Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik

109

1. Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik

Kaum intelektual adalah mereka yang bukan hanya bertanggung jawab untuk memproduksi wacana, melainkan juga bertanggung jawab untuk membongkar kekerasan di masyarakat. Dengan kata lain, mereka bukan hanya menjalankan peranannya untuk memproduksi pengetahuan demi kepentingan akademis melainkan juga menjalankan peran tersebut untuk kepentingan kehidupan masyarakat. Dari kedua peran tersebut, kaum intelektual dapat memungkinkan untuk merealisasikan tanggung jawab akademik dan sosialnya. Di mana dengan tanggung jawab akademis, intelektual diharapkan untuk dapat menanggapi persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi dalam lingkungan sosial, salah satunya persoalan yang terjadi di Maluku Utara konflik melalui ungkapan tulisan, karya ilmiah, ataupun pernyataan kritis mereka. Di sisi lain dengan tanggung jawab sosial, kaum intelektual tentunya dapat terlibat dalam hal melakukan resolusi pada setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, tanpa memandang agama, suku, ras, dan etnik tertentu. Dari prespektif ini sebagai kaum intelektual mereka harus benar-benar mampu memahami akar persolaan dari konflik yang terjadi dalam masyarakat secara detail. Hal ini dimaksudkan agar posisinya sebagai kaum intelektual dapat termanifestasikan sesuai dengan perannya . Kaum intelektual dalam memainkan peran dan sekaligus menempatkan posisi mereka di dalam masyarakat yang bertikai ialah upaya untuk membongkar kedok kekerasaan atas nama agama yang dialami masyarakat. Sebab, 110 sebagai kaum intelektual mereka merupakan agensi dalam membentuk wacana kebudayaan di dalam ranah sosial tanpa mendiskriminasi. Namun konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000 merupakan persoalan yang begitu berat bagi kaum intelektual untuk melibatkan diri pada pertikaian tersebut, sebab konflik tersebut begitu kompleks. Sebab konflik ini, telah dikonstruksi secara cangih oleh sejumlah provokator melalui wacana agama. Hingga pada akhirnya mengkonstruksi dan sekaligus memperlebar konflik di dalam masyarakat yang berbeda agama tersebut. Akan tetapi varian konflik ini membutuhkan kecerdasan kaum intelektual untuk memandang dan memahami persoalan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai tempat ia tumbuh dan membangun interaksi sosial dengan menggunakan modal yang dimilikinya, yakni modal budaya dan simbolik. Di Maluku Utara, peran yang dimainkan oleh sebagian kaum intelektual pada saat konflik adalah dengan melakukan pencerahan dan membentuk lembaga-lembaga nirlaba yang dapat menangani pengungsian dari korban kekerasan. Lembaga-lembaga ini diorientasikan untuk melakukan advokasi dan merehabilitasi para korban kekerasan dari konflik sosial. Dengan demikian hal ini akan memperlihatkan tanggung jawab sosial mereka sebagai intelektual di dalam masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan oleh seorang akademisi di Maluku Utara yakni, “sebagai intelektual pada konflik kemarin, justru saya mengambil peran untuk melakukan tanggung jawab sosial, dengan cara 111 langsung membentuk lembaga nirlaba yang bergerak dibidang sosial untuk mengadvokasi dan sekaligus merehabilitasi para korban konflik. ” 133 Gambaran di atas memperlihatkan bahwa peran intelektual pada konflik di Maluku Utara, menempatkan diri mereka sebagai pembentuk wacana kesadaran dalam masyarakat yang berkonflik melalui rehabilitas para korban dan sekaligus membuat sekolah rakitan dengan fasilitas seadanya. Agar dengan begitu masyarakat bisa tahu bahwa ini bukanlah konflik agama, akan tetapi agama dieksploitasi oleh sejumlah provokator untuk memenuhi kepentingan mereka. Selain itu, dengan tanggung jawab sosial seperti ini mereka sebagai kaum intelektual Maluku Utara dapat leluasa menyampaikan pikirannya kepada masyarakat bahwa konflik ini hanya akan menunda masa depan mereka yang humanis bagi generasi berikutnya. Selain tanggung jawab sosial yang dimainkan, juga ada tanggung jawab akademis yang diimplementasikan melalui ruang kuliah dan media masa oleh kaum intelektual untuk menjalankan fungsi mereka seperti apa yang dikatakan Bourdieu “pejabat kemanusiaan”. 134 Peran seperti ini tentunya kemudian akan menentukan 133 Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad akademisi, Universitas Muhammadiyah Maluku UtaraUMMU pada tanggal 08 Maret 2013 dikediamanya. Beliau juga menambahkan , bahwa dirinya dan beberapa teman-teman membuat sekolah yang disebut sekolah rakitan fasilitas seadanya, dan dari situlah masyarakat dibangkitan semangatnya untuk memulai dengan kehidupan masa depan yang baik. Saya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa konflik ini adalah permainan provokator dan hanya akan menunda masa depan. Dan saat itu saya juga pernah menjadi mediator untuk melakukan perdamaian di wilayah Halmahera Utara 134 Lihat Bourdieu. et al. Op.cit, hlm 207. 112 sejauh mana kaum intelektual mengaktualisasikan modal budaya dan simbolik yang dimiliki dalam ruang sosial maupun masyarakat. Dengan mereproduksi wacana baik dalam dunia akdemik maupun dalam ruang publik kaum intelektual berkepentingan sesuai dengan perannya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai hidup berdampingan, sehingga tidak memahami konflik tersebut sebagai konflik agama sebab dengan memahami konflik seperti itu hanya akan menumbuhkan ruang untuk saling membenci dan akan mempersempit cara berpikir kita untuk memahami kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini seperti yang disampaikan oleh seorang intelektual Maluku Utara yang pada saat konflik terjadi beliau berada di sana. Saat itu saya memberikan pencerahan di mahasiswa untuk bagaimana kita ini sadar bahwa konflik ini akan menghancurkan generasi kita, saya juga merespon konflik melalui tulisan yang pernah di muat di Ternate Pos. Pada waktu saya sebagai dosen, saya membangun kesadaran mahasiswa, konflik ini akan melahirkan patahan sosial dan akan menunda masa depan yang beradab. 135 Gambaran di atas menjelaskan bahwa kaum intelektual di Maluku Utara pada saat konflik terjadi, mereka menggunakan modal budaya atau pengetahuan mereka untuk memperbaiki dan membangun kesadaran massa melalui ruang akademik dan sosial sebagai keberpihakannya pada kebenaran dari sebuah persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Pengetahuan yang mereka miliki tidak serta-merta diperuntukan 135 Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad Kha sebagai intelektualakademisi Malut pada tanggal 08 Maret 2013. 113 hanya pada kepentingan pribadi. Dengan pengetahuan, mereka sadar bahwa konflik tersebut hanya akan memperburuk kondisi masyarakat dan menunda perkembangan wilayah Maluku Utara. Memberikan pemahaman kepada masyarakat yang tidak tahu-menahu akar dari konflik komunal adalah upaya dari kaum intelektual untuk tidak memperbesar konflik. Oleh karena itu, peran mereka di dalam masyarakat sebagai pembentuk wacana yang benar-benar tidak berpihak pada kebajikan dapat termanifest dalam ruang sosial dan akademik. Namun peran intelektual tidak dapat dinafikan keseluruhan memiliki tingkat objektif dalam memandang konflik yang terjadi di dalam lingkungan sosial di Maluku Utara. Sebab, setiap persoalan yang terlahir dalam arena sosial secara tidak langsung akan membentuk tindakan secara subjektif tanpa disadari oleh kaum intelektual sendiri. Ketidaktahuan ini merupakan reaksi serentak dari masalah yang terjadi di dalam masyarakat dengan hanya berlandaskan pada kepentingan- kepentingan intelektual, yakni melakukan rekonsiliasi, tanpa mengantisipasi ketika fenomena konflik di antara kedua agama mulai kelihatan dipermukaan pada ranah publik. Pikiran, tindakan, dan persepsi tentang persoalan yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari habitus yang terinternalisasi dalam diri intelektual baik lewat subjektif maupun objektif dalam arena sosial. Sehingga apa yang dilakukan dan 114 dimainkan dalam ruang sosial akan memperlihatkan peran intelektualnya apakah didominasi oleh subjektif ataukah objektifitas. Dengan ungkapan lain, bahwa seorang agensi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan yang akan membentuk cara bertindak dan berpikir dalam merespon persoalan yang terjadi, Sejalan dengan ini menurut Bourdieu habitus memiliki makna dalam diri individu yakni: Pertama pada nalar yang sepele habitus hanya ada selama ia ada di dalam kepala aktor. Kedua habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh aktor dan interaksi antara mereka dan lingkungan yang melingkupinya: cara berbicara,cara bergerak, cara membuat sesuatu, atau apapun. 136 Konflik Maluku Utara memang memiliki karakteristik yang cukup beragam, namun dari berbagai varian isu tersebut, yang paling dapat memainkan emosi masyarakat untuk bertikai adalah perang wacana agama. Oleh karena itu, kaum intelektual di Maluku Utara tidak dapat menghindarinya bahkan terperangkap dengan kondisi dan situasi tersebut. Oleh sebab itu, peran intelektual hanya mampu melakukan rekonsiliasi serta menjadi fasilitatormediator bagi kedua kubu yang bertikai untuk mensolusikan permasalahan yang terjadi. Mereka bukan mencampuri atau memperbesar konflik, melainkan meredam konflik di dalam masyarakat. Dengan memberikan pemahaman mengenai implikasi dari konflik untuk masa depan Maluku Utara. Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa peran kaum intelektual tidak terlepas dari situasi dan kondisi di mana ia berada, sehingga apapun yang dilakukan akan 136 Richard Jenkins. Op.cit, hlm 107-108. 115 membentuk presepsi dalam bertindak sesuai dengan aturan main arena sosial yang ada. Di mana setiap intelektual baik dari pihak Islam maupun Kristen akan sangat sulit untuk mengambil peran secara objektif, karena pikiran masyarakat telah duluan terkoptasi dengan isu konflik antar agama. Oleh karena itu, apa yang dilakukan kaum intelektual tidak terlepas dari subjektifas, dalam artian mereka melakukan penaganan korban kekerasan komunal sesuai dengan agama mereka, atau akan memilih diam untuk tidak mencampuri permasalahan tersebut, tetapi mereka melakukan resolusi atas konflik ketika kondisi dan keadaan tersebut memungkinkan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Agus Salim Bujang: Dalam menghadapi masalah praktis konflik, kita selalu menjaga diri, kita hanya bisa memberikan masukan mengenai konflik SARA yang terjadi. Problemnya adalah ketika kita berada dalam lingkungan konflik, kita tidak harus meraba bahwa konflik tersebut di picu oleh apa? Tetapi pada saat itu konflik sudah menjadi opini publik. Sehingga pada saat itu kita harus betul- betul memahami konflik itu secara detail, ini yang membuat saya juga tidak banyak berbicara dan demi keamanan dan kenyamanan diri saya. 137 Ungkapan di atas mengandaikan bahwa kondisi seperti ini membuat mereka sebagai kaum intelektual di Maluku Utara mengalami dilema dalam mengambil sikapnya untuk terlibat secara nyata dalam bentuk fisik di dalam masyarakat yang bertikai, apalagi konflik di Maluku Utara memiliki banyak kepentingan, baik dari elite lokal dan pusat untuk melegitimasi atau bahkan mendorong posisinya dalam kancah kekuasaan. Preferensi ini bukan sengaja diambil tanpa ada pertimbangan, 137 Wawacara dengan bapak Agus Salim Bujang seorang akademisi UMMU Malut pada tanggal 12 Januari 2013. 116 melainkan karena kondisi dan situasi pada saat itu yang membuat mereka untuk tetap berada pada posisi tidak mencampuri atau memperbesar konflik melainkan memikirkan solusi dari konflik tersebut.

2. Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik