Pluralisme Dan Hikmah Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam
pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah kebijaksanaan darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra:
“Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim
adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungan-
kecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat- umat yang lain.”
66
“Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi
mereka hikmah kebijaksanaan akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada
salah satu hadis mengenai “hikmah” kebijaksanaan, modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-
prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan
mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara
konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis. Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya bahwa evolusi
kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah
nilai-nilai universal yang sesuai dengan the human nature watak manusia, sungguhpun secara formal tentulah tidak semua manusia
memelu
k agama Islam.”
67
Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan
diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah kebijaksanaan
darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra: “fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada
pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu
antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara
66
Ibid., hal. 31
67
Ibid., hal. 31
kafah menyeluruh dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai
sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini,
yang disimbolkan dengan sejarah para
Nabi dan para penentangnya.”
68
Dengan pembagian dikotomis masyarakat yang kaku diatas, menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Maka hikmah kebijaksanaan tidak perlu dicari dalam masyarakat yang telah jelas-jelas bersifat Jahailiah itu. Karena itu, fundamentalisme
cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan
oleh masyarakat lain. Memang, bagi fundamentalisme, manusia didunia ini hanya dihadapkan kepada dua
pilihan, menjadi “mu‟min” atau menjadi “kafir.”
69
Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa kalangan modernisme Islam memandang positif dan optimis ini terhadap pluralisme yang mendorong bersikap
terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membuat mereka berkeyakinan bahwa hikmah atau kebijaksanaan dapat ditemukan dimana saja tanpa terkecuali
teemasuk masyarakat Barat. Sedangkan kalangan fundamentalisme Islam cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, masyarakat
cenderung dilihat sec ara “hitam-putih”, yaitu antara masyarakat Islam-i yang
meyakini dan mengamalkan doktrin secara kafah menyeluruh dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya.
68
Ibid., hal. 32
69
Ibid., hal. 32