Makna Tingkat Tutur Tingkat Tutur Bahasa Jawa

lviii Selanjutnya ditampilkan pembagian tingkat tutur bahasa Jawa yang diusulkan oleh Sudaryanto dalam Maryono Dwiraharjo, 1991:357. Pembagian yang diusulkan hanya ada empat jenis tingkat tutur sebagai berikut. 1 Ngoko 2 Ngoko alus 3 Krama 4 Krama alus. Pembagian yang diusulkan oleh Sudaryanto tersebut secara dikotomis menunjukkan adanya dua jenis tingkat tutur dalam bahasa Jawa, yaitu tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur krama. Pembagian tersebut ternyata lebih sederhana dan lebih praktis. Hal itu menggambarkan bahwa tingkat tutur dalam bahasa Jawa tidak rumit dan tidak menyulitkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti cenderung mengikuti pembagian Sudaryanto, yaitu bahwa tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi dua, yaitu ngoko dan krama.

c. Makna Tingkat Tutur

Mengenai makna tingkat tutur akan dijelaskan tiga jenis tingkat tutur yang pokok, yaitu tingkat tutur ngoko, krama, dan krama madya. Tingkat tutur ngoko menurut Soepomo Poedjasoedarma dkk. 1979:14 mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya, pembicara O1 tidak memiliki rasa segan terhadap O2 atau mitra tutur, sekaligus juga mengisyaratkan adanya tingkat keakraban hubungan. Misalnya terhadap sesama teman yang sudah akrab dapat memakai ngoko. Guru berhak memakai lix ngoko terhadap muridnya. Ayah dan Ibu dapat memakai ngoko terhadap anaknya, menantunya, dan kemenakannya, dan sebagainya. Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun Soepomo Poedjasoedarma dkk., 1979:14. Tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan, hormat atau berjarak antara penutur dengan mitra tutur. Tingkat tutur ini biasa dipakai oleh orang yang belum saling mengenal. Pegawai menggunakan krama terhadap kepalanyaatasannya, dan sebagainya. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko Soepomo Poedjasoedarma dkk. 1979:15. Tingkat tutur ini biasa dipakai antara teman-teman sekolah yang masih saling berbasa. Penutur menggunakan madya terhadap orang desa yang dianggap perlu disopani, dan sebagainya. d. Pemilihan Tingkat Tutur Menurut Soepomo Poedjasoedarma dkk. 1979:16 ada dua hal yang harus diperhatikan pada waktu akan menentukan tingkat tutur yang akan dipakai, yaitu ”pertama tingkat formalitas hubungan perseorangan antara penutur dan mitra tutur; kedua, status sosial yang dimiliki O2”. Tingkat keresmian hubungan individual ini menentukan pilihan tingkat ngoko, madya, atau krama; sedangkan tinggi rendah status sosial penutur menentukan pemakaian kata- kata krama inggil. Faktor penentu tingkat formalitas itu: 1 tingkat keakraban hubungan dengan O2; 2 tingkat keangkeran O2; dan 3 umur O2. Tingkat hubungan keakraban ini penting sekali. Terhadap mitra tutur yang baru saja dikenal biasanya tidak disapa dengan ngoko, melainkan dengan krama. lx Tingkat keangkeran dan usia ditentukan oleh latar belakang status sosial mitra tutur yang ada. Selanjutnya menurut Soeroso dalam Maryono Dwiraharjo, 1991:370 sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus diingat dan dilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1 Langkah pertama: Mawas diri Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan: a penutur lebih rendah daripada lawan tutur, b penutur sederajat dengan lawan tutur, c penutur lebih tinggi kedudukannya daripada lawan tutur. 2 Langkah kedua: Memilih bahasa a apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama; b Apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko; c Apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko. 3 Langkah ketiga: Memilih kata Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat. 4 Langkah keempat: Menetapkan sikap Sikap berbicara disesuaikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.

5. Leksikon Bahasa Jawa dari Segi Bentuk