Ijma Dalam ensiklopedia umum, apabila ada kejadian atau peristiwa yang
mereka tidak sepakat menyangkut ijma siapa yang bisa dipedomani-apakah ijma para sahabat, para ahli ilmu hukum, atau masyarakat awam? Mereka juga berbeda
pendapat tentang apakah semua ahli hukum harus diikuti, apakah hanya ahli hukum di wilayah tertentu, atau hanya ijma ahli hukum yang memiliki kualifikasi
tingkatan tertentu. Selain itu menurut Khaled M. Abou El Fadl, mereka tidak sepakat tentang apakah ijma suatu generasi mengikat generasi lain, dan apakah
ijma di sebuah wilayah tertentu mengikat wilayah lainnya
63
. Perbedaan dalam memanai masalah ijma ini, terlihat ketika aktivis modernisme dan
fundamentalisme Islam dalam memaknai masalah ijma. Menurut Yuril Ihza Mahendra, perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah „ijma‟ anatara
modernisme dan fundamentalisme Islam, merupakan akibat dari perbedaan kecenderungan penafsiran atas doktrin agama. Berikut adalah pandangan ijma
menurut kalangan modernisme Islam: “Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis
terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga memandang ijma konsensus yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat
diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang
melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis
juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum
– menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu
zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti
itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh dok
trin.”
64
63
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif”,
Jakarta, Serambi,2001, h. 118.
64
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam memaknai masalah ijma:
“Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman.
Ijma demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-
dengan kaum modernis-pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan
tabi l- tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh
para ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”
65