Preseden Tradisi Zaman Awal Islam

Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.” 141 “Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah “sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin – yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan 141 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30 aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman yang lampau.” 142 Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman.” 143 Tradisi di dalam penelitian ini dimaknai sebagai kerelevanan kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, yang di batasi pada tradisi hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Kerelevanan dalam penelitian ini dimaknai sebagai cocok atau tidak pengaplikasian hukum tersebut dijaman modern. Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kerelevanan tradisi hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Tidak Relevan. Dari delapan informan yang dimintai pendapatnya tentang tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita apakah masih relevan atau tidak untuk diterapkan di saat sekarang modern, sebagian besar informan menyatakan bahwa tradisi Islam tersebut sudah tidak relevan lagi. Secara umum, pertimbangan- 142 Ibid., hal. 30 143 Ibid., hal. 32 pertimbangan yang dijadikan alasan adalah pertama, bahwa setiap daerah mempunyai masalahnya sendiri-sendiri yang tidak bisa diterapkannya ketiga hukum itu. Kedua, ketiga hukum itu potong tangan bagi yang mencuri, waris dan kepemimpinan wanita tidak bisa menjaga kemaslahatan atau kebaikan bersama karena setiap daerah berbeda budaya dan akan menimbulkan ancaman bagi yang lain non-Muslim. Hal ini seperti diungkapkan oleh SHI. “Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena setiap daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya satu solusi. Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tangan, saol wanita dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan. Karena zaman modern solusinya harus ditemukan benar-benar, mengatasi tidak bisa oh ini diterapkan di masa Rosul pasti benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya ya sama kayak jaman raja pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya ga ada solusi yang diberikan” 144 . Senada dengan SHI, IHN menambahkan bahwa diluar masalah ibadah, ia mengatakan bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita sudah tidak relevan lagi diterapkan. “Gak gak relevan yang kita bicarakan tadi kan, diluar hukum ibadah niyh loh ya. Karena itu tadi, kalau saya dasar hukum itu yang paling penting adalah menjaga kemaslahatan dan kebaikan bersama. Kalau kemudian ketetapan hukum itu mencurangi bagian lain, maka hukum itu wajib untuk diganti atau di hapus” 145 . Menurut ROS bahwa hukum potong tangan, waris, dan kepemimpinan wanita memerlukan pengkajian ulang. Ketiga hal itu, dapat relevan asal menjadi kesepakatan bersama, akan tetapi di negara yang beranekaragam, hal itu tidak relevan karena dapat menimbulkan ancaman bagi yang lain. 144 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 145 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 “Semua tradisi hukum yang kita bahas tadi seperti potong tangan, waris dan masalah pemimpin laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak relevan tapi masih bisa diterapkan dengan alasan menjadi kesepakatan bersama di komunitas bersama dan di keyakinan bersama juga. Tapi dalam konteks kita bernegara itu hampir semua warga negara punya keyakinan yang berbeda hal seperti itu kalau dijadikan dalam aturan bernegara pasti akan jadi ancaman bagi yang lain. Syariat Islam itu tidak relevan lagi di terapkan dalam konteks bernegara. Tapi lebih pada ketika hal-hal seperti itu kita terapkan dalam kontek kehidupan bersama seorang muslim harus ada semacam kesadaran bersama tanpa harus diterapkan dalam bentuk UU yang harus dipatuhi oleh semuanya” 146 . Hal ini ditegaskan oleh ISN bahwa, di Indonesia sudah ada UU dan ini merupakan kesepakatan ulama dan para pemikir-pemikir, jadi kesepakatan hukumnya sudah sah. Dan juga negara ini menurutnya bukan negara yang berdasaran Islam. “Tergantung negara. Kalau negara kita belum itu kan negara kita kan menggunakan hukumnya UU. UU itu bikinan manusia, UU itu ijma kesepakatan para pemikir pemikir, para ulama, kalau itu sudah kesepakatan berarti itu sudah sah” 147 . “Hukum waris masih relevan tapi yang menggunakan sebagian-sebagaian untuk kemas lahatan” 148 . “Kita gak apa-apa mau pemimpinnya wanita laki laki gak apa-apa inin kan negara ini apa bebas yang bukan berdasarkan Islam” 149 . Senada dengan informan diatas, IBL berpendapat hanya soal ibadah yang masih relevan sedangkan yang lainnya kurang relevan. “Soal ibadah doang syih kalo menurut gua mah, yang sangat dan sangat relevan gak boleh itu ditambah-tambah misal solat asar jadi 5 rakaat gitu atau waktunya diubah, jangan-jangan gak boleh itu. Soal yang lain 146 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012 147 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 148 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta,12 September 2012 149 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 misalnya hukum potong tangan, jangan lah kasihan masyarakat kita de ya gak” 150 . “Terus apa tadi waris tadi kan, emang bagus syich bagi gua tapi kasihan cuy perempuan, ade gua soalnya banyakan perempuan yang cowok cuma gua doang. Astagfirullahaladzim , ampunilah aku ya Allah, hahahaha” 151 . “Terus yang satu lagi tadi soal apakah perempuan boleh mimpin ya, menurut gua mah yang penting itu, tidak melanggar batas-batas yang ditentukan aja, yang penting itu, asal dia mampu yang silahkan” 152 . Berbeda dengan informan lainnya diatas, SPO memberikan jawaban sederhana soal ketidakrelevanan ketiga tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. “Tradisi. Yap. Intinya akumah Beda kodisi sosial maksudnya begini kopi ini cocoknya pake gula apa misalnya, tapi kemudian kita kasih gula yang lain ya gak akan co cok jadinya. Ya kayak gituh” 153 . 2. Relevan. Berebeda dengan informan lainnya, IHM mengatakan bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan laki-laki diatas perempuan, masih relevan di terapkan karena banyak mengandung manfaatnya. “Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak ibrohnya sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu memang sudah klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika akan melakukannya lagi, menurut saya kemungkinannya lebih kecil daripada hukum yang sekarang penjara gitu kan hanya beberapa tahun sudah bebas gitu kan efek jeranya kurang apa lagi di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi kurang adil” 154 . “Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling jelas itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya pun bisa 150 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 151 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 152 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 153 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012 154 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu bagi saya kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah bilangnya seperti itu rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi menurut saya sangat baik menggunakan hukum waris Islam. Karena itu sangat adil” 155 . “Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya ketika memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian permpuan tapi karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah berikan. Tapi bukan berarti laki- laki lebih baik” 156 . Hal senada juga diungkapkan oleh DNU bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita dalam Islam masih relevan diterapkan di masa sekarang. “Masih dan sangat relevan sekali kalau kita melihat kondisi sekarang, dimana moralitas itu sudah hancur banget. Maka hukum potong tangan ini bisa dan bagus untuk diterapkan, tinggal para pemimpinya saja apakah mereka mau atau tidak. Kalau saya syich siap untuk itu” 157 . “Kalau hukum waris dalam Islam memang ketentuannya sudah seperti itu tidak boleh dirubah-rubah lagi. Dan ini merupakan ketetapan Tuhan, hitungannya sudah jelas dan saya yakin ini dapat mendatangkan kebaikan bagi kita” 158 . “Perempuan harus memposisikan dirinya, sebagi pelengkap bagi laki-laki dan menurut saya kepemimpinan memang laki-laki memang harus diatas perempuan. ya karena itu memang perintahnya” 159 . Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini melihat tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita sudah tidak relevan lagi diterapkan pada saat sekarang modern. Hal ini, membuat kecenderungan pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam 155 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 156 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 157 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 158 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 159 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 cenderung bersifat modernis. Karena kalangan modernisme memandang tradisi awal yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan diterapkan pada saat sekarang modern. Hal ini, membuat kecenderungan pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam cenderung bersifat fundamentalis. Karena fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya.

3. Ijma

Menurut Yuril Ihza Mahendra, perbedaan dalam kecenderungan penafsiran antara modernisme dan fundamentalisme Islam, bukan hanya menibulkan perbedaan dalam masalah ijtihad dan preden zaman awal Islam, tapi juga menghasilkan perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah ijma. Berikut adalah pandangan ijma menurut kalangan modernisme Islam: “Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga memandang ijma konsensus yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah