Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam

berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis 24 ”. “Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan barat untuk membedakam dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama kristen itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguhpun demikian dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuwan barat maupun ilmuwan muslim telah menggunakan istiah yang tidak sama dalam mengategorikan kedua aliran tersebut. Istilah modernisme sering juga di ganti dengan istilah- istilah lain, seperti “reformism”, reawakening, renaissance, dan renewal. Sedangkan istilah fundamentalisme sering pula di ganti dengan istilah- istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstruvtionsm. Dalam diskursus teoritis, sebagaimana biasanya, para penulis bukan saja saling berbeda dalam menggunakan istilah, tetapi istilah yang sama, sering pula didefinisikan dengan maksud yang berbeda” 25 . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang terdapat perbedaan konteks dan aplikasi konsep modernisme dan fundamentalisme dalam Kristen dan Islam. Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa masalah modernisme dan fundamentalisme dalam Islam telah menjadi konsep yang mapan dan diterima masyarakat luas, terutama untuk memotret fenomena orientasi ideologis aliran pemikiran dan gerakan Islam. Meski secara terminologi modernisme dan fundamentalisme masih diperdebatkan karena konteks munculnya khas Kristen Protestan, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi agama, istilah tersebut telah dianggap mapan dan diterima untuk menganalisis gejala perkembangan aliran pemikiran dan gerakan agama 26 . Untuk itu penulis, akan 24 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 5-6 25 Ibid. 5-6 26 Untuk lebih mengetahui perdebatan istilah modernisme dan fundamentalisme, diterangkan lebih lanjut oleh Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al- Qur‟an Persfektif Modernisme tetap mempergunakan istilah ini dalam penulisan kerangka teori penulisan ini. Dan sedapat mungkin, kedua istilah itu akan di gunakan secara netral. Penulis sadar bahwa pemilihan istilah tekhnis dalam suatu kajian ilmiah memang akan dihadapkan pada resiko-resiko tertentu yang tidak seluruhnya dapat di hindari. Penggunaan modernisme dan fudamentalisme sebagai istilah tekhnis dalam kerangka teori ini akan di perinci secara lebih jelas dala pembahasan pandangan keagamaannya.

B. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi “negara-agama”, selanjutnya membesar pada masa khalifah, dan menjadi kekuatan politik internasional yang tidak kecil pengaruhnya pada masa Dinasti Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu, Islam membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia dengan cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa inilah khususnya Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari- Juni 2003: 95-115. pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota Baghdad Ibukota Dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol, yang bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah, Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Hancurnya tatanan masyarakat muslim itu semakin terasa saat tiga kerajaan besar Islam pengganti Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan simbol masyarakat muslim secara ekonomi, politik dan militer mengalami kehancuran. Dijelaskan oleh Akber S. Ahmed, bahwa luluh lantahnya kejayaan Islam disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakharmonisan tiga kerajaan Islam terakhir yaitu Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan kelanjutan dari dinasti Islam sebelumnya yaitu Umayyah dan Abasiyah, menurutnya : “Tidak ada kesatuan simbolik baik dalam sikap keagamaan, maupun politik, satu sama lain tidak pernah akur, dan dalam rangka memperluas kekuasaan, mereka tidak hanya menyerang serta menaklukkan serta menaklukkan bangsa-bangsa non-muslim, tetapi juga menganeksasi wilayah-wilayah muslim. Utsmani, misalnya, yang berbasis di Turki terus memperluas wilayahnya dengan menundukkan Siria, dan Irak sebagaian besar Afrika Utara. Sikap yang sama juga dilakukan oleh dua kerajaan lainnya dengan cara menundukkan wilayah disekitar