96
3. Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial
Konflik di Maluku Utara cukup besar menarik perhatian masyarakat nasional, internasional, dan juga pemerintahan Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri pada waktu itu. Bagaimana tidak, selama ini dalam sejarah Indonesia konflik yang berbaur agama tidaklah pernah terjadi separah yang terjadi di Maluku
Utara. Bahkan konflik tersebut telah merugikan percepatan pembangunan yang selama ini dimotori oleh semangat Otonomi Daerah. Konflik yang diperas menjadi
konflik agama mendorong pemerintah dan stakeholders untuk memikirkan kembali jalan keluar demi membangun rasa persaudaraan dan semangat nasionalisme di dalam
masyarakat yang bertikai. Oleh karena itu, upaya pemulihan ke arah terciptanya perdamaian di antara
pihak-pihak yang bertingkai pada aras horisontal menjadikan rekonsiliasi sebagai cara yang baik untuk mendorong perbaikan daerah yang bermartabat untuk kehidupan
masyarakat. Hal ini membutuhkan peran tokoh agama, intelektual, lembaga swadaya masyarakat LSM, Pers dan pemerintah lokal dan pusat untuk memainkan peran
dalam arena sosial agar dapat membentuk kesepahaman baik antara pihak Islam maupun Kristen untuk dapat berdamai dalam bingkai kebudayaan.
Menghilangkan rasa trauma dan membangun kembali ikatan persaudaraan di dalam masyarakat yang bertikai akibat dari fantisme buta merupakan hal yang dapat
merepresentasikan eksistensi sebagai manusia sejatinya. Maka mempertemukan tokoh dari kedua pemuka untuk berdamai dibutuhkan juga peran intelektual untuk
97
memfasilitasi pertemuan dan sekaligus ikut terlibat dalam mecarikan solusi perdamaian. Proses dari rekonsiliasi ini adalah untuk memperbaiki kehidupan sosial
masyarakat setempat yang sempat kehilangan kemanusiaannya agar dapat kembali menjalin hubungan diantara kedua komunitas untuk hidup rukun dan damai. Sejalan
dengan ini menurut Kriesberg, bahwa proses rekonsiliasi adalah di mana kedua kelompok berhasil merubah destructive conflict dan hal ini sangat diperlukan untuk
memperkuat sendi-sendi bangsa yang sudah lemah dan hampir hancur.
120
Rekonsiliasi menjadi barang berharga dan atau bernilai untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan manusia
yang berdasarkan pada semangat pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena konflik secara besar-besaran terjadi di Halmahera Utara dan kemudian
membakar pertikaian ke seluruh wilayah Maluku Utara, maka langkah untuk membangun perdamaian dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat di Halmahera
Utara baik dari pihak Kristen yang diwakili oleh Hein Namotemo
121
dan dari pihak Islam di wakili oleh Samsul Bahri Umar
122
tampil sebagai tokoh perdamaian, ketika konflik berkepanjang tersebut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.
Pembicaraan damai di Halmahera umumnya terfokus pada isu-isu tingkat lokal, misalnya penerimaan pemulangan pengungsi di suatu desa atau beberapa desa dan
120
Lihat Sri Yanuarti et al. Konflik Maluku Utara. Penyebab, Karakteristik dan Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan PMB-LIPI. hlm 162
121
Salah satu pimpinan pasukan Kristen Pada waktu konflik, dan sekarang menjadi Bupati Halmahera Utara selama dua periode 2006-2011 dan 2011-2015.
122
Salah satu Pimpinan pasukan Jihad di Halmahera Utara pada saat konflik, dan sekarang menjadi Ketua DPRD Kab. Halmahera Utara periode 2009-2014.
98
bagaimana memastikan keamanan.
123
Kesadaraan bahwa konflik yang selama ini terjadi bukanlah benturan antara agama membuat masing-masing dari kedua kubu
untuk kembali berdamai dalam semangat kebudayaan setempat. Upaya membangun kembali truts kepercayaan kepada sesama masyarakat
untuk menjelaskan bahwa konflik hanyalah akan melahirkan penderitaan yang tidak berkesudahan dan membuat kemanusiaan seakan tidak ada nilanya lagi. Oleh karena
itu, distribusi pemahaman atau knowledge kepada masyarakat tentang pentingnya hidup berdampingan sebagai modal sosial yang dapat mendorong pembagunan dan
perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan wujud dari kecintaan untuk membangun prinsip kemanusiaan.
3.1. Peran Intelektual dalam perdamaian Salah satu wujud dari tanggung jawab sosial kaum intelektual adalah mampu
menjembatani dan mencari akar permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang bertingkai dengan melibatkan diri melalui arena sosial. Peran intelektual ini menjadi
penting sebab intelektual memiliki cara tersendiri dengan menggunakan modal budaya untuk memperbaiki kembali kemanusiaan yang pada waktu konflik tidak
memiliki nilai lagi. Sehingga intelektual di Maluku Utara pada era 1999-2000 melakukan upaya-upaya perdamaian kepada masyarakat yang bertingkai untuk
mencarikan solusi yang terbaik. Keterlibatan tersebut dengan cara, yakni:
123
Patrick Baron et al. Op.cit hlm 71-72.
99
Memberikan keasadaran melalui pendidikan dan juga memulangkan pengungsi sekaligus memonitoring bagaimana para pengungsi ini bisa
kembali di terima di daerah mereka dan merasa aman secara psikologi ....
124
Peran ini merupakan salah satu tanggung jawab sosial untuk dapat memperbaiki kembali hubungan sosial dan kemanusian untuk tidak menempatkan
rasa saling membenci, sebagai cara yang terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. Melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat menjadi penting sebagai wujud
keseriusan menjalankan tanggung jawab di dalam masyarakat. Apalagi konflik yang diperas dalam bentuk SARA menjadi hal yang sangat berbahaya bagi hubungan umat
beragama, sebab akan melahirkan disintegrasi sosial. Hal inilah kemudian membuka kesadaran untuk melibatkan diri pada upaya melakukan perdamaian dengan cara
menjadi pembicara ketika ada lembaga-lembaga swasta atau LSM melakukan pendidikan non formal atau lokakarya bagi masyarakat pada daerah-daerah yang
pernah dilanda konflik komunal tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Sahril: Yang saya lakukan pada waktu itu konflik, adalah menjadi pembicara pada
seminar di Halmahera Barat dalam kaitan dengan pendidikan perdamaian di Maluku Utara, penyampain materinya terfokus pada pemahaman budaya
torang kitaMaluku Utara sebagai entitas kesatuan masyarakat lokal.
125
Hal ini dilakukan untuk mengingatkan kembali akan tradisi kebudayaan sebagai nilai lokal masyarakat untuk saling menghargai dan menerima perbedaan
124
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad di Ternate Akademisi Maluku Utara pada tanggal 08 Maret 2013 dikediamannya.
125
Wawancara dengan Sahril Muhammad Sejarawan Maluku Utara pada tanggal 19 Januari 2013.
100
serta untuk menghilangkan rasa dendam sesama masyarakat yang berbeda agama. Sebagaimana tulis Barker, kebudayaan adalah lingkungan aktual untuk berbagi
praktik, representasi, dan adat-istiadat masyarakat tertentu ... membantu membentuk kehidupan orang banyak. Gagasan seperti ini untuk memberikan makna sosial kepada
masyarakat tentang dunia yang kita tempati sebagai mahluk kebudayaan dan sosial.
126
3.2. Perdamainan Dengan Pendekatan Sosial Kebudayaan Masyarakat Maluku Utara merupakan masyarakat multi etnik, yang masing-
masing etnik suku memiliki pranata sosialnya tersendiri. Meskipun begitu, masyarakat di wilayah ini secara historis hidup rukun satu sama lain. Hal ini terjadi
melalui lembaga adat yang pada zaman lampau telah ditata pembagian teritorial etnik di dalam organisasi masyarakat yang lebih besar Kerajaan. Artinya bahwa eksistensi
semua etnik yang hidup di dalam wilayah kerajaan diakui dalam kedudukan yang setara, sekaligus membentuk persatuan dan kesatuan dalam semangat Marimoi Ngone
Fo Turu, Marimoi Ua Gone Fo Ruru, Ma Ota Tara Gone Fo Jaha.
127
keberhasilan perdamaian yang dilakukan oleh beberapa stecholeder karena mengambil semangat
tentang sejarah kebudayaan masyarakat setempat sebagai gagasan untuk hidup bersama kembali tanpa memandang batas agama, suku, rasa dan golongan dengan
bersandarkan pada adat “Hibualamo” rumah besar dalam bahasa setempat. Sebab
126
Lihat Chris Barker. Op.cit hlm 8.
127
Untaian kata-kata dola bololo yang berarti Bersatu kita tegukuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tengelam. Lihat Jan Nanere editor. Op.cit hlm 172.
101
budaya merupakan entitas penting dalam upaya melakukan pengelolaan konflik di dalam masyarakat agar dapat mengarah pada cita-cita bangsa.
Ketika konflik komunal di Maluku Utara mengalami titik kejenuhan maka memungkinkan tokoh masyarakat, pemerintah, intelektual, dan LSM untuk menyusun
narasi perdamaian antara masyarakat yang berkonflik yang menekankan pada kebersamaan dan hidup berdampingan sangat mudah terlaksana. Setidaknya ada tiga
faktor penting dalam hal ini. Pertama kejenuhan terhadap konflik yang menyebar di luas. Tingkat kekerasan yang dialamai di Halmahera Utara mengejutkan ... eskalasi
kekerasan di Halmahera Utara umumnya disebabkan oleh dilema keamanan dan orang tidak melihat banyak manfaat melanjutkan kekerasaan. Upaya-upaya
perdamaian di dorong oleh hasrat orang untuk memulai lagi hidup mereka, sehingga menyingkirkan isu-isu perbedaan. Kedua, jaringan kekerabatan di Halmahera Utara
melintasi batas agama; banyak orang Kristen yang punya saudarai, sepupu, atau paman yang beragama Islam begitu juga sebaliknya. Ketiga, berkembang narasi di
kedua kubu bahwa keker asan digerakan oleh „orang luar‟: pemerintah Jakarta,
Militer, jihadi atau pendeta dari luar, orang-orang luar dari daerah Maluku Utara. Pelemparan kesalahan pada pihak luar, dan keberadaan tradisi serta mitos yang
menekankan kebersamaan lokal memungkinkan penyusunan sebuah narasi perdamaian dan persaudaraan terwujud sehingga dapat membantu mendorong
rekonsiliasi.
128
Hal ini sangat jelas ketika rapat yang melibatkan masyarakat dari
128
Lihat Patrick Baron et al. Seusai Perang Komunal, Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Pencegahannya .Op.cit., hlm 103-104.
102
kedua kubu di Halmahera Utara pada acara deklarasi perdamaian pada tanggal 19 April 2001 di Tobelo dengan menekankan budaya setempat dan selanjutnya deklarasi
perdamaian ditandatanggani di Morotai pada Mei 2001 dan Galela pada 30 Juni 2001.
129
3.3. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat Dari laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Sosial Politik Pemerintah
Provinsi Maluku Utara Ternate, Maret 2000 disampaikan bahwa penyebab kerusuhan yang terjadi adalah faktor PP nomor 42 tahun 1999 mengenai pemekaran
wilayah Malifut, dampak dari kerusuhan Ambon serta adanya selebaran bernuansa SARA yang memicu konflik terjadi secara berkepanjangan. Dinamika konflik yang
terjadi ini membuat pemerintah pusat mengeluarkan beberapa kebijakan untuk melakukan normalisasi keadan Maluku Utara adalah: GBHN 1999-2004, Tap MPR
No. IV99 telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan konflik secara berkepanjangan secara adil, nyata, dan menyeluruh
serta mendorong masyarakat yang bertingkai untuk proaktif dalam mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.
130
Melihat konflik tersebut tidak mendapat titik temu dan masih belum berdamai maka pemerintah pusat melalui Wakil Presiden Megawati mengunjungi daerah
Maluku Utara di wilayah Halmahera Utara pada tahun 2001 dan menyampaikan
129
Lihat Patrick Baron et al. Ibid., hlm 74.
130
Lihat Sri Yanuarti et al. Op.cit., hlm 163.
103
pidato berisi seruan rekonsiliasi kepada masyarakat yang berkonflik.
131
Hal ini untuk menghindari konflik yang akan memakan korban jiwa dan menghancurkan fasilitas-
fasilitas publik. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga melakukan upaya-upaya
perdamaian untuk memperbaiki keretakan hubungan sosial masyarakat yang berbeda agama dan secara detail upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah antara
lain pertama, mengevakuasi pengungsi ke tempat yang aman, menyalurkan bantuan berdasarkan kebutuhan dan sesuai kemampuan. Kedua, meminta bantuan tambahan
pasukan untuk membantu mengendalikan situasi dan kondisi keamanan dan ketertiban di daerah kerusuhan. Ketiga, upaya membangun kembali rasa kekeluargaan
dan kebersamaan dari tingkat bawah dengan pendekatan sosial buday melalui tokoh formal maupun non formal. Keempat, bersama aparat keamanan dan semua
komponen masyarakat menciptakan kondisi Kamtimbas yang aman dan peningkatan kewaspadaan terhadap provokasi oknum tertentu. Kelima, menghubungi Menteri
Negara Transmigrasi dan Kependudukan untuk penanganan warga transmigrasi nasional yang bermaksud meningalkan unit pemukiman transmigrasi akibat trauma
kerusuhan pengungsi. Keenam, upaya penegakan supermasi hukum.
132
Rangkaian peristiwa pada konflik 1999-2000 yang digambarkan di atas jelas merepresentasikan bahwa masyarakat pada awalnya terprovokasi dengan isu yang
berlatar agama. Hal tersebut, dapat dilihat atas klaim-klaim dari pandangan mereka
131
Lihat Patrick Baron et al. Op.cit., hlm 71.
132
Lihat Sri Yanuarti et al. Op.cit hlm 166.
104
mengenai penyebaran “surat palsu” yang memperbesar konflik waktu itu. Akibatnya benturan fisik dari kedua komunitas tidak dapat dihindari. Ketidakmampuan
masyarakat dalam membaca isu pertarungan kepentingan elite di level atas serta perebutan sumber daya alam telah membentuk prespsi dan tindakan mereka untuk
saling membunuh. Dengan begitu ratusan nyawa dan barang milik umum dan pribadi hilang begitu saja akibat dari fanatisme buta.
Namun dalam perjalanannya, konflik antara Islam dan Kristen mendapat titik terang untuk berdamai ketika masing-masing dari mereka merasa bahwa tidak ada
untungya untuk bertengkar jika yang menjadi korban hanyalah masyarakat pada level akar rumput. Kondisi ini disadari oleh masyarakat setempat ketika kesadaran
subjektif tampak pada ruang sosial dan juga diikuti oleh pemahaman akan kebudayaan mereka mengenai hidup saling berdampingan. Dengan kata lain, bahwa
konflik hanya akan melahirkan disintegritas dan menelenjangi kebudayaan leluhur mereka yang dibangun di atas landasan kebersamaan.
Adanya kejenuhan ini kemudian dimanfaatkan kaum intelektual, LSM, dan tokoh masyarakat untuk merancang program rekonsiliasi demi membangun kembali
ikatan sosial yang berlandasakan pada adat masyarakat setempat. Salah satu langkah yang ditempuh dalam melakukan rekonsiliasi adalah memfasilitasi pertemuan dari
kedua komandan pasukan yang bertikai untuk mencarikan solusi yang terbaik. Upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh kaum intelektual, LSM dan sebagainya ini
merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial mereka sebagai agensi yang hidup dalam ranah sosial. Tanggung jawab ini terinternalisasi dalam diri seorang
105
intelektual. Sebab, sebagai kaum intelektual mereka tidak hanya menjadi penonton dalam melihat sebuah peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, melainkan juga
ikut berpartisipasi dalam membongkar mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Untuk melihat wujud dari tanggung jawab sosial- akademik kaum
intelektual pada ranah sosial, serta posisi dan peran dengan modal yang mereka miliki, Pada bab berikut akan penulis uraikan representasi tersebut dengan
menggunakan pisau analisis Bourdieu tentang habitus dan ranaharena.
4. Catatan Penutup