tidore merasa diri lebih superior dari masyarakat Ternate begitu juga sebalikya. 110 Keegoisan inilah yang telah memperburuk keadaan di dalam masyarakat yang tidak tahu menahu akar dari permasalahan yang sebenarnya. 2.1. Pertarungan Elite Politik dalam Perebutan Kursi Gubernur Ketika Maluku Utara oleh Pemerintahan B.J. Habibie ditetapkan sebagai provinsi baru di Indonesia. Maka wacana perebutan kursi gubernur di tingkat elite lokal juga ikut memanas. Di mana peta kekuatan masing-masing elite yang berkepentingan mulai di buat untuk menyiapkan basis politiknya. Selain itu kekuasaan struktural bukan hanya membuat para elite bersikap toleran dan korporatif tetapi telah membuat kelompok-kelompok elite yang berkepentingan menjadi bringas 110 Imron Hasan. Op.cit hlm 127. 89 untuk mengejar kepentingannya dengan berbagai cara, salah satunya melalui kekerasaan yang memanfaatkan masyarakat sebagai strategi ekonomi politik mereka. Sejalan dengan ini dalam penelitian Barron et al, tentang Konflik di Maluku dan Maluku Utara menjelaskan bahwa elite lokal Maluku Utara mempunyai lebih sedikit intensif untuk menggunakan kekerasaan ... di kalangan elite lokal sudah banyak yang mencapai tujuan mereka melalui cara kekerasaan yang demikian. Kekerasaan mengkonsolidasikan kekuasaan dengan cara-cara yang menyebabkan penggunaan kekerasaan terus-menerus. 111 Pertarungan yang terjadi ditingkat elite lokal memperburuk keadaan di masyarakat yang merupakan basis politik masing- masing, sebab masyarakat dibuat impunity dan fanatisme. Isu perebutan kekuasaan Gubernur tersebut muncul dalam percakapan antar warga sehari-hari sebelum terjadi pertekaian antar warga Ternate bagian Utara yang menjadi masyarakat adat Kerajaan Ternate dan Selatan yang didominasi masyarakat Makian dan Tidore. Menurut Tomagola perebutan kursi Gubernur Maluku Utara dilatarbelakagi oleh sejarah persaingan hegomoni antara kesultanan Ternate di satu pihak dan Kesultanan Tidore dan Bacan di lain pihak. Ketiga kesultanan ini di dukung oleh suku-suku yang berbeda. Sultan Ternate Mudafar Sjah secara terbuka menyatakan minatnya untuk menjadi Gubernur Maluku Utara. Singkatnya, Sultan Ternate di dukung oleh suku Ternate Bagian Utara yang beragama Islam dan suku- suku di Halmahera Utara yang beragama Kristen, berhadapan dengan calon kuat yang 111 Patrick Barron et al. Ibid hlm 67 90 menjadi Setwilda Thaib Armain pertama yang di dukung oleh suku Makian-Kayoa dan Tidore. 112 2.2. Pertarungan Etnik Masyarakat Maluku Utara semenjak dahulu memiliki keragaman budaya, suku dan agama yang dibingkai melalui semangat pluralisme. Semangat pluralisme ini memicu mobilitas suku-suku untuk berpencar dan membaur dengan suku dan agama lain untuk hidup rukun dan membentuk ikatan persaudaraan. Namun ikatan keragaman antara persaudaraan suku satu dengan suku yang lain mengalami degradasi ketika pertikaian antar masyarakat Malifut suku Makian dan Kao etnis Kao di Halmahera Utara terjadi pada pada awal Agustus 1999. Pertikaian ini terjadi ketika munculnya PP no. 42 tahun 1999 tentang pembentukan kecamatan Makian Daratan di dalam wilayah kecamatan Kao. Dari PP ini kemudian membentuk ketidak- harmonisan hubungan antara kedua sub etnik, lalu pada akhirnya melahirkan rasa benci dan penolakan PP no. 42 tahun 1999 oleh masyarakat Kao kepada pemerintah, karena menyalahi aturan adat setempat. Penolakan masyarakat Kao terhadap rencana gagasan pembentukan wilayah Malifut menjadi kecamatan Makian Daratan didasarkan pada pranata sosial, aturan, dan mekanisme adat setempat yang sudah ada sejak zaman Kesultanan dan Belanda. Bagi masyarakat suku di Halmahera, batas wilayah kesukuan telah di atur dan 112 Agus SB. Keragaman Budaya Konflik di Halmaher Utara, dalam Kasman Herman penyunting. Op.cit hlm 119. 91 disepakati bersama sejak zaman Kesultanan. Pelanggaran terhadap wilayah kesukuan merupakan pelanggaran terhadap adat yang harus di bayar mahal dengan darah, dan sebagai pemerintah Daerah Maluku Utara seharusnya memahami kondisi tersebut. Ternyata aspirasi itu tidak diakomodasi oleh pemerintah setempat, yang memang saat itu didominasi oleh kelompok-kelompok suku Makian, Tidore, dan Kayoa yang notabene mempunyai interest tertentu terhadap potensi sumber daya alam di wilayah Malifut yang menggandung tambang emas. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa ketiga etnik tersebut di atas selalu bergabung membentuk suatu kelompok elite di bawah hegemoni Kesultanan Tidore yang secara laten bersaing dengan hegemoni Kesultanan Ternate. 113 Pertarungan etnis menjadi salah satu variabel ketika konflik terjadi di Malifut dan Kao, sebab masyarakat Makian merupakan etnik yang memilik etos kerja dan progresif dalam perbaikan ekonomi mereka dibandingkan dengan suku asli Kao. Sejalan dengan ini dalam analisis diskriptif Agus SB, selama waktu kurang lebih 24 tahun berada di Malifut, status wilayah mereka terkatung-katung. Selama itu sebelum akhir petaka 24 agustus 1999, sering kali terjadi perkelahian antar pemuda dari kedua yang berbeda agama tersebut, disamping pembabatan hasil-hasil kebun milik warga Makian Malifut oleh suku asli Kao. Hal ini dilatar belakangi oleh kecemburuan suku asli Kao terhadap keberhasilan ekonomi penduduk pendatang. 114 113 Lihat Jan Nanere editor. Op.cit hlm 50. 114 Kasman Herman penyunting. Op.cit hlm 121 92 2.3. Perebutan Sumber Daya Alam Tambang Emas di Kao-Malifut Kelimpahan sumber daya alam di Maluku Utara bukan menjadikan harapan tersendiri bagi masyarakat setempat untuk dapat memperbaiki ekonomi dan kehidupan mereka. Melainkan kekayaan alam juga dapat melahirkan malapetaka sosial, yang akan membuat masyarakat kehilangan nilai kemanusiaan yang diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi. Penduduk masyarakat Kao dan Malifut telah menjadi salah satu contoh, jika kekayaan alam yang di kelolah hanya untuk di eksploitasi oleh elite lokal dan pusat demi menunjang kepentingan politis, maka pertikaian, rasa cemburu, dan benci sesama masyarakat tidak dapat dielakan lagi. Sejalan dengan ini, menurut Tomagola 115 dua karakter yang berbeda antara penduduk asli dan pendatang kemudian bermuara pada kesenjangan sosial-ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi ini juga dipertajam dengan adanya sentimen agama dan suku serta kehadiran tambang emas yang diekploitasi di wilayah calon kecamatan Malifut. Lokasi tambang emas yang dimaksud kebutulan terletak di desa-desa yang dihuni oleh penduduk asli Kao. Bagi pemerintah Kao, kehadiran tambang emas ini merupakan potensi kekayaan daerah yang dapat mendongkrak Pendapatan Asli Daerah. Sebab itu, tidaklah mengherankan jika bahwa Camat Kao, yang notabene adalah beragama Islam justru memimpin penyerangan suku Kao yang mayoritas Kristen Protestan terhadap suku Makian pendatang yang beragama Islam. 115 Lihat Tamrin Amal Tomagola. Republik Kapling. Yogyakarta:Resist Book. hlm 57-58. 93 Kehadiran perusahan PT. Nusa Halmahera Meneral NHM yang beroperasi pada eksplorasi emas cukup membuat masyarakat di dua daerah tersebut untuk saling bersaing dalam mendapatkan akses pekerjaan di dalam perusahan agar dapat memenuhi kebutuhan primer mereka. Dari kedua etnik tersebut, etnik Makian memiliki sumber daya manusia dan pekerja keras, sehingga dapat membuat mereka menguasai sektor ekonomi dibandingan dengan etnik Kao yang tidak terlalu memiliki sumber daya manusia sekaligus dimanjakan oleh potensi alam. Dominasi tersebut membuat masyarakat Kao harus melakukan resistensi apalagi dengan dibentuknya Malifut sebagai kecamatan baru yang awalnya berada di wilayah kecamatan Kao. 2.4. Eksploitasi Agama dalam Konflik Maluku Utara Bagi masyarakat yang bersangkutan, perang saudara itu mau disebut bagaimana, ia hanya menjadi suatu malapetaka tanpa tara. Ribuan orang mati dan terluka, lebih dari seratus ribu pengungsi, kota-kota dan kampung-kampung hancur, dasar ekonomi pun hancur. Perang itu sebuah malapetaka sosial-budaya tanpa tara. Ratusan tahun lamanya orang-orang di Maluku dan Maluku Utara yang memang berjiwa prajurit dapat me-manage kehidupan bersama dengan cukup damai. Sekarang hubungan sosial itu hancur, digantikan dengan nihilisme kebencian dan dendam. 116 Konflik di Maluku Utara telah membuat publik tunduk dengan wacana konflik agama. Akbitanya seketika konflik tersebut dianggap sebagai konflik agama, maka masing-masing dari kedua kubu yang berbeda agama, mempertahankan agamanya 116 Frans Magnis Suseno. Hentikan Pembantaian. dalam Imron Hasan editor. Op.cit hlm 91. 94 dari ancaman pihak lain. Kesadaran dan rasa toleran sesama agama menjadi mimpi buruk bagi gagasan hubungan antar agama yang dibingkai dalam Bhineka Tunga Ika, ketika masing-masing agama islam dan kristen termakan dengan wacana konflik agama untuk berperang. Ketika masyarakat dari kedua komunitas tersebut termakan wacana bahwa konflik ini merupakan murni konflik agama maka simbol agama yang diperkuat dengan bahasa Injil dan Al- Qur‟an pun dijadikan sebagai landasan untuk menyakinkan masing-masing kelompoknya oleh pihak-pihak berkepentingan untuk mengeksploitasi agama demi melegitimasi kekuasaan. Dengan demikian seperti yang ungkapkan Nanere, agama telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah candu yang melumpuhkan kesadaran, otonomi, dan daya kritis masyarakat. Caranya mengadu-domba dan mempersenjatai primordialisme agama masyarakat setempat dengan doktrin-doktrin kebencian, permusuhan, konflik yang brutal dan nafsu pembantaian atas dalil-dalil politis keagamaan yang sempit. 117 Pada hal jika dilihat secara eksplisit bahwa masing-masing agama tidak menyeruhkan umatnya untuk saling membantai dengan umat yang lain, baik Islam maupun Kristen atau sebaliknya. Melainkan rasa kasih sayang, toleransi, dan menghargai diantara sesama manusia menjadi tujuan sebagai mahluk sosial yang beragama untuk diutamakan dalam arena sosial. Sejalan dengan ini menurut pdt Daka Soetapa, sebagai mahluk yang terbuka terhadap dunia, manusia mempunyai tugas 117 Lihat Jan Nanere editor. Op.cit hlm 26. 95 yang terus-menerus, yaitu untuk memberi bentuk bagi keberadaannya dalam segi-segi kehidupannya, termaksud segi kebersamaan dalam ”kekuatan kasih”, yang menerima kehadiran sesama dalam kehidupan sosial. Yang menolong dan penaklukan untuk pembentukan dirinya, sehingga kasih kepada sesama dapat tumbuh dan subur, di mana manusia merasa hidup dan berada di hadirat Allah yang pengasih. 118 Perbedaan agama, suku, dan budaya sebenarnya merupakan modal budaya, dan sosial yang bisa dijadikan perekat atau solidaritas sebagai manusia tanpa memandang agama dan etnik tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ajaran Islam bahwa “hikmah diciptakan manusia dari berbagai suku dan bangsa adalah menanamkan benih persaudaraan kerukunan antar-bangsa, etnik, suku. Dengan adanya pluralisme suku agama, ras, dan golongan manusia dapat menghargai eksistensi manusia lain, serta memegang prinsip egalitarianisme dan humanisme”. 119 Jelas bahwa konflik yang terjadi di Maluku Utara bukan merupakan konflik agama. Akan tetapi agama telah dieksploitasi oleh sejumlah provokator untuk mengundang simpati dan emosi masing-masing dari Islam dan Kristen untuk berkonflik. Dengan demikian agama menjadi alat wacana yang dapat membentuk ketidakberdayaan kedua komunitas, sehingga melahirkan konflik berdarah. 118 Lihat Soetapa. Manusia dan Kemanusiaan dalam Prespektif Agama Kristen. Dalam Kasman Hi Ahmad M Tahir Abdullah penyunting. Agama, Kemanusiaan Budaya Toleransi. Ternate: Ummu Press bekerja sama dengan Kantor wilayah depertemen Agama Prov. Maluku Utara. hlm 46-48. 119 Rivai Bolotio. Membagun Kesepemahaman Lintas SARA: Sebuah Kontemplasi Di Tengah-Tengah Kemelut. Dalam Kasman Hi Ahmad Taher Abdullah Penyunting. Ibid hlm 59. 96

3. Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial