Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial

62 terkungkung lagi oleh tradisi, norma atau aturan yang cenderung melawan perubahan. Hanya dalam suasana kebebasan di mana beragam bentuk dominasi dibongkar yang memungkinkan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat melawan cara memerintah yang dominan. 75 Hal ini membutuhkan kemampuan seorang agensi atau intelektual untuk melihat bagaimana kekuasaan membentuk kepatuhan masyarakat melalui wacana serta berani membongkar kedok dari kekuasaan tersebut yang mengkerdilkan sisi kemanusiaan. Kemampuan tersebut ini, akan bermakna dalam kehidupan masyarakat jika diikuti oleh peran yang dimainkan kaum intelektual dalam membentuk posisi mereka pada ranah kehidupan masyarakat. Untuk melihat peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan sosial, maka pada uraian berikut akan direpresentasikan hal tersebut.

2. Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial

Persoalan yang terjadi di dalam masyarakat kian kompleks, mulai dari kemiskinan, kekerasaan antara kelompok, agama, dan suku selalui mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah tersebut pada dasarnya bukan terlahir secara spontan, akan tetapi merupakan kesewenang-wenangan dari penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu. Dalam konteks seperti inilah, fungsi atau peran intelektual sangat dibutuhkan kebaradaanya untuk mengkritisi secara kritis beragam 75 Lihat Haryatmoko. Op.cit., hlm 11. 63 fenomena yang terjadi di dalam arena masyarakat. Dengan kata lain, kaum intelektual tidak hanya berdiam diri ketika berhadapan dengan mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam kehidupan sosial, melainkan ia terlibat di dalamnya untuk mengungkapkan mekanisme kekerasaan secara objektif yang terselubung itu. Oleh karena itu, analisis hubungan dialektis antara fungsi intelektual dan kekuasaan pengetahuan merupakan kategori khusus dalam pengembangan posisi serta perannya sebagai kaum intelektual dalam arena akademik dan sosial. Peran intelektual dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepas-pisahkan begitu saja, sebab kaum intelektual secara subjektif terlahir dari rahim masyarakat itu sendiri. Dengan demikian menurut Gramsci, semua orang adalah intelektual tetapi tidak semua yang berfungsi di masyarakat adalah intelektual. 76 Hal ini kemudian menandakan bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsinya secara kontinuitas antara teori dan praktik di dalam masyarakat. Pada teori apa yang telah dipelajari dalam ruang akademik merupakan epstimologi yang lahir dari modal budaya dan simbolik. Sementara pada praktik, epistemologi ini dijalankan dalam menganalisis persoalan yang terjadi di masyarakat. Fungsi seperti inilah yang kemudian membedahkan kaum intelektual dengan non-intelektual dalam kehidupan sosial. 76 Lihat M. Escobar et al. Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta:LKIS, hlm 125. 64 Perbedaan posisi seperti ini merepresentasikan bahwa kaum intelektual tidak dapat merasa puas dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, tanpa melakukan analisis atas fakta-fakta atau bahkan melakukan riset untuk menemukan akar dari setiap persoalan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Lewis Coser, intelektual adalah orang-orang yang kelihatanya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya, mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat. 77 Dalam artian, jika masalah kemiskinan, kesenjangan, dan bahkan konflik yang terjadi di dalam masyarakat, yang sebagian besar orang menganggap sebagai sesuatu yang terlahir secara alamiah, disitulah tugas intelektual untuk membongkar dan memperlihatkan ke publik, bahwa masalah tersebut adalah akibat dari penyalagunaan kekuasaan oleh penguasa. Oleh karena itu, sebagai seorang agensi atau sebagai intelektual, perannya tidak harus berhenti pada tataran berpikir rasional demi kepentingan masyarakat, melainkan ikut melibatkan dirinya pada setiap ranah kehidupan sosial yang mendiskriminasi masyarakat lemah. Hal tersebut, dimaksudkan agar posisinya sebagai intelektual dapat termanifestasikan, dengan cara mengungkap akar dari persoalan yang terjadi pada masyarakat. Posisinya sebagai intelektual tersebut, merupakan berfungsinya modal budaya dan simbolik yang dimiliki untuk dikembangkan pada suatu orde. Dengan ungkapan lain, modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelektual membutuhkan ruang sebagai tempat untuk 77 Lihat Hartoko Dick editor. Op.cit., hlm 70. 65 membentuk identitasnya. Tempat tersebut bagi Bourdieu adalah arena sosial, 78 yang merupakan wilayah pertarungan modal-modal tersebut untuk mengubah dan mempertahankan struktur-struktur sosial dan melegitimasi posisi seorang agensi. Cara kerja arena ini memiliki aturannya tersendiri dan dengan itu membutuhkan syarat-syarat tertentu, jika seseorang ingin memasuki sebuah posisi tertentu. Dengan demikian menurut Bourdieu dalam Patricia Thomson arena sosial tidak selalu terus- menerus berada pada asal-usul sejarah dan pada ruang khusus, melainkan juga terus bergerak dan beroperasi dengan memerlukan pengetahuan untuk diadapatasikan dan dipertahankan. Jadi melakukan hal tersebut, butuh memahami bagaimana perubahan peristiwa pada sebuah arena tersebut. 79 Sejatinya, kaum intelektual merupakan agensi yang mereproduksi posisi mereka dengan modal budaya yang terpatri dalam arena akademik dan sosial. Dengan demikian, ketika berbicara tentang intelektual kita tidak dapat melepas-pisahkan dari peran, posisi, dan tanggung jawabnya sebagai intelektual di dalam kehidupan sosial- kemasyarakatan. 78 Arena sosial didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi kekuasaannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan ekonomi kecuali arena ekonomi dan arena politik itu sendiri ... arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Lihat Bourdieu. Op.cit., hlm xvii-xviii. 79 Lihat Patricia Thomson. Four Field. Dalam Michael Grenfell Ed. Pierre Bourdieu Key Concepts. Acumen Published Limited 2008, hlm 70. 66 2.1. Tanggung Jawab Sosial dan Tanggung Jawab Akademik Kaum Intelektual Menurut Sparringa, bahwa apa yang terjadi selama ini, tidak lebih dari sebuah demokrasi yang memiliki tubuh namun tak memiliki roh demokrasi. Sebagai anggota dari sebuah komunitas akademik atau intelektual ... kita memiliki tanggung jawab intelektual dan moral untuk mengisi dan melengkapi demokrasi formal dan prosudural dengan nilai-nilai, etika, dan tradisi. 80 Oleh karena itu, tanggung jawab sosial dan akademik kaum intelektual secara implisit dapat dijelaskan sebagai perpaduan antara teori dan praktik dalam suatu arena. Bertolak dari hal tersebut, kaum intelektual tidak dapat menghindari posisinya sebagai pengkritik baik secara internal maupun eksternal, ketika ia berada dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, tanggung jawab sosial dan akademik kaum intelektual merupakan pergulatan modal budaya dan simbolik pada ruang sosial untuk berpartisipasi pada tujuan kemanusiaan. Dengan demikian, tanggung jawabnya dalam membentuk manusia yang humanis pada sebuah nation dapat terpatri dalam dirinya, ketika ia bergelut dengan pengetahuan di dalam ruang akademik yang kemudian dipraktekkan pada ruang sosial sebagai basis epistemologi. Tanggung jawab yang dimaksud merupakan tanggung kepada masyarakat yang terdominasi oleh struktur kekuasaan atau bahkan mereka yang bertikai karena terprovokasi. Sejalan dengan ini menurut M. Hatta, kaum intelektual mempunyai 80 Lihat St Sunardi. Tahta Berkaki Tiga. Yogyakarta: Buku Baik. hlm 19. 67 tanggung jawab terhadap perkembangan masyarakat. Dengan cara demikianlah ia dapat menyatakan rasa tanggung jawabnya sebagai manusia susila dan demokratis. Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianat kepada dasar kemanusiaan. 81 Dengan adanya tanggung jawab sosial kaum intelektual di dalam kehidupan masyarakat, memungkinkan mereka untuk dapat melegitimasi identitasnya sebagai kaum intelektual publik. Dengan begitu kaum intelektual bukan hanya berada di ruang akademik, melainkan mereka peka dan berpihak pada masyarakat yang terdiskriminasi oleh otoritas yang sewenang-wenang dari penguasa. Intelektual publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektualitas untuk menggairahkan kehidupan pubik yang demokratis. Kalau ruang publik kita pahami sebagai ruang bagi warga untuk berpartisipasi, dalam hal mempengaruhi kualitas res publica, maka intelektualitas publik berarti bentuk partisipasi intelektual pada kepentingan publik. 82 Selain tanggung jawab sosial, kaum intelektual juga memiliki tanggung jawab akademik, yang diberikan secara kultural untuk mengorganisir pikirannya, menulis karya ilmiah, serta melakukan riset-riset ilmiah demi pengembangan kapasitas dan etos intelektualitas dalam menjelaskan persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab akademik kaum intelektual tidak untuk menyibukan dirinya pada rutinitas yang ada, melainkan mengembangkan kedua- 81 Lihat pidatonya pada hari Alumnus I di Universitas Indonesia pada tanggal 11 juni 1957. Aswab Mahasin Ismed Natsir editor. Op.cit., hlm 20. 82 Lihat St Sunardi. Op.cit., hlm 33. 68 duanya baik tanggung jawab sosial maupun akademik sebagai dasar untuk membentuk etos intelektualitas publik. Etos intelektual publik akan tumbuh sejauh disiplin-disiplin keilmuan tidak menjadi instrumen privatisasi keilmuan, melainkan sebagai titik pijak memasuki ruang publik akademis. Dengan cara ini kaum intelektualitas dapat melakukan rekonfigurasi keilmuan terus-menerus yang tidak senantiasa mengikuti division of labour . 83 Oleh karena itu, dengan melakukan sebuah penetrasi dalam ruang akademik dan publik kaum intelektual akan dapat menambah dan bahkan memperkaya khasanah pengetahuannya dalam dunia kehidupan akademik maupun sosial, seperti apa yang disebut oleh Supratiknya, scholarship of engagement atau engaged university. 84 Tanggung jawab seperti ini merupakan internalisasi dari habitus kaum intelektual atau struktur mental dari kaum intelektual yang hidup dalam lingkungan tertentu dan dapat menunjukan secara eksplisit peran dan posisi mereka dalam kehidupan akademik dan sosial. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, hubungan antara intelektual, seniman kreatif dan karyanya, dipengaruhi oleh sistem relasi sosial yang di dalamnya penciptaan sebagai sebuah tindakan komunikasi berlangsung, atau lebih pas, dipengaruhi oleh posisi kreatif dalam struktur arena intelektual. 85 Produksi wacana yang dikonstruk oleh para intelektual pada ruang sosial, tidak terlepas dari 83 Lihat St sunardi. Tahta Berkaki Tiga. Ibid., hlm 37. 84 Ibid., hlm 32. 85 Lihat Richard Jenkins. Op.cit., hlm 205. 69 keberfungsiam modal-modal yang mereka miliki sebagai kaum intelektual dalam menjalankan tanggung jawabnya dan sekaligus membentuk identitas intelektualnya. 2.2. Intelektual dan Reproduksi PengetahuanWacana Ketika berbicara mengenai reproduksi pengetahuan, kita langsung terpikirkan kepada para ilmuan danatau filsuf yang membentuk pengetahuan atau wacana di ruang akademik. Pengetahuan ini, kemudian menjadikan manusia sebagai objek dari entitas dialektika kemanusiaan. Manusia sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran modern memungkinkan manusia akan menjalankan dua peranan, yakni kepastian dan keberadaan. Pada kepastian, ia tentunya tidak hanya mewarisi suatu domain tertentu, melainkan ia akan mengelaborasi kepastian dari epistemologi tersebut dengan positif dan atau dengan konsep yang paling tidak ilmiah untuk menyelesaikan dan menganalisis suatu problem tertentu. Sementara pada keberadaan, ia tidak dapat lepas dari keberadaan masyarakat, sebab semenjak penegetahuan itu ada dan hidup bersama-sama dalam masyarakat akan menjadi objek pengetahuan. Kenyataan ini bukanlah menjadi persoalan di sini tentang esensi manusia secara umum, tetapi semata-mata a priori 86 historis yang sejak abad ke-19, telah bertindak sebagai landasan self – evident untuk pemikiran ... yang tidak diragukan lagi, fakta itu sangat 86 Istilah ini dari bahasa latin berarti a dari prior mendahului. a priori menunjukan pada kesimpulan-kesimpulan yang tidak ditentukan dari pengalaman indrawi, melainkan sudah tersirat dalam makna ide-ide yang sudah diterima. Istilah ini biasa digunakan dalam konteks konsep-konsep seperti niscaya, pasti, benar secara universal, bawaan intuitif dan sebagainya. Lihat Lorens Bagus. Op,cit,. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005, hlm 69-70. 70 menentukan persoalan status yang didasarkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, Dengan kalimat lain, pada intinya pengetahuan sebagai objeknya yang mengambil entitas manusia empiris. 87 Pengambilan entitas manusia sebagai objek pengetahuan merupakan produksi pengetahuan dalam ruang-ruang ilmiah yang dilandaskan pada metode dan struktur epsitemologi oleh kaum intelektual. Menurut Foucault pengetahuan dapat menjadi suatu instrumen sekaligus efek dari kuasa Latif, 2005 :41. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat membentuk dan mereproduksi pengetahuan sebagai fungsinya dan sekaligus merupakan landasan kritis dalam melihat fenomena sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat dan Negara. Selain itu, reproduksi pengetahuan juga dapat membentuk kekuasaan bagi seorang agensi atau intelektual dalam memberikan kritik terhadap penyalagunaan kesewenang-wenangan dan sekaligus dari reproduksi tersebut dapat melahirkan fungsi akademik, sosial, serta posisi dan identitasnya kaum intelektual. Sejalan dengan ini secara tegas Bourdieu mengatakan“bahwa intelektual atau ilmuwan sosial, merupakan pemegang suatu modal budaya besar, dan memiliki peran penting untuk bermain dalam perjuangan menentang bentuk subordinasi pada kekuasaan simbolik yang dilakukan penguasa, serta mampu berbicara dengan otoritas 87 Lihat Michel Foucault. Orderof Thing, Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 394. 71 tertentu tentang dunia sosial ”. 88 Lalu apa sebenarnya yang menjadi motif dominan dari reproduksi pengetahuan dalam kehidupan kaum intelektual, menurut Bacon bahwa motif inti ialah suatu reformasi komplit mengenai yang disebut belajar, memandang perkara, dan mencari penyelesaian soal, sehingga pada akhirnya tujuan yang hendak di capai adalah tak lain dari perbaikan yang benar-benar untuk masyarakat. 89 Tanggung jawab untuk memproduksi pengetahuan adalah salah satu cara bagi kaum intelektual dalam membentuk identitasnya, dan juga untuk menjelaskan dan membongkar mekanisme persoalan yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, ketika kaum intelektual menjalankan tanggung jawab ini, dengan sendirinya ia dapat menjadikan pengetahuannya untuk melegitimasi dirinya dalam ruang sosial dalam melakukan perlawanan atau kritik terhadap penyalagunaan otoritas tunggal dari penguasa di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan bukan hanya menjadi kerangka berpikir utopis, melainkan juga merupakan penjelmaan dari kekuasaan yang dimiliki oleh kaum intelektual dalam menempatkan posisi dan peran mereka pada kehidupan sosial. Dengan demikian pengetahuan merupakan identitas intelektual yang melekat pada kekuasaan. Menurut Foucault, “pengetahuan dan kekuasaan terintegrasi satu sama lain, dan tidak ada artinya jika memimpikan suatu masa ketika pengetahuan 88 Lihat Bourdieu Pierre and Passeron Jean-Claude. Reproduction in Education, Society and Culture. Trans. Richard Nice. London: Sage Publications, 1990, hlm 34. 89 Lihat Aswab Mahasin Ismed Natsir editor. Op.cit., hlm 108. 72 berhenti bergantung pada kekuasaan; ini hanyalah merupakan suatu cara untuk menghidupkan kembali humanisme dalam sebuah penyamaran utopis. Sungguh mustahil jika kekuasaan dijalankan tanpa pengetahuan, dan sungguh mustahil pula bagi pengetahuan untuk tidak memunculkan kekuasaan”. 90 Dalam artian bahwa di mana ada kekuasaan yang diafirmasi di situ pengetahuan terintegritas. Pengetahuan yang terintegrasi dengan kekuasaan akan dapat berjalan, jika ada agensi atau intelektual yang memproduksinya dalam arena akademik dan sosial. Pengetahuan tidak memiliki kebermaknaan inheren pada dan dirinya sendiri, melainkan kebermaknaan itu tergantung pada konteks sosial, di mana pengetahuan itu terbentuk atau terintegritas di dalamnya. Pembentukan pengetahuan dan penyebaran pengetahuan menjadi salah satu fungsi intelektual sebagai agensi sosial-kultural. Dengan artian, pengetahuan selalu berdialektika pada ruang ilmiah dan tidak terlepas dengan konteks kehidupan masyarakat tertentu. Hal itu mengandaikan bahwa status pengetahuan yang di reproduksi menunjukan keterikatan antara teori dan praktik. 2.3. Arena Kultural dan Pembentukan Identitas Intelektual Yang dimaksud dengan arena kultural di sini adalah arena intelektual itu sendiri yang ditempati oleh kaum intelektual di saat mereka mereproduksi wacana atau pengetahuan dalam bentuk karya, artikel, jurnal, maupun buku. Dari kesemuanya itu, tentu membutuhkan sebuah modal budaya dari agensi untuk bersaing di dalam 90 Lihat Michel Foucault. PowerKnowledge. Yogyakarta: Bentang 2002, hlm 66. 73 arena intelektual, jika ia ingin tetap mereproduksi dan mempertahankan identitasnya sebagai kaum intelektual. Sehingga pada akhirya legitimasinya sebagai intelektual dalam arena intelektual dapat terinternalisasi pada habitus yang terdapat dalam struktur mental kaum intelektual. Arena intelektual ini memiliki aturan main dan strateginya sendiri. Di mana arena tersebut membutuhkan modal-modal dari kaum intelektual untuk diperjuangkan atau dipertaruhkan agar mendapatkan pengakuan atau posisi mereka sebagai kaum intelektual di dalam arena intelektual atau kultural ketika dipraktikan. Dengan demikian, apa yang di kritiknya dalam melihat kondisi masyarakat pada ruang sosial dapat sesuai dengan otoritasnya sebagai kaum intelektual. Sebagaimana yang dijelaskan Bourdieu “arena adalah sebagai sebuah fungsi kemungkinan-kemungkinan yang termanifestasikan melalui berbagai posisi dan properti modal-modal ... juga sebagai sebuah fungsi dari posisi-posisi yang secara aktual dan potensial ditempati di dalam arena yang dialami, kesuksesan atau kegagalan”. 91 Tidak semua arena kultural dapat membentuk kesuksesan seorang agensi sebagai intelektual. Kesuksesan dapat termaktub di dalam diri intelektual, sejauh ia dapat menjalankan strateginya di dalam arena dengan modal-modal yang dimiliki. 91 Lihat Bourdieu . Op.cit., hlm 68. 74 Strategi merupakan cara untuk mendapatkan tujuan mereka dalam hal mereproduksi identitas intelektual yang dapat diinvestasikan pada arena intelektual maupun sosial. Oleh karena itu, identitas sebagai intelektual merupakan berjalannya relasi antara modal dan praktik di dalam arena intelektualkultural yang dapat melahirkan habitus mereka. Arena intelektual atau kultural ini merupakan salah satu medan pertarungan intelektual untuk melegitimasi kemampuan dan posisi mereka ketika berhadapan dengan kondisi dan situasi yang ada di dalam masyarakat maupun ranah ilmiah.

3. Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial