1. 8 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Iswanti 2009 menjelaskan bahwa pelarut etanol dapat menyari hampir keseluruhan kandungan simplisia, baik polar, semi polar
maupun non polar, sehingga diharapkan dapat menarik kandungan berbagai senyawa pada sampel yang diprediksi berkhasiat dalam
penyembuhan luka. Pelarut etanol 96 dipilih karena tidak banyak mengandung kadar air sehingga ekstrak yang dihasilkan lebih kental
dan murni. Selain itu konstanta dielektrik etanol 96 adalah 24,3 dimana semakin tinggi konstanta dielektrikum suatu pelarut akan
semakin baik pula kemampuannya dalam menarik senyawa-senyawa aktif dari sampel.
Filtrat hasil maserasi diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga
didapatkan ekstrak kental, kemudian ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan dalam oven vacuum dengan suhu 40
⁰C dan tekanan 17 mmHg selama 9 hari untuk mengurangi kadar air dan residu pelarut
pada ekstrak. Dari 1,5 kg serbuk umbi talas jepang diperoleh 168,859 gram ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh adalah 11,257.
Standarisasi parameter non-spesifik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kadar abu dan uji kadar air. Parameter non-
spesifik merupakan suatu aspek yang berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen
dan stabilitas. Tujuan dari uji kadar abu untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam ekstrak. Persentase
kadar abu total tidak boleh lebih dari 16,6 Depkes RI, 2000. Hasil pengujian yang diperoleh untuk kadar abu total sebesar 3,753
sehingga sesuai dengan persyaratan. Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama kalium 740 mg100 g, magnesium 79-122
mg100 g, kalsium 24.7-47.8 mg100 g dan natrium 11.1-42 mg100 g McEwan, 2008.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan Depkes RI,
2000. Uji kadar air ekstrak etanol umbi talas jepang dilakukan dengan metode gravimetri dan diperoleh hasil kadar air sebesar 17,105. Hasil
ini sesuai dengan persyaratan batas kadar air untuk ekstrak kental adalah antara 5-30. Penentuan kadar air juga terkait dengan
kemurnian ekstrak. Semakin sedikit kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh pertumbuhan
jamur Saifudin et al, 2011 dalam Haryani et al, 2013. Kemudian dilakukan skrining fitokimia pada ekstrak etanol umbi
talas jepang. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang mengandung alkaloid, flavonoid, saponin,
terpenoid, steroid, tanin, polifenol dan glikosida jantung. Senyawa- senyawa tersebut berperan dalam menyembuhkan luka. Selain itu, hal
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Subhash et al 2012 yang menggunakan ekstrak umbi Colocasia esculenta dengan enam pelarut
berbeda petroleum eter, benzen, kloroform, methanol, etanol dan air diketahui positif mengandung alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol,
triterpenoid, saponin dan glikosida. Ekstrak umbi talas jepang yang telah distandarisasi kemudian
didispersikan dalam basis krim untuk diaplikasikan pada luka. Sediaan krim dipilih karena mempunyai keuntungan yaitu bentuknya menarik,
sederhana dalam pembuatannya, mudah dalam penggunaan, daya menyerap yang baik dan memberikan rasa dingin pada kulit, krim dapat
digunakan pada kulit dengan luka yang basah, dan terdistribusi merata Depkes RI, 1995; Wijaya, 2013. Krim lebih mudah menyebar rata dan
sedikit berminyak sehingga lebih mudah dibersihkan, tidak lengket dan lebih disukai dari pada salep Ansel, 1989; Rahmawati, 2010. Selain
itu, krim juga dapat menyejukkan bagian yang meradang, mengurangi rasa gatal dan rasa sakit Clayton, 1996; Rahmawati, 2010.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang berumur 8 minggu. Tikus
yang digunakan merupakan tikus sehat dengan bobot sekitar 100-100 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari pengaruh faktor
hormonal estrogen dan progesteron dalam penyembuhan luka Putri, 2013. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif
yang diberikan krim Lanakeloid-E
®
, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim dan 3 kelompok uji yang diberikan krim dengan
konsentrasi berbeda 1, 5 dan 25. Hewan uji diaklimatisasi selama 7 hari dengan tujuan agar hewan uji mampu menyesuaikan diri
dalam kondisi lingkungan yang baru sebelum pengujian dimulai. Seluruh kelompok pengujian ditempatkan pada kandang yang berbeda
dengan kepadatan masing-masing 1 ekor. Berat badan hewan uji ditimbang dan dicatat untuk melihat kemampuan adaptasi dari masing-
masing tikus selama proses aklimatisasi. Masing-masing tikus dicukur bulunya pada daerah punggung dan
daerah sekitar 3 cm dibawah auricula tikus dengan tujuan memudahkan pengamatan luka bakar dari hari ke hari sebelum perlukaan dilakukan.
Kemudian masing-masing tikus juga diberikan injeksi intramuskular Ketamin-HCl dosis 90 mgkgBB dengan tujuan memudahkan dalam
penanganan serta mengurangi rasa sakit yang akan ditimbulkan selama dan setelah perlukaan. Pembuatan luka bakar dilakukan dengan metode
Akhoondinasab dengan memanaskan plat besi berukuran 4x2 cm di dalam air mendidih selama 5 menit kemudian ditempelkan pada kulit
punggung tikus selama 10 detik. Setiap tikus diberikan krim pada pagi dan sore hari sebanyak ±
1,5 gram sesuai dengan kelompoknya. Pengamatan luka dilakukan dengan interval selama 2 hari untuk melihat perubahan fisik yang
terjadi pada daerah perlukaan. Pengamatan luka yang terjadi pada kelompok kontrol positif adalah terbentuknya keropeng scab rata-rata
dimulai dari hari ke-2, lepasnya keropeng scab terjadi rata-rata pada hari ke-16 dan pada hari ke-21 rata-rata luas luka mengalami reduksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibandingkan luas luka awal. Pada kelompok kontrol negatif terbentuknya keropeng scab rata-rata dimulai dari hari ke-4, lepasnya
keropeng scab terjadi rata-rata pada hari ke-20 dan pada hari ke-21 rata-rata luas luka sudah mengalami reduksi.
Pada kelompok uji konsentrasi 1 dan 25 terbentuknya keropeng scab dimulai dari hari ke-2, lepasnya keropeng scab
terjadi rata-rata pada hari ke-16 dan pada hari ke-21 sudah mengalami reduksi dibandingkan luas luka awal. Pada kelompok uji konsentrasi
5 terbentuknya keropeng scab dimulai dari hari ke-4, lepasnya keropeng scab terjadi rata-rata pada hari ke-16 dan pada hari ke-21
rata-rata luas luka sudah menurun dibandingkan luas luka awal. Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka
memasuki fase proliferasi tahap awal Agustina, 2011. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-
kapiler baru, membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tidak rata disebut jaringan granulasi, fase ini terjadi pada hari ke 3-14
Kozier, 1995 dan Taylor, 1997. Kecepatan terbentuknya keropeng dari masing-masing kelompok perlakuan menandakan kecepatan dari
penyembuhan luka Aponno et al, 2014. Dari hasil tersebut, teramati bahwa kecepatan penyembuhan luka pada ketiga kelompok uji
konsentrasi 1, 5 dan 25 hampir serupa dengan kelompok kontrol positif yaitu dalam rentang terbentuknya keropeng hingga lepasnya
keropeng antara hari ke-2 hingga hari ke-16. Sedangkan penyembuhan luka pada kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan basis krim
dalam rentang antara hari ke-4 hingga hari ke-20. Pada ketiga kelompok uji konsentrasi ekstrak etanol umbi talas
jepang mengalami proses penyembuhan yang hampir sama dengan kelompok kontrol positif. Hal ini dibuktikan pada waktu mulai
terbentuknya keropeng scab dan waktu lepasnya keropeng. Perubahan warna luka bakar derajat dua terjadi seiring dengan mulai
mengeringnya luka. Waktu pelepasan keropeng scab menandakan bahwa sudah terjadi pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga