Ijma Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat.
mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi
konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus
diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah
ditentukan oleh doktrin.”
160
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam memaknai masalah ijma:
“Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma
demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-dengan
kaum modernis- yang pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan tabi l-
tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh para ulama di masa lampau yang dipandang
mempunyai otoritas.”
161
Dari delapan orang informan, sebagian besar sepakat bahwa harus diberikan apresiasi terhadap ijma-ijma terdahulu asalkan tidak taklid
162
, karena mereka adalah orang yang pintar, menjadi tulang punggung dan dihormati oleh
masyarakat
163
. Dan karena sanad keilmuannya jelas yaitu datang dari Nabi Muhammad sendiri
164
. Selain itu ijma-ijma para ulama terdahulu ketika mengeluarkan ketetapan hukum atas suatu masalah, ada proses yang panjang dan
tidak sembarangan orang
165
. Berbeda dengan sebagian besar informan SPO tidak mau diatur-atur dengan hal-hal seperti itu ijma.
“Gak setuju, jadi apa ya kalau aku pribadi, aku orangnya memang gak mau terlalu diatur-atur dikekang, i have my own conditions, yang beda
160
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30
161
Ibid., hal. 32
162
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
163
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
164
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
165
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
dengan orang lain ya kalau gak setuju dengan kondisi saya ngapain ikut yang kayak gituh”
166
. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitan, terhadap delapan mahasiswa UIN
Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang apakah ijma para ulama-ulama pada zaman dahulu tabiin dan tabi l-
tabi‟in dapat diperbaharui atau tidak. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini.
1. Ijma Zaman Tabiin Dan Tabi L-Tabi‟in Dapat Diperbaharui
Sebagian besar informan dalam penelitian ini, berkeyakinan bahwa ijma- ijma para ulama terdahulu itu bisa diperbaharui sesuai dengan pertimbangan
jaman asalkan tidak keluar dari sumber hukum
167
dan melibatkan bukan hanya para ulama tapi juga para insan akademis diluar ulama
168
, tetap mengacu pada ijma terdahulu
169
. Hal ini seperti diungkapkan oleh IHN. “Tentu bisa, asal itu tadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal
yang ada dalam sumber h ukum utama yang kita sebutkan tadi”
170
. Hampri senada dengan IHN, IBL mendasarkan pada kondisi zaman dan
masyarakat yang membuat ijma itu bisa diperbaharui. “Ya boleh lah dirubah ijma itu, ya yang sesuai dengan zaman atau
masyarakatnya aja sesuai yang gua bilang di awal de tentang hukum waris, potong tangan sama apakah wanita boleh mimpin gitu”
171
. Selaras dengan informan diatas, ROS mengatakan bahwa ijma itu bukan
sesuatu yang bersifat eksklusif tapi harus menjadi sesuatu yang inklusif agar bisa melahirkan ijma-ijma baru yang masih relevan.
166
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012
167
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
168
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta 10 September 2012
169
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
170
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
171
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 14 September 2012
“Ijma, hal-hal seperti itu harus diapresiasi itu kan ijtihad yang kemudian dijadikan ijma yang harus dipatuhi oleh umat islam tapi tidak
berarti hal-ha seperti itu tidak bisa dirubah lagi. Hal-hal itu harus senantiasa bersifat inklusif. Yang melahirkan bentuk- bentuk ijma baru
yang nanti masih bisa relevan dan kita pahami untuk dijadikan acuan dalam konteks kehidupan”
172
. Kewajiban untuk tidak mempertahankan ijma terdahulu juga dikemukakan
oleh SHI, bahwa masalah-masalah itu sekarang semakin kompelks bukan hanya datang dari agama tapi dari wilayah sosial, oleh karena itu perlu melibatkan
banyak orang dalam membuat keputusan hukum. “Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi itu
ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan hanya ahli agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari agama,
permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan yang ahli dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma karena kalau ahli
agama itu gak mungkin dan enggak akan menghasilkan solusi kalau masalahnya bukan dari agama sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai
ulama-ulama memberikan solusi? padahal mereka bukan ahlinya makanya harus mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam
bidang itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-
ulama MUI”
173
. 2.
Ijma Tabiin Dan Tabi L-Tabi‟in Dapat Diperbaharui Dengan Pertimbangan
Sedikit berbeda dengan dua orang diatas, ISN mengatakan bahwa ijma- ijma pada zaman dahulu tetap dipakai acuan, dalam merumuskan ketetapan
hukum, tapi bukannya tidak bisa dirubah. Ia juga menambahkan bahwa ijma itu tergantung dari setiap wilayah, karena setiap wilayah mempunyai ijma tersendiri.
“Jadi memberikan suatu penghargaan ijma-ijma menggunakan ijma-ijma beliau terdahulu itu digunain aja. Nanti kalau kita bikin ijma sendiri. Itu
172
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
173
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
waktu permasalahan pancasila dasar-dasar negara itu kan ijma sendiri bukan ijma mereka tapi itu seiring perkembangan jaman kan
permasalahan semakin komplek butuh pemikiran-pemikiran, itulah akan timbul ijma-
ijma yang baru”
174
. “Kalau ijma zaman dahulu Gak bisa dirubah semisal pendapatnya salah
satu imam. Biarlah itu pendapat beliau tapi kalau sekarnag pendapatnya itu kan kadang-kadang bisa dipakai atau enggak tapi kalau enggak bisa
dipakai pemikir-prmikir sekarang kita berpikir lagi sesuai dengan konteks sekarang. Jadi bukan pemikiran mereka yang dirubah. Ijma itu kan
tergantung dari setiap wilayah setiap wilayah kan punya ijma sendiri- sendiri”
175
. Pendapat hampir sama dengan ISN dikemukakan oleh IHM ijma bisa
diperbaharui tetapi dengan catatan bahwa kita tetap harus mengacu pada ijma terdahulu.
“Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada zaman
rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita memakai uang kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang panjang pake uang
kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi bukan diperbaiki juga sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut saya tetap haru mengacu
kepada ijma yang sudah ada ditetapkan. Ijma itu kan mengikuti kondisi dan tempat sebenarnya, tapi mengan catatan mengikuti ijma yang
sebelumnya. Jadi ijma yang dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma yang baru”
176
. Berbeda dengan informan lainnya, DNU mengatakan bahwa ijma dapat
diperbaharui, asalkan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi, tapi ia menambahkan bahwa para ulama sekarang tidak bisa menandingi kemampuan
ulama zaman dahulu dalam perumusan hukum Islam fiqh. “Kalau tidak bertentangan dengan al-quran dan hadis ya boleh dirubah
asal jangan dikorbankan untuk perkembangan jaman aja. Jangan atas nama jaman berubah terus kita boleh mengubah-ngubah syariat gitu ya
174
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
175
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
176
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 Septeber 2012
gak boleh lah. Dan juga para ulama sekarng kan menurut saya gak ada yang bisa menandingi kemampuan mereka dalam merumuskan fiqh.
Intinya gini mas kalau ulama zaman sahabat, tabiin seperti zaid bin tsabit, abu hurairah, dll sudah bersepakat tentang masalah hukum ya harus
diikuti, karena mereka ya tadi sanad keilmuannya jelas mereka itu belajar agamanya ke nabi Muhammad
”
177
. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini, tidak melupakan sumbangsih ijma-ijma terdahulu, hal itu dapat
dilihat dari pemberian apresiasi penghargaan terhadap hasil ijma ulama-ulama terdahulu. Akan tetapi, sebagaian besar informan memandang bahwa ijma-ijma
para ulama terdahulu tabiin dan tabi l- tabi‟in dapat diperbaharui. Hal ini,
membuat kecenderungan pemakanaan dalam melihat masalah ijma sebagian besar informan dalam penelitian ini cenderung bersifat modernis. Karena kalangan
modernisme Islam memandang ijma konsensus yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal
ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan
memperbaharui ijma para sahabat nabi.