Ayat Tentang Kepemimpinan Wanita

kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin merupakan faktor utama ayat ini harus di tafsirkan ulang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh IBL. “Ini kalo menurut gua ya, sesuai yang gua pahami aja ya. Menurut gua syich simpel aja, kalo perempuan bisa ya kenapa enggak, yang dilihat kan sebenarnya bukan jenis kelaminnya tapi kemampuannya. Kalo dia bisa mimpin negara ya kenapa enggak. Jadi siapa yang yakin niyh merasa mampu ya monggo maju. Tapi jangan blee juga dikita mah jadi negarawan itu bukan dari hati, jadi dari kesadarnnya gitu, ini mah giliran ada duit maju, gak ngeliat, jadi bertanya gitu, berdialog dengan dirinya gitu, apa saya bisa gak, jangan jadi negarawan jadi-jadian. Ya jadi nya gini niyh negara kita ” 136 . Hal senada juga dikemukakan oleh SPO. “Gak harus lihat skill aja. Bisa aja perempuan lebih dari laki-laki, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Kalau mau lebih lihat kekurangannya seperti hamil, haid dan lain-lain, laki-laki juga punya kekurangan gituh jadi ya dipertimbangkan mana yang lebih pantas aja, kalau misalkan mau lihat kekurangan dari perempuannya hamil dsb, tapi laki-laki juga punya kekurangan gituh, jadi yang mana diantara laki-laki dan perempuan itu yang pantas jadi pemimpin dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki itu aja. Banyak koq perempuan yang jadi pemimpin kayak di inggris seperti Ratu Elizabeth. Sebenarnya ga bertentangan ini kan harus kontekstual kalau di arab kan mungkin konteksnya kayak gitu tapi kalau sekarang kan beda. Kalau aku lebih pada perkembangan kondisi saat ini aja” 137 . Hampir sama dengan informan diatas, menurut ISN bahwa tidak masalah perempuan memimpin dalam berbagai hal, karena dalam sejarah memang banyak perempuan yang menjadi pemimpin dan itu berhasil. “Yang penting punya kemampuan. Di kita buktinya namanya Ratu Tri Buana Tungga Dewi itu ibunya Hayam Wuruk ratu itu bisa memimpin negara Majapahit setelah Prabujayanegara itu kekuasaannya sanagat luas dan bisa bersifat adil makmur. Maksud dari arti jalalukaumalannisa itu kan dalam konteks keluarga jadi ibunya ini harus nurut sama sang 136 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 137 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012 suami bagaimanapun walau pun istrinya ini seorang pejabat misal bupati misalnya itu ketika sudah nyampai rumah harus tunduk sama suami. Walau diluar rumah suaminya bawahan bupati perempuan itu, tafsirannya ibu rumah tangga itu. Jadi kalau pemimpin negara gak apa- apa” 138 . Sedangkan SHI melihat bahwa pemerintah, organisasi dan anggotanya harus bekerjasama untuk menghasilkan pemimpin dan itu tidak dilihat dari jenis kelamin. “Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi saya konteks itu lebih penting dari hanya pemahaman teks. Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu mimpin mimpin negara, kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu kepemimpinannya. Laki-laki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi intinya pemerintah, organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama. Pemimpin ini bisa enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil maksimal” 139 . Sedikit berbeda dengan informan diatas, IHN mengatakan bahwa hanya dalam masalah agama saja perempuan harus tetap mengedepankan laki-laki sebagai pemimpin. “Gak-gak harus seperti itu, karena kalau zaman sekarang secara personal perempuan juga ada yang melebihi laki-laki. Ini kan masalah mampu dan tidak mampu kalau mampu ya gak apa. Saya yakin pereempuan bisa koq. Dalam semua hal kalau perempuan bisa ya gak apa-apa. Oh ya tapi kalau masalah agama selama ada laki-laki mas, perempuan harus memposisikan dirinya ” 140 . 2. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali Berbeda dengan sebagian besar informan lainnya, DNU mengatakan bahwa walaupun perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang harus memposisikian dirinya di belakang laki-laki. 138 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 139 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 140 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 “Kalo saya syich selama ada laki-laki ya perempuan harus tau posisinya walaupun mereka hebat tapi laki-laki juga kan banyak juga. Dan juga urusannya perempuan itu ribet kalau mimpin negara ya kan, belum dia hamil nanti itu kan 9 bulan mas, belum haidnya, dll. Jangan dech kalau menurut saya mah ini urusan laki-laki. Perempuan itu sebaiknya berdiri dibelakang laki-laki, mereka itu salah satu penyemangat paling hebat loh. Tapi gak berarti posisi perempuan dibawah loh tapi lebih pada saling mengisi satu sama lain ”. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini melihat ayat dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, diperlukan ijtihad kembali kebijakan hukum tersebut, yang didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin. Hal ini, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini terhadap Al-Quran surat an-Nisa ayat 34 diatas cenderung bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini selaras dengan kecenderungan penafsiran modernisme Islam. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa kebijakan hukum kepemimpinan laki-laki tas wanita dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, sudah cukup jelas karena menurutnya walaupun perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang harus memposisikan dirinya dibelakang laki-laki. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis.

2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam

Pembahasan ini merupakan hasil penelitian untuk melihat pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam masalah preseden teladan tradisi zaman awal Islam yang dihubungkan dengan pemaknaan preseden tradisi zaman awal Islam aliran modernisme dan fundamentalisme Islam. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.” 141 “Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah “sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin – yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan 141 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30