28 Berbagai aksi peluncuran uji coba nuklir didukung oleh rezim Kim Jong Il
yang sudah pasti dapat meningkatkan perhatian dunia terhadap Korea Utara. Hal terebut tentu saja mengundang kritik dan sanksi yang sangat keras dari PBB. Aksi ini
dinilai sebagai tindakan provokatif yang melanggar moratorium sukarela Korea Utara dalam uji coba peluncuran rudal jarak jauh.
Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara di kawasan karena dikhawatirkan mengganggu stabilitas keamanan
regional yang dapat berujung pada konflik antar kedua Korea. Ketegangan antara kedua negara Korea tersebut menimbulkan dibentuknya zona demiliterisasi. Akan
tetapi, pengaturan latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan ternyata semakin menambah masalah baru di kawasan tersebut Branigan, 2010.
B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya
Keberhasilan Korea Utara dalam pengembangan nuklir, akhirnya tertangkap mata dunia internasional. Sehingga pada 1977 Korea Utara menandatangani
perjanjian dengan Badan Energi dan Atom Internasional IAEA yang mengizinkan IAEA melakukan pemeriksaan terhadap reaktor riset yang dibangun atas bantuan Uni
Soviet tersebut Ceuster dan Melissen 2008, h.9. Atas desakan dunia Internasional dan meningkatnya laporan intelijen AS
mengenai pembangunan reaktor nuklir di negara tersebut, maka Pyongyang juga terpaksa mengabulkan Perjanjian Non-proliferasi Nuklir NPT pada 12 Desember
29 1985. NPT merupakan suatu perjanjian yang membatasi kepemilikan senjata nuklir.
Dengan masuknya Korea Utara ke dalam NPT, maka mewajibkan Korea Utara melakukan proses denuklirisasi, yaitu proses terwujudnya penghapusan kepemilikan
senjata nuklir Kimball 2012. Pada tahun 1992, ketika pemeriksa IAEA pertama kalinya diizinkan
mengakses reaktor, Pyongyang mengklaim bahwa reaktor mengalami kesulitan dalam menghidupkan reaktor dan mengalami kesulitan kontrol yang mencegah
pengoperasian daya secara penuh dan mengakibatkan mesin sering mati selama beberapa tahun pertama beroperasi Pinkston 2008, h.24.
Sebelum tahun 1992, Korea Utara melakukan uji coba pengembangan terkait nuklir ledak tinggi di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon. Hal ini sebagaimana
laporkan Komite Keamanan Rusia pada 22 Februari 1990 yang dibocorkan kepada media Rusia pada Maret 1992. Badan intelijen Soviet telah menyimpulkan bahwa
Korea Utara telah berhasil mengembangkan bom nuklir di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon Badan Intelijen Rusia, 1995. Padahal selama kunjungan inspeksi IAEA
terhadap situs ini pada 1992, IAEA tidak menemukan bukti bahan nuklir. Selanjutnya, IAEA terus berusaha mengakses dua terduga situs pembuangan
untuk menentukan apakah limbah radioaktif yang diproduksi oleh aktivitas pemrosesan ulang yang tidak dilaporkan kepada IAEA disimpan di lokasi tersebut
atau tidak. Pada September 1992, pengawas IAEA diizinkan untuk mengunjungi bangunan yang menjadi pusat pembuatan kendaraan militer Korea Utara Mazaar
30 1995, h.79. Korea Utara menyatakan bahwa bangunan tersebut tidak memiliki ruang
bawah tanah. Setelah Korea Utara berulang kali menolak tuntutan untuk pemeriksaan yang lebih luas, IAEA tetap meminta izin dilakukan pemeriksaan khusus pada
Februari 1993 di situs yang diduga menjadi pembuangan uranium Mazaar 1995, h.81.
Keikutsertaan Korea Utara dalam perjanjian NPT, ternyata tidak membuka jalan bagi terciptanya hubungan diplomatik yang lebih harmonis antara Korea Utara
dan dunia internasional pada dekade berikutnya. Korea Utara berulang kali menjelaskan bahwa situs yang selama ini dicuriggai IAEA merupakan sebuah
fasilitas militer non-nuklir diluar jangkauan pemeriksaan IAEA. Karena IAEA terus menerus mendesak, maka Pyongyang menanggapi desakan IAEA tersebut dengan
mengajukan pengunduran diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada Maret 1993 Kimball 2012.
Penolakan Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA serta laporan jumlah produksi plutonium Korea Utara hingga pada mundurnya Korea Utara dari NPT
tahun 1993 menyebabkan krisis nuklir yang terjadi tahun 1993-1994 Mazaar 1995, h.102. Untuk mengakhiri krisis tersebut, maka pada 11 Mei 1993, Majelis Umum
PBB segera mengeluarkan resolusi yang menghimbau Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA dan mengimplementasikan persetujuan denuklirisasi.
Resolusi itu juga menghimbau semua pihak mendorong Korea Utara untuk
31 menanggapi resolusi ini dan memfasilitasi penyelesaiannya Ceuster dan Melissen
2008, h.10. Amerika Serikat kemudian segera mengambil langkah cepat untuk
menanggapi resolusi tersebut dan mencoba meredakan krisis nuklir yang terjadi. Amerika Serikat menggelar pembicaraan tingkat politik bersama Korea Utara pada
awal Juni 1993. Pembicaraan tersebut menjadi asal mula perumusan “Agreed
Framework ” yang menjadi prinsip dasar untuk melanjutkan dialog AS-Korut.
Akhirnya berkat pembicaraan tersebut, Korea Utara menunda pengunduran dirinya dari NPT Niksch 2003 h.6.
Kemudian pembicaraan putaran kedua dilanjutkan pada 14-19 Juli 1993 di Geneva. Pembicaraan tersebut menentukan pedoman untuk menyelesaikan masalah
nuklir, meningkatkan hubungan AS-Korut, dan memulai kembali pembicaraan kedua Korea. Namun, negosiasi ini menemukan jalan buntu Lee 2004, h.107.
Pada Juni 1994 mantan Presiden AS, Jimmy Carter mengunjungi Pyongyang untuk membantu meredakan ketegangan dan mencoba bernegosiasi dengan Korea
Utara agar Pyongyang bersedia menghentikan program senjata nuklirnya dan bersedia melanjutkan pembicaraan tingkat tinggi dengan AS. Kemudian pembicaraan putaran
ketiga antara AS-Korut dibuka di Geneva pada 8 Juli 1994. Akan tetapi kematian Kim Il Sung pada 8 Juli 1994 menunda rencana pertemuan Mazaar 1995, h.166.
Atas kematian Kim Il Sung tersebut, maka pembicaraan ditunda dan dilanjutkan pada bulan Agustus. Pembicaraan ini menghasilkan kesepakatan Agreed
32 Framework pada 21 Oktober 1994 Park dan Kim 2012 h.76. Di bawah kerangka
persetujuan tersebut, Korea bersedia menghentikan dan secepatnya membongkar keberadaan program nuklir yang dicurigai selama ini, termasuk reaktor grafit-moderat
50MW dan 200MW yang sedang dalam pembangunan, selain reaktor 5MW dan fasilitas pemrosesan ulang bahan bakar nuklirnya. Dalam Agreed Framework juga
dibahas mengenai perbaikan hubungan bilateral secara bertahap antara AS-Korut dalam bidang politik serta ekonomi, dan memasukkan Korea Utara kedalam dialog
Utara-Selatan Lihat lampiran I. Sebagai gantinya, Pyongyang akan disediakan energi alternatif, dalam bentuk
minyak berat, kemudian secepatnya akan dibangun dua reaktor air ringan bertekanan udara masing-masing berkapasitas 1.000MW disertai dua alat pendingin. Dua reaktor
nuklir air ringan 1.000MW tersebut lebih aman dan mampu menghasilkan cukup plutonium untuk membantu menambah pasokan listrik di Korea Utara, yang sedang
mengalami krisis energi Park dan Kim 2012 h.133. Berdasarkan kesimpulan dari Agreed Framework, Korea Utara harus
bekerjasama dengan AS dan IAEA. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa hasil pokok dari Agreed Framework yaitu pembangunan reaktor air ringan
yang akan dibiayai dan dibangun di bawah Organisasi Pengembangan Energi Semenanjung Korea KEDO. Oleh karena itu, setelah penandatanganan Agreed
Framework, maka AS, Korea Selatan, dan Jepang menyelenggarakan sebuah
33 konferensi di New York pada Maret 1995 yang menghasilkan pendirian KEDO
secara resmi Lee 2004, h.110. KEDO menjadi sebuah organisasi internasional non-profit berbentuk badan
konsorsium multinasional yang didirikan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pokok dari Agreed Framework. Dalam perjanjian KEDO tersebut dijelaskan bahwa
KEDO bertugas mengirimkan energi sementara hingga reaktor air ringan pertama selesai dibangun. Sebagai tambahan, KEDO juga melaksanakan berbagai bentuk
tindakan lainnya yang dianggap perlu demi tercapainya tujuan Agreed Framework Lee 2004, h.110.
Selanjutnya IAEA melakukan pemeriksaan terhadap kandungan isotop radioaktif dalam limbah nuklir yang disampaikan Korea Utara bahwa pihaknya telah
mengekstrak sekitar 24kg plutonium. Oleh karenanya, Korea Utara diperkirakan telah menghasilkan 0,9 gram plutonium per megawat setiap harinya dalam periode empat
tahun dari 1987-1991. Jika dijumlahkan selama empat tahun dengan sebuah reaktor 30 megawat dan rasio pengoperasian sebesar 60 per tahun, maka Korea Utara telah
berhasil menghasilkan 23kg plutonium Leventhal dan Steven 1994. Pada November 1994, IAEA mengumumkan bahwa pihaknya telah
mengkonfirmasi pembangunan program nuklir Korea Utara dihentikan di fasilitas nuklir Yongbyon dan Taechon milik Korea Utara. IAEA juga menegaskan bahwa
kedua fasilitas ini sudah tidak beroperasi Kristensen 2006. Sesuai dengan ketentuan dari Agreed Framework antara AS-Korut tahun 1994, Pemerintah AS pada Januari
34 menanggapi keputusan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya serta
bekerjasama dengan Amerika Serikat dan upaya verifikasi IAEA dengan menghapus sanksi ekonomi terhadap Korea Utara Mazaar 1995, h.175.
Dalam Kesepakatan Kuala Lumpur untuk Agreed Framework Geneva, Korea Utara setuju untuk bernegosiasi langsung dengan KEDO dalam isu yang berkaitan
dengan proyek reaktor air ringan. Pada tanggal 15 Desember 1995, Korea Utara menandatangani Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan. Tim KEDO telah
melakukan sejumlah perjalanan ke Korea Utara untuk meninjau lokasi reaktor yang diusulkan. Pada musim semi 1996, KEDO dan Korea Utara memulai negosiasi pada
pelaksanaan protokol Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan Lee 2004, h.112. Sejak perjanjian pemasokan energi untuk Korea Utara disetujui pada bulan
Desember 1995, maka enam protokol terkait telah mulai berlaku dan tiga putaran perundingan tingkat ahli telah menghasilkan keputusan penuh Park dan Kim 2012,
h.133. Korean Electric Power Corp KEPCO, perusahaan listrik Korea Selatan menjadi kontraktor utama dalam proyek ini yang mengemban tugas menentukan
bentuk, manufaktur, kontruksi, dan pengelolaan reaktor. Akhirnya pada 19 Agustus 1997, KEDO dan Korea Utara menggelar upacara peletakan batu pertama untuk
memulai pembangunan dua reaktor air ringan Lee 2004, h.113. Akhirnya pembangunan reaktor air ringan Korea Utara telah selesai dan mulai
beroperasi pada 1998. Namun, Korea Utara tidak menepai janjinya bahwa pihaknya akan menerima pemeriksaan umum dan khusus oleh IAEA. Korea Utara tetap
35 menolak pemeriksaan fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Pyongyang
juga menolak untuk bergabung dalam Perjanjian Larangan Uji Komprehensif dan menolak berpartisipasi dalam konferensi tahunan PBB mengenai perlucutan senjata
nuklir pada 25 Februari 1997 Park dan Kim 2012, h.133. Insiatif AS menginsiasi pembicaraan bilateral dengan Korea Utara yang
menghasilkan Agreed Framework diatas ternyata tidak berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kurangnya sikap saling percaya antar kedua pihak.
Oleh karena itu, Korea Utara mulai melangkah lebih jauh dengan mengembangkan kembali senjata nuklirnya yang ditandai dengan uji coba peluncuran roket
Taepodong-1 pada tahun 1998. Pada Oktober 2002, utusan khusus AS, James Kelly mengunjungi Korea
Utara, dimana Kelly mencurigai program pengayaan uranium masih berlangsung. Sebagai tanggapannya, maka rezim Kim Jong Il menyatakan penundaan penghentian
program nuklirnya dan menghidupkan kembali fasilitas nuklir negara tersebut pada 12 Desember 2002. Setelah itu, Korea Utara mengundurkan diri dari Perjanjian Non-
proliferasi Nuklir pada 10 Januari 2003 Park dan Kim 2012, h.133. Ketika Amerika Serikat membahas presentasi mengenai isu nuklir Korea
Utara di Dewan Keamanan PBB, juru bicara kementerian luar negeri Korea Utara mengeluarkan pernyataan pada 2 Oktober 2003 yang mengakui bahwa Korea Utara
akan melakukan pengayaan uranium dan mengubah plutonium yang dieksktrak dari bahan bakar bekas dengan tujuan memperkuat pertahanan nuklir KCNA 2003. AS
36 menganggap tindakan Korea Utara telah melanggar Kerangka Persetujuan dan
perjanjian lainnya. Setelah upaya pembicaraan bilateral antara AS-Korut tersebut mencapai
kebuntuan, maka AS berusaha mencari cara yang tepat untuk membawa kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan. Untuk itu, dibentuklah sebuah upaya
multilateral yang melibatkan AS, Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Korea Utara yang dikenal dengan “Six Party Talks” pada tahun 2003.
37
BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN
SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA
Pengunduran diri Korea Utara dari keanggotaan perjanjian non-proliferasi nuklir NPT pada Januari 2003 menambah deretan panjang aksi Korea Utara dalam
uji coba nuklir yang dimilikinya. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kemanan di Semenanjung Korea. Oleh karena itu, pada Agustus 2003
Amerika Serikat AS bersama Cina membentuk sebuah pembicaraan multilateral untuk menggandeng kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan dengan
melibatkan Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Pembicaraan multilateral tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama Six Party Talks.
A. Sejarah Pembentukan
Six Party Talks
Pada 16 Oktober 2002, AS dibawah kepemimpinan Presiden Bush menegaskan bahwa Korea Utara telah menyatakan jika negaranya memiliki sebuah
program senjata nuklir rahasia berbasis pengayaan uranium. Laporan tersebut diterima langsung oleh Asisten Menteri luar Negeri AS, James Kelly di Pyongyang
pada 5 Oktober 2002 Park dan Kim 2012, h.133. Program nuklir tersebut ternyata dihasilkan dari proses pengayaan uranium, dimana proses ini jauh berbeda dengan
program nuklir Korea Utara sebelum tahun 1995 yang hanya berbasis pemrosesan ulang plutonium Zhongying 2009, h.12.