116
melainkan karena kondisi dan situasi pada saat itu yang membuat mereka untuk tetap berada pada posisi tidak mencampuri atau memperbesar konflik melainkan
memikirkan solusi dari konflik tersebut.
2. Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik
Kaum intelektual atau akademisi memiliki tanggung jawab sosial dan sekaligus akademik yang tidak dihindarinya, bahkan kedua tanggung jawab itu harus
berjalan beriringan sesuai dengan posisi intelektualnya sehingga sebagai intelektual Ia tidak menjadi tawanan dari pikirannya. Secara implisit idealnya seorang akademisi
bukan harus mencampuri atau memperbesar masalah, akan tetapi dia harus mampu menempatkan posisi sebagai seorang pemberi pencerahan di tengah situasi konflik.
Dengan demikian posisinya sebagai intelektual tidak terjebak pada kelompok yang bertikai, melainkan menjadi mediator dengan memanfaatkan media cetak atau
elektronik untuk medudukan masalah, sehingga kelompok yang bertikai bisa mengetahui akar masalah atau memahami masalahnya secara jernih dan objektif.
Konflik yang berkepanjangan membuat kaum intelektual menempatkan posisinya pada ruang mediator dalam melakukan perdamainan diantara kedua kubu
yang bertikai tidak dapat terwujud secara maksimal, karena mereka sendiri tidak dijamin keamanannya oleh pihak keamanan pada waktu itu.
117
Hal ini kemudian membuka ruang untuk mengutuk bahwa kekerasan merupakan wujud kekesalan oleh aktor politik yang dianggap mengancam posisi
struktural. Posisi intelektual juga sulit untuk berpihak kepada salah satu kelompok yang bertikai baik Kristen maupun Islam, melainkan posisi mereka ditempatkan pada
pengkajian bahwa konflik ini bukanlah unsur dari keinginan masyarakat melainkan hanya sebagai permainan elite lokal dan pusat. Pada saat konflik posisi sebagai kaum
intelektual sendiri tidak penting dalam hal mempengaruhi masyarakat agar tidak mudah diprovokasi oleh oknum tertentu dalam memandang bahwa konflik ini adalah
an-sich konflik kepentingan agama agar mereka tidak saling bermusuhan. Namun
perjuangan kaum intelektual untuk memberikan kesadaran pada masyarakat tentang hal tersebut tidak ditanggapi, hal ini lebih karena disebabkan oleh tidak berjalannya
modal budaya dan modal simbolik dalam arena tersebut. Seperti kutipan wawancara di bawa ini:
Pada saat itu, saya mengambil posisi sebagai penegah ketika konflik mulai memanas pada masyarakat waktu itu di Ternate. Saya menyampaikan bahwa
ini bukan konflik agama, sebab agama tidak mengajarkan umatnya untuk bertikai, namun saya dianggap tidak berpihak pada mereka Islam. Dengan
demikian saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
138
Penjelasan di atas mengandaikan bahwa kesulitan tersendiri yang dialami bagi kaum intelektual di Maluku Utara untuk menghindarkan masyarakat dari benturan
fisik pada saat konflik. Justru upaya yang mereka lakukan mendapat penilaian yang
138
Wawancara dengan bapak Rivai Umar Mantan Rektor Unkhair Ternate pada tanggal 21 Januari 2013.
118
tidak sesuai dari masyarakat. Dengan demikian, apa yang disampaikan tidak dapat termanifestasikan pada ruang sosial, karena disebabkan masyarakat sudah lebih awal
tervirusi pikirannya dengan memandang konflik ini adalah koflik agama serta tidak berjalannya modal yang dimiliki kaum intelektual. Akibatnya kaum intelektual ketika
mengambil peran sebagai mediator di masing-masing komunitas mereka baik Islam maupun Kristen, mereka dianggap provokator atau pengkhianat. Hal inilah yang
kemudian cukup sulit bagi kaum intelektual untuk mencegah konflik terjadi. Desain konflik oleh sejumlah provokator di Maluku Utara cukup berhasil
mempermainkan emosi masyarakat baik dari pihak Kristen maupun Islam untuk bertikai, tanpa disadari oleh mereka yang bertikai. Oleh karena itu, konflik di Maluku
Utara pada waktu itu, sangat menyulitkan kaum intelektual untuk melakukan pencegahan dan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak
mudah terprovokasi dengan isu konflik yang dilandaskan dengan agama. Diakui oleh sebagian kaum intelektual bahwa konflik yang terjadi pada waktu
itu memiliki desain yang sangat baik atau terstruktur yang dilakukan oleh provokator tertentu dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan sebagai strategi politik
demi melanggengkan kepentingan politis, akibatnya benturan fisik dari kedua kubu yang bertikai tidak bisa terhindarkan sebagaimana yang dijelasakan di bawah ini:
Sejauh sepemahaman saya, secara historis masyarakat di Maluku Utara walau berbeda agama, suku, budaya, dan ras. akan tetapi tidak ada konflik yang
terjadi atas nama agama. Mereka sudah sejak lama hidup berdampingan tanpa merasa didiskriminasi baik agama yang satu maupun yang lain. Oleh karena
119
itu, pada saat konflik komunal atas nama agama terjadi itu 99-00 saya merasa bingung dengan masyarakat.
139
Kelihaian para provokator dalam membentuk pikiran masyarakat tentang konflik ini yang kemudian memaksa masyarakat dari kedua pihak untuk saling
membenci sehingga mengakibatkan kekerasan komunal kedua pihak tidak dapat diatasi. Oleh karena itu, intelektual juga mengalami keterjebakan pada saat konflik
pecah karena belum mendapatkan informasi yang dijadikan bahan untuk melihat serta mengkaji akar dan sekaligus dampak dari konflik.
Posisi ini kemudian melahirkan sebuah analisis dari pembacaan terhadap konflik yang terjadi pada saat itu. Oleh karena itu, konflik dimaknai sebagai
hilangnya nilai kemanusian dan modal sosial sesama masyarakat yang bertikai. Hal ini dikarenakan mereka hanya memahami agama sebatas pada pertarungan ideologis
dan teologis. Namun dalam perjalananya ketika konflik mulai redah, masyarakat mulai memahami bahwa konflik selama ini hanya merupakan permainan elite dan
provokator yang berkepentingan terhadap sumber daya alam dan kekuasaan struktural di dalam pemerintahan yang terdapat di Maluku Utara.
139
Wawancara dengan Sofyan Daud Sastrawan Malut pada tanggal 11 Maret 2013.
120
2.1. Posisi Subjektif Intelektual dalam Konflik
Secara sadar dalam sub-bab ini, penulis mengakui bahwa tidak melakukan wawancara dengan intelektual dari pihak Kristen secara tatap muka, karena pada
konflik 1999-2000 di Maluku Utara, kebanyakan perguruan tinggi didominasi oleh kaum intelektual Muslim yang secara kuantitatif sangat banyak ketimbang intelektual
dari pihak Kristen. Kaum intelektual dari pihak Kristen kebanyakan berkarya diluar dari Maluku Utara, salah satunya adalah Frans Nanere.
140
Namun untuk melacak peran posisi mereka pada saat konflik, penulis menggunakan beberapa tulisan mereka, baik dari pihak Kristen maupun Islam yang
telah dibukukan dalam “Halmahera Berdarah”dari intelektual Kristen dan “Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam dari Bumi Halmahera”dari intelektual Islam. Selain
itu, ditambah beberapa wawancara yang dilakukan penulis dengan kaum intelektual untuk memperkuat analisis penulis. Dengan alasan bahwa setiap tulisan yang mereka
tulis saat merespon konflik serta praktik yang mereka lakukan di dalam masyarakat dapat menggambarkan sejauh mana posisi dan peran mereka di dalam masyarakat
yang bertikai, apakah lebih didominasi pada posisi subjekti atau kah posisi objektif. Setiap permasalahan yang terjadi, entah di dalam masyarakat atau pun dalam
lingkungan keluarga bisa jadi dapat membuat setiap individu untuk mengambil posisi subjektif, jika apa yang dipahaminya hanya didasarkan pada satu aspek saja tanpa
140
Putra asli Halmahera Utara yang sempat menjadi Rektor Universitas Patimura Ambon di Maluku.
121
melihat aspek lain secara kritis yang ada pada permasalahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kaum intelektual menjelaskan bahwa konflik ini adalah sentimen agama
yang lahir dalam pertarungan ideologis. Keterjebakan seperti ini disebabkan karena situasi dan kondisi kemanan dan kenyamanan diri pada saat itu yang membuat
mereka menempatkan posisi lebih pada subjektifitas. Sebagaimana yang jelaskan oleh Kasman 2013, bahwa pada saat berhadapan dengan dua komunitas yang berbeda,
saat itu posisi intelektual sangat subjektif dengan agamanya masing-masing secara jelas dia terjebak dengan primodialisme yang sempit secara ideologis dan teologis.
Sehingga pada saat itu konflik terjadi yang dominan adalah subjektifitas, ketimbang objektifitas.
141
Ini yang kemudian membentuk subjektifitas masing-masing intelektual dalam memainkan peran sosialnya di dalam masyarakat yang bertikai. Dengan demikian
dominasi subjektifitas pada diri intelektual karena didasarkan pada kondisi dan situasi saat itu yang memaksa mereka untuk mengambil posisi tersebut. Oleh karena itu,
ketika fenomena konflik mulai kelihatan di tingkat grass root mereka tidak secepatnya mengantisipasi melalui lembaga pendidikan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan isu agama
141
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi. Ahmad. Dalam wawancara dengan penulis, dia juga menambahkan bahwa pada saat itu, jika kita objektif menempatkan posisi dan peran pada saat
konflik, mungkin ketika gejala konflik mulai kelihatan di publik sudah pasti kita melerai konflik tersebut dengan membangun wacana, karena konflik atas nama agama akan berakibat fatal pada
kehidupan berbangsa. Akan tetapi pada saat konflik terjadi masing-masing orang membela agamanya, sehingga kita diperhadapkan pada situasi vis a vis, di sana mereka dan di sini kita,
sehingga inilah yang membuat atau membentuk stigma bahwa konflik ini adalah konflik agama. Wawancara
pada hari Ju at 8 Maret di kedia a ya.
122
sebagai landasan berkonflik. Posisi subjektif dari kaum intelektual yang beragama Kristen adalah ketika konflik antara warga yang berbeda agama kaum intelektual
justru berdiam diri dan tidak mau terlibat dalam hal melakukan protes terhadap pemerintah yang membiarkan konflik tersebut berjalan tanpa respon yang cepat.
sehingga mereka lebih mengutamakan posisi keamanan diri mereka. Subjektifitas seperti ini kelihatan pada posisi sebagian intelektual dari Kristen saat mersepon
konflik yang berawal dari kedua wilayah ini. Dengan demikian kaum intelektual seolah-olah terlepas dari tanggung jawab sosialnya untuk memberikan kesadaran
kepada masyarakat agar tidak memahami konflik ini sebagai konflik antara agama. sebagaimana hasil analisis penulis dari tulisan Nanere et al:
Konflik yang terjadi di Halmahera Utara khususnya antara masyarakat Kao dan Malifut berawal dari penyerangan warga Malifut yang „Muslim‟ ke warga
Kao yang „Kristen‟ pada rabu 18 agustus 1999 ketika rumah warga Kristen dilakukan pengrusakan dan pembakaran oleh warga Malifut. Sehingga
pembalasan penyerangan dari warga Kao Kristen juga dilakukan ketika bala bantuan datang dari tetangga desa Kao.
142
Respon terhadap konflik oleh intelektual seperti ini, yang melihat warga masyarakat dari kedua kubu dengan agamanya masing-masing akan mudah
mempengaruhi masyarakat yang lain, yang tidak punya relasi dengan konflik tersebut. Sebab agama diikutsertakan ketika menganalisa masyarakat yang berbeda
agama, lalu kemudian telah menjadi wacana ketika penyerangan yang dilakukan warga Malifut dengan menggunakan kata „Muslim‟ ke warga Kao „Kristen‟
142
Analisis yang dilakukan pada kasus Halmahera Berdarah-Darah yang penulis dasarkan dalam uraian buku Halmahera Berdarah, 2000. Di tulis oleh Jan Nanere et al.
123
Merespon konflik dengan tulisan yang diungkapkan seperti di atas dapat merepresentasikan posisi mereka secara subjektif sebagai kaum intelektual. Hal
seperti ini, menunjukan peran dan posisi kaum intelektual baik Kristen maupun Islam pada pada saat konflik 1999-2000 tidak dapat dilihat hanya sebagai penengah. Akan
tetapi didominasi atas klaim-klaim kebenaran dari konflik tersebut sangat didasarkan pada asal-usul agama dan wilayahnya.
Subjektifitas ini memang merupakan representasi atas penguasaan modal- modal yang mereka miliki dan dengan kondisi dan situasi seperti itu yang membuat
keterjebakan intelektual mereka pada posisi subjektif. Di tambah dengan sulitnya informasi atau tulisan-tulisan dari pihak islam untuk dijadikan data dalam melihat
atau menjelaskan konflik saat itu secara komprehensif.
Di kalangan intelektual yang beragama Islam juga terlihat posisi subjektifitas mereka dalam menempatkan diri dalam konflik serta menjalankan peran sosial dan
akademik dengan merespon konflik yang terjadi di Maluku Utara khususnya di wilayah Halmahera Utara dengan tulisan mereka. Reproduksi pengetahuan melalui
tulisan mereka masih didasarkan atas rasa sesama agama sehingga kaum intelektual tidak menunjukan keberpihakan kepada masyarakat secara umum melainkan lebih
karena persoalaan rasa agama yang dominan. Hal ini yang kemudian melahirkan subjektifitas mereka sebagai kaum intelektual yang beragama Islam ketika merespon
konflik dengan reproduksi pengetahuan. Sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini:
124
Dari analisis mereka, bahwa fenomena problematika ini ternyata memberikan asumsi sementara yang cukup signifikan dengan rencana strategi warga
Kristen ingin menguasai Halmahera. Pengusiran dan pembantaian umat Islam di Halmahera mengartikan bahwa ambisi kekuasaan mereka Kristen
memang telah direncanakan.
143
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa subjektifitas intelektual yang memiliki asal-usul beragama Islam pada saat itu, tidak terlepas dari keterjebakan
terhadap kondisi dan situasi konflik ketika mereka menuliskan tulisannya. Akibatnya peran dan posisi sebagai intelektual dalam memproduksi serta menjalankan wacana
yang benar-benar membongkar mekanisme kekerasan dan dominasi di dalam masyarakat yang bertikai tidak tercerminkan secara objektif. Ditambah dengan apa
yang ditulisnya hanya berdasarkan informasi dan data-data dari pihak Islam, dengan alasan karena sulit mendapatkan data-data dari pihak Kristen.
Selain posisi subjektif yang mereka ambil dalam melakukan kritik maupun anggapan dalam bentuk argumentasi, juga ada pula yang mengambil posisi subjektif
dalam mengambil tindakan pada saat konflik. Disadari bahwa sebagaian kaum intelektual dari pihak Islam menjalankan peran seperti ini karena kondisi dan desakan
dari masyarakat pada waktu itu untuk berpihak kepada masyarakat Islam dengan cara meminta bantuan makanan dan uang untuk kebutuhan masyarakat pengungsi.
Sebagaimana petikan wawancara yang penulis lakukan sebagai berikut:
143
Tulisan Kasman Herman pada kerusuhan di Halmahera dibukuk a dala Damai Yang Terkoyak
,
Catatan Kelam Dari Bumi Halamahera, 2000
.
Dianalisis dan dijadikan data untuk melihat posisi mereka sebagai intelektual pada saat konflik 1999-2000.
125
Saya sadar pada saat itu saya memang membantu korban kerusuhan dari masyarakat Islam dengan cara meminta bantuan bahan pokok sampai di
wilayah Kalimantan, serta meminta bantuan uang kepada Yayasan Tafsir Al- Qur‟an di solo Jawah Tengah. Tetapi dari bantuan uang yang kami terima,
saya dan beberapa teman-teman membangun sekolah rakitan untuk menampung anak-anak dari masyarakat Muslim yang tidak mendapat
pendidikan pada saat konflik masih berlangsung agar dapat bersekolah.
144
Selanjutnya ia pun menambahkan: bahwa dari peran subjektif yang ia jalankan disebabkan karena desakan dari
kondisi masyarakat untuk membantu korban kekerasan di Galela dengan cara mencari bantuan kapal laut dalam hal menggankut korban kekerasan dari
masyarakat Islam di Galela. Bahkan saya dan beberapa teman, salah satunya kasman melakukan pembajakan kapal laut KM. LAMBELU untuk dipakai
menggankut pengungsi di Galela, hingga akhrinya kapal yang dibajak mau mengambil pengungsi di Galela.
145
Gambaran di atas cukup jelas bahwa dalam konflik maluku utara pada waktu itu, baik kaum intelektual yang beragama Islam dan Kristen memang masih didasari
oleh bela rasa dan emosional kultural sesama komunitas mereka. Hal ini dapat dilihat dengan pengambilan tindakan mereka ketika mencari bantuan untuk menolong para
pengungsi, selain menolong mereka juga mendorong proses pencerahan dalam hal memberikan pengetahuan hanya kepada anak-anak yang beragama Islam dari korban
kekerasan.
144
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio Akademisi STAIN Ternate dan Pendiri LSM Gocefa pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis Kota Yogyakarta
145
Ibid.
126
2.2. Posisi Objektif Intelektual dalam Konflik
Selain posisi subjektif yang dijalankan oleh intelektual, terdapat pula posisi objektif yang dimainkan oleh kaum intelektual Maluku Utara pada saat konflik 1999-
2000 terjadi. Posisi objektif ini dimaknai sebagai peran yang ideal kaum intelektual ketika berada pada suatu peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Keobjektifan
sebagai intelektual direpresentasikan melalui upaya-upaya yang dilakukan untuk menjelaskan akar dari konflik yang selama ini membuat masyarakat terjebak dengan
landasan agama. Upaya untuk menempatkan posisi secara objektif dari kaum intelektual dapat di ketika mereka mendorong wacana kemausian melalui ruang-ruag
sosial pada saat itu. Sebagaimana petikan wawancara di bawah ini:
Peran objektif yang saya lakukan adalah mendorong wacana kemanusian pada ruang sosial dan akademik. Pada ruang sosial dengan menyampaikan kepada
masarakat melalui media lokal Ternate Pos dan pada ruang akademik dengan cara membangun sekolah rakitan sebagai cara mendorong
perdamaian.
146
Posisi objektif ini dilakukan karena mereka memahami bahwa konflik ini secara detail bukan dipicu oleh kepentingan agama melainkan agama dijadikan alat
dalam memperbesar atau bahkan mempercepat terjadinya konflik. Oleh karena itu, posisi kaum intelektual pada saat terjadinya konflik mereka memilih diam agar tidak
terkesan berpihak pada kubu Islam atau Kristen.
146
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio Akademisi STAIN Ternate dan Pendiri LSM Gocefa pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis, kota Yogyakarta.
127
Dengan demikian kaum intelektual di Maluku Utara kelihatan ambigu dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka sebagai kaum intelektual. Di satu
sisi mereka memahami bahwa konflik ini bukanlah konflik agama, namun pada sisi lain, mereka memilih diam dan tidak bertindak dalam merespon konflik secara
sungguh-sungguh, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan diri mereka. Seperti terlihat dari hasil wawancara di bawah ini:
Pada saat konflik, alhamdulilah saya tidak pernah melempar atau mengadu- domba. Sebab saya memahami konflik ini 99-00 bukanlah konflik agama,
melainkan agama hanya dieksploitasi saja. Ini kemudian membuat saya pada saat itu memilih diam dan tidak mencampuri konflik.
147
Preferensi seperti ini diambil karena merekaintelektual memahami konflik ini merupakan rekayasa dari elite lokal dan pusat untuk memuluskan libido berkuasa.
Dengan demikian posisi intelektual seperti ini merupakan rasa kehati-hatian dalam menentukan sikap agar tidak memihak diantara salah satu kubu yang bertikai, namun
memikirkan cara untuk melakukan proses perdamaian dan atau membangun kembali solidaritas sosial sebagai manusia yang berbudaya.
Bagi intelektual posisi objektif merupakan ruang bagi tumbuhnya posisi sosial mereka sebagai masyarakat akademikintelektual yang mampu mereproduksi modal
budaya serta mampu membongkar setiap mekanisme kekerasan, baik secara akademik maupun sosial yang dilakukan oleh elite atau provokator yang hendak ingin
147
Wawancara dengan Bapak Agus Salim Bujang Akademisi UMMU Maluku Utara, pada tanggal 10 Januari 2013.
128
berkuasa. Membongkar mekanisme kekerasan secara akademik dan sosial ini dengan cara melakukan kritik terhadap elite dan provokator serta mereproduksi wacana untuk
mengkritisi konflik atas nama agama yang terjadi di masyarakat Maluku Utara untuk di ungkap ke publik bahwa konflik ini hanyalah permainan dari para provokator yang
berkepentingan dengan kekuasaan dan bukan konflik atas nama agama.
Dengan demikian dari situ dapat terbentuk identitasnya sebagai kaum intelektual yang benar-benar berpihak pada masyarakat yang terdominasi.
Keberpihakan ini dapat dilihat melalui reproduksi pengetahuan dai kaum intelektual, hal ini dimaksudkan agar peran dan posisi sebagai kaum intelektual dapat berjalan
sesuai dengan tanggung jawabanya, seperti halnya yang disampaikan di bahwa ini
Konflik yang terjadi di Maluku Utara adalah lanjutan dari seluruh rangkaian kerusuhan sosial dan tragedi kemanusiaan di wilayah Ambon. Kerusuhan di
Maluku Utara dimulai dan bersumber dari pertikaian etniksuku yang terjadi di Malifut, Kecamatan Kao Halmahera, tetapi secara lihai para provokator
telah mengalihkannya dari pertikaian etnik menjadi pertikaian agama.
148
Bagi intelektual, kerusahan yang terjadi di Maluku Utara atas nama agama
serta simbol-simbolnya merupakan permainan yang dilakukan oleh mereka atau provokator yang berkepentingan atas kekuasaan, sumber daya alam, ekonomi dan
politik di Maluku Utara pada saat itu. Oleh karena itu, konflik antara sesama masyarakat yang berbeda agama pun terjadi akibat dari termakannya wacana
pertikaian antar agama.
148
Uraian ini saya dasarkan pada Jan Nanere et al, ketika ia melakukan kritik terhadap provokator pada saat konflik di Maluku Utara, dalam bukunya Halmahera Berdarah 2000.
129
Kelihatan bahwa posisi intelektual baik dari islam maupun kristen pada saat konflik juga memiliki posisi objektif ketika merespon konflik yang terjadi di Maluku
Utara 1999-2000. Objektifitas ini ditunjukkan melalui tulisan mereka, yang secara sadar tidak menghakimi salah satu agama yang bertikai sebagai aktor yang memicu
konflik. Melainkan tekanan kritik mereka melalui tulisan lebih pada membangun kesadaran masyarakat, bahwa ini merupakan permainan provokator yang memainkan
propaganda dan agitasinya agar membuat masyarakat terjebak pada situasi tersebut dan pada akhirnya berunjung pada penghancuran identitas kemanusiaan dengan
kekerasaan.
3. Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara